INTERNALISASI NILAI NILAI PANCASILA DALA

INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MENYONGSONG
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA 2015)1

Surono, M.A
Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM
dan Peminat Kajian Antropologi Budaya

Latar Belakang
Pancasila dilahirkan dari himpitan dua ideology besar yang saat itu menguasai
dunia. Ibarat bayi yang baru lahir, Pancasila harus menghadapi dua raksasa yang sudah
memiliki segalanya: kekuasaan, senjata, modal, dan tentu saja pasukan. Akan tetapi bayi
Pancasila ini kemudian bertumbuh dan akhirnya menjadi semakin besar. Dan mulai
diperhitungkan dalam percaturan ideology dunia. Dua ideologi tersebut adalah
kapitalisme dan sosialisme, dua ideology yang membawa kekuatannya masing-masing.
Saling bertentangan. Bangsa Indonesia melalui para pendiri bangsa sadar benar bahwa
ada kekuatan lain yang harus menjadi penyeimbang diantara keduanya. Agar dua
kekuatan tersebut tidak berlanjut pada pertarungan fisikyang saat itu sudah diujung
tanduk.
Puncaknya adalah ketika Bung Karno berpidato dihadapan peserta sidang
Umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960 dalam pidatonya yang berjudul To Build
The World a New. Dalam pidato yang mampu mengguncang seluruh hadirin di sidang

PBB tersebut Bung Karno menjelaskan Pancasila sebagai salah satu alternatif untuk
memecahkan kebuntuan antara dua kubu ideologi yang saling berhadapan sekaligus
membuka cakrawala baru dalam memandang dan memperlakukan dunia.

Disampaikan dalam Seminar Wawasan Kebangsaan “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menyongsong
Masyarakat Ekonomi ASEAN” tanggal 1 November 2014 di Universitas Mercu Buana Yogya

1

Demikian pula ketika saat ini Indonesia sedang-akan berhadapan dengan
kedatangan bangsa-bangsa lain yang semakin bebas, salah satunya adalah Masyarakat
Ekonomi ASEAN, pun seharunya tidak perlu kebakaran jenggot. Toh…. itu semua
tingkat “kedahsyatannya” tidak seperti pertarungan dua kubu ideologi beberapa
dasawarsa lalu. Terlebih lagi tujuan MEA juga tidak jauh berbeda dengan dibentuknya
ASEAN, yaitu: menciptakan ASEAN sebagai pasar tunggal dan kesatuan bisnis
produksi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pembangunan diantara negara
anggota melalui bantuan dan kerjasama yang saling menguntungkan2.
Sebenarnya bangsa dan negara Indonesia telah siap menghadapi semua itu.
Asalkan kita sebagai anak bangsa sadar akan kemampuan diri dan memahami dengan
baik filosofi dasar kita, Pancasila. Salah satu contohnya adalah bangsa kita memiliki

berbagai best practice ke Pancasilaan yang mampu menjawab berbagai permasalahan
ekonomi dan kesejahteraan yang dihadapi masyarakat Indonesia dan dunia, jimpitan
misalnya. Jimpitan ini memiliki tiga nilai yaitu kebersamaan (gotong royong), sukarela,
dan bergilir, inilah Pancasila (Surono, 2012).
Meski demikian ada dua permasalahannya yang sampai saat ini dihadapi oleh
bangsa kita. Yaitu (1) sebagian dari kita belum memahami dengan baik Pancasila dan (2)
adanya semangat egoisme yang menguasai relung-relung dada kita. Dua permasalah ini
kemudian menyebabkan MEA 2015 dipahami sebagai ancaman. Sehingga kita harus
menyelesaikan dua hal tersebut.

