Film sebagai media propaganda politik di Jawa pada masa pendudukan Jepang 1942-1945

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

Widiatmoko

C.0502055

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

FILM SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA POLITIK DI JAWA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945

Disusun oleh:

WIDIATMOKO C0502055

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Drs. Andreas Susanto, M.Hum.

NIP 19591129 198803 1001

Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum.

NIP 19540223 198601 2001

FILM SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA POLITIK DI JAWA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945

Disusun oleh:

WIDIATMOKO C0502055

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal……………..

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua : Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum ……………………..

NIP 19540223 198601 2001

Seketaris : Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA ……………………..

Penguji I : Drs. Andreas Susanto, M.Hum ……………………..

NIP 19591129 198803 1001

Penguji II : Drs. Suharyana, M.Pd .................................. NIP 1958011 198603 1002

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A. NIP 19530317 198506 1001

PERNYATAAN

Nama : Widiatmoko NIM : C0502055

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal- hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut.

Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan,

Widiatmoko

MOTTO

Dua Hal Yang Di sia-sia kan Manusia Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. : Rasulullah Saw pernah bersabda, "ada dua anugerah yang disia-siakan manusia: kesehatan dan waktu luang". (Sahih Bukhari)

Ketahuilah, bahwa hati itu bagaikan cermin, memantulkan bayangan dari semua yang ada di hadapannya. Karena itu manusia harus menjaga hatinya, sebagaimana

ia menjaga kedua bola matanya (Al Habib Muhammad bin Abdullah Al-Idrus)

Apakah anda takut dengan masa depan? “Saya ragu Pak” jawab Ku Sedangkan dengan Bapak sendiri, Apakah Bapak takut dengan masa depan? “Tidak” jawabnya. “Karena didalam diri Saya ada banyak Sejarah” ia meneruskan

jawabannya (Dialog si penakut)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan pada : Ø Ayah dan Ibu tercinta

kesabaran dan ke ikhlasan mu Membuat Ku selalu menangis

Ø Kakak dan Adik-adik tercinta Tawa keceriaan yang tak

akan habis

Ø Keluarga Besar ku di situlah surga kecil ku

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Selama proses penyususnan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik dalam bentuk materi maupun dorongan moral yang besar artinya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, serta selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran, pengarahan, motivasi dari awal perkuliahan sampai akhir studi dan yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

4. Drs. Andreas Susanto, M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi, yang memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.

6. Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Monumen Pres, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran yang telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia.

7. Staf bagian Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta, Staf Perpustakaan Nasional, Staf Japan Foundation, Staf Pusat Perfilman Nasional, dan Pusat Perfilman, Dokumentasi Usmar Ismail, dan Perum Pusat Film Nasional yang telah memberikan ijin dan kemudahan dalam melakukan penelitian.

8. Palm Camp. Cramat.

9. Forum Lenteng Budi Wahyono, Nurul Hidayat, Winanto, Hendra.

10. Teman-teman Angkatan 2002. Empat Serangkai Oriza Vilosa, Ponco Suseno, Stevanus Yugo H (Crew Toko Buku dan Rumah Baca Bumi Manusia).

11. Asrama ceria.

12. LPM Kalpadruma.

13. Garba Wira Bhuana.

14. Jong Grha Dede, Widita, Panji.

15. Delapan Penjuru Muni Roh, Pras, Dharma, Iwan T.

16. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulisan mendapat imbalan setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Segala saran dan kritik yang bersifat membangun penulis terima dengan tangan terbuka. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Surakarta, April 2010

Penulis

DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG

Nama Arti

Doméi Nama kantor berita Jepang Éiga Haikyû Sha Perusahaan Distribusi Film; disingkat menjadi Eiha Éiga Hô Undang-Undang Film Éihai lihat Eiga Haikyu Sha Gunséibu Badan Pemerintahan Militer Gunséikan Kepala Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa Gunséikanbu Markas Besar Pemerintahan di Jawa Gunshiréibu Komandan Militer Hôkokukai lihat Nihon Bungaku Hokokukai Hôsô Kanrikyoku Biro Pengawas Penyiaran di Jawa Jawa Éiga Kôsha Korporasi Umum Film di Jawa Jawa Hôkôkai Himpoenan Kebaktian Rakjat di Djawa Jawa Shinbunkai Gaboengan Persoeratkabaran di Djawa Jawa Shinbunsha Perusahaan Surat Kabar di Jawa kamishibai Pergelaran cerita bergambar yang teksnya

dibacakan oleh seorang tukang Kéimin Bunka Shidôsho Poesat Keboedajaan; disingkat menjadi Keimin Kén’étsuhan Barisan Sensor Militer Naikaku Jôhôbu Bagian Penerangan Kabinet Naikaku Jôhôkyoku Dinas Penerangan Kabinet; disingkat menjadi Johokyoku Nichiéi lihat Nihon Eiga Sha Nihon Bun’gaku Hôkokukai Perhimpunan Sastrawan untuk Pengabdian pada

Negara; disingkat menjadi Hokokukai Nihon Bun’géika Kyôkai Lembaga Sastrawan Jepang Nihon Éiga Sha Perusahaan Film Jepang; disingkat menjadi Nichiei Pén Butai “Pasukan Pena” Séndénbu Bagian Propaganda di Jawa

Séndénhan Barisan Propaganda di Jawa Taiséi Yokusan Kai Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekais

Daftar Nama Orang Jepang

Nama Peran

Abé, Tomoji Novelis Anggota Sendehan Adachi, Hisayoshi Pimpinan Sendenbu Asano, Akira Kritikus; Anggota Sendenhan Békki, Atsuhiko Geolog; Kepala Kantor Riset Budaya Daerah Selatan

Nanpo Bunka Kenkyushitsu di Jawa Gunji, Jirômasa Novelis; Anggota Sendenhan Hirano, Kén Kritikus Tenaga Honorer di Johokyoku Ichiki, Tatsuo Penerjemah; Anggota Sendehan; Anggota Komisi

Penyempurnaan Bahasa Indonesia Iida, Nobuo Penggubah lagu; Anggota Sendehan Imamura, Hitoshi Komando Pasukan ke-16 Inoué, Shirô Kepala Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku Ishimoto, Tôkichi Kepala Cabang Eihai di Jawa Kikuchi, Kan Novelis/Penulis Naskah Drama; Ketua Nihon

Bungeika Kyokai ; Pengurus Hokokukai Kitahara, Takéo Novelis; Anggota Sendenhan Koiso, Kuniaki Perdana Menteri Kôno, Takashi Pelukis; Pembimbing Bagian Seni Rupa Keimin Konoé, Fumimaro Perdana Menteri Kumé, Masao Novelis; Pengurus utama rangkap Direktur

Administrasi Hokokukai

Machida, Kéiji Pemimpin Sendenhan Mitsuhashi, Tésséi Kepala Cabang Nichie di Jawa Miyamoto, Shizuo Staf Strategi Pasukan Ke-16 Nakatani, Yoshio Penerjemah; Anggota Sendenhan

Ôé, Kénji Novelis; Anggota Sendehan Okazaki, Séizaburô Kepala Staf Pasukan ke-16 Rangkap

Jawa Gunseikan

Ôki, Atsuo Penyair; Anggota Sendenhan Ono, Saséo Komikus; Anggota Sendenhan Ôya, Sôichi Jurnalis; Anggota Sendehan; Pemimpin Pengurus Jawa Eiga

Kosha; Kepala Kantor Besar Keimin rangkap Pembimbing Bagian Film Keimin Ozaki, Shirô Novelis; Pengurus tetap Hokokukai Shimizu, Hitoshi Propagandis Professional; Kepala Seksi

Propaganda di Sendehan/Sendenbu Shimizu, Norio Filsuf; Anggota Sendenhan Takéda, Rintarô Novelis; Anggota Sendehan; Pembimbing Bagian

Kesusastraan Keimin

Taniguchi, Gorô Kepala Kantor Besar Jawa Shinbunkai Térauchi, Toshikazu Komando Tertinggi Pasukan Selatan Tôjô, Hidéki Perdana Menteri Tomisawa, Uio Novelis; Anggota Sendenhan Yasuda, Kiyoo Dramawan; pembimbing Bagian Seni Sandiwara

dan Seni Tari Keimin

Yokoyama, Ryûichi Komikus; Anggota Sendenhan

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Perbandingan Jumlah Bioskop Th 1937 dan Th 1943 di Jawa……….147 Tabel 2 Pembagian Bioskop Dalam 4 Tingkat di Masa Pendudukan Jepang....148

ABSTRAK

Widiatmoko . C0502055. 2010. Media Film Sebagai Alat Propaganda Film Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 . Skripsi Jurusan Sastra Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Perumusan masalah dalam penelitian ini meliputi (1) Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa, (3) Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film diJawa, (3) Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Adapun data primer yang diperoleh melalui studi dokumen yang berupa arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Japan Foundation. Data primer itu ditunjang dengan wawancara dengan beberapa orang yang berhubungan dengan tema ini. Adapun data sekunder didapat dari buku, artikel dan makalah.

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Propaganda merupakan salah satu strategi jitu yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintah Jepang di Jawa untuk menumbuhkan perasaan dan sikap antisipasi terhadap bangsa Barat. Propaganda juga dimaksudkan untuk membangun simpati masyarakat Indonesia terhadap Jepang. Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai media tersebut secara positif, terutama ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran dan penglihatan” (audio visual) seseorang. Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Sedangkan untuk kalangan terpelajar hal ini tidak berpengaruh karena sudah terbiasa akrab dengan berbagai jenis hiburan dan kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film.

ABSTRAK

Widiatmoko . C0502055. 2010. Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 . Thesis Of History Department Of Fine Arts And Literature Faculty. Sebelas Maret University.

Problem statements of this research consist of (1) Why does Japan employ movies as a means of political propaganda. (2) How is its implementation of Japan’s propaganda by making use movies in Java, (3) How are Javanese’s responses toward Japan’s propaganda through movies.

Objectives of this research are (1) To reveal Japan’s reasons why movies are employed as a means of political propaganda, (2) To reveal its implementation of Japan’s propaganda by making use movies as their medium in Java, (3) To reveal Javanese’s responses toward Japan’s propaganda by making use movies as their medium.

Research method employed is an historical approach, so that procedures applied in this research include heuristically approach, resource’s critic both internal and external, interpretation, and historiography. In addition, primary data obtained are through documentary study which is in form of archives from Arsip Nasional Republik Indonesia and Japan Foundation. Some persons which are relevant to this topic support the primary data as well. Besides, secondary data are obtained from books, articles, papers, etc.

