jiptummpp gdl ekawahyudy 51255 3 babii

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
2.1.1 Ekosistem Hutan Mangrove
Mangrove atau hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai
tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang
mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di
pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger, 1983). Hutan bakau
(mangrove) adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan
asin (Nybakken, 1992).
Komunitas vegetasi pantai tropis pada kawasan hutan mangrove didominasi
oleh beberapa spesies pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang-surut pantai berlumpur. Bengen (1999) mengatakan bahwa hutan mangrove
banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai
yang terlindung. Sedangkan Mulyana (1999) mengemukakan bahwa wilayah
pesisir mendukung berbagai sumberdaya di dalamnya, seperti lahan pasang surut,

hutan mangrove, estuaria, laguna, padang lamun, terumbu karang serta perairan
dangkal yang menghasilkan sebagian besar (sekitar 80 %) produksi perikanan
dunia.
Romimohtarto (2001) menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove
Indonesia memiliki biodiversitas yang tinggi di dunia dengan jumlah total kurang

11

dari 89 spesies, yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies liana, 9 spesies perdu,
29 spesies epifit dan 2 spesies parasit. Vegetasi mangrove yang umum dijumpai di
wilayah pesisir Indonesia, antara lain : (a) Api-api (Avicennia), Nyrih (Xylocarpus),
Bakau (Rhizophora), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Brugueira), Tengar (Ceriops)
dan Buta-buta (Exoecaria).
Bengen (1999) mengatakan bahwa faktor-faktor lingkungan seperti jenis
tanah, genangan pasang surut dan salinitas akan menentukan komposisi jenis
tumbuhan penyusun vegetasi mangrove. Menurut Berwick (1983), ada beberapa
parameter lingkungan yang sangat berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup
dan laju pertumbuhan vegetasi mangrove, yaitu : (a) pasokan air tawar dan kadar
garam; (b) stabilitas substrat; dan (c) pasokan nutrien.
Karakteristik habitat mangrove menurut Bengen (2000), adalah :

1. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
2.Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir.
3. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya
tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi hutan mangrove.
4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
5. Air bersalinitas payau (2–22 permil) hingga asin mencapai 38 permil.
6. Ditemukan banyak di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah
pantai yang terlindung.

12

2.1.2 Fungsi Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya alam wilayah pesisir di daerah
tropis memiliki pengaruh yang sangat besar pada aspek sosial, aspek ekonomi dan
aspek ekologi. Pengaruhnya terhadap kehidupan dapat dilihat dari keanekaragaman
hayati, baik yang hidup diperairan serta ketergantungan manusia secara langsung
terhadap ekosistem tersebut (Naamin, 1991). Sugiarto dan Ekayanto (1996)
mengatakan bahwa fungsi hutan mangrove antara lain adalah :

a. Sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin
b. Daerah asuhan (Nursery grounds) daerah mencari makanan (feeding
grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan,

udang dan biota laut lainnya.
c. Sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif
d. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang,
dan bahan baku kertas (pulp).
e. Peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan penangkap sedimen.
Harahap dan Subhilhar (1998) mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga fungsi
hutan mangrove bagi kehidupan, yaitu :
1. Fungsi Fisik Hutan Mangrove :
a. Menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan
b. Mencegah intrusi air laut kedaratan yang dapat merusak areal
pertanianan dan persediaan air tanah
c. Melindungi pantai dari penggerusan ombak
d. Menyaring dan menguraikan bahan-bahan organik

13


2.

Fungsi Biologi Hutan Mangrove :
a. Sumber makanan bagi hewan-hewan seperti zooplankton, ikan,
udang, kepiting dan lainnya
b. Tempat berpijah berbagai jenis biota laut; dan habitat alami berbagai
jenis hewan seperti burung, ular dan lainnya

3. Fungsi Ekonomi Hutan Mangrove :
a. Dapat dijadikan kosmetik pada spesies tertentu dan buahnya dapat
diolah sebagai bahan makanan
b. Tempat pembudidayaan udang dan ikan, tempat pembuatan garam
dan sebagai tempat rekreasi
Pemanfaatan hutan mangrove menurut Perrine (1979) dikelompokan
menjadi pemanfaatan secara langsung dan pemanfaatan secara tidak langsung. Nilai
pemanfaatan secara langsung antara lain yaitu berbagai organisme akuatik yang
memilih hutan mangrove sebagai tempat habitatnya. Daun-daun yang berjatuhan
sebagai leaf litter karena berakumulasi dengan sedimen akan diurai oleh mikro
organisme menjadi energi yang dimanfaatkan oleh sejumlah spesies, seperti

berbagai jenis udang, kepiting, ikan, tiram, reptilia dan juga mamalia. Nilai
pemanfaatan secara tidak langsung dari ekosistem mangrove yaitu dalam bentuk
fungsi-fungsi ekologi yang cukup penting, seperti pengendali terhadap erosi pantai,
stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang dan lahan diwilayah pantai,
suplai detritus dan bahan hara untuk perairan pantai didekatnya, pemeliharaan larva
dan perkembangbiakan ikan, crustacea serta kehidupan liar (wildlives) yang bernilai
ekonomi (Bengen, 1999).

14

2.1.3 Tipe Komunitas Mangrove
Specht (1970) mengklasifikasikan komunitas mangrove berdasarkan atas
(1) tinggi dan bentuk kehidupan dari strata yang tinggi (meliputi perkiraan
biomassa) dan (2) Proyeksi penutupan daun dari strata yang paling tinggi klasifikasi
ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 2.1 Tipe Komunitas Mangrove (Specht, 1970)

Selain pengklasifikasian di atas, Sumitro (1993) membagi komunitas
mangrove Indonesia berdasarkan komposisi flora serta struktur penampakan umum
hutan. Komunitas mangrove Indonesia tersebut adalah :

1. Komunitas Semak
Komunitas semak dibentuk oleh jenis-jenis pionir dan terdapat di tepi-tepi
laut yang berlumpur lunak. Floranya didominasi oleh Avicennia marina, A. alba
dan Sonneratia caseolaris. Semai Ceriops tagal mampu pula tumbuh pada

komunitas ini namun terdapat pada tempat transisi pasang rendah dan pasang
tinggi. Kadang-kadang komunitas ini bercampur dengan tumbuhan non
mangrove seperti Pandanus spp, Glochidion littorale, Ficus retusa, Phragmites
karka.

15

2. Komunitas Mangrove Muda
Komunitas ini mempunyai satu lapis tajuk hutan yang seragam tingginya
dan tersusun terutama oleh Rhizophora spp. Pada tempat yang terlindung dari
hempasan ombak kuat, Rhizophora spp. berperan pula sebagai pionir. Jenis-jenis
lain akan berkembang pula seperti kolonisasi jenis Avicennia dan Sonneratia
pada habitat yang tidak baik untuk pertumbuhan Rhizophora. Salah satu jenis
tersebut adalah Avicennia alba, mampu bertahan terus dan dapat tumbuh hingga
mencapai tinggi melampaui tajuk Rhizophora . Pada tingkat perkembangan lebih

lanjut, terjadi percampuran antara jenis-jenis Rhizophora dan beberapa jenis
mangrove lainnya seperti Bruguiera, Xylocarpus dan di bagian yang jauh dari
tepi laut bercampur dengan Excoecaria agallocha.
3. Komunitas Mangrove Tua
Tipe ini merupakan komunitas mangrove yang sudah mencapai
perkembangannya( klimaks). Komunitas mangrove tua sering didominasi jenisjenis Rhizophora dan Bruguiera yang pohonnya besar dan tinggi. Rhizophora
mucronata dan R. apiculata mendominasi habitat lumpur lunak. Pada keadaan

klimaks ini keseimbangan telah tercapai, tetapi tidak stabil. Pohon-pohon
mangrove penyusun tipe komunitas ini dapat mencapai diameter 50 cm.
4. Komunitas Nipah
Pada komunitas ini tumbuhan nipah (Nypa fructican) tumbuh melimpah
dan merupakan jenis utama, bahkan sering pula nipah berkembang menjadi
komunitas murni yang luas. Dalam komunitas nipah beberapa jenis pohon
mangrove tumbuh tersebar tidak merata seperti Lumnitzera spp., Excoecaria
agallocha, Heritiera littoralis, Intsia bijuga, Cerbera manghas.

16

Kriteria baku kerapatan mangrove menurut Keputusan Menteri Negara

Nomor 201 Tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 2.2 Kriteria Baku Kerapatan Mangrove

2.1.4 Zonasi Komunitas Mangrove
Komunitas mangrove hidup di lingkungan yang rawan (stressed ecosystem).
Kerawanan lingkungan tersebut menurut Logo (1990) antara lain adalah :
a. Salinitas tanah tinggi, sehingga memerlukan suplai air tawar yang banyak
b. Arus pasang surut, menyebabkan banyak terkumpulnya sampah dan
bahan organik
c. Melintasi daratan, runn off, badai pasang, dan gelombang yang
menyebabkan siltasi dan erosi
Semua faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap organisme yang
hidup di vegetasi mangrove mangrove. Organisme yang tahan terhadap faktorfaktor tersebut akan survive, sedangkan yang tidak tahan akan mati. Berdasarkan
ketahanannya terhadap genangan pasang air laut, Supriharyono (2000)
mengelompokan tumbuhan mangrove menjadi lima yaitu :

17

a. Spesies tumbuhan yang selamanya tumbuh di daerah genangan pasangnaik yang tinggi pada umumnya tidak semua spasies dapat hidup pada
kondisi ini, kecuali Rhizophora mucronata.

b. Spesies tumbuhan yang tumbuh didaerah genangan pasang-naik
medium; Adalah genera Avicennia, yaitu A. alba, A. marina, A.
intermedia, dan Sonneratia serta Rhizophora mucronata, yang tumbuh

di tepi sungai.
c. Spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah genangan pasang-naik dengan
tinggi pasang normal; umumnya mangrove dapat hidup di daerah ini,
namun yang paling dominan adalah spesies Rhizopora mucronata.
d. Spesies tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah genangan pasang-naik
yang tinggi (spring tide) dan cocok untuk spesies Bruguiera gymnorhiza
2.2 Kepiting Bakau (Scylla sp.)
2.2.1 Habitat Kepiting Bakau
Kepiting bakau menurut Moosa (1985) tergolong dalam Family Portunidae
yang terdiri atas enam subFamily yaitu : Carcininae, Polyhiinae, Caphyrinae,
Catoptrinae, Podophthalminae dan Portuninae. Mulyana (1999) menyatakan ada

sekitar 234 jenis yang tergolong biota yang termasuk dalam Family Portunidae di
wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam
kelompok kepiting perenang (swimming crabs), karena memiliki pasangan kaki
terakhir yang memipih, dan dapat digunakan untuk berenang. Family Portunidae

mencakup rajungan (Portunus, Charybdis dan Thalamita ) dan kepiting bakau
(Scylla spp.). Karena banyak ditemukan di wilayah hutan bakau (mangrove) maka
dinamakan kepiting bakau (Scylla spp.).

18

Nama kepiting bakau di wilayah Indopasifik sangat beragam. Di Jawa,
masyarakat mengenalnya dengan nama kepiting saja, sedangkan disebagian
Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal sebagai ketam batu, kepiting Cina, atau
kepiting hijau. Kepiting bakau juga lebih dikenal dengan nama kepiting lumpur
(Kasry, 1996).
Menurut Keenan et al., (1998) ada empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla
serrata, Scylla transquabarica, Scylla paramamosin, dan Scylla olivacea.

Estampador (1949) dalam Mulya (2000) menyatakan keempat jenis genus Scylla
tersebut dapat dibedakan melalui warna sebagai salah satu faktor pembeda utama.
Perbedaan morfologis untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla juga
dapat dilihat dengan adanya bentuk H pada karapaks, bentuk duri pada dahi
karapaks, bentuk duri pada fingerjoint dan bentuk rambut (setae). Kepiting bakau
S. Oceanica dan S. transquabarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau


keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan
S. serrata var. paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah kecokelatan atau

coklat keabuabuan.
2.2.2 Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kepiting bakau (Scylla serrata ) juga dikenal dengan sebutan kepiting
lumpur termasuk kedalam Class Crustaceae, Order Decopoda, Family Portunidae
dan Genus Scylla (Warner 1997). Kepiting lumpur (mud crab) ini dapat hidup pada
berbagai ekosistem. Sebagian besar siklus hidupnya berada diperairan pantai
meliputi muara atau estuarin, perairan bakau dan sebagian kecil di laut untuk
memijah. Jenis ini biasanya lebih menyukai tempat yang agak berlumpur dan
berlubang-lubang di daerah hutan mangrove. Disebutkan juga bahwa beberapa jenis
kepiting yang dapat dimakan ditemukan hidup melimpah diperaira estuarin dan

19

kadang-kadang terlihat hidup bersama dengan portunidae lainnya dalam satu
kawasan. Selanjutnya Moosa et al., (1985) menyatakan bahwa distribusi kepiting
menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0
– 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam.
Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau dalam menjalani hidupnya dari
perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha
kembali ke perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau
membesarkan diri. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan bakau,
setelah selesai maka secara perlahan-lahan sesuai dengan perkembangan telurnya
yang betina akan beruaya ke laut menjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya
cocok untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan
perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak,
atau sekitar perairan pantai yang berlumpur dan memiliki organisme makanan
berlimpah. Kepiting bakau dapat menghasilkan dua ribu sampai delapan ribu telur
tergantung dari ukuran dan umur dari kepiting betina yang memijah. Pemijahan
kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, namun kegiatan bertelur
pada setiap perairan tidak semua pemijahan berlangsung pada dasar perairan yang
dalam dan mengikuti periode bulan, khususnya bulan-bulan yang baru dengan jarak
ruaya yang tidak lebih dari satu kilometer dari pantai (Kordi, 1997).
Kepiting bakau memiliki daya toleransi hidup pada salinitas air yang rendah
(10 – 24 ppm). Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase
yaitu fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting (Estampador, 1949 dalam
Mulyana, 1999). Tingkat perkembangan tersebut antara lain tingkat zoea , tingkat
megalova , tingkat kepiting muda dan tingkat kepiting dewasa. Menurut Siswanto

20

(2004) Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus
menerus berganti kulit (moulting) kemudian terbawa arus ke perairan pantai sampai
lima kali (zoea V), membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya akan berganti kulit
menjadi megalova yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa
kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tingkat megalova ke tingkat
kepiting muda membutuhkan waktu 11 - 12 hari pada salinitas 29 – 33 o/oo sebelum
berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama.
Kasry (1996) menyatakan apabila salinitas air lebih rendah (21 – 27 o/oo)
pada tingkat megalova, kepiting muda bergerak ke arah pantai memasuki perairan
payau, dari tingkat megalova ke kepiting muda memerlukan waktu 15 menit.
Kepiting muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuaria, kemudian berangsurangsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting dewasa.
2.2.3 Jenis Kepiting Bakau (Scylla sp) .
Moosa et al., (1985) membagi genus Scylla spp. dalam tiga spesies dan satu
varian, antara lain Scylla serrata (First crab), Scylla oceanica (dana), Scylla
tranquabarica

(Fatricius)

dan

Scylla

serrata

van

paramamosin.

a.Scylla serrata, warna hijau coklat sampai kemerah – merahan seperti karat.
b.Scylla oceanica, warna kehijauan menuju keabu – abuan hampir seluruh bagian
tubuh kecuali bagian perut. c.Scylla tranquabarica,berwarna kehijauan buah zaitun
agak hitam dengan sedikit garis coklat pada kaki renangnya. d.Scylla serrata van
paramamosin, warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keungu – unguan.

2.2.4 Keanekaragaman dan Kelimpahan Organisme
Soegianto (1994) menyatakan jumlah jenis atau kekayaan jenis merupakan
konsep pertama dan paling tua mengenai keanekaragaman jenis. Konsep kedua dari
keanekaragaman jenis adalah kesamarataan. Konsep ini memperhitungkan

21

bagaimana sebaran jumlah individu dari setiap jenis yang ada, dengan demikian
pengukuran terhadap keanekaragaman akan selalu mengacu pada sejumlah jenis
maupun individu dari setiap jenis. Dalam ekologi, kelimpahan memiliki pengertian
sebagai total individu suatu spesies yang menempati areal tertentu (Soecipta, 1993).
Pengamatan terhadap kelimpahan didukung pula oleh data mengenai distribusi dari
jenis-jenis fauna di suatu kawasan (Soegianto, 1994).
2.2.5 Distribusi Kepiting Bakau (Scylla sp.)
Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi
tropis yang meliputi wilayah Indo-Pasifik. Kepiting bakau merupakan kepiting
yang bisa berenang dan hampir terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia,
terutama di daerah mangrove juga daerah tambak air payau atau muara sungai.
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke
perairan laut, kemudian induk dari anak-anaknya berusaha kembali ke perairan
pantai, muara sungai, atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari
makan atau membesarkan diri. Pada umumnya kepiting banyak ditemukan di
daerah hutan mangrove sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan
kepiting bakau atau mangrove crabs (Kordi, 1997).
Soetjipta (1993) menyatakan distribusi merupakan gambaran pergerakan
makhluk hidup dari suatu tempat ke tempat lain. Distribusi suatu spesies dalam satu
area tertentu dapat disusun dalam tiga pola dasar yaitu acak, mengelompok dan
teratur (reguler). Untuk menjelaskan fenomena pergerakan ini biasa digunakan
istilah migrasi yaitu pergerakan sejumlah besar spesies dari suatu tempat ke tempat
lain. Gunarto (2001) menyatakan distribusi merupakan penyebaran spesies yang
dipengaruhi oleh adanya selang geografi (geographic range) suatu perairan.
Informasi mengenai distribusi kepiting bakau pada suatu perairan sangat membantu

22

usaha penangkapan kepiting bakau, terutama berkaitan dengan kemudahan
mendapatkan fishing ground dan nilai komersiel penangkapan.
Pola distribusi tergantung pada beberapa faktor antara lain : musim
pemijahan, tingkat kelangsungan hidup dari tiap-tiap umur serta hubungan antara
kepiting dengan perubahan lingkungan. Kepiting bakau biasanya terdapat pada
dasar perairan lumpur berpasir, keberadaan mangrove dan masukan air laut sampai
sungai (Sulaiman dan Hanafi, 1992).
Secara ekosistem, penyebaran kepiting bakau di bagi dua daerah,yaitu
daerah pantai dan daerah perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan daerah
Nursery ground dan feeding ground kepiting bakau berada pada stadia muda;

menjelang dewasa; dan dewasa, sedangkan di perairan laut merupakan spawning
ground, kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad), zoea sampai
megalops (Suryani, 2006).

2.2.6 Perilaku Kepiting Bakau
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan spesies yang khas berada di
kawasan bakau. Pada tingkat juvenil, kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau,
karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenil kepiting bakau
lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur laut yang menjorok kedaratan,
saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon
bakau. Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah
matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan.
Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga
kepiting bakau digolongkan hewan malam (nokturnal). Dalam mencari makan
kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih menyukai makanan alami
berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan

23

pemakan segala (omnivorous) dan pemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva
kepiting pada masa awal hanya memakan plankton (Soim, 1999).
Kepiting menggunakan sapitnya yang besar untuk makan, yaitu
menggunakan sapit untuk memasukan makanan ke dalam mulutnya. Kepiting
mempunyai kebiasaan unik dalam mencari makan, bila di daerah kekuasaannya
diganggu musuh, misalnya oleh kepiting lain, kepiting dapat saja menyerang
musuhnya dengan ganas.
2.2.7 Karakteristik Kepiting Bakau
Kepiting bakau ini dapat mencapai ukuran besar yaitu 2 kg/ekor. Makanan
utamanya di alam adalah organisme bentik jenis-jenis invertebrata sehingga sering
dijumpai memakan sesamanya terutama yang sedang ganti kulit. Kepiting ini dapat
berlari dengan menggunakan kaki-kaki jalannya ditempat yang tidak berair dan
dapat berenang dengan cepat di dalam air dengan menggunakan kaki renangnya
(Nybakken, 1992).
Pertumbuhan pada kepiting bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan
ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan dari bagian-bagian
tubuh yang berbeda. Sebagai hewan yang mempunyai rangka luar (eksoskeleton),
maka pertumbuhan pada kepiting ditandai dengan rangkaian pergantian kulit
(Warner, 1997). Besarnya pertumbuhan yang dialami oleh kepiting tergantung
pertambahan panjang dan berat setiap kepiting berganti kulit. Frekuensi ganti kulit
bervariasi dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum frekuensi
pergantian kulit lebih sering terjadi pada stadia muda dibandingkan dengan stadia
dewasa (Sulaiman dan Hanafi, 1992).
Kordi (2000) untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan
pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali, proses pergantian kulit pada zoea

24

berlangsung relatif lebih cepat yaitu sekitar 3 – 4 hari tergantung pada kemampuan
tumbuhnya. Jika tersedia pakan dalam jumlah melimpah, maka proses pergantian
kulit akan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan lingkungan yang tidak
mengandung pakan yang memadai. Pada fase Megalopa proses pergantian kulit
berlangsung relatif lama yaitu setiap 15 hari, setiap pergantian kulit tubuh kepiting
akan semakin besar sekitar sepertiga kali dari ukuran semula.
Afrianto, dkk. (1992) mengatakan bahwa kepiting bakau (Scyla sp.) dewasa
merupakan salah satu dari biota yang mampu hidup pada kisaran kadar garam yang
luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri yang cukup
tinggi. Selanjutnya Nybakken (1992) menyatakan bahwa kepiting bakau memiliki
kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada
tambak yang cukup tersedia pakan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau
memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan diri
dengan habitatnya.
2.2.8 Kepiting Biola (Fiddler crab)
Kepiting biola (Uca sp) termasuk fauna mangrove yang menggantungkan
hidupnya pada mangrove. Mereka keluar dan turun mencari makan ketika surut
pada substrat mangrove. Kepiting ini merupakan pemakan detritus (detrivor) yang
membantu dekomposisi pada mangrove sehingga keberadaannya sangat penting
dalam rantai makanan ekosistem mangrove. Mereka juga menjadikan mangrove
sebagai habitat tempat berpijah dan tempat mengasuh untuk melangsungkan siklus
hidupnya (Zamroni, 2008).

25

Jumlah jenis kepiting biola yang ada di dunia mencapai 97 jenis. Dari
jumlah tersebut, hanya sekitar 19 jenis yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan
tidak semua jenis kepiting biola mampu hidup dan bertahan di berbagai wilayah
belahan dunia. Karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing kepiting biola
tersebut juga dapat menunjukkan wilayah penyebarannya, termasuk jenis-jenis
kepiting biola yang berada di kawasan Indonesia (Huda, 2008).
Ciri kepiting Uca yang menonjol adalah pada jantan memiliki capit yang
asimetri, yang berarti salah satu capit berukuran lebih besar daripada capit
lainnya, dapat mencapai sepertiga sampai setengah ukuran tubuh kepiting Uca itu
sendiri. Biasanya capit tersebut digunakan sebagai alat berkompetisi sesama
kepiting jantan. Ukuran capit dan warna yang berbeda dapat digunakan sebagai
karakter dalam penentuan spesies. Sedangkan kepiting betina memiliki 2 buah capit
yang berukuran kecil, sehingga dapat lebih mudah untuk makan dan mencari
makanan daripada kepiting jantan. Uca sp sebagai anggota dari Family Ocypodidae
secara umum adalah pemakan detritus organik lumpur. Aktivitas hidupnya
terganggu setiap hari dengan datangnya pasang surut. (Duarte, 2011).
Kepiting Biola merupakan jenis kepiting yang hidup dalam lubang atau
berendam dalam subtrat dan hanya ditemukan di hutan mangrove dan akan selalu
menggali

lubang

dan

berdiam

di

dalam

lubang

untuk

melindungi

tubuhnya terhadap temperatur yang tinggi, karena air yang berada dalam lubang
galian dapat membantu mengatur suhu tubuh melalui evaporasi (Bengen, 1999).

26

Gambar 2.1 Uca annulipes
(Sumber : Rafless, 2016)
Kepiting biola yang hidup dalam lingkungan yang mendukung dapat
bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Kepiting biola yang berusia 1214 bulan telah dapat melakukan proses perkembangbiakan. Kepiting biola memiliki
aktifitas kawin yang biasanya terjadi secara serentak. Musim perkembangbiakan
kepiting biola biasanya terjadi antara bulan JuniAgustus. Kondisi siklus kawin
kepiting biola tergantung pada kondisi lingkungannya. Larva kepiting biola hasil
pembuahan biasanya dilepaskan di daerah perairan laut yang secara bertahap sesuai
perkembangannya dan akan kembali lagi ke daratan mangrove (Murniati, 2008).
Adanya variasi dalam populasi kepiting biola dapat dilihat dengan
mengetahui morfologi kepiting biola tersebut. Kepiting biola merupakan hewan
yang memiliki dimorfisme seksual, sehingga dapat dengan jelas dilihat
perbedaannya antara kepiting biola jantan dan betina secara morfologinya.
Morfologi juga merupakan karakter utama yang dapat dilihat dalam sistem
pengklasifikasian. Selain itu morfologi juga dapat dijadikan sebagai informasi
mengenai adaptasi dan variasi yang terjadi pada kepiting biola dengan
lingkungannya (Sloane, 2003)

27

2.3 Nursery Ground
Ekosistem mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah
pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang
tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut,
yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam (Kusmana et . all., 2005).
Fungsi ekologis dari ekosistem mangrove adalah sebagai sumber zat hara
dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation),
penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria
sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan
sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground)
terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang (Bengen, 2004).
Nursery ground adalah daerah pertumbuhan dan perkembangan atau

asuhan organisme yang masih kecil atau masih muda sebelum dewasa. Nursery
ground ini merupakan mikrohabitat yang cukup rentan dan sangat penting untuk

menentukan kelangsungan hidup setiap spesies atau jenis fauna spesifik seperti
berbagai spesies ikan-ikan di perairan daratan. Konservasi keanekaragaman
hayati, khususnya biota perairan merupakan bagian teramat penting karena
berbagai faktor pembatas yang kemungkinan mempengaruhi nursery ground nya.
Faktor pembatas ini mencakup faktor fisik, kimia dan biologis. Faktor fisik yang
mempengaruhi nursery ground antara lain struktur sedimen, ruang dasar perairan,
iklim mikro, cahaya (intensitas dan durasi), volume air, kedalaman air, musim,
kandungan lumpur, total padatan terlarut (TSS, total suspendeed solid) dan
temperatur. Sedang faktor kimia yang mempengaruhi nursery ground meliputi
kandungan hara (fosfat, nitrogen, kalsium dan garam-garam mineralnya),

28

kandungan oksigen terlarut (DO, dissolved oxygen), CO2 bebas dalam air dan pH.
Faktor biologis yang mempengaruhi nursery ground adalah komunitas vegetasi
akuatik makroflora, kompetisi interspesies dan intraspesies. Ketiga faktor: fisik,
kimiawi dan biologis dalam ekosistem akuatik adalah saling terkait dan
mempengaruhi untuk membentuk mikro habitat atau relung habitat sebagai
nursery ground yang optimal bagi suatu spesies tertentu (Kusmana et . all., 2005).

2.4 Sumber Belajar Biologi (Booklet)
2.4.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar memiliki pengertian yang sangat luas. Sumber belajar
menurut Ahmad Rohani & Abu Ahmadi (1995) adalah guru dan bahan-bahan
pelajaran berupa buku bacaan atau semacamnya. Pengertian selanjutnya dari
sumber belajar adalah segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan
proses pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta didik
yang melengkapi diri mereka pada saat pembelajaran berlangsung.
Sumber belajar menurut Abdul Majid (2008) adalah segala sesuatu yang
dapat memberikan informasi dalam pembelajaran. Sumber belajar ditetapkan
sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk media, yang
dapat membantu siswa dalam belajar, sebagai perwujudan dari kurikulum.
Bentuknya tidak terbatas apakah dalam bentuk cetakan, video, perangkat lunak,
atau kombinasi dari beberapa bentuk tersebut yang dapat digunakan siswa dan guru.
Sumber belajar juga dapat diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan, orang,
dan benda yang mengandung imformasi yang menjadi wahana bagi siswa untuk
melakukan proses perubahan perilaku.

29

2.4.2 Klasifikasi Sumber Belajar
Secara umum ada beberapa klasifikasi sumber belajar sebagaimana yang
dinyatakan AECT (Association of Education Communication Technology) dalam
Rohani (1995) yaitu message, people, materials, device, technique, dan setting.
Enam klasifikasi sumber belajar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.

Message (pesan), yaitu informasi/ajaran yang diteruskan oleh komponen

lain dalam bentuk gagasan, fakta, arti dan data
2.

People (orang), yakni manusia yang bertindak sebagai penyimpan,

pengolah, dan penyaji pesan. Termasuk kelompok ini misalnya dosen,
guru, tutor, dll.
3.

Materials (bahan), yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk

disajikan melalui penggunaan alat/perangkat keras, ataupun oleh dirinya
sendiri. Berbagai program media termasuk kategori materials, seperti
transportasi, slide, film, audio, video, modul, majalah, buku dan booklet.
4.

Device (alat), yakni sesuatu (perangkat keras) yang digunakan yang

digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan.
Misalnya overhead proyektor, slide, video tape/recorder , dll.
5.

Technique (teknik), yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk

penggunaan bahan, peralatan, orang, lingkungan untuk menyampaikan
pesan. Misalnya pengajaran terprogram/modul, simulasi, demonstrasi,
tanya jawab, dll.
6.

Setting (lingkungan), yaitu situasi atau suasana sekitar dimana

pesan disampaikan. Baik lingkungan fisik ataupun non fisik.

30

2.4.3 Pengertian Booklet
Booklet termasuk salah satu jenis media grafis yaitu media gambar/foto.

Menurut Roymond (2009), Booklet adalah buku berukuran kecil (setengah kuarto)
dan tipis, tidak lebih dari 30 lembar bolak balik yang berisi tentang tulisan dan
gambar gambar. Istilah Booklet berasal dari buku dan leaflet artinya media Booklet
merupakan perpaduan antara leaflet dan buku dengan format (ukuran) yang kecil
seperti leaflet. Struktur isi Booklet menyerupai buku (pendahuluan, isi dan
penutup), hanya saja cara penyajian isinya jauh lebih singkat dari pada buku.
Booklet adalah cetakan dengan tampilan istimewa berbentuk buku. Booklet

dapat dipakai untuk menunjukkan contoh-contoh karya cipta yang berhubungan
dengan produk. Pembuatan isi Booklet tidak berbeda dengan pembuatan media
lainya. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Booklet adalah bagaimana
menyusun materi semenarik mungkin. Pengembangan Booklet adalah kebutuhan
untuk menyediakan refrensi (bahan bacaan) bagi kelompok masyarakat yang
memiliki keterbatasan akses terhadap buku sumber informasi. Dengan adanya
Booklet masyarakat diharapkan dapat memperoleh pengetahuan seperti membaca

buku, dengan waktu membaca yang singkat, dan dalam keadaan apapun (Roymond,
2009).
Menurut Roymond (2009) sebuah Booklet harus memenuhi beberapa
kriteria yaitu:
1. Menggunakan kalimat pendek, sederhana, singkat, ringkas dan sesuai
EYD.
2. Menggunakan huruf besar dan tebal
3. Dikemas dengan menarik.
4. Harus sesuai dengan isi materi yang disampaikan.

31

5. Materi menarik dan membuat masyarakat (pembaca) termotivasi.
6. Tujuan dan manfaatnya tersampaikan dengan jelas
2.4.4 Keunggulan Booklet
Menurut Hapsari (2004), media Booklet memiliki keunggulan sebagai
berikut :
a. Pengguna dapat menyesuaikan dari belajar mandiri.
b. Pengguna dapat melihat isinya pada saat santai.
c. Informasi dapat dibagi dengan keluarga dan teman.
d. Mudah dibuat, diperbanyak dan diperbaiki serta mudah disesuaikan.
e. Mengurangi kebutuhan mencatat.
f. Dapat dibuat secara sederhana dengan biaya relatif murah.
g. Daya tampung lebih luas.
h. Dapat diarahkan pada segmen tertentu.
Booklet memilki beberapa kelebihan diantaranya :

a. Dapat dipelajari setiap saat karena desain berbentuk buku
b. Memuat informasi relative lebih banyak dibandingkan dengan poster.
c. Mampu memberikan informasi yang lengkap dan praktis sehingga bisa
dibawa kemana mana.
d. Mudah untuk dibuat, diperbanyak, diperbaiki dan disesuaikan
Ditinjau dari penyebarluasannya, Booklet mempunyai pengertian sebuah
media dari komunikasi massa yang tidak hanya menyiarkan, memberitahukan dan
memasarkan, akan tetapi Booklet ini juga bisa berupa sebuah perwujudan dari
sebuah informasi yang bisa berupa pengertian-pengertian asal usul, penyuluhan,
serta pemberitahuan masyarakat yang biasanya lebih bersifat umum dan khusus.

32

Sehingga akhir dari tujuannya tersebut adalah agar masyarakat yang sebagai obyek
memahami dan menuruti pesan yang terkandung dalam media komunikasi tersebut.
2.4.5 Kekurangan Booklet
Booklet sebagai media cetak memiliki keterbatasan yaitu :

1. Perlu waktu yang lama untuk mencetak tergantung dari pesan yang akan
disampaikan dan alat yang digunakan untuk mencetak
2. Pesan atau informasi yang terlalu banyak dan panjang akan mengurangi
niat untuk membaca media tersebut.
3. Perlu perawatan yang baik agar media tersebut tidak rusak dan hilang.
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai media cetak,
Booklet memiliki kelebihan dapat dibuat dengan mudah dan biaya yang relatif

murah serta lebih tahan lama dibandingkan dengan media audio dan visual serta
juga audio visual. Booklet biasanya digunakan untuk tujuan peningkatan
pengetahuan, karena Booklet memberikan informasi yang lebih spesifik.
2.4.6 Prinsip Penyusunan Booklet
Menurut Masnur Muslich (2010), terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan
dalam penyusunan Booklet yang layak digunakan di sekolah, yaitu :
1. Aspek isi materi pada Booklet.
Materi atau isi Booklet harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang
dijadikan dasar dalam penulisan Booklet karena materi diharapkan dapat
membantu pencapaian tujuan pendidikan, mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks), mengembangkan kemampuan
bernalar, materi Booklet dapat mendorong pembacanya untuk dapat bernalar
atau berpikir. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Booklet, yaitu :

33

a. Relevansi, Booklet yang baik memuat materi yang relevan dengan
tuntunan kurikulum yang berlaku, relevan dengan kompetensi yang harus
dimiliki oleh lulusan tingkat pendidikan tertentu. Selain itu relevan
dengan tingkat perkembangan dan karakteristik siswa yang akan
menggunakan Booklet tersebut.
b. Adekuasi atau kecukupan. Kecukupan mengandung arti bahwa Booklet
tersebut memuat materi yang memadai dalam rangka mencapai
kompetensi yang diharapkan.
c. Keakuratan, mengandung arti bahwa isi materi yang disajikan dalam
Booklet benar-benar secara keilmuan, mutakhir, bermanfaat bagi

kehidupan, dan pengemasan materi sesuai dengan hakikat pengetahuan.
d. Proporsionalitas,

berarti

uraian

materi

Booklet

memenuhi

keseimbangan kelengkapan, kedalaman, dan keseimbangan antara materi
pokok dengan materi pendukung.
2. Apek Penyajian
Booklet yang baik meyajikan bahan secara lengkap, sitematis,

berdasarkan pertimbangan urutan waktu, ruang, maupun jarak yang disajikan
secara teratur, sehingga dapat mengarahkan kerangka berpikir (mind frame)
pembaca melalui penyajian materi yang logis dan sistematis. Penyajian Booklet
mudah dipahami dan Familyar dengan pembaca, penyajian materi dapat
menimbulkan suasana menyenangkan, penyajian materi dapat juga dilengkapi
dengan ilustrasi untuk merangsang pengembangan kreativitas.

34

3. Aspek Bahasa dan Keterbacaan
Keterpahaman bahasa atau ilustrasi meningkatkan keterpahaman
pembaca terhadap bahasa dan ilustrasi, penulis harus menggunakan bahasa dan
ilustrasi yang sesuai dengan perkembangan kognisi pembaca, menggunakan
ilustrasi yang jelas dan dilengkapi dengan keterangan. Ketepatan penggunaan
bahasa seperti menggunakan ejaan, kata dan istilah dengan benar dan tepat,
kalimat dengan baik dan benar, paragraf yang harmonis dan kompak.
4. Aspek Grafika
Grafika merupakan bagian dari Booklet yang berkenaan dengan fisik
Booklet seperti : ukuran Booklet , jenis kertas, cetakan, ukuran huruf, warna dan

ilustrasi. Ketepatan penggunaan gambar, foto atau ilustrasi sesuai dengan ukuran
dan bentuk, warna gambar yang sesuai dan fungsional. Semua komponen
tersebut membuat siswa akan menyenangi Booklet yang dikemas dengan baik
dan akhirnya juga menikmati untuk membaca Booklet tersebut.
2.5 Hasil Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian Siti Kholifah yang berjudul Hubungan Kerapatan
Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla Sp) Di Kampung Gisi Desa
Tembeling

Kabupaten

Bintan

diperoleh

hasil

penelitian

yaitu

Metode

penelitian yang dilakukan adalah menentukan titik stasiun berdasarkan tingkat
kerapatan mangrove. Pengumpulan data mangrove menggunakan transek garis
dengan ukuran 10x10 m tanpa jeda antar plot, sedangkan pengumpulan data
kepiting bakau adalah dengan menempatkan bubu pada setiap plot mangrove. Dari
data hasil penelitian, kerapatan vegetasi mangrove pada stasiun I adalah 2520
ind/ha dan pada stasiun II adalah 1900 ind/ha. Kedua stasiun tersebut masuk dalam

35

kategori rapat. Pada stasiun III kerapatan mangrove tergolong rendah yaitu 988,89
ind/ha.
Dari data hasil penelitian terhadap kepiting bakau, jumlah kepadatan
kepiting bakau di stasiun I adalah 140 ind/ha dengan kepadatan relatif Scylla
serrata 43%, Scylla tranquebarica 21%, dan Scylla olivacea 36%. Kepadatan

kepiting bakau di stasiun II adalah 100 ind/ha dengan kepadatan relatif Scylla
serrata 40% , Scylla tranquebarica 20%, dan Scylla olivacea 40%. Kepadatan

kepiting bakau di stasiun III adalah 88,89 ind/ha dengan kepadatan relatif Scylla
serrata 50%, Scylla tranquebarica 12%, dan Scylla olivacea 38%. Hasil analisis

regresi linier sederhana antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting
bakau menghasilkan persamaan Y = 0,0475x + 0,2739. Koefisien determinasi yang
diperoleh adalah 0,142 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kepadatan
kepiting bakau sebesar 14,2%. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0,376
artinya antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau berkorelasi
positif tetapi lemah.
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Miti Suryani tahun 2006 yang
berjudul Ekologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forskal) Dalam Ekosistem
Mangrove Di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu didapatkan hasil yaitu Penelitian
bertujuan menganalisis distribusi komunitas mangrove, menganalisis distribusi dan
kelimpahan kepiting bakau dengan aspek faktor lingkungan perairan dan
menetapkan strategi pengelolaan, telah dilakukan di tiga daerah pengamatan di
Desa Kahyapu Kepulauan Enggano dari bulan Maret – Juni 2005.
Hasil penelitian menunjukan bahwa komposisi vegetasi hutan mangrove
terdiri dari dua kelompok, di mana stasiun I dan II berada satu kelompok sedangkan

36

stasiun III berbeda pada tingkat perbedaan 96.71 %. Ketiga daerah pengamatan
didominasi oleh jenis mangrove yaitu Rhizophora. Total tangkapan kepiting bakau
di tiga stasiun juga dipengaruhi oleh pengelompokan vegetasi mangrove yaitu
stasiun III memberikan hasil tangkapan terendah. Setiap stasiun pengamatan juga
mempengaruhi distribusi ukuran kepiting bakau di mana stasiun I dan II tidak sama
dengan stasiun III (X2 = 10.29, p