Apa itu Pancasila?
Saat ini pemahaman bangsa Indonesia terhadap Pancasila sangat beragam. Bahkan
bisa dikatakan masing-masing orang hampir memiliki pahamnya sendiri-sendiri
terhadap Pancasila. Hal ini salah satu penyebabnya adalah karena sumber pemahaman

2

Winantyo, R. dkk. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah
Kompetisi Global. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. 2008 dan The ASEAN Charter. Chapter 1 Article1. Jakarta:


ASEAN Secretariat, January 2008

atau referensi Pancasila banyak yang bersumber pada orang kedua, ketiga, bahkan
keempat dan seterusnya. Akibatnya yang terjadi kemudian adalah tafsir di atas tafsir.
Sehingga tidak mengherankan antara satu orang dengan yang lainnya berbeda.
Berdasarkan pidato Bung Karno (sebagai pencetus nama Pancasila), Pancasila
merupakan kumpulan lima sila yang merupakan satu kesatuan nilai. Supaya tidak terjadi
penafsiran yang beraneka ragam maka berikut akan saya kutipkan beberapa bagian
pidato Bung Karno. Pidato ini merupakan intisari dari nilai-nilai Pancasila3.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut
berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang
tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen
dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut
Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi
bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang
paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada
Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa
kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya,

sehingga mereka menerima Sila pertama ini.

2. Nasionalisme
Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari
nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi

3

Dikutip dari http://penasoekarno.wordpress.com/2009/11/08/pidato-pres-soekarno-di-su-pbb-2/
Saya kutip seperti aslinya, agar kita memiliki penafsiran yang tidak terlalu melenceng dengan apa yang disampaikan oleh Bung
Karno tentang Pancasila

kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama
berkobarnya pejuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih
tetap menyala-nyala didada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami!
Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak
menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula
berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya
mengetahui benar-benar bahwa istilah “nasionalisme” dicurigai, bahkan tidak
dïpercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa

dan memutar balikan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap
berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, rnaka Barat tidak akan
menantang dengan senjata chauvinisme Hitler yang agresif.
Tidakkah nasionalisme ? sebutlah jika mau, patriotisme – mempertahankan
kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang
melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia?
Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan
internasional kita; nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari
kemerdekaan.
Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai
keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan yang baik yang dapat diterima oleh
semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak
hanya tentang Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya
berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat merupakan citacita dan tujuan semua orang.
Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya seorang nasionalis, akan tetapi
nasionalisme saya adalah perikemanusiaan”. Kamipun berkata demikian. Kami
nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis
karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia dimasa
sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang kemasa depan.


Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme
dimana saja kami jumpainya.

3. Internasionalisme.
Sila yang ketiga kami adalah Internasionalisme, Antara Nasionalisme dan
Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa
internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah yang
subur dari nasionalisme. Bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu
merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa
mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, dimana setiap bangsa
mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan
kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang antinasional dan memang bertentangan dengan kenyataan.

4. Demokrasi
Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan
dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari
manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang
khusus.Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan
bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini

mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal saya bicarakan kemudian.

5. Keadilan Sosial
Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada
Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap
kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang

makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri
bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial.
Demikianlah

Panca

Sila

kami.

Ketuhanan

Yang


Maha

Esa,

Nasionalisme,

Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.4

Menurut bung Karno, jika kita menyukainya maka ditawarkan alternatifnya
yang sudah beliau pikirkan bertahun-tahun. Kelima sila tersebut bisa diperas lagi ke
dalam Tri Sila. Tri Sila terdiri dari:
1. Socio-nationalisme:

yang

berasal

dari


Kebangsaan-Internasionalisme

dan

Kebangsaan- Perikemanusiaan
2. Socio-democratie: yang merupakan perasan dari demokrasi politik dan sociale
rechtvaardigheid (keadilan sosial)
3. Ketuhanan: yang menghormati satu sama lain.

Jikapun masih kurang suka maka ditawarkan lagi menjadi satu sila, yaitu Gotong
Royong. Dasar pemikiran ini adalah bahwa:
Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia, yangkita semua harus
mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam
buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan
Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua.
Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan GOTONG ROYONG. Negara yang kita
dirikan haruslah Negara gotong royong. Alangkah hebatnya begara gotong royong”5

Semangat Egoisme


4

Bisa dibaca lengkap pada buku “Pancasila Dasar Negara, Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno” Penerbit PSP Press 2013.

5Pancasila

Dasar Negara, Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno” Penerbit PSP Press 2013 (hal 25).

Permasalahan bangsa Indonesia yang dalam pandangan saya saat ini sangat
kronis adalah menggeloranya egoisme. Pada hampir semua aspek kehidupan bangsa kita
saat ini selalu penuh dengan semangat untuk mementingkan diri sendiri dan cenderung
mengabaikan orang lain. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan semangat gotong
royong yang menjiwai bangsa Indonesia.
Tidak kurang contoh perilaku egoisme kita. Mulai dari aspek keagamaan, politik,
ekonomi, sampai dengan social budaya. Orang yang satu dengan yang lainnya sudah
mulai luntur kepeduliannya. Hukum rimba sudah mulai berlaku, siapa yang kuat maka
dia akan menang. Secara budaya berkembangnya sikap egoisme ini sangat dipengaruhi
oleh keinginan untuk menjadi “Priyayi”. Selalu ingin menjadi yang pertama dan
dipertamakan. Ingin dilayani, ingin menjadi ndara. Selalu menganggap orang lain tidak

lebih penting daripada dirinya sendiri. Menjilat yang di atasnya dan menggencet yang
berada dibawahnya. Selalu ingin di subya-subya.6
Selain itu, maraknya egoisme ini juga terjadi karena model pendidikan kita. Tidak
hanya pendidikan formal, yang informal dan non formal pun juga ada. Bahkan berbagai
lingkungan pendidikan kita pun juga mendukungnya. Misalnya pendidikan pada
tingkat keluarga, lingkungan, sekolah, sampai dan tingkat negara. Pada tingkat keluarga,
dimulai ketika para ibu memutuskan untuk memberikan minuman susu formula kepada
anaknya meski baru berusia beberapa hari, dalam hal membelikan mainan, dan
sebagainya.
Pada tingkat lingkungan (masyarakat), kebiasaan mengganti gotong royong
dengan uang, jimpitan diganti iuran bulanan, makanan kenduri diganti dengan bahan
makanan mentah. di tingkat sekolah, pengadaan kelas-kelas internasional, kelas-kelas
akselerasi,

sampai

dengan

menerapkan

pendidikan

(kurikulum)

berbasis

persainganpada level negara, melakukan pengkotak-kotakan fungsi lembaga-lembaga/

“Implementasi Nilai-nilai Luhur Pancasila dalam Kegiatan Sosial: Memecah Batukarang Egoisme” (makalah pada
Seminar Dinamisasi Upaya Menuju Revitalisasi Pengamalan Nilai-nilai Luhur Pancasila Kepada Masyarakat di Era Reformasi.
diselenggarakan oleh Dirjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri RI di Panti Asuhan Yatim Amanah Trimulyo Bantul tanggal
2 Juni 2012)

6Surono,

institusi-institusi pemerintah dengan cenderung mengabaikan adanya kerjasama lintas
sektoral.

Penutup
Pancasila adalah sebagai ideology terbuka yang berarti ideologi pancasila bersifat
aktual, dinamis, antisipatif dan elastis. Beberapa sifat tersebut mampu menjadikan
Pancasila menghadapi berbagai perkembangan jaman. Keterbukaan ini bukan lantas
ditafsirkan dengan mengubah nilai-nilai dasarnya, namun mengeksplisitkan nilai-nilai
dasar ke dalam berbagai ranah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Kaelan (2004), nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi pancasila
sebagai ideologi terbuka adalah (a) Nilai dasar yaitu : hakikat kelima sila pancasila yaitu
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan; (b). Nilai
instrumental yang merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaanya; (c) Nilai praksis yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam
suatu realisasi perkembangan yang bersifat nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila dalam menyambut MEA pada dasarnya sudah lebih dari mampu. Maka
selanjutnya PR bagi kita untuk memantaskan diri agar tidak seperti orang bermain
laying-layang. Dimana laying-layangnya sudah terbang tinggi sementara kita masih
belum bernajak dari bumi. Untuk itu maka mau tidak mau kita harus:

