Arsitektur Dan Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sebuah konsep karya arsitektur yang lengkap bukan hanya didasarkan pada kalkulasi
matematis dari kebutuhan kuantitatif para penggunanya, tetapi sekaligus mengacu pada
perkembangan cita kehidupan, tindakan, pola piker, termasuk pemahaman keyakinan
keagamaan. Sebuah karya arsitektur barulah menjadi bermakna ketika fungsi-fungsi yang
dikandungnya, baik fungsi fisik indrawi maupun fungsi nonfisiknya dapat dikoordinasikan
secara terpadu, dan tidak ditangkap secara terpisah-pisah. Dengan demikian, maka semua
berkaitan erat antara gagasan-gagasan kehidupan, perilaku masyarakat dan keduduan
tampilan benda budaya sekaligus dalam sebuah system telah menjadi jelas posisinya.
Arsitektur Islam pun dapat ditelusuri keadaan suatu masyarakat Muslim, situasi
kemasyarakatannya, pemahaman keagamaannya, di saat dan tempat di mana karya arsitektur
masjid tersebut berada. Arsitektur islam sebagai benda bentukan dengan sendirinya akan bisa
menuntun pada penjelasan tentang pola perilaku, kehendak, keinginan, dan gagasan
keagamaan masyarakat Muslim di sekeliling bangunan islam tersebut.
Semakin banyak tampilan elemen bangunan diperhaikan akan semakin banyak diperoleh
isyarat darinya. Sedemikian sehingga dapat disusun rangkaian peristiwa demi peristiwa
dibaliknya. Di akhir susunan tersebut dapat diperoleh gambaraan utuh kehidupan masyarakat
di balik penampilan karya arsitekturnya.

Pada masa Kerajaan di Indonesia, Islam untuk masuk di Jawa secara kultural, bukan
dengan paksaan. Dengan berbagai media penyampaian, Paham Islam berhasil menyebar
segala penjuru. Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, Islam muncul bersama nilai-nilai agama
yang dapat diterima oleh Masyarakat. Nilai-nilai Islam yang melekat pada kebudayaan Jawa
memang seolah telah menjadi kesatuan yang sulit dipisahkan dalam berbagai bidang nilai
Islam mampu memberikan pengaruhnya. Dalam makalah ini sedikit banyak akan diuraikan
bagaimana sejarah arsitektur dalam Islam seiring penyebaran Islam serta bentuk dan ciri khas
Arsitektur Islam di Indonesia.

Page | 1

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, di dapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana proses masuknya Arsitektur Islam ke Indonesia?
1.2.2 Apa saja jenis peninggalan Arsitektur Islam di Indonesia?
1.2.3 Bagaimana karakteristik atau cirri khas Arsitektur Islam di Indonesia?

1.3. Tujuan
1.3.1 Mampu memaparkan bagaimana masuknya Arsitektur islam ke Indonesia
1.3.2 Mengetahui Jenis-jenis peninggalan Arsitektur Islam di Indonesia

1.3.3 Mengetahui Karakter dari Peninggalan Arsitektur Indonesia

1.4. Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan oleh penulis pada makalah ini ialah berupa metode studi
pustaka melalui literatur-literatur yang relevan dengan bahasan pada makalah ini.

Page | 2

BAB II
ISI

2.1 Pra Arsitektur Islam di Indonesia
Dapat kita lihat bangunan Indonesia pada zaman dahulu terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama. Para ahli arsitektur tidak beruntung karena bahan-bahan hayati ini tidak dapat
bertahan lama dalam iklim Indonesia. Bangunan-bangunan kuno yang masih bertahan lama
yaitu pada bangunan yang terbuat dari bangunan batu. Bangunan batu tertua di Indonesia
dibangun pada akhir zaman prasejarah, lebih kurang 2.000 tahun yang lalu. Punden Berundak
dari batu dan gentang lahan yang berkaitan untuk upacara dibangun pada lereng pegunungan.
Punden Berundak ini digunakan pada periode klasik. Di beberapa wilayah nusantara, punden
Berundak ini masih digunakan untuk kegiatan keagamaan.