Based on analysis, it is concluded that propaganda is one of proper strategies chosen and applied by Japan’s government in Java to raise anticipation’s actions and feelings toward Western. Propaganda is aimed at building sympathy among Indonesians to Japan. Mainly, Japan’s propaganda during war era is characterized by the use of such medium in positive ways, to be the most effective way to influence uneducated and illiteracy society, which are passionate to entertainment. Movies are believed to express motion pictures which are easy and understandable to the viewers so well. In other side, for educated persons, it is not influential way since they are accustomed to sorts of entertainment, while, they own broader knowledge than the uneducated one. It is because they have an easy information access and are able to interpret more rationally and accurately concerning to messages of the movies.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia, maka dimulailah kekuasaan baru yang dipegang oleh Jepang. 1 Dengan

kekuasaan kependudukan Jepang ini, mereka segera menyusun pemerintahan di daerah yang harus membantu keinginan dan misi Jepang, yakni tercapainya kemenangan perang bagi Jepang. Sifat pemerintahan ini lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan pendudukan dari pada pemerintahan jajahan, sebab perang masih berlangsung dengan sengitnya. Adapun bentuk pemerintahannya adalah pemerintahan militer. 2

Pada masa pemerintahan militer ini, kebijakan demi kebijakan yang diambil senantiasa didasarkan atas perkembangan perang yang sedang terjadi. Secara garis besar, kebijakan yang dibuat pemerintahan militer Jepang meliputi tiga tahap, yaitu: tahap pertama (1942-1943) adalah tahap persuasif, pada tahap ini jepang membuat dan memberikan janji-janji yang samar-samar mengenai konsesi-konsesi politik agar bangsa

1 Onghokham, 1989, Runtuhnya kekuasaan Di Hindia Belanda, Jakarta: PT.Gramedia, hlm 220.

2 Bayu Suryaningrat, 1981, Sejarah Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta: Dewaruci Press, hlm 68.

Indonesia bersedia bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Tahap kedua (1943-1944) adalah tahap partisipasi dan mobilisasi, pada tahap ini orang- orang Indonesia dilibatkan dalam jabatan-jabatan pada kantor-kantor pemerintahan sebagai pendamping atau penasehat pejabat bagi kepentingan pemerintahan pendudukan Jepang. Tahap ketiga (1944-1945) adalah tahap peningkatan mobilisasi dengan memberikan suatu janji-janji politik tentang kemerdekaan bagi bangsa

Indonesia. 3

Secara operasional pemerintahan pendudukan Jepang dilaksanakan oleh kepala staf yang disebut Guenseikan. Guenseikan ini membawahi departemen-departemen (bu) yang terdiri atas somubu (Departemen Urusan Umum), Naimubu (Departemen Dalam Negeri), Sangyobu (Departemen Perekonomian), Zaimubu (Departemen Keuangan), Shidobu (Departemen Kehakiman), Keimubu (Departemen Kepolisian), Kotsubu (Departemen Lalu Lintas), Sendenbu (Departemen

Propaganda). 4

Dalam rangka memperlancar pelaksanaan kebijakan mereka di wilayah pendudukan Jawa, Pemerintahan militer memerlukan alat untuk mengambil hati rakyat, dan alat inilah yang

3 Pemda Kotamadya TK. II, 1981, Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan 1945-1950 , Bandung, hlm 57.

4 Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta:Balai Pustaka, hlm 7.

digunakan sebagai alat propaganda. Alat ini disalurkan ke lapangan- lapangan yang jauh lebih luas dari pada lapangan kemiliteran, oleh karena itu organisasi propaganda-propaganda yang dibentuk jepang mempunyai tugas menyalurkan pesan ke lapangan masyarakat umum, sampai ke lapangan penghiburan dan kebudayaan.

Propaganda adalah penyiaran penerangan yang disiarkan dengan maksud mencari pengikut atau bantuan. Propaganda merupakan kata yang tidak asing lagi di kalangan orang Indonesia, terutama yang terlibat langsung dalam masa pendudukan Jepang. Perkataan ini memang sangat populer pada waktu Jepang menduduki Indonesia, dan merasuki hampir di segala aspek kehidupan.

Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negeri- negeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukanlah suatu hal yang baru timbul di dalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa terpilih” menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk menaklukan dan menguasai negeri orang. Dua ribu enam ratus tahun yang lalu Djinanmu Tennc, kaisar Jepang yang pertama, disebut-sebut sebagai raja pemberi “sabda suci” Hakko Ichiu, yang bertujuan menaruh ke delapan penjuru arah mata

angin di bawah panji-panji dari Nippon. 5 Bahkan rencana tertentu di dalam politik penaklukan Jepang, seperti rencana “Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur

Raya”, dapat dicari kembali pada akhir abad-16. Jika Toyomi Hideyoshi, si

5 M.A. Aziz, 1995, Japan’s Colonialism and Indonesia, The Hague: M. Nijhoff, hlm 3.

Napoleon negeri Jepang itu, menyerang Korea dalam tahun 1592 sebagai batu loncatan untuk menguasai Tiongkok, tidak hanya bertujuan di situ saja. Politik Toyotomi Hideyoshi ialah suatu rencana kerajaan Asia yang besar dengan Tiongkok, Jepang dan Korea sebagai kelompok kesatuan yang pertama dan kemudian diperluas dengan wilayah-wilayah Asia lainnya, sampai-sampai

kedaerah Nanyo atau daerah lautan selatan. 6 Dalam melakukan ekspansi dan imperialisnya, Jepang tidak hanya

menjalankannya secara membabi buta tanpa diiringi sikap moral dan maksud baik dari Jepang. Mereka selalu mengatakan hal-hal seperti: “ingin membebaskan bangsa asia dari penjajahan barat” atau yang lainnya seperti “menciptakan Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur Raya terhadap negara-negara yang ditaklukannya”. Hal ini dilakukan untuk menciptakan citra dikalangan rakyat jajahan, bahwa sebenarnya Jepang mempunyai maksud yang baik dan cita-cita yang besar untuk kebesaran bangsa Asia.