1. Semakin memahamkan diri terhadap Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa
dan bernegara. Kita harus menyadari bahwa didalam kebhinekaan Indonesia harus
mengacu pada Pancasila.
2. Sampai saat ini bangsa Indonesia belum melahirkan Pancasila dan masih di dalam
batin-pikiran. Pancasila sekedar dituliskan, dibacakan, dan dihafalkan. Belum
dilahirkan dalam bentuk implikasi maupun aktualisasi pada kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pak Damar memberikan kunci yang sangat baik bagaimana
melahirkan Pancasila,yaitu.menjadikan Pancasila sebagai kata kerja; mengesakan

Tuhan Yang Maha Kuasa, memanusiakan manusia agar menjadi adil dan beradab,
mempersatukan Indonesia, memimpin

rakyat

dengan penuh hikmat

dan

kebijaksanaan, dan menjadikan rakyat Indonesia adil dan sejahtera.
3. Mengedepankan semangat kolaborasi bukan mengagung-agungkan kompetisi.
Dalam Bahasa yang lebih luas,bangsa Indonesia harus bersatu padu dalam banyak
hal. Membangun rasa kepekaan, solidaritas, memahami kebhinekaan (bersatu dalam
perbedaan).
4. Merevitalisasi kearifan-kearifan local yang dimiliki bangsa Indonesia. Karena
terbukti berbagai kearifan ini akan mampu mempertebal semangat gotong royong
yang sekaligus juga aktualisasi nilai-nilai Pancasila.
5. Yang terakhir (dan ini yang sering dilupakan orang), yaiut membangun keselarasan
diri dengan diri sendiri, lingkungan (alam dan masyarakat) dan Tuhan. Bangsa
Indonesia harus mampu membangun keselarasan hidup pada tiga level: pribadi,
lingkungan dan ketuhanan. Konsep ini menjadi ciri umum atau kepribadian bangsa
Indonesia. Bahwa religius yang dimaksud bukan sekedar baik terhadap diri sendiri
dan masyarakat tetapi juga menjaga ritualitas kepada Tuhan.

Terima kasih

Pustaka
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Soekarno, Pancasila Dasar Negara, Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno” Penerbit
PSP Press 2013
Surono, 2012, “Build The Economic Integration With Jimpitan Model In Javanese
Society”. Paper konferensi Internasional Towards an ASEAN Economic
Community (AEC): Prospects, Challenges and Paradoxes in Development,
Governance and Human Security. Chiang Mai Thailand tanggal 26- 27 Juli 2012

Surono, “Implementasi Nilai-nilai Luhur Pancasila dalam Kegiatan Sosial: Memecah
Batukarang Egoisme” (makalah pada Seminar Dinamisasi Upaya Menuju
Revitalisasi Pengamalan Nilai-nilai Luhur Pancasila Kepada Masyarakat di Era
Reformasi. diselenggarakan oleh Dirjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri
RI di Panti Asuhan Yatim Amanah Trimulyo Bantul tanggal 2 Juni 2012)
The ASEAN Charter. Chapter 1 Article1. Jakarta: ASEAN Secretariat, January 2008
Winantyo, R. dkk. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), 2015: Memperkuat Sinergi
ASEAN di Tengah Kompetisi Global. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. 2008
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/11/08/pidato-pres-soekarno-di-su-pbb-2/
diakses tanggal 30 Oktober 2014