Hubungan Antara Tipe Kepribadian Big Fiv (1)

15

BAB II
LANDASAN TEORI

A. BIG FIVE PERSONALITY
1. Definisi Big Five Personality
Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis
yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &
Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam
memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun,
jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa hentihentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).
Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi
mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu
pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih.
Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan
mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik
kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang
membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).
Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu
pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu

dimensi “Big Five Personality”. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan
oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif
teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam
menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan
untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat

Universitas Sumatera Utara

16

memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava,
1999).
Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu
kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian
yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari.
Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language)
Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan
satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005).
Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model
oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di

sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa
kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh
para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).

2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five
personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk
menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya
dengan istilah-istilah berikut:
1. Neuroticism (N)
2. Extraversion (E)
3. Openness to New Experience (O)
4. Agreeableness (A)
5. Conscientiousness (C)

Universitas Sumatera Utara

17

Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi

OCEAN (Pervin, 2005).
Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1.
yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism
berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup perasaan-perasaan negatif,
seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience
menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan
pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat
interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain.
Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan
kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial
(Pervin, 2005).
Tabel 1.
Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah
Karakteristik dengan skor
tinggi
Kuatir, cemas, emosional,
merasa tidak nyaman,
kurang penyesuaian,
kesedihan yang tak
beralasan.


Mudah bergaul, aktif,
talkative, person-oriented,
optimis, menyenangkan,
kasih sayang, bersahabat.

Rasa ingin tahu tinggi,
ketertarikan luas, kreatif,
original, imajinatif, tidak
ketinggalan jaman.

Sifat

Karakteristik dengan skor
rendah
Tenang , santai, tidak
Neuroticism (N)
Mengukur penyesuaian Vs emosional, tabah, nyaman,
puas terhadap diri sendiri.
ketidakstabilan emosi.

Mengidentifikasi
kecendrungan individu akan
distress psikologi, ide-ide
yang
tidak
realistis,
kebutuhan/keinginan yang
berlebihan, dan respon
coping yang tidak sesuai.
Tidak ramah, tenang, tidak
Extraversion (E)
periang, menyendiri, task
Mengukur kuantitas dan
–oriented, pemalu,
intensitas interaksi
pendiam.
intrapersonal, level
aktivitas, kebutuhan akan
stimulasi, kapasitas
kesenangan.

Mengikuti apa yang sudah
Openness (O)
Mengukur keinginan untuk ada, down to earth,
mencari dan menghargai tertarik hanya pada satu
pengalaman baru, Senang hal, tidak memiliki jiwa

Universitas Sumatera Utara

18

mengetahui sesuatu yang
tidak familiar.
Agreeableness (A)
Berhati lembut, baik, suka
Mengukur kualitas orientasi
menolong, dapat
interpersonal seseorang,
dipercaya, mudah
memaafkan, mudah untuk mulai dari perasaan kasihan
sampai pada sikap

dimanfaatkan, terus
permusuhan dalam hal
terang.
pikiran, perasaaan, dan
tindakan.
Conscientiousness (C)
Teratur, dapat dipercaya,
pekerja keras, disiplin, Mengukur tingkat
tepat waktu, teliti, rapi, keteraturan seseorang,
ketahanan dan motivasi
ambisius, tekun.
dalam mencapai tujuan.
Berlawanan dengan
ketergantungan, dan
kecendrungan untuk
menjadi malas dan lemah.

seni, kurang analitis.
Sinis, kasar, rasa curiga,
tidak mau bekerjasama,

pendendam, kejam, mudah
marah, manipulatif.

Tidak bertujuan, tidak
dapat dipercaya, malas,
kurang perhatian, lalai,
sembrono, tidak disiplin,
keinginan lemah, suka
bersenang-senang.

Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big
Five terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah:
1. Extraversion terdiri dari:
1. Gregariousness (suka berkumpul).
2. Activity level (level aktivitas).
3. Assertiveness (asertif).
4. Excitement Seeking (mencari kesenangan).
5. Positive Emotions (emosi yang positif).
6. Warmth (kehangatan).


2. Agreeableness terdiri dari:
1. Straightforwardness (berterusterang).
2. Trust (kepercayaan).
3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain).
4. Modesty (rendah hati).

Universitas Sumatera Utara

19

5. Tendermindedness (berhati lembut).
6. Compliance (kerelaan).

3. Conscientiousness terdiri dari:
1. Self-discipline (disiplin).
2. Dutifulness (patuh).
3. Competence (kompetensi).
4. Order (teratur).
5. Deliberation (pertimbangan).
6. Achievement striving (pencapaian prestasi).


4. Neuroticism terdiri dari:
1. Anxiety (kecemasan).
2. Self-consciousness (kesadaran diri).
3. Depression (depresi).
4. Vulnerability (mudah tersinggung).
5. Impulsiveness (menuruti kata hati).
6. Angry hostility (amarah).

5. Openness to new experience terdiri dari:
1. Fantasy (khayalan).
2. Aesthetics (keindahan).
3. Feelings (perasaan).
4. Ideas (ide).

Universitas Sumatera Utara

20

5. Actions (tindakan).

6. Values (nilai-nilai).

B. COPING STRESS
1. Definisi Coping Stress
Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai
segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap
sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat
berupa eksternal dan internal.
Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping adalah
suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang ada
antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun
tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki
individu tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.
Menurut Harowitz (dalam Rice, 1992), coping merupakan tindakan yang
mencakup tindakan mental dan fisik yang digunakan untuk mengendalikan,
mengatur, mengurangi, atau mentolerir efek tekanan yang ada, baik eksternal
maupun internal. Secara umum, coping diarahkan pada dua hasil. Yang pertama
bahwa coping diharapkan untuk mengubah hubungan antara diri dan lingkungan.
Yang kedua, coping diarahkan untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan.
Situasi yang stressfull sendiri merupakan suatu kondisi yang penuh dengan
stres. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan
tiga pengertian yang berbeda, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

21

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang
menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini,
stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres
disebut dengn stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang
memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah
stressor.
b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian
internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri,
interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.
c. Stres

mengarah

pada

physical

reaction

dalam

mengatasi

ataupun

menghilangkan gangguan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping
stress adalah segala usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi, mengatur,
dan besikap sabar terhadap tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal yang
tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara fisik dan mental atau
emosional.

2. Faktor-Faktor Coping Stress
Para peneliti telah menemukan sekitar 400 (empat ratus) cara yang biasa
dilakukan

orang

mengelompokkannya

dalam
dalam

menghadapi
berbagai

situasi

kategori

yang
(dalam

stressfull
Sarafino,

dan
2006).

Berdasarkan hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk (1986), coping dapat
dikelompokkan menjadi 8 (delapan) jenis faktor, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

22

1. Confrontive coping; mencakup usaha agresif untuk menghadapi situasi yang
menekan, menggambarkan kekerasan terhadap orang lain, dan mengambil
tindakan yang memiliki resiko tinggi.
2. Distancing; usaha untuk melupakan masalah yang terjadi, dan melihat sisi
positif dari suatu masalah yang dihadapi.
3. Self-control; menjelaskan usaha untuk mengatur perasaan dan perilaku agar
tetap tenang.
4. Seeking social support; usaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan
penyelesaian masalah, dan dukungan emosional dari orang-orang yang
dianggap penting.
5. Accepting responsibility; menyadari permasalahan yang sedang dihadapi dan
bertekad untuk menyelesaikannya.
6. Escape-Avoidance; menganggap masalah akan segera berakhir dan mencari
tindakan untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.
7. Planful problem-solving; usaha untuk memahami masalah dan melakukan
perencanaan untuk menyelesaikannya.
8. Positive reappraisal; menjelaskan usaha untuk mencari makna positif dari
suatu masalah yang berguna untuk perkembangan diri sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik oleh Lazarus, Folkman, et al
(1986), hasil yang memuaskan diperoleh dari penggunaan planful problemsolving dan positive reappraisal. Sedangkan hasil yang tidak memuaskan
diperoleh dari penggunaan confrontive coping dan distancing.

Universitas Sumatera Utara

23

Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode yang
dapat digunakan untuk semua situasi stres. Menurut Ruther (Smet, 1994) tidak
ada strategi coping yang paling berhasil. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan
bahwa efektivitas strategi coping bervariasi tergantung pada situasinya (dalam
Powers, dkk, 2002). Menurut Taylor, keberhasilan coping lebih tergantung pada
penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian
yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling
berhasil (dalam Smet, 1994).
Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006), confrontive coping, seeking
social support, accepting responsibility, dan planful problem-solving memiliki
fungsi problem focused-coping. Sedangkan distancing, self-control, escapeavoidance, dan positive reappraisal memiliki fungsi emotion-focused coping.

3. Fungsi Coping Stress
Secara umum Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1992) membedakan 2
(dua) fungsi coping stress, yaitu:
a. Emotion-focused coping
Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan
perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang
disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.
Menurut Powers (2002), pengaturan ini dapat terlihat dari perilaku individu,
seperti penggunaan alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak
menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah
kondisi yang stressfull, individu akan cenderung mengatur emosinya. Salah

Universitas Sumatera Utara

24

satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud (dalam Smet, 1994) yaitu
mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah
situasi stres, hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan
elemen penipuan diri.

b. Problem-focused coping
Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan
yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.
Menurut Powers (2002), individu akan mengatasi masalah dengan
mempelajari cara atau ketrampilan baru untuk mengurangi stressor tersebut.
Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan
dapat mengubah situasi. Metode ini sering digunakan oleh orang dewasa.

Menurut Sarafino (2006), individu dapat menggunakan problem focused
coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang menghadapi
masalah. Beberapa studi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka
menunjukkan hasil penemuan mengenai penggunaan problem focused dan
emotion focused coping, seperti Folkman (dalam Sarafino, 2006) yang
menyatakan bahwa individu dewasa madya lebih sering menggunakan problemfocused coping sedangkan individu yang lebih tua lebih sering menggunakan
emotion-focused coping.
Selain itu, Greenglass & Noguchi juga menyatakan bahwa pria cenderung
lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita yang
lebih sering menggunakan emotion-focused coping. Dalam penelitian Billings &

Universitas Sumatera Utara

25

Moos juga ditemukan bahwa orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan
yang

lebih

tinggi

lebih

sering

menggunakan

problem-focused

coping

dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan
yang lebih rendah. (dalam Sarafino, 2006).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress
Reaksi terhadap stres bervariasi antara orang yang satu dengan yang
lainnya, dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan
oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah stressor bagi
individu.
Menurut Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:
a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis
kelamin,

tempramen,

faktor

genetik,

intelegensi,

pendidikan,

suku,

kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.
b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi
secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control,
kekebalan, ketahanan.
c. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan
sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.
d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi
dalam jaringan sosial.
e. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
situasi stres.

Universitas Sumatera Utara

26

C. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL
1. Pengertian dan Fungsi Reserse Kriminal
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terdiri dari beberapa bagian atau
yang disebut direktorat, antara lain adalah direktorat reserse kriminal (Dit.
Reskrim). Dit Reskrim adalah unsur pelaksana utama Polda yang berada dibawah
Kapolda. Dit Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatankegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi
dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum ,
koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai
ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku (Website POLRI DIY,
2008).
Dalam menyelenggarakan tugas yang

dimaksud, Dit. Reskrim

menyelenggarakan fungsi sbb :
1. Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi
dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang
menjadi tugas Dit Reskrim dalam lingkungan Polda.
2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana
umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus
kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan
hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
3. Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan
maupun pelayan umum.
4. Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan
operasional dan administrasi penyidak PPNS.

Universitas Sumatera Utara

27

5. Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya
dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi
Reskrim.

Dit. Reskrim dipimpin oleh Direktur Reskrim , disingkat Dir. Reskrim ,
yang bertanggung jawab kepada Kapolda dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
berada dibawah kendali Wakapolda. Dir Reskrim dibantu oleh Wakil Direktur
Reskrim , disingkat Wadir Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Dir.
Reskrim.

2. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal
Dit. Reskrim terbagi menjadi 6 (enam) bagian, yaitu:
1. Sub bagian perencanaan dan Administrasi (Subbagrenmin)
Subbagrenmin adalah unsur pelaksana dan pelayanan staf pada Dit.
Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Subbagrenmin bertugas merumuskan
/ menyiapkan rencana / program kerja & anggaran termasuk rencana dan
administrasi operasional & pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan urusan
administrasi personel & logistik urusan ketatausahaan & urusan dalam dan
pelayan keuangan Dit. Reskrim.
Subbagrenmin

dipimpin

oleh

Kepala

Subbagrenmin

disingkat

Kasubbagrenmin yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim dan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim. Untuk menjamin
dinamika dan keterpaduan operasional dalam pelaksanaan tugas semua satuan
operasional , Kasubbagrenmin membantu Dir. Reskrim mengatur pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

28

piket siaga yang juga berperan dalam pelayanan penerimaan dan penanganan
pertama laporan/pengaduan warga masyarakat yang membutuhkan.

2. Bagian Analisis Direktorat Reserse dan Kriminal
Bag Analisis adalah unsur pembantu pimpinan dan staf pada Dit Reskrim
yang berada dibawah Dir. Reskrim. Bag. Analisis bertugas melakukan analisa dan
gelar perkara setiap kasus dan isu-isu yang berkaitan dgn rangkaian kasus-kasus
menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas
pelaksanaan tugas penyelidikan / penyidikan tindak pidana oleh satuan-satuan
fungsi Reskrim dalam lingkungan Polda , termasuk penghimpunan dan
pemeliharaan berkas perkara yang telah selesai diproses dan bahan literatur yang
terkait
Bag Analisis dipimpin oleh Kepala Bagian Analisis , disingkat Kabag
Analisis yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim.
Kabag Analisis dalam melaksanakan tugas keawajibannya dibantu oleh :
a. Kepala Sub Bagian Produksi disingkat Kasubbag Produk
b. Kepala Sub Bagian Dokumentasi & Literatur disingkat Kasubbag Doklit

3. Siskorwas PPNS Direktorat Reserse dan Kriminal
Sikorwas PPNS adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang
berada dibawah Dir Reskrim. Sikorwas bertugas melaksanakan koordinasi dan
pengawasan operasional termasuk pembinaan / bimbingan teknis penyidikan dan
administrasi penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil pada tingkat Polda.

Universitas Sumatera Utara

29

Sikorwas PPNS dipimpin oleh Kepala Sikorwas PPNS , disingkat Kasi
Korwas PPNS yang bertabggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

4. Seksi Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal
Si Ident adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada
dibawah Dir Reskrim. Si Ident bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi
Identifikasi yang meliputi kegiatan Daktiloskopi kriminal, Daktiloskopi umum
dan fotografi Kepolisian.
Si Ident dipimpin oleh Kepala Bid / Si Ident , disingkat Si Ident yang
bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

5. Satuan Operasional Direktorat Reserse Kriminal
Sat Opsnal adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah
Dir Reskrim. Sat Opsnal bertugas melakukan penyedikan dan penyidikan tindak
pidana yang terjadi di wilayah Polda.
Sat Opsnal dipimpin oleh Kepala Sat Opsnal , disingkat Kasat Opsnal,
yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas seharihari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.
Sat Opsnal terdiri dari sejumlah unit yang masing-masing dipimpin oleh
kepala Unit disingkat Kanit. Jumlah Sat Opsnal pada Dit Reskrim dalam jumlah
unit pada masing-masing Sat Opsnal disesuaikan dengan tipe dari masing-masing

Universitas Sumatera Utara

30

Polda dan pembagian tugasnya diatur lebih lanjut oleh Dir Reskrim sesuai arahan
Kapolda.

6. Detasemen 88 Anti Teror (Den 88 AT)
Adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Kapolda.
Bertugas menyelenggarakan penyelidikan tindak pidana serta tugas lain di bidang
tindak pidana terorisme. Den 88 AT dipimpin oleh Kepala Den 88 AT, disingkat
Kaden 88 AT yang sehari-hari bertanggung jawab kepada Kapolda.
Den 88 AT terdiri dari:
1). Urusan Administrasi dan Tata Usaha disingkat Urmintu
2). Unit Intelejen, disingkat Unitintel
3). Unit Penindak, disingkat Unittindak
4). Unit Investigasi, disingkat Unitinvest
5). Unit Bantuan, disingkat Unitban
Pembentukan Den 88 AT yang berkedudukan langsung dibawah Kapolda
dan atau berkedudukan langsung dibawah Dir. Reskrim, diatur dengan keputusan
sendiri.

D. KAITAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE PERSONALITY
DAN COPING STRESS PADA POLISI RESERSE KRIMINAL
POLTABES MEDAN

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang
bertugas untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban umum di Indonesia
(Syafrika & Suyasa, 2004). Ira Glasser (dalam Amaranto dkk, 2003)
menyatakan:bahwa pekerjaan polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak

Universitas Sumatera Utara

31

aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Kepolisian Negara Republik Indonesia
dibagi menjadi 9 (sembilan) direktorat, salah satunya adalah Direktorat Reserse
Kriminal.
Menurut Sullivan (1977), polisi kriminal adalah ”urat nadi” kepolisian.
Meliala (2001) berpendapat bahwa polisi kriminal mengalami stres tersendiri,
dimana mereka sering berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan. Khusus
untuk polisi kriminal yang bertugas di kota besar seperti Medan, stres yang
dialami lebih besar karena tingkat kriminal yang lebih tinggi juga (Nuzulia, 2005).
Stres memiliki dampak positif dan negatif. Untuk mengatasi dampak
negatif ini, individu perlu melakukan coping. Lazarus dan Folkman (1986)
membagi coping stress menjadi dua bagian, yaitu problem-focused coping dan
emotion-focused coping.
Smet (1994) beranggapan bahwa kepribadian adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi coping stress. Salah satu taksonomi kepribadian yang dapat
diterima secara umum saat ini adalah Big Five Personality (John & Srivastava,
1999). Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian yang membagi
kepribadian menjadi lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian
dengan jelas dan sangat luas (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Kelima tipe
kepribadian tersebut adalah neuroticism, extraversion, openness to new
experience, agreeableness, dan conscientiousness.

E. HIPOTESA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan untuk
menguji hipotesa. Hipotesa dalam penelitian ini adalah:
1. Ha (Hipotesa Alternatif) : p < 0,05, artinya:

Universitas Sumatera Utara

32

a. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
b. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
emotion-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

2. Ho (Hipotesa Nihil) : p > 0,05, artinya:
a. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
b. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
emotion-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Universitas Sumatera Utara

33

Polisi : lembaga
keamanan dan
ketertiban umum

Stressfull job

POLRI

Direktorat
Reserse Kriminal
Poltabes Medan

Stress

Efek (-)

Kepribadian

Coping

Problem- Focused

Stress
Emotion- Focused

Five Factor Model
McRae & Costa:
- Neuroticism
- Extraversion
- Openness
- Agreeableness
- Conscientiousness

Gambar 2.
Paradigma Penelitian

Universitas Sumatera Utara