Dengan bantuan para propagandis yang bersama-sama datang dengan tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan yang muluk-muluk. Semboyan-semboyan ini umumnya berdasarkan pada politik rasial. Kita masih ingat propaganda mereka di Indonesia yang berbunyi “Nippon-Indonesia sama- sama” dan “Asia untuk Orang Asia”. Semboyan ini sangat mempengaruhi orang- orang Indonesia, baik tua maupun muda di kala itu, karena tidak banyak orang Indonesia yang mengenal dan mengetahui seluk beluk pemerintah pendudukan Jepang mendarat di pulau Jawa, mereka juga sering menyebut persamaan Nippon

6 Ibid., hlm 6.

dan Indonesia. Tentu saja hal tersebut sangatlah berkesan di hati orang-orang Indonesia pada mulanya.

Hal yang paling utama dan paling giat yang dilakukan Jepang selama mereka menduduki apa yang mereka namakan daerah selatan, ialah men”Jepang”kan penduduk, terutama angkatan mudanya. Men”Jepang”kan penduduk berarti melakukan penjajahan politik, ekonomi, dan budaya, sistem ini sudah terbukti bagi Jepang di negeri-negeri yang sudah jauh lebih dahulu dikuasainya seperti: Taiwan, Korea, dan Mancuria. Sistem penjajahan yang demikian membuktikan bahwa penduduk yang sudah diJepangkan lebih dahulu, mudah dikerahkan untuk berbagai macam usaha peperangan guna kebesaran negeri Matahari Terbit.

Sebelum Jepang datang ke Indonesia usaha-usaha untuk menarik simpati orang Indonesia sudah pernah dilakukan. Seperti, diundangnya para tokoh pergerakan, baik pergerakan nasional maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk melihat-lihat keberhasilan yang telah dicapai Jepang. Kepada kaum pelajar, Jepang memberikan beasiswa bagi mereka yang ingin menuntut ilmu di sana.

Pada masa pergerakan nasional banyak orang Jepang yang mencari nafkah di Hindia Belanda sebagai pedagang, Mereka dikenal sebagai tuan-tuan toko. Sikap mereka terhadap orang-orang Indonesia yang sangat ramah, menjadikan mereka mendapat simpati dari masyarakat. Maka tak heran ketika Jepang datang, sambutan yang hangat pun diberikan penduduk begitu antusias.

Propaganda terus dilakukan. Untuk lebih memudahkan infiltrasi terhadap mereka dan untuk melaksanakan skema propaganda itu ke dalam operasi dilakukan dengan berbagai bantuan alat-alat Propaganda terus dilakukan. Untuk lebih memudahkan infiltrasi terhadap mereka dan untuk melaksanakan skema propaganda itu ke dalam operasi dilakukan dengan berbagai bantuan alat-alat

Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai media tersebut secara positif, terutama ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran

dan penglihatan” (audio visual) seseorang. 7 Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi

penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan.

Pada masa Jepang sendiri, film digunakan sebagai alat propaganda politik. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini menyebabkan film dengan mudah mendapatkan banyak penggemar. Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang. Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat propaganda di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaan- kebijaksanaan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film di

7 Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945 , Jakarta: PT. Gramedia, hlm 237.

Jawa masa pendudukan merupakan tiruan yang digunakan di Jepang masa perang melawan Cina tahun 1930-an. 8

Segera setelah Angkatan Darat Ke-16 mengambil alih Jawa, staf Sendenbu bersama-sama pihak militer menyita semua perusahaan film, kemudian pada bulan Oktober 1942, mereka membentuk suatu organisasi sementara untuk menjalankan kebijakan film. Organisasi ini disebut Djawa Eiga Kosha (Korporasi Film Djawa) dan dikepalai oleh Oya Saichi, seorang penulis terkenal Jepang yang dipekerjakan sebagai anggota staf Sendenbu.

Di Jawa, secara khusus dikembangkan produksi film yang bermula pada bulan September 1942, setelah korporasi film Jawa membuka studio mereka di Jatinegara, dan setelah bulan April 1943 dilanjutkan oleh Nicchi-ei (perusahaan film Jepang). Pada tahun 1943 perusahaan film Jepang memutar film-film produksinya sendiri. Film-film yang diputar biasanya berjangka waktu pendek, dan menggunakan kata-kata Indonesia serta bertema propaganda seperti film “Torpedo Tempaan Djiwa” yang bercerita tentang kejadiaan sebelum pecahnya

perang asia timur raya. 9 Film-film yang dibuat di Jawa, disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lokal. Film-film ini merupakan propaganda dan bersifat instruktif.

Salah satu contohnya adalah film “Neppu” yang berisi tentang anjuran agar giat bekerja di pabrik untuk dapat menghancurkan Amerika dan Inggris guna

kemenangan tanah air. 10 Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah pendudukan di mana penduduk Jawa akan dikerahkan untuk turut serta dalam peperangan. Untuk

8 Grant K. Goodman (edit), 1992, Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during world War 2 , New York: St. Martins Press, hlm 44.

9 Djawa Baroe, no. 24, 15 Desember 1944, hlm 31.

10 Djawa Baroe, no. 22, 1 agustus 1944, hlm 32.

itu, maka langkah awalnya adalah mengindoktrinasi mereka akan pentingnya perang bagi penduduk Jawa.

Instruksi-instruksi yang terkandung dalam film tidak terbatas pada suasana politik dan spiritual tetapi juga termasuk ajaran-ajaran praktis dan teknis. Sebagai contoh film-film “Pemakaran Tombak Bamboe” dan “Indonesia Raja” mengajarkan ilmu militer dan lagu kebangsaan. Adapula film-film yang memberi pelajaran teknik pertanian dan kerajinan tangan seperti menenun, membajak tanah,menanam padi, dan membuat tambang. Film tentang Tanarigumi (rukun tetangga) menggambarkan kegiatan sehari-hari dari rukun tetangga dan untuk mengembangkan pemahaman peran dan sifatnya. Film Taiteki Kanshi (mewaspadai musuh) menginstruksikan bangsa Indonesia agar bersikap waspada terhadap musuh. Penggunaan film-film semacam ini sebagai sarana instruksi teknis secara keseluruhan merupakan suatu yang baru bagi orang Jepang maupun orang Jawa. Kenyataannya film-film masa perang ini dapat dianggap sebagai

perintis pendidikan audio visual kontemporer. 11 Topik film berita pada umumnya berhubungan dengan perkembangan politik dan gerakan massa. Kemudian disusul

dengan topik film berita yang menyangkut masalah pertahanan dan ekonomi. Produksi film-film cerita dimulai beberapa waktu kemudian. Pertama, adalah “Kemakmoeran” yang diputar pada bulan Januari 1944. Kedua “Berdjoeang” yang diputar pada bulan Maret 1944. Tema-tema film ini didikte oleh Sendenbu. Staf Jepang dari perusahaan film Jepang membuat garis besar kisahnya, yang kemudian ditulis dalam bahasa Indonesia dan para pemerannya dipilih di antara penduduk Indonesia.

11 Aiku Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java Under the Japanese”, dalam Grant K Goodman (editor), hlm 52.

Beberapa kategori film yang telah diproduksi dapat digolongkan pada empat bagian, yakini 1) film-film yang menggambarkan kekuatan militer Jepang mengalahkan pasukan Inggris dan Amerika 2) film yang dibuat setelah awal 1943 yang memakai konsep religius dari Hakko Ichi- u (delapan penjuru dunia di bawah satu atap) untuk memperkuat politik ekspansionis Jepang 3) film yang dibuat setelah akhir 1943 yang memberi tekanan pada peran yang dimainkan oleh masyarakat Indonesia di lingkungan kemakmuran Asia Raya dan 4) film yang dibuat setelah bulan November 1944 berisikan sekedar menyokong nasionalisme dan kesadaran bangsa Indonesia

dalam mempertahankan dirinya. 12 Untuk keperluan hiburan dan sekalipun alat

propaganda dalam pemutaran film, Jepang menggunakan bioskop-bioskop yang awalnya milik orang Cina. Namun karena kekuasaan jepang, diambil alih kepemilikannya. Setiap pemutaran film dikenakan Harga Tiket Masuk (HTM ). Harga itu sudah ditetapkan Jepang. Tiket untuk pribumi HTM-nya 10 sen, orang cina 25 sen, sedangkan

kelas terhormat 50 sen dan satu gulden. 13

12 Ibid, hlm 60.

13 Dr. Taufik Abdullah,1993, Film Indonesia, Jakarta: Dewan Film Nasional, hlm 294.

Jepang dengan bantuan orang-orangnya, membuat jaringan propaganda disetiap sudut dan pelosok desa (desa mempunyai arti penting sebagai sumber bahan baku dan sumber tenaga manusia). Untuk Jawa dibentuk Chiho Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang meliputi kota-kota besar yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,

Surabaya, dan Malang. 14

Untuk menyebarluaskan film-film propaganda tersebut kepada masyarakat, di samping diputar di bioskop-bioskop, Jepang juga menyelenggarakan pemutaran film secara keliling yang kemudian dikenal dengan

sebutan “layer tancep” (bioskop keliling) 15 yang dimulai pada bulan Agustus 1942, khususnya untuk di Jawa. Kantor pusat Eihai (perusahaan distribusi film

Jepang) mengirim 48 ahli proyeksi film disertai dengan fasilitas yang diperlukan untuk mempromosikan bioskop keliling di daerah-daerah pendudukan di Asia Tenggara. Enam antara para ahli ini dikirim ke Jawa.

Pada bulan Desember 1945 lima basis operasional untuk bioskop keliling telah didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Malang dengan

15 tim proyeksi. Beberapa diantaranya dikepalai oleh orang Jepang dan yang lainnya oleh orang Indonesia. Kelompok ini berkeliling dari desa yang satu kedesa yang lainnya dengan membawa proyektor film, generator dan film yang diangkut

oleh sebuah truk. 16 Biasanya hanya satu atau dua desa yang dipilih dari masing-

14 Asia Raya, 16 Mei 1944.

15 Ibid., hlm 295.

16 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945 , Op. Cit., hlm 243.

masing Son (sub-distrik) dan Gun (distrik) sebagai tempat pemutaran dan rakyat dari desa-desa tetangga diundang untuk menontonnya. Film-film dipertontonkan di alam terbuka bagi siapa saja tanpa dipungut bayaran. Sedangkan penduduk dari semua desa tetangga, sebelumnya diberitahu lewat para pejabat desa dan kepala tonarigumi .

Karena terbatasnya produksi film-film lokal, maka pemerintah mengimpor film-film Jepang yang dipilih secara hati-hati dan hanya yang dianggap berguna bagi propaganda. Di Jawa beberapa dari film-film Jepang itu diputar dengan subjudul Indonesia. Terjemahannya dibuat oleh staf Eihai lokal yang mengerti bahasa Jepang dan Indonesia. Karena di Jawa tingkat buta huruf sangat tinggi, maka biasanya ada seorang penerjemah berdiri di samping layar, dan ia menjelaskan apa yang tengah diproyeksikan dengan bahasa apapun yang digunakan di daerah itu. Seorang penerjemah terkadang dipakai karena di Jawa sebagian besar penduduknya berbicara dalam bahasa-bahasa lokal seperti Jawa dan Sunda dan tidak fasih berbahasa Indonesia. Sebaliknya sedikit di antara penerjemah itu mengerti bahasa Jepang, dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk membuat terjemahan kata demi kata. Maka langkah selanjutnya adalah para penerjemah itu sebelumnya mendapat penjelasan tentang isi film dan kemudian mereka menjelaskannya kembali secara umum kepada para penonton. Dampak dari pemutaran film tersebut adalah sangat sedikit untuk mendidik dan

membentuk rakyat sesuai keinginan pemerintah, meskipun beberapa film militer mungkin berguna di dalam memberikan kesan kepada rakyat akan kekuatan militer Jepang. Film-film yang dibuat di Jawa jauh lebih efektif membentuk rakyat sesuai keinginan pemerintah, meskipun beberapa film militer mungkin berguna di dalam memberikan kesan kepada rakyat akan kekuatan militer Jepang. Film-film yang dibuat di Jawa jauh lebih efektif

Mengenai film-film yang di putar sebagai propaganda hanyalah film yang dinggap berguna bagi kepentingan Jepang. Jenis-jenis film yang dipertontonkan adalah film-film yang mengandung ajaran-ajaran moral dan indoktrinasi politik, seperti “Ke Seberang” yang diputar pada tahun 1944, atau film “12 Djam Sebelum Berangkat ke Medan Perang” yang dikehendaki pemerintah untuk ditransmisikan

kepada penduduk Jawa. 18 Film-film itu dikategorikan sebagai film “kokusaku eiga ” (film-film kebijakan nasional), film-film kebijakan nasional itu bila ditinjau dari segi isinya dapat dibagi ke dalam enam kategori sebagai berikut:

1. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dengan bangsa-bangsa asia serta pengajaran Jepang.

2. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa.

3. Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang.

4. Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat.

5. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang.

6. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye perang lainnya. 19

Dengan pemutaran film yang dilakukan Jepang berpengaruh terhadap rakyat. Namun dalam menerima pesan Jepang tersebut terdapat keanekaragaman. Kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas, yang memberi landasan rasional dan akurat mengenai isi pesan

17 Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 60.

18 Djawa Baroe, 1 Oktober 1944, hlm 32.

19 Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 239.

propaganda. Tetapi kalangan tidak terpelajar, yang kurang akrab dengan informasi, cenderung menerima propaganda

sebagaimana adanya. 20

Sejak diperkenalkan “gambar hidup”, dunia telah mengakui keunggulan film sebagai media komunikasi dan sekaligus sebagai media propaganda. Film tidak hanya merupakan media komunikasi massa, tetapi sudah lebih dari itu, bahkan telah menjadi instrumen yang dapat disesuaikan dengan maksud-maksud tertentu. misalnya saja sebagai instrumen politik.

Penulis sendiri tertarik untuk meneliti masalah penggunaan film oleh Jepang sebagai sebuah instrumen politik, sehingga penulis berusaha untuk memperoleh gambaran seberapa besar efektif peranan film sebagai alat propaganda politik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik?

2. Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa?

3. Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film?

20 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945 , Op.Cit, hlm 265.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, sesuai dengan masalah tersebut di atas adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film diJawa.

3. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.

D. Manfaat Penelitian

Dengan rumusan masalah seperti tersebut diatas, maka manfaat yang hendak

dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Secara Subjektif manfaat penulisan ini adalah Tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana, di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas sebelas Maret, surakarta.

2. Secara Objektif penulisan ini bermanfaat untuk pemgembangan ilmu sejarah dalam bidang kebudayaan khususnya sejarah perfilman yang selama ini kurang mendapat perhatian.

3. Memberikan masukan bagi pemerintah untuk digunakan sebagai acuan dalam mebuat kebijakan tentang film nasional dan juga menjadi masukan yang berharga bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

Peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1942-1945 sangat menarik untuk dikaji dan ditulis. Dalam penulisan sejarah ini menggunakan beberapa literatur yang digunakan sebagai acuan. Diantaranya berupa buku yang tentunya ada relevansinya dengan topik pembahasan.

Aiko Kurasawa dalam sebuah buku yang berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan di Pedesaan di Jawa 1942-1945 membahas mengenai kebijakan-kebijakan Jepang dan perubahan dibidang sosialo-ekonomi serta dampak psikologi yang terjadi dalam masyarakat di wilayah pedesaan Jawa. Untuk bisa memahami kebijakan- kebijakan

massa, diperlukan akses/pendekatan dari berbagai aspek. Pendekatan tersebut memerlukan perangkat yang akan digunakan Jepang untuk menarik kerja sama umum, seperti Propaganda, pendidikan, serta mobilisasi politik.

Jepang

terhadap

Dalam rangka untuk tercapainya kebijakan-kebijakan yang dipakai Jepang sebagai jurus dan usaha-usaha dengan membuat skema propaganda yang semenarik mungkin, sehingga masyarakat akan bersimpati dan ingin bekerja sama dengan pemerintahan Jepang.

Dalam kaitannya dengan propaganda, Aiko Kurasawa membahasnya dalam bab tersendiri. Salah satu media yang dipakai Jepang adalah film. Film sebagai media yang sangat efektif untuk alat propaganda. Dengan media tersebut Jepang memakainya sebagai penarik dan mempengaruhi jiwa kolektif masyarakat.

Koichi Otani dalam bukunya yang berjudul Takeda Rintaro Biografi Kritis: Rintaro Takeda bagaimana bukunya menjelaskan perjuangan-perjuangan Sendenhan (barisan propaganda) yang dipimpin oleh Rintaro Takeda menyiapkan bahan propaganda sampai survey keliling jawa untuk mengumpulkan bahan- bahan yang akan menjadi tema propaganda. Sampai akhirnya Takeda dan para barisan propaganda mengadakan pertunjukan film untuk penduduk setempat maupun prajurit Jepang di samping mementaskan pertunjukan sandiwara, tarian, dan musik. Dalam pementasan sandiwara, Takeda menjadi sutradara. Dalam buku biografi Hyoden: Takeda Rintaro yang berbahasa Jepang ini juga menggambarkan bagaimana Rintaro Takeda mempunyai rasa bertolak belakang terhadap sikap pendudukan Jepang di Jawa. Buku dengan penyunting utama A. B. Alpian dan J. R. Chaniago yang berjudul Di

bawah Pendudukan Jepang: Kenangan 42 Orang yang Mengalaminya menjelaskan tentang bagaimana awal mula kedatangan Jepang ke Indonesia. Dimana pada tanggal 4 Maret tentara Belanda meninggalkan kota Batavia dan keesokan harinya 5 Maret 1942 ibukota Hindia –Belanda jatuh ketangan tentara pendudukan Jepang

Wilayah Hindia-Belanda yang pertama-tama jatuh kekuasaan Jepang adalah kepulauan Tambelan di Laut Cina Selatan yang diduduki pada tanggal 27 Desember 1941 dan tidak lama kemudian, tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan (Kalimantan-Timur) dan Manado(Sulawesi Utara). Kemudian menyusul Balikpapan 24 Januari, Ambon 2 Februari, dan Makasar (Ujung Pandang) 9 Februari. Pendaratan di Sumatera Utara sendiri (termasuk pulau Sabang) dan timur dimulai tanggal 12 Maret dan 17 Maret 1942 Padang jatuh ketangan Jepang. Di Nusantara sebelah Timur Jepang melanjutkan pendaratan di Fakfak 1 April dan sorong 4 April, serta Ternate 19 April. Banda Neira, Buru, kepulauan Sula, Lombok, dan Flores diduduki dalam bulan Mei.

Kronologi perluasan wilayah Jepang di Nusantara yang diuraikan di atas ini menujukan bahwa masa pendudukan Jepang tidak serentak dialami oleh bangsa Indonesia bersama-sama. Demikian pula berakhirnya masa pendudukan tidak sama.

Buku ini juga menjelaskan usaha-usaha Jepang dengan badan-badan propagandanya untuk mendapatkan dukungan dan simpati rakyat Indonesia dengan melancarkan kampanye propaganda. Salah satu usaha tersebut adalah dengan media film sebagai alat propaganda.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Dijelaskan mengenai perubahan sosial dan mobilisasi sosial masyarakat pada masa Pendudukan Jepang. Selama tiga setengah tahun Pendudukan Jepang telah mengguncang bukan hanya sendi-sendi Pemerintahan Hindia Belanda tetapi struktur masyarakat Indonesia sendiri. Kependudukan Jepang dengan militernya ke Indonesia dimulai tanggal 11 Januari 1942 di Tarakan Kalimantan Timur. Untuk bisa membuka Jawa, Jepang harus menguasai Palembang terlebih dahulu. Pada tanggal

16 Februari 1942 Palembang berhasil ditaklukan sehingga Jawa pun sudah berada dalam genggaman. Tentara Militer Jepang kemudian menguasai Jawa dan akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang.

Dr. Taufik Abdullah dalam bukunya Film Indonesia, menguraikan mengenai sejarah film yang ada di Indonesia bagaimana pengaruh dan perkembangannya serta dampak yang terjadi dalam masyarakat dan sosial-politik Indonesia. Dalam menyebar luaskan propaganda politiknya, Jepang memanfaatkan film yang dianggap ampuh mencapai penduduk, yang umumnya masih buta huruf, dan film adalah alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa masyarakat agar Dr. Taufik Abdullah dalam bukunya Film Indonesia, menguraikan mengenai sejarah film yang ada di Indonesia bagaimana pengaruh dan perkembangannya serta dampak yang terjadi dalam masyarakat dan sosial-politik Indonesia. Dalam menyebar luaskan propaganda politiknya, Jepang memanfaatkan film yang dianggap ampuh mencapai penduduk, yang umumnya masih buta huruf, dan film adalah alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa masyarakat agar

Jepang mempunyai badan dan pembantu-pembantu tersendiri dalam penanganan film yang akan dijadikan sebagai media propaganda. Dengan

akan mempermudah, memperlancar Jepang melakukan pengedaran, penyebaran, dan pendistribusian film yang berisikan tema propaganda.

badan

tersebut

Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya . Betapa propaganda memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini. Melalu media film Jepang menerapkan propaganda-propagandanya seperti dijelaskan Kurasawa Aiko dalam bukunya Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”. Perkembangan Perfilman di Indonesia sendiri telah di sejak tahun 1926 ketika

seorang porduser film bernama David membuat film bisu berjudul Lely Van Java di Bandung. Kemudian disusul film berjudul Eulis Atjih oleh produser Kruger Co 1927/1928 dan selanjutnya diproduksi film berjudul Lutung kasarung oleh Produser film Carli. Tahun 1936 dalam perkembangannya (ANIF) Algemen Nederlands Indische Film berdiri studio film yang didirikan oleh

Albert Balink bergerak dalam film-film berita dan film cerita. Film pertama yang dibuat studio itu adalah dengan judul Terang Bulan.

Pada tahun 1941 pecah perang Asia Timur Raya dan awal tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang maka seluruh kekayaan diambil alih termasuk studio-studio film dibawah pengawasan Sendenbu (Barisan Propaganda) seperti ditulis dalam sebuah karya Buku 50 Tahun Perum Produksi Film Negara yang diterbitkan oleh Direktorat Pemasaran PFN.

F. Metode Penelitian

Untuk meneliti peranan film sebagai Media propaganda politik Jepang Yang terjadi pada tahun 1942-1945 penulis menggunakan metode historis. Menurut Louis Gottschalk, yang dimaksudkan dengan metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dari

pengalaman masa lampau. 21

Berbeda dengan ilmu sosial lain yang menekankan pada pengulangan dan objek yang bersifat general, sejarah justru meneliti sesuatu yang unik. Hal ini karena peristiwa sejarah adalah einmalegh. Artinya, peristiwa yang menjadi kajian sejarah tidak akan

21 Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, hlm 18.

pernah mengalami pengulangan yang sama persis dalam konstruksi peristiwanya. 22 Metode sejarah digunakan

karena penggunaan metode harus disesuaikan dengan objek yang dikaji. Hal tersebut menurut Koentjoroningrat, metode yang merupakan cara kerja untuk dapat memahami

objek harus sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. 23 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan

menggunakan ilmu komunikasi. Khususnya komunikasi politik. Dalam memahami komunikasi politik ini kemudian digunakan teori tentang propaganda. Hal ini karena propaganda merupakan salah satu cara dalam komunikasi politik yang sangat efektif dan sesuai dengan background yang akan diteliti. Pendekatan ini kemudian dijalankan dengan metode historis yang terdiri dari empat tahap. Tahapan dalam metode sejarah saling berkaitan antara tahap satu dengan tahap yang lainnya karena tahap yang dilakukan akan berurutan dalam cara kerjanya. Tahapan itu adalah Heuristik, Kritik Sumber, Inteprestasi, dan Historiografi. 24

22 Peter Burke, 2003, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 32.

23 Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat , Jakarta: P.T. Gramedia, hlm 7.

24 Nugroho Notosusanto, 1988, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Idayu, hlm 36.

Tahap pertama adalah Heuristik, yaitu cara mengumpulkan bahan atau sumber-sumber sejarah dengan mengumpulkan jejak-jejak sejarah. Sumber-sumber sejarah tersebut tentunya yang sejaman dan dalam bentuk tercetak, tertulis maupun lisan. Dalam penulisan ini tehnik yang digunakan untuk mendapatkan sumber adalah dengan Studi Dokumen dan Studi Pustaka.

Studi Dokumen dalam hal ini adalah suatu cara untuk mendapatkan data primer atau data sejaman atau sumber utama dari tangan pertama yang bisa digunakan untuk menceritakan peristiwa tersebut. Hal ini karena dalam ilmu sejarah tidak akan ada fakta “no fact no history” . Fakta dalam sejarah diartikan sebagai pernyataan atas kenyataan.

Dokumen sendiri dibedakan menjadi dua yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. 25 Dokumen dalam arti sempit

adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain. Dokumen dalam arti luas adalah termasuk didalamnya foto-foto, artefact, film dan lain sebagainya.

Dokumen mempunyai arti yang sangat besar dalam metode penelitian Historis. Dalam dokumen, terkandung banyak data primer

25 Sartono Kartodirjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: P.T. Gramedia, hlm. 98.

yang akan bisa menjelaskan peristiwa yang telah terjadi, semakin banyak data primer akan mendapatkan hasil sejumlah besar fakta. Hal ini karena dokumen dapat digunakan untuk menjawab 5W+1H (apa,

siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana). 26 Dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini