Hubungan stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar keluarga miskin di Kabupaten Klaten

DASAR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN KLATEN

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran RIDHA RAHMAWATI AYU PRADITA G0005168

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2009

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 3 Juli 2009

Nama : Ridha Rahmawati Ayu Pradita NIM : G0005168

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Stunting Dengan Skor IQ Anak Usia Sekolah Dasar Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten

Ridha Rahmawati Ayu Pradita , NIM: G0005168, Tahun : 2009

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Jumat, 17 Juli 2009.

Pembimbing Utama

Nama : Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si. NIP

Pembimbing Pendamping

Nama : Widardo, Drs., M.Sc. NIP

Penguji Utama

Nama : Anik Lestari, dr., M.Kes. NIP

Anggota Penguji

Nama : Suhanantyo, drg., M.SiMed. NIP

Surakarta, ..................................

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Sri Wahjono, dr., MKes. Prof. Dr. AA Subijanto, dr., MS. NIP: 030 134 646

NIP: 030 134 565

ABSTRACT

Ridha Rahmawati Ayu Pradita, G0005168, Faculty of Medicine, The Relationship between Stunting and IQ Score of The Elementary School Ages Children of The Poor Family in Klaten Regency. Sebelas Maret University Surakarta.

Background: Stunting is one of the types of under nutrition remarked by height- for-age Z score ≤ -2 SD (Standard Deviation) according to WHO 2000 reference. Stunting can cause interfere with cognitive ability because of the delay of the brain growth and development or it cannot reach the maximal condition. One of the brain development markers is IQ (Intelligence Quotient) which is can be measured with many types of the tests, one is Raven’s Colored Progressive Matrices. This study intent on knowing the relationship between stunting and IQ score.

Methods: This study was analytical observational with cross sectional research method design and conducted in Klaten Regency. The subjects were determined by stratified random sampling of the 9-12 years old elementary school children who had slipped off the poor family screening, suffered from stunting or normal and satisfied the inclusion criteria. The height of each child was measured and noted the height-for-age-Z-score according to WHO 2000 reference. According to the rule of thumb, 30 samples for each stunting and normal children were taken by simple random sampling from the total data results. The data samples were analyzed by using Independent t test and One Way ANOVA.

Results: The statistic output of Independent t test showed that there was a significant result between stunting and IQ score marked by p value 0,004. There was an insignificant result concerned to the relationship between stunting level and IQ score according to One Way ANOVA statistic output which was marked by p value 0,129.

Conclusions: This study concluded that stunting had significant relationship with IQ score. But, the relationship between stunting level and IQ score showed an insignificant result.

Key words: stunting, IQ (Intelligence Quotient), poor family, raven’s progressive matrices

ABSTRAK

Ridha Rahmawati Ayu Pradita, G0005168, Fakultas Kedokteran, Hubungan Stunting dengan Skor IQ Anak Usia sekolah Dasar Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Stunting merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan hasil pengukuran tinggi badan menurut umur diperoleh ≤ -2 SD (Standar Deviasi) berdasarkan referensi WHO 2000. Stunting dapat menyebabkan terganggunya kemampuan kognitif dikarenakan terlambatnya maupun tidak maksimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Salah satu petanda perkembangan otak adalah IQ (Intelligence Quotient) yang dapat diukur dengan berbagai bentuk tes, diantaranya Raven’s Colored Progressive Matrices. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Stunting dengan skor IQ.

Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional dan dilakukan di Kabupaten Klaten. Subjek penelitian adalah siswa- siswi sekolah dasar berumur 9-12 tahun yang secara stratified random sampling telah lolos skrining keluarga miskin yang menderita stunting maupun tidak (normal) serta memenuhi kriteria inklusi. Siswa-siswi diukur tinggi badannya dan dicatat hasil height-for-age-Z-score berdasarkan referensi WHO 2000. Dari total hasil yang didapat, diambil secara simple random sampling sebanyak 30 sampel untuk masing-masing subjek stunting dan normal/non stunting berdasarkan rule of thumb . Kemudian data yang diperoleh dianalisis menggunakan Independent t test dan One Way ANOVA.

Hasil penghitungan statistik Independent t test menunjukkan ada hubungan signifikan antara stunting dengan skor IQ dengan p=0,004. Sedangkan hasil penghitungan one way ANOVA mengenai hubungan tingkatan stunting dengan skor IQ menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dimana p=0,129.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin. Sedangkan hubungan antara tingkatan stunting dengan skor IQ didapatkan hasil yang tidak signifikan.

Kata kunci: stunting, IQ (Intelligence Quotient), keluarga miskin, raven’s progressive matrices

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, rahmat, dan hidayah yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul Hubungan Stunting dengan Skor IQ Anak Usia Sekolah Dasar Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. A. A. Subiyanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

2. Sri Wahjono, dr., Mkes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si., selaku Pembimbimg Utama yang telah memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan kepada penulis.

4. Widardo, Drs., M.Sc., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan kepada penulis.

5. Anik Lestari, dr., M.Kes., selaku Penguji Utama

6. Suhanantyo, drg., M.SiMed, selaku Anggota Penguji

7. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk peningkatan dan perkembangan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Surakarta, 10 Juli 2009

Ridha Rahmawati Ayu Pradita

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven................................29 Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin.......................................32 Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Rentang Umur.......................................32 Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkatan Stunting................................33 Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kuesioner BKKBN...............................34 Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Skor IQ Menurut Interpretasi Raven....35 Tabel 7. Rata-rata dan Standar Deviasi Skor IQ Berdasarkan Kelompok IQ

Menurut Interpretasi Raven...................................................................36 Tabel 8. Hasil Uji Independent t test.....................................................................37 Tabel 9. Hasil Uji One Way ANOVA.....................................................................37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penyebab Gizi Kurang........................................................................11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Data Siswa Yang Menderita Stunting (Early, Moderate, Severe) Dan Non Stunting (Normal)

Lampiran B. Lembar Jawab Tes IQ Raven “Set A_A B _B”

Lampiran C. Kuesioner Lampiran D. Hasil Analisis Uji Independent t test Lampiran E. Hasil Analisis Uji One Way ANOVA Lampiran F. Daftar Tabel Tinggi Badan Menurut Umur pada Anak Laki-Laki

dan Perempuan Umur 9-12 Tahun Berdasarkan WHO-NCHS (2000)

Lampiran G. Surat Izin Pengambilan Data

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gizi merupakan pilar pokok kehidupan, kesehatan, dan perkembangan dalam seluruh rentang hidup manusia. Mulai dari tingkat perkembangan fetus paling awal, saat lahir, masa pertumbuhan (kanak- kanak), remaja, menuju kedewasaan dan masa tua, makanan yang baik dan gizi yang tepat sangat penting untuk kelangsungan hidup, perkembangan mental, prestasi dan produktivitas, kesehatan serta kesejahteraan (FAO/WHO, 1992; WHO, 2000). Fakta telah menunjukkan bahwa pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif pada anak-anak lebih cepat pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan bahwa pada usia empat tahun, 50% kapasitas intelektual dewasa telah dicapai dan sebelum 13 tahun, kapasitas intelektual dewasa mencapai 92% (Vernon et al., 2000).

WHO (2002) memperkirakan 27% atau 168 juta anak Balita di dunia menderita kurang gizi (under weight). Menurut Karmini (2004) hasil pengolahan data Susenas ditemukan bahwa di Indonesia prevalensi kurang gizi pada anak Balita tahun 2000 sebesar 24,6%. Menurut WHO (1998) sebanyak 40% anak Balita di dunia menderita stunting, sedangkan di Indonesia diperkirakan sebesar 40-50%. Dari seluruh anak usia 4-24 bulan yang berjumlah 4,9 juta di Indonesia, sekitar seperempat berada dalam kondisi kurang gizi (Qauliyah, 2008). Tiga puluh persen anak usia di bawah

lima tahun di negara berkembang menderita stunted tingkat sedang (tinggi badan menurut umur kurang dari dua SD (standar deviasi)) maupun berat (kurang dari tiga SD (standar deviasi)) ( Children's Health: Stunting in children under 5-moderate and severe ). Menurut Toriola (2000), empat persen dari seluruh anak-anak yang dilahirkan di negara-negara berkembang meninggal dunia sebelum berusia lima tahun akibat malnutrisi, sedangkan Adekunle (2005) menambahkan sebagian besar yang mengalaminya adalah anak-anak dari orang tua yang buta huruf dan golongan sosio-ekonomi rendah yang mempunyai daya beli rendah. Menurut Atmarita (2007), 62% lebih anak di perkotaan memiliki tinggi badan normal dari segi umur, sedangkan anak di pedesaan hanya 49%. Beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa pemberian makanan yang buruk dan/atau infeksi berulang sebagai akibat dari kemiskinan menyebabkan pertumbuhan terganggu atau stunted (kerdil), kerusakan otak yang luas, kemampuan belajar dan kapasitas intelektual rendah (Kerr dan Black, 2000; Ivanovic et al., 2002; Chang et al., 2002; Braveman dan Gruskin, 2003; Liu et al., 2003;).

Beberapa penelitian membuktikan ada keterkaitan antara tubuh pendek dan tingkat kecerdasan (Atmarita, 2007). Mendez dan Adair dalam Ijarotimi dan Ijadunola (2007) menjelaskan praktik-praktik pemberian makanan yang buruk berhubungan dengan pertumbuhan stunted dan keterlambatan perkembangan mental serta ada hubungan antara status pertumbuhan terganggu dengan IQ (Intelligence Quotient) dan prestasi sekolah yang buruk (PAHO, 1998). Akan tetapi di Indonesia sendiri, Beberapa penelitian membuktikan ada keterkaitan antara tubuh pendek dan tingkat kecerdasan (Atmarita, 2007). Mendez dan Adair dalam Ijarotimi dan Ijadunola (2007) menjelaskan praktik-praktik pemberian makanan yang buruk berhubungan dengan pertumbuhan stunted dan keterlambatan perkembangan mental serta ada hubungan antara status pertumbuhan terganggu dengan IQ (Intelligence Quotient) dan prestasi sekolah yang buruk (PAHO, 1998). Akan tetapi di Indonesia sendiri,

B. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara stunting dengan skor IQ pada anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara stunting dengan Skor IQ pada anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan angka kejadian stunting.

b. Mengukur skor IQ pada anak usia sekolah dasar yang menderita stunting dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat menambah kepustakaan ilmiah tentang kejadian stunting pada anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin. Di samping 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat menambah kepustakaan ilmiah tentang kejadian stunting pada anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin. Di samping

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya orang tua dari keluarga miskin agar lebih memperhatikan status gizi anak.

b. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemegang kebijakan tentang pentingnya pengaruh stunting dalam menghambat generasi yang sehat, cerdas dan berkualitas.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Stunting

a. Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat, berupa penurunan kecepatan pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang merupakan dampak utama dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidakseimbangan faktor- faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal) (Tanuwidjaya, 2002). Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa perinatal, masa menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini juga bisa disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat gizi, misalnya mikronutrien, protein atau

energi (Anonim b , 2008).

b. Beberapa Periode yang Dapat Mempengaruhi Terjadinya Stunting:

1) Masa kehamilan

Anak yang lahir dari ibu yang gizinya kurang dan hidup di lingkungan miskin maka akan mengalami kurang gizi juga dan Anak yang lahir dari ibu yang gizinya kurang dan hidup di lingkungan miskin maka akan mengalami kurang gizi juga dan

2) Masa perinatal, menyusui, masa bayi (satu tahun pertama)

Masa perinatal yaitu 28 minggu dalam kandungan sampai

7 (tujuh) hari setelah lahir merupakan masa rawan dalam proses tumbuh kembang anak, dimana malnutrisi yang terjadi pada periode ini dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Soetjiningsih, 1998).

Menurut Soetjiningsih dan Suandi (2002), anak yang minum ASI mempunyai tumbuh kembang yang lebih baik karena ASI mengandung gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan bayi, juga terdapat bermacam-macam zat anti baik seluler maupun humoral.

Masa bayi (satu tahun pertama) merupakan masa transisi dari makanan cair ke makanan orang dewasa. Pada masa ini ditandai dengan tubuh kembang yang sangat cepat juga dijumpai berbagai masalah makan, seperti asupan makan kurang, regurgitasi atau muntah, diare atau tinja encer, kolik, konstipasi, defisiensi Masa bayi (satu tahun pertama) merupakan masa transisi dari makanan cair ke makanan orang dewasa. Pada masa ini ditandai dengan tubuh kembang yang sangat cepat juga dijumpai berbagai masalah makan, seperti asupan makan kurang, regurgitasi atau muntah, diare atau tinja encer, kolik, konstipasi, defisiensi

a) Kurang pengetahuan mengenai kebutuhan bayi dan makanan tambahan yang bergizi.

b) Ketidaktahuan menyiapkan makanan tambahan dari bahan- bahan local yang bergizi.

c) Kemiskinan, sehingga kurang mampu menyediakan makanan yang bergizi.

(Soetjiningsih dan Suandi, 2002).

3) Masa pertumbuhan (masa anak)

Pertumbuhan anak umur antara setahun sampai pra-remaja sering disebut masa laten atau tenang. Walaupun pertumbuhan fisiknya lambat, tetapi merupakan masa untuk perkembangan sosial, kognitif dan emosional. Pada masa Balita merupakan puncak kejadian defisiensi vitamin A dan KEP. Di samping itu, anak umur 1-3 tahun mempunyai risiko mengalami anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan zat besi dan diet yang tidak cukup mengandung besi. Kebutuhan kalsium pada periode ini juga meningkat, untuk mineralisasi dan mempertahankan pertumbuhan tulang. Selain kalsium, seng juga dibutuhkan untuk pertumbuhan. Defisiensi seng dapat Pertumbuhan anak umur antara setahun sampai pra-remaja sering disebut masa laten atau tenang. Walaupun pertumbuhan fisiknya lambat, tetapi merupakan masa untuk perkembangan sosial, kognitif dan emosional. Pada masa Balita merupakan puncak kejadian defisiensi vitamin A dan KEP. Di samping itu, anak umur 1-3 tahun mempunyai risiko mengalami anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan zat besi dan diet yang tidak cukup mengandung besi. Kebutuhan kalsium pada periode ini juga meningkat, untuk mineralisasi dan mempertahankan pertumbuhan tulang. Selain kalsium, seng juga dibutuhkan untuk pertumbuhan. Defisiensi seng dapat

4) Kekurangan Energi Protein (KEP)

Meskipun kenaikan berat badan ibu kecil selama trimester

I kehamilan, namun sangat penting artinya karena pada waktu inilah janin dan plasenta dibentuk. Kegagalan kenaikan berat badan ibu pada trimester I dan II akan meningkatkan bayi BBLR. Hal ini disebabkan karena KEP akan mengakibatkan ukuran plasenta kecil dan kurangnya suplai zat-zat makanan ke janin (Soetjiningsih, 1998). Soekirman (2000) menambahkan KEP adalah suatu bentuk masalah gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena infeksi, yang berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi bergizi kurang atau buruk.

5) Defisiensi vitamin dan mikronutrien

a) Defisiensi vitamin A, B12, C, D dan anemia gizi Menurut Suyitno dan Narendra (2002) vitamin A, B12, C dan D mempengaruhi pertumbuhan anak. Defisiensi vitamin A pada masa kehamilan akan mengakibatkan meningkatnya prevalensi prematuritas dan retardasi mental.

Soetjiningsih (1998) menyatakan bahwa anemia gizi merupakan masalah gizi di negara berkembang dengan prevalensi tertinggi pada ibu hamil. Anemia gizi ini sering akibat kekurangan Fe, asam folat, dan vitamin B12, yang mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, abruptio plasenta, dan cadangan besi yang kurang. Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara anemia pada ibu hamil trimester terakhir dengan bayi lahir sebelum waktunya, bayi lahir dengan BBLR, dan kematian bayi (Soekirman, 2000).

b) Defisiensi Iodium Defisiensi iodium pada ibu hamil dalam trimester I kehamilan merupakan faktor utama terjadinya kretin endemik. Akibat defisiensi iodium lainnya dapat mengakibatkan janin diresorpsi, lahir mati atau bayi lahir lemah dan partus lama (Soetjiningsih, 1998). Soekirman (2000) menambahkan apabila gangguan akibat kurang zat yodium (GAKI) terjadi pada kehamilan tua (lebih dari trimester kedua), dampak buruk yang diakibatkan tidak dapat diperbaiki. Artinya kelainan fisik dan mental yang terjadi pada janin akan menjadi permanen sampai dewasa. Dampak buruk pada janin dan bayi dapat berupa keguguran, lahir mati, lahir cacat, kretin, kelainan b) Defisiensi Iodium Defisiensi iodium pada ibu hamil dalam trimester I kehamilan merupakan faktor utama terjadinya kretin endemik. Akibat defisiensi iodium lainnya dapat mengakibatkan janin diresorpsi, lahir mati atau bayi lahir lemah dan partus lama (Soetjiningsih, 1998). Soekirman (2000) menambahkan apabila gangguan akibat kurang zat yodium (GAKI) terjadi pada kehamilan tua (lebih dari trimester kedua), dampak buruk yang diakibatkan tidak dapat diperbaiki. Artinya kelainan fisik dan mental yang terjadi pada janin akan menjadi permanen sampai dewasa. Dampak buruk pada janin dan bayi dapat berupa keguguran, lahir mati, lahir cacat, kretin, kelainan

c) Defisiensi Zn (Seng) dan Ca (Kalsium) Kekurangan kalori protein dapat menyebabkan anak pendek, sedangkan anemia karena kekurangan zat besi menjadi faktor risiko dominan munculnya defisiensi seng. Interaksi kekurangan besi dan seng diketahui berdampak pada hambatan pertumbuhan tinggi badan sehingga lahirlah anak-anak yang pendek (Khomsan, 2004). Esminger dkk dalam Soekirman (2000) menyatakan bahwa kurang seng menghambat pertumbuhan anak dan remaja. Defisiensi seng dapat mengakibatkan gagal tumbuh, penurunan nafsu makan dan penyembuhan luka yang lambat (Soetjiningsih dan Suandi, 2002). Defisiensi kalsium pada ibu hamil akan mengakibatkan kelainan struktur tulang secara menyeluruh pada janin (Soetjiningsih, 1998).

c. Penyebab Stunting

Stunting merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh berbagai penyebab, baik langsung maupun tidak langsung, serta Stunting merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh berbagai penyebab, baik langsung maupun tidak langsung, serta

Dampak

KURANG GIZI

Penyebab

Penyakit Infeksi langsung

Makan Tidak Seimbang

Sanitasi dan Air

Tidak Cukup

Penyebab Pola Asuh Anak

Bersih / /Pelayanan

Tidak langsung Persediaan

Tidak Memadai Kesehatan Dasar

Pangan

Tidak Memadai

Kurang Pendidikan , Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok Masalah Kurang pemberdayaan wanita di Masyarakat

dan keluarga ,

kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat

Pengangguran, Inflasi, , kurang pangan dan kemiskinan ,

Akar Masalah

( nasional ) Politik

Krisis Ekonomi ,

dan Sosial

Gambar 1. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998).The State of The World’s Children 1998. Oxford Univeesity Press).

d. Tingkatan Stunting

Stunting ditentukan dengan membandingkan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) pada anak-anak dengan populasi pada buku pedoman pertumbuhan WHO-NCHS (2000), dimana anak- anak yang berada di bawah lima persentil atau kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) pada pedoman tinggi badan menurut umur digolongkan stunting, tanpa memperhatikan alasan apapun. Sebagai indikator status gizi, perbandingan pengukuran tinggi badan menurut umur pada anak-anak pada kurva pertumbuhan dapat memberikan hasil yang berbeda antara pengukuran anak-anak sebagai populasi dengan anak-anak sebagai individu. Kenyataannya bahwa seorang anak yang berada di bawah 5 (lima) persentil pada kurva tinggi badan menurut umur dapat memperlihatkan variasi pertumbuhan yang normal dalam sebuah populasi: secara sederhananya, seorang anak pendek mungkin karena kedua orang tuanya membawa gen-gen pendek, dan bukan disebabkan karena gizi yang tidak memadai. Apabila terdapat lebih dari lima persen populasi anak-anak yang diidentifikasi memiliki kurva pertumbuhan tinggi badan menurut umur kurang dari lima persentil, sedangkan pada populasi disebutkan bahwa hasilnya lebih tinggi dari prevalensi yang diperkirakan, maka gizi yang tidak memadai biasanya merupakan alasan yang pertama kali dipertimbangkan. Terjadinya stunting dapat disebabkan karena tidak cukup makan, terlalu banyak

makan makanan yang tidak seimbang (Anonim b , 2008).

Mendez dan Adair (1999) menyatakan tingkatan height-for- age Z-score (HAZ) untuk stunting berdasarkan referensi WHO (2000):

a. Early stunting (stunting tingkat awal), apabila didapatkan hasil HAZ <-2

b. Moderate stunting (stunting tingkat sedang), apabila didapatkan hasil HAZ <-2 dan ≥-3

c. Severe stunting (stunting tingkat berat) apabila didapatkan hasil HAZ <-3

2. IQ (Intelligence Quotient)

a. Pengertian dan Sejarah IQ

Intelligence Quotient atau IQ adalah skor (nilai) yang diperoleh dari beberapa tes terstandardisasi berbeda yang dicoba untuk mengukur kecerdasan. Istilah IQ, merupakan terjemahan dari bahasa Jerman Intelligenze-Quotient, yang ditemukan oleh seorang psikolog Jerman bernama William Stern pada tahun 1912 berupa metode pengukuran kecerdasan anak-anak modern yang diusulkan seperti yang dikembangkan oleh Alfred Binet dan Theodore Simon pada awal abad

ke-20 (Anonim a , 2007).

Skor IQ memiliki hubungan dengan beberapa faktor, seperti morbiditas dan mortalitas (Cervilla, 2004), status sosial orang tua (The American Psychological Association , 1995), dan hal yang lebih penting,

IQ orang tua. Sedangkan pewarisan IQ telah diteliti hampir selama satu abad, tetapi masih meninggalkan kontroversi dan perdebatan mengenai seberapa besar diwariskan, dan bagaimana mekanisme pewarisannya (Devlin, Daniels , Roeder Nature, 1997).

Skor IQ digunakan dalam banyak konteks, sebagai prediktor prestasi pendidikan atau kebutuhan khusus yang digunakan oleh para peneliti sosial yang meneliti distribusi skor IQ pada suatu populasi dan hubungan antara IQ dengan variabel-variabel lain, serta sebagai prediktor prestasi dan hasil kerja (Whalley et al. 2000; Naomi Breslau, Victoria, German, 2006; Laura Mandelli et al. 2006; Debbie Lawlor, Heather Clark, David Leon, 2006).

b. Tes IQ

Tes-tes IQ terdapat beberapa bentuk. Beberapa tes menggunakan satu bentuk pertanyaan atau soal, sedangkan yang lain menggunakan beberapa subtes yang berbeda. Sebagian besar tes menghasilkan skor subtes maupun skor keseluruhan individu. Tes IQ khusus meminta subjek tes untuk menyelesaikan beberapa masalah dalam waktu yang ditentukan di bawah pengawasan. Terdapat berbagai macam bentuk domain pada sebagian besar tes, di antaranya bentuk memori singkat, pengetahuan bahasa, visualisasi ruang dan kecepatan pemahaman. Beberapa tes mempunyai batas waktu total, sebagian mempunyai batas waktu untuk tiap-tiap subtes, sebagian kecil tidak Tes-tes IQ terdapat beberapa bentuk. Beberapa tes menggunakan satu bentuk pertanyaan atau soal, sedangkan yang lain menggunakan beberapa subtes yang berbeda. Sebagian besar tes menghasilkan skor subtes maupun skor keseluruhan individu. Tes IQ khusus meminta subjek tes untuk menyelesaikan beberapa masalah dalam waktu yang ditentukan di bawah pengawasan. Terdapat berbagai macam bentuk domain pada sebagian besar tes, di antaranya bentuk memori singkat, pengetahuan bahasa, visualisasi ruang dan kecepatan pemahaman. Beberapa tes mempunyai batas waktu total, sebagian mempunyai batas waktu untuk tiap-tiap subtes, sebagian kecil tidak

Analisis matematika dari skor subtes individu pada satu tes IQ atau skor dari berbagai macam tes IQ, misalnya, Stanford-Binet , WISC- R , Raven's Progressive Matrices , Cattell Culture Fair III , Universal Nonverbal Intelligence Test, Primary Test of Nonverbal Intelligence , dan sebagainya, dapat diuraikan secara matematika seperti mengukur satu atau bermacam-macam faktor yang spesifik untuk setiap tes (Gottfredson, 1998).

c. Hal-hal yang Dapat Mempengaruhi IQ

1) Heritabilitas atau Pewarisan Berbagai macam penelitian di Amerika Serikat yang dikemukakan oleh Neisser et al. (1995), Plomin, Pedersen, Lichtenstein dan McClearn (1994), dan Thomas Bouchard, David Lykken, Matthew McGue, Nancy Segal, Auke Tellegen (1990)

dalam Anonim a (2007) menemukan pewarisan IQ antara 0,4 sampai 0,8, serta menjelaskan bahwa kurang dari sampai lebih dari

setengah variasi pada IQ di antara anak-anak yang diteliti disebabkan adanya variasi pada gen-gen mereka.

2) Lingkungan Faktor-faktor lingkungan mempunyai peranan dalam menentukan IQ. Hal ini mungkin untuk meningkatkan skor IQ seseorang dengan berlatih, misalnya dengan bermain puzzle secara teratur atau permainan adu strategi seperti catur. Latihan musik pada masa kanak-kanak juga dapat meningkatkan IQ (Schellenberg, 2004). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa latihan dengan menggunakan memori pekerjaan seseorang bisa meningkatkan IQ (Susanne et al. 2002).

3) Lingkungan Keluarga The American Psychological Association 1995 melaporkan Intelligence: Knowns and Unknowns, menyatakan bahwa tidak ada keragu-raguan bahwa perkembangan anak yang normal memerlukan tingkat perhatian minimum. Variabel-variabel seperti sumber daya dan bahasa yang digunakan dalam keluarga berhubungan dengan skor IQ anak-anak (Neisser et al. 1995).

4) Malnutrisi Energi Protein

Suatu penelitian di Guatemala menemukan bahwa pertumbuhan yang jelek selama masa kanak-kanak, begitu juga berat badan lahir rendah, secara negatif berhubungan dengan hasil tes prestasi dan kinerja masa remaja (Pollitt et al. 1993). Penelitian lain meneliti mengenai pengaruh pemberian minuman berprotein dan berenergi tinggi sebagai suplemen makanan pada anak usia 6-

24 bulan. Efek positif dan besar ditemukan pada peningkatan kemungkinan kehadiran/absensi dan kelulusan tingkat pertama, peningkatan nilai dicapai pada usia 13 tahun, peningkatan penyelesaian capaian sekolah dan untuk dewasa usia 25-40 tahun, terjadi peningkatan skor IQ (Stein et al. 2005).

5) Defisiensi Vitamin dan Mikronutrien terhadap IQ

Penyakit anemia akibat kurang zat besi menyebabkan penduduk Indonesia kehilangan 40-80 juta poin IQ. Sementara itu, defisiensi iodium melenyapkan 150 juta poin IQ (Khomsan, 2006). Kanarek dkk dan Politt dkk dalam Soekirman (2000) menjelaskan dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara Anemia Gizi Besi (AGB) dan gangguan perkembangan dan fungsi otak serta perilaku kognitif. Kekurangan zat besi karena anemi mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan/kematangan sel otak serta menghambat produksi dan pemecahan zat senyawa transmiter yang diperlukan untuk mengantar rangsangan pesan dari satu sel neuron ke neuron yang lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja otak. Soekirman (2000) menambahkan dari banyak penelitian, antara lain di Mesir, India, Indonesia, Thailand, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak sekolah yang anemi, perkembangan

proses

psikomotoriknya berkurang setara dengan lima sampai sepuluh nilai IQ.

6) Otak dan IQ Pada tahun 2004, Richard Haier, menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk memperoleh gambar struktur otak pada 47 orang dewasa normal yang juga mengambil tes IQ standard. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa kecerdasan manusia pada umumnya tampak didasarkan pada lokasi dan volume jaringan grey matter di otak. Distribusi regional grey matter pada manusia sangat bersifat pewarisan. Penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa hanya sekitar enam persen grey matter

otak yang berhubungan dengan IQ (Anonim a , 2007).

7) Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa rata-rata IQ pria melebihi wanita sekitar 3-4 poin (Douglas dan Rushton; Lynn dan Irwing, 2004).

8) Bahan Kimia Penggunaan beberapa produk pemutih kulit, yang terkenal di kalangan wanita Asia, memiliki efek merugikan terhadap IQ. Produk pemutih kulit, sering berisi bahan kimia toksik, seperti merkuri dan hydroquinone sebagai bahan aktifnya (Counter, 2003; Heyward dan Georgia, 2005). Beberapa penelitian menemukan 8) Bahan Kimia Penggunaan beberapa produk pemutih kulit, yang terkenal di kalangan wanita Asia, memiliki efek merugikan terhadap IQ. Produk pemutih kulit, sering berisi bahan kimia toksik, seperti merkuri dan hydroquinone sebagai bahan aktifnya (Counter, 2003; Heyward dan Georgia, 2005). Beberapa penelitian menemukan

9) Tembakau Hasil penelitian mengenai hubungan antara lingkungan paparan asap tembakau, yang diukur dengan biomarker darah, dengan kemampuan kognitif pada anak-anak dan remaja usia 6-16 tahun di Amerika Serikat, menemukan adanya hubungan antara paparan dengan defisit kognitif, bahkan pada tingkat paparan yang sangat rendah (Kimberly Yolton et al. 2005).

10) Stress Teori Clancy Blair (2006) menjelaskan bahwa stres pada awal masa pertumbuhan dapat mempengaruhi perkembangan otak dan menyebabkan efek negatif. Paparan kekerasan pada masa pertumbuhan dihubungkan dengan prestasi sekolah dan IQ yang rendah pada semua ras. Paparan kekerasan dan trauma menyebabkan penurunan IQ sebesar 7,5 poin, penurunan prestasi membaca sebesar 9,8 poin. Kekerasan dapat memberikan dampak negatif pada IQ, atau IQ bersifat protektif terhadap kekerasan, mekanisme dan arah penyebabnya tidak diketahui (Virginia et al. 2002).

11) Penyakit Infeksi Tropis Malaria menyerang 300-500 juta orang setiap tahun, sebagian besar pada anak-anak di bawah 5 (lima) tahun di Afrika, menyebabkan anemia luas selama periode perkembangan otak dan merusak otak secara langsung karena malaria serebral, dimana pada anak-anak lebih rentan (Boivin, 2002; Holding dan Snow, 2001).

3. Raven's Progressive Matrices

Raven’s Progressive Matrices (sering disebut dengan Raven’s Matrices ) merupakan tes pilihan ganda tentang penalaran abstrak, yang mula-mula dikembangkan oleh Dr. John C. Raven pada tahun 1936 (Raven, 1958). Pada setiap jenis tes, peserta diminta untuk mengidentifikasi segmen yang hilang, yang diperlukan untuk melengkapi pola yang lebih besar. Banyak item yang dibuat dalam bentuk matriks berukuran 3X3 atau 2X2, yang akhirnya diberi nama matrices.

Menurut Raven dan Court (2003) terdapat 3 (tiga) bentuk matriks yang berbeda untuk peserta dengan kemampuan yang berbeda pula:

1) Standard Progressive Matrices Bentuk ini merupakan bentuk asli dari matrices yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1938. Bukletnya meliputi lima set (A-E), yang masing-masing terdiri 12 item (misalnya, A1-A12), dengan item-item dalam satu set semakin meningkat kesulitannya, sehingga membutuhkan kapasitas kognitif yang lebih besar untuk 1) Standard Progressive Matrices Bentuk ini merupakan bentuk asli dari matrices yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1938. Bukletnya meliputi lima set (A-E), yang masing-masing terdiri 12 item (misalnya, A1-A12), dengan item-item dalam satu set semakin meningkat kesulitannya, sehingga membutuhkan kapasitas kognitif yang lebih besar untuk

2) Colored Progressive Matrices Didesain untuk anak-anak yang lebih muda, dan orang-orang dengan kesulitan belajar tingkat sedang dan berat. Tes ini terdiri atas

12 item yang disisipkan di antara dua, seperti Ab. Sebagian besar item disajikan dengan latar belakang berwarna supaya tes tersebut dapat menstimulasi peserta secara visual. Namun, item yang paling akhir pada set B disajikan secara hitam-putih. Apabila peserta memiliki kemampuan lebih, maka peralihan ke set C, D, dan E pada standard matrices dihilangkan (Raven, 1958).

3) Advanced Progressive Matrices Bentuk matriks yang diperbaharui terdiri 48 item, disajikan dalam 12 satuan (set I); sedangkan yang lain dalam 36 satuan (set II). Item-item disajikan secara hitam-putih dengan latar belakang putih, dimana tiap set dibuat menjadi semakin sulit. Item-item ini tepat untuk remaja dan dewasa yang mempunyai tingkat kecerdasan di atas normal (Raven, 1958).

4. Keluarga Miskin (Gakin)

a. Kriteria keluarga miskin menurut BPS

BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang.

2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8) Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

9) Hanya membeli 1 (satu) stel pakaian dalam 1 (satu) tahun.

10) Hanya sanggup makan sebanyak 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam 1 (satu) hari.

pengobatan di Puskesmas/Poliklinik.

11) Tidak sanggup

membayar

biaya

12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani, dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,00 perbulan.

13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD (Sekolah Dasar)/hanya SD.

14) Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,00; sepeti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

(Rusmana, 2005)

b. Kriteria keluarga miskin menurut BKKBN

Kriteria BKKBN lebih menekankan pada keluarga sebagai kesatuan individu, bukan sebagai unit ekonomi seperti yang dilakukan oleh BPS. Kriteria yang dipakai menunjuk pada kesejahteraan secara kualitatif bukan kemiskinan secara kuantitatif.

Kriteria keluarga miskin berdasarkan BKKBN yaitu keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi. Enam indikator penentu kemiskinan tersebut adalah:

1) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih

2) Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/ sekolah dan bepergian

3) Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah

4) Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor

5) Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru

6) Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni (BKKBN, 2005)

B. Kerangka pemikiran Penyebab

Penyebab Tidak

Langsung: Langsung:

STUNTING

Pertumbuhan dan Perkembangan Otak

SKOR IQ

Keterangan : Genetik, Penyakit Infeksi, Lingkungan, Jenis kelamin

: mempengaruhi : Variabel yang diteliti

:Variabel yang tidak diteliti

C. Hipotesis

Ada hubungan antara stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional untuk mencari hubungan antar variabel risiko dan efek (Taufiqurrahman, 2004). Pada penelitian ini, pendekatan studi yang digunakan adalah cross sectional.

B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di lima (5) sekolah dasar yang ada di Kecamatan Wedi dan Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yaitu Sekolah Dasar Negeri 1 Melikan, Sekolah Dasar Negeri 2 Melikan, Sekolah Dasar Negeri 1 Brangkal, Sekolah Dasar Negeri 2 Brangkal, Sekolah Dasar Negeri 1 Paseban.

C. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, jumlah sampel sebesar 30 subjek penelitian, karena merupakan sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian yang datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat (rule of thumb) (Murti, 2007). Dalam penelitian ini diambil 30 subjek yang menderita stunting , dan 30 subjek dengan gizi baik/normal/non stunting, dengan kriteria:

1. Kriteria Inklusi:

a. Anak sekolah dasar usia 9-12 tahun

b. Menderita stunted baik early, moderate, severe berdasarkan diagram height-for-age Z-score (HAZ) WHO (2000)

c. Dari keluarga miskin sesuai dengan kriteria keluarga miskin menurut BKKBN.

2. Kriteria Ekslusi:

a. Anak sekolah dasar usia 9-12 tahun yang bersekolah selain di 5 sekolah dasar sampel.

b. Anak menderita lumpuh, penyakit infeksi

c. Menderita retardasi mental

d. Over weight dan obesitas

e. Dari keluarga miskin sesuai dengan kriteria keluarga miskin menurut BKKBN, tetapi anak tersebut bertempat tinggal di luar lokasi penelitian atau bertempat tinggal di lokasi penelitian, tetapi tidak bersekolah di sekolah dasar sampel.

D. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling, yang berarti memilih kasus-kasus dari kelompok/strata/subpopulasi yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai pencuplikan (Murti, 2007). Dalam penelitian ini diambil 2 (dua) kecamatan (Kecamatan Wedi dan Kecamatan Bayat). Kemudian dari 2 (dua) kecamatan tersebut diambil 3 (tiga) desa di

Kecamatan Wedi dan 2 (dua) desa di Kecamatan Bayat. Masing-masing desa diambil 1 (satu) sekolah dasar.

E. Rancangan Penelitian

Populasi

Stratified random

Sub populasi

sampling

Sub populasi

Stratified random

Sub populasi sampling Sub populasi

Screening (miskin) Screening (miskin)

Stunting (total) Non Stunting (total)

Simple random sampling

Sampel Sampel

Tes Raven Tes Raven

Independent t test

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas (independent) : stunting

2. Variabel terikat (dependent) : skor IQ

3. Variabel perancu : genetik, penyakit infeksi, lingkungan, umur, jenis kelamin, sosial ekonomi.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Stunting Suatu keadaan gizi kurang sehingga terjadi kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur) yang sesuai dengan diagram WHO-NCHS (2000), baik dalam kriteria early, moderate, severe.

Jenis data: rasio

2. IQ IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika dan rasio anak. Hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika (Prismasmanda, 2005). Pengukuran skor IQ pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Raven’s Colored Progressive Matrices (Raven’s Matrices).

Jenis data: interval

H. Instrumentasi Penelitian

1. Microtoise, dengan ketelitian 0,1 cm

2. Diagram tinggi badan menurut umur (TB/U) WHO-NCHS (2000)

3. Colored Progressive Matrices dari Raven (Raven’s Matrices), laptop, LCD proyektor, layar (untuk tes gambar Raven’s Matrices)

4. Lembar jawab tes Raven

5. Tes IQ menggunakan Raven’s Colored Progressive Matrices dengan interpretasi hasil:

Tabel 1. Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven

IQ Diskripsi Lama Diskripsi Raven Skor (100)

Retardasi mental sangat

10 Idiot Kurang dari 1

berat

25 Idiot

Retardasi Mental Berat

Kurang dari 1

40 Imbecile Retardasi Mental Sedang Kurang dari 3

55 Moron

Retardasi Mental Ringan

Kurang dari 13

70 Garis Batas

Kurang dari 15

Kurang dari 16 100

85 Dull Normal

Di bawah Rata-rata

Di Atas Rata-rata

Sangat Superior

95 - 98.5

98.5 - 100 Sumber: Raven, 1995

145

Sangat Sangat Superior

I. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows 15 (SPSS, Chicago, III, USA), sedangkan untuk menentukan hubungan antara stunting dan skor IQ menggunakan Independent t test, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara tingkatan stunting terhadap skor IQ menggunakan uji One Way ANOVA.

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian mengenai hubungan stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten dilaksanakan di Kecamatan Wedi dan Kecamatan Bayat pada November 2008 sampai Januari 2009. Setelah dilakukan pengambilan sampel secara stratified random sampling , diperoleh 5 (lima) sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian, observasi dan pengukuran tinggi badan pada siswa-siswi dari 5 (lima) sekolah dasar didapatkan populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jumlah 274 subjek, sebanyak 239 subjek menderita stunting dan 35 subjek non stunting/normal. Sesuai dengan rule of thumb, maka dari sampel tersebut diambil sebanyak 30 sampel secara simple random sampling (untuk masing-masing stunting dan non stunting) untuk kemudian disertakan dalam penghitungan statistik.

1. Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian dideskripsikan berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkatan stunting. Berikut adalah distribusi frekuensi subjek berdasarkan ketiga karakteristik tersebut.

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin No.

Total Kelamin

Status Gizi 32 Status Gizi (normal+ stunting)

60 100 Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 60 subjek penderita stunting dan normal yang diobservasi, jumlah subjek berjenis kelamin laki- laki dan perempuan saling berkebalikan. Selain itu, dapat diketahui bahwa kejadian stunting lebih banyak terjadi pada subjek berjenis kelamin laki- laki, yaitu sebanyak 63,33%. Hal ini perlu kajian khusus tentang bias gender terhadap kejadian stunting anak usia 9–12 tahun.

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Rentang Umur No.

Umur (tahun,

Total bulan)

Normal

Stunted

(normal+ stunting)

1. 9 tahun - 9 tahun,

15 25 tahun, 11 bulan

2. 10 tahun - 10

3. 11tahun - 11 tahun,

11 bulan

4. 12 tahun

60 100 Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 60 subjek penderita stunting dan non stunting yang diobservasi, sebagian besar berada pada rentang umur 11 tahun-11 tahun,11 bulan yaitu sejumlah 21 sampel (35%). Hal ini juga berlaku baik pada subjek yang menderita stunting maupun non stunting/ normal, masing-masing 11 subjek (36,67%), dan 10 subjek (33,33%).

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkatan Stunting No.

Tingkatan Stunting

1. Ringan (Early)

2. Sedang (Moderate)

3. Berat (Severe)

30 100 Sumber: Data Primer, Januari 2009

Jumlah

Dari Tabel 4, dapat diketahui bahwa terdapat distribusi sampel yang merata, baik early, moderate, severe masing-masing berjumlah 10 subjek (33,33%).

2. Hasil Tabulasi Kuesioner BKKBN (2005)

Data subjek mengenai kriteria keluarga miskin berdasarkan BKKBN serta rata-rata dan standar deviasi skor IQ dapat dideskripsikan dalam bentuk tabel distribusi di bawah ini:

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kuesioner BKKBN (yang memberi tanda ( √) pada kolom “tidak”) No.

Kuesioner

Normal Stunting

1. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan

6 14 dua kali sehari atau lebih

2. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda

6 7 untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian

3. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah

4. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan

12 27 daging/ikan/telor

5. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga

13 16 memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru

6. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter

23 24 persegi untuk tiap penghuni

Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 5 tersebut, tampak bahwa subjek yang menderita stunting lebih banyak memberikan jawaban “tidak” pada item kuesioner dari pada subjek non stunting secara keseluruhan.

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Skor IQ Menurut Interpretasi Raven

No. Deskripsi Raven Skor IQ

1. Di Bawah Rata-

3. Di Atas Rata-Rata

5. Sangat Superior

- - Superior

30 100 Sumber: Data Primer, Januari 2009

Jumlah

Dari Tabel 6, dapat diketahui bahwa pada subjek yang menderita stunting dan subjek non stunting memiliki distribusi sampel berdasarkan skor IQ yang sama pada kategori “di atas rata-rata”. Di samping itu, didapatkan pula informasi perolehan skor IQ tertinggi terdapat pada subjek non stunting pada kategori “sangat superior”.

Tabel 7. Rata-Rata dan Standar Deviasi Skor IQ Berdasarkan Kelompok IQ Menurut Interpretasi Raven

No. Kelompok IQ

Rata-rata Standar Raven

7. Tak terkategorikan

9 41,76 7,64 (16-50)

60 65,33 17,27 Sumber: Data Primer, Januari 2009

Total

Dari Tabel 5, total rata-rata skor IQ pada 60 subjek sebesar 96,33. Rata-rata tertinggi terdapat pada kelompok IQ 95-98,5 sebesar 96,63, sedangkan rata-rata terendah pada kelompok IQ kurang dari 16 sebesar 15,33. Dari tabel tersebut, dapat juga diketahui jumlah subjek terbanyak terletak pada kelompok IQ 61-84, dengan rata-rata 72,21, serta jumlah subjek terkecil pada kelompok IQ 15,33 dengan rata-rata 15,33.

B. Hasil Analisis