Pada periode klasik Indonesia dimulai dengan berdirinya candi batu dan batu bata yang
menaungi lambang dewa-dewa Hindu dan Budha. Contoh tertua, kerangka tahun awal abad
ke-8 dirancang oleh arsitek Indonesia yang sudah terbiasa bekerja dengan bahan permanen.
Menggunakan paduan ragam hias dan lambang pribumi dan asing. Mereka mengungkapkan
kembali konsep prasejarah Indonesia mengenai hubungan antar manusia, dewa, dan alam
semesta. Pemandangan alam, terutama pegunungan, merupakan perpaduan dalam pandangan
alam semesta mereka.
Terdapat sedikit contoh bentuk arsitektur periode klasik selain candi. Contoh ini
meliputi tempat pemandian dan reruntuhan yang mengundang pertanyaan dari gugus ratu
Baka yang mungkin digunakan untuk beberapa maksud, sebagai tempat tinggal para
bangsawan, tempat upacara umum dan terakhir tempat kegiatan keagamaan penganut Budha
dan Hindu. Sisa bangunan dari Jawa Timur menunjukkan bahwa beberapa wilayah kediaman
bangsawan abad ke-14 sebagian dibangun dari bata dan ubin. Sisa arsitektur periode klasik
terpusat di Jawa, tetapi beberapa tempat di Sumatera, Bali dan Kalimantan menunjukkan data
yang patut dipertimbangkan.
Selama periode klasik di Indonesia lebih kurang 800 tahun lamanya, bidang arsitektur
berevolusi sebagai reaksi terhadap perubahan agama, politik, dan kecenderungan umum
manusia dalam menginginkan perubahan gaya. Beberapa bangunan periode ini dianggap
sebagai bagian dari warisan kebudayaan dunia.
Contoh arsitektur pada bangunan candi zaman klasik dapatlah kita lihat bahwa konsep

dasar rancangannya adalah keinginan menciptakan tiruan gunung pada pusat alam semesta,
tempat roh para dewa dapat dibujuk untuk menjelma menjadi patung atau lingga yang
ditempatkan dalam ruangan yang menyerupai gua.
Page | 3

Arsitektur Indonesia klasik paling awal terdiri atas tempat suci Hindu, dibangun di
gunung api Jawa Tengah secara raga dan perlambang, bangunan ini bersandar pada
kepercayaan bahwa gunung merupakan tempat kekuatan adi kodrati. Setelah “elit” yang
berkuasa mulai membangun dengan batu, tempat bangunan mulai menyebar ke daratan
rendah perluasan ini mungkin berasal dari paduan semangat keinginan membuat tempat
keagamaan lebih mudah dicapai Masyarakat umum dan pengakuan untuk “elite” yang
berkuasa bahwa hubungan dengan kekuatan dewa secara nyata menambah kekuasaan
duniawi mereka.
Dalam bangunan candi terdahulu ada pula yang menggunakan kayu sebagai penyangga
luar, diantaranya dapatlah kita lihat pada arsitektur kayu Indonesia dari salah satu relief
Borobudur (serambi pertama, sisi timur, sayap utara, lubang pengatur suhu diatas).
Bangunan-bangunan ini memakai struktur penahan beban bagian luar dengan penyangga
berbentuk seperti tiang berwujud manusia (canyatid) dalam bentuk satwa liar. Rancangan ini
mirip dengan bangunan di India selatan (abad ke 4-9), tetapi saat arsitek Jawa membangun
dengan batu, teknik para arsitek setempat mulai menyimpang dari model India. Sementara

orang Jawa menggunakan bangunan pendukung dari luar, mereka mengabaikan penggunaan
sosok satwa sebagai penyangga dan menggantikannya dengan tiang, tahap ini tampak pada
relief-relief. Saat orang Jawa menggunakan batu sebagai bahan bangunan, bangunan penahan
berat bagian luar menjadi berlebih, tiang dan penyangga diubah menjadi unsur hiasan dinding
luar.
Bentuk bangunan arsitektur pada zaman prasejarah diantaranya yaitu bangunanbangunan candi ; candi Borobudur, candi Rara Jonggrang, candi Merak, candi Sewu, candi
Palosan, candi Kidal dan sebagainya. Candi-candi tersebut yang terbuat dari batu-batuan pada
zaman klasik terdahulu.

Page | 4

2.2 Sejarah Arsitektur Islam di Indonesia
2.2.1 Proses Masuknya Agama Islam ke Indonesia

Masuknya agama dan budaya Islam ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya hubungan
perdagangan Asia kuno, yang dilakukan oleh bangsa Cina dan India, yang mendorong
pedagang lainnya seperti pedagang dari Arab, Persia, Gujarat untuk ikut serta dalam
hubungan perdagangan tersebut. Hal itu menyebabkan kota-kota pelabuhan yang berfungsi
sebagai tempat transit ramai dikunjungi orang, sehingga dapat berkembang menjadi pusatpusat perdagangan dunia.Dari hubungan perdagangan tersebut, mereka dapat saling mengenal
budayayang dibawa oleh masing-masing pedagangyang dapat dilihat dari bahasa, barang

dagangan yang dibawa maupun dari corak hidup. Untuk itu banyak pedagang Arab, Persia,
dan Gujarat yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat, sehingga budaya Islam
dan agama Islam dapat dengan mudah disebarkan di berbagai wilayah Indonesia melalui
pendekatan budaya.

2.2.2 Teori-teori Masuknya Agama Islam ke Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Suryanegara
dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu:
o

Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India.Dasar dari teori ini adalah:

Gambar 2.2.2.1 Batu nisan Sultan Samudra Pasai
yaitu Sultan Malik Al-Shaleh pada tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat

o


Teori Mekkah

Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu
teori Gujarat.Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Page | 5

o

Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal
dari Persia (Iran). Dari teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat
IslamIndonesia seperti:

Gambar 2.2.2.2 Pengadobsian bentuk persia
pada makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik

Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan

kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwaIslam masuk ke
Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad
13.Sebagai pemegang peranan dalam penyebaranIslam adalah bangsa Arab, bangsa Persia
dan Gujarat (India).
Ditengah perbedaan penafsiran proses masuk dan berkembangannya agama Islam di
Nusantara. Para ahli sepakat bahwa golongan pembawa agama Islam di Nusantara adalah
kaum pedagang, guru pengajaran, serta Golongan lain yang juga disebut sebagai Tasawuf
(kaum sufi). Mereka diperkirakan masuk ke Nusantara pada abad ke-13.
Selain golongan pembawa tentu terdapat pula golongan penerima agama Islam.
Diantaranya adalah :






Para adipati pesisir yang langsung berhubungan denagn pedagang muslim,
Raja dan bangsawan yang ikut mempercepat perkembangan Islam,
Para pedagang muslim yang terlibat langsung dengan pedagang Islam dari luar,
Para wali songo,

Rakyat yang di Islamkan Wali songo.

2.2.3 Perkembangan Islam di Nusantara

Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula
kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga
Page | 6

lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam.
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan HinduBudha.
Fisik Bangunan pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat
(bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai
bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya
kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran
Hindu-Budha.Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja,
biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya.Setiap
keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai
penghubungnya.Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk
kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.


Gambar 2.2.3.1 Makam sendang duwur (Tuban)
terdapat arsitektur kebudayaan setempat berupa kori agung

Gambar 2.2.3.2 Makam sunan kudus
yang menggunakan gaya arsitektur hindu

Page | 7

Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam
bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah
dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal
kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang.Demikian pula, tradisi penaburan
bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,
dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan
juga unsur agama Hindu-Budha.Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian
masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara
kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam.Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih
tinggi dan dekat dengan masjid.Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit

Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid.Dalam agama Hindu-Budha
makam dalam candi.
a.

Bidang Pemerintahan

Ciri-ciri kerajaan yang bercorak Islam antara lain
 Raja bergelar Sunan atau Sultan yang berperan ssebagai kepala pemerintahan dan
pemimpin agama.
 Menggunakan ajaran Islam berupa Al Qur'an dan Hadits sebagai dasar pemerintahan.
 Menggunakan sistem dinasti yaitu secara turun-temurun.
 Kerajaan berfungsi sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan pengembangan agama.
b.
Bidang Sosial
Dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :



c.

Raja dan Bangsawan
Pemuka Agama
Wong Cilik (Kawula)
Bidang Ekonomi

Kota-kota pelabuhan di Indonesia yang berfungsi sebagai tempat transit atau
peristirahatan dapat berkembang menjadi pusat perdagangan internasional serta mulai dikenal
adanya perdagangan dengan menggunakan alat tukar uang.
d.

Bidang Budaya







Seni arsitektur berupa masjid, makam, menara, keraton, dan nisan.
Bahasa dan tulisan Arab.
Pakaian berjilbab dan baju koko.
Tulisan dari bahasa Arab.
Upacara-upacara keagamaan.
Hasil Akulturasi Budaya Islam dengan Budaya Indonesia
Page | 8

e.

Seni Bangunan


Masjid

Memiliki ciri-ciri yaitu,
 Atap yang berupa segitiga bertumpang yang berjumlah 3 atau 5 yang padapuncaknya
dilengkapi dengan mustoko.
 Menara yang merupakan kesatuan bangunan masjid Islam yang menjadi tambahan.
Menara ini berfungsi sebagai tempat adzan.
 Letak masjid selalu berdekatan dengan alun-alun dan istana.
 Memiliki denah berbentuk bujur sangkar ditambah dengan lantai yang berbentuk
punden berundak dan dilengkapi serambi di depan maupun di samping.
Contoh masjid yang merupakan hasil akulturasi budaya Islam dengan Indonesia adalah:

Gambar 2.2.3.3 Masjid Agung Cirebon




f.

Makam Malikul Saleh.
Cungkup makam Putri Suwari di Leran.
Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Aksara dan Seni Rupa

 Seni Kaligrafi
Penulisan huruf Arab dalam seni kaligrafi dipadukan dengan seni Jawa sehingga huruf
Arab dipadukan dengan huruf Jawa Kuno. Seni Kaligrafi digunakan sebagai hiasan pada
nisan makam, dinding rumah, pintu, keramik, ukiran Jepara.
 Seni Sastra
Seni Sastra Islam di Jawa yang muncul antara lain berupa hikayat, dongeng, dan babad
yang merupakan cerita rakyat yang berisi persebaran agama Islam.

Page | 9

2.3

Arsitektur Masjid dan Menara

2.3.1 Pengertian Masjid

Secara etimologi, “masjid” berarti tempat sujud atau tempat orang bersembah yang
menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh Islam. Sedangkan menurut sebuah hadis
Islam sendiri,masjid adalah setiap jengkal tanah di atas permukaan bumi ini. Hal tersebut
seperti yang dijelaskan dalam hukum atau syariat Islam bahwa Allah SWT sebagai Tuhan
dari umat beragama Islam ada dimana-mana, dan untuk menyembahnya dengan melakukan
sholat yang juga dapat dilakukan dimana-mana, atau tidak terikat oleh suatu tempat
(Soekmono, 1973).Sedangkan menurut Abdul Rochim dalam Martapa (2003) masjid sebagai
tempat beribadah kaum muslimin yaitu tempat bersujud dalam sholat untuk melaksanakan
perintah Allah SWT sesuai dengan ajaran Agama Islam. Karena Allah diyakini sebagai
pemilik jagad ini, maka untuk menyembahnya dapat dilakukan dimana saja. Dapat
disimpulkan bahwa seluruh jagad ini adalah masjid. Frick juga menambahkan penjelasan
mengenai batasan visual dari masjid, yaitu masjid sudah dapat diwujudkan dengan ruang
yang dibentuk oleh empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah
terbuka.
Dari dua penjelasan di atas mengenai definisi tentang masjid dapat ditarik kesimpulan
bahwapengertian masjid adalah semua tempat yang ada di muka bumi ini yang yang tidak
terbatas dapat digunakan oleh orang muslim untuk melaksanakan sholat atau sembahyang
sesuai dengan syarat dan rukun yang sudah ditetapkan oleh Islam. Karena pada masa lalu
orang Islam saat melakukan sembahyang, dan terutama dilaksanakan secara bersama-sama
atau berjamaah selalu menyediakan tempat tersendiri yang berupa sebuah tanah lapang yang
diberi batas-batas tertentu atau pagar. Pada perkembangannya, masjid tidak lagi berupa
sebuah tanah lapang yang diberi batasan tertentu saja. Melainkan umat muslim sudah
memberikan batasan tertentu yang lebih pasti dengan bentuk berupa bangunan fisik. Maka
dari itu tidak heran bila di masing-masing wilayah memiliki bentuk masjid yang beraneka
ragam. Hal ini menunjukkan fleksibelitas dan sifat adaptif dari masjid yang
dapatmenyesuaikan diri dengan lokasi tertentu.
Selanjutnya masyarakat memberikan suatu batasan ukuran dan bentuk, serta fungsi
dalamkepentingannya terhadap bangunan masjid. Pembatasan itu menghasilkan sebutan yang
berbedaantara masjid dan langgar atau surau. Perbedaannya hanya pada fungsi, ukuran dan
tambahan propertinya dalamnya saja. Kalau masjid biasanya dibuat lebih besar dengan
tambahan pada mihrab-nya berupa perengkapannya untuk kotbah yang disebut dengan
mimbar. Karena masjid selainberfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan Sholat
berjamaah, juga digunakan untuk melaksanakan ibadah Sholat Jum’at dan Sholat Hari Raya
Besar Islam seperti Idhul Fitri dan IdhulAdha, yang diikuti jama’ah yang jumlahnya lebih
banyak. Maka untuk dapat menampung dari jumlahjama’ah tersebut diperlukan tempat atau
Page | 10

bangunan yang juga lebih besar bentuknya.Sedangkan mushola, langgar atau surau bentuknya
lebih kecil dari masjid. Pada bangunan ini tidak dilengkapi dengan mimbar pada mihrab-nya,
karena hanya berfungsi untuk melaksanakan sholat berjamaah yang jama’ahnya biasanya
tidak begitu banyak atau dibangun hanya untuk melaksanakan ibadah berjamaah pada
masyarakat satu gang atau RT saja mengingat jarak ke masjid desabiasanya lumayan jauh.
Namun juga tidak menutup kemungkinan bila yang terjadi adalah sebaliknya,yaitu Langgar
atau surau yang pada perkembangannya beralih fungsi menjadi masjid karena juga
disebabkan oleh kepentingan masyarakat dalam kepentingan beribadah pada bangunan
tersebutdengan tambahan-tambahan pada bagian tertentu(Poesponegoro, 1984:287). Akan
tetapi, antara masjid dan mushola, langgar atau surau memiliki persamaan dalam bentuk
dansusunan bangunan yang berupa bujur sangkar dengan sebuah serambi di depannya.

2.3.2 Fungsi Masjid

Fungsi masjid yang sebenarnya adalah untuk tempat pusat ibadah dan kebudayaan
Islam, Ibadah dalam Islam antara lain :
 Hubungan manusia dengan Tuhan : shalat, I’tikaf, dan lain-lain
 Hubungan manusia dengan manusia : zakat, nikah, dan lain-lain
 Hubungan manusia dengan dirinya : mencari ilmu, mengaji, dan lain-lain
 Hubungan dengan alam : memelihara, memanfaatkan dan tidak merusak alam.
2.3.3 Elemen-elemen Masjid

Menurut Prof. Robert Hillenbrand, seorang pakar falsafah kesenian Islam, satu-satunya
unsure terpokok dalam membangun masjid, yang paling utama adalah penyediaan ruang
terbuka berorientasi kea rah kiblat dengan dikelilingi oleh pembatas. Adapun isi di dalam
ruangan tersebut dapat berbeda antara satu masjid dengan yang lainnya. Namun, kunci
utamanya adalah adanya elemen batas paling luar masjid, yang menjadi penegas batas daerah
haram dengan suci (Hillenbrand, 1994).
Wujud fisik bangunan merupakan pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari
masyarakat pelakunya. Sehingga organisasi ruang bisa saja berbeda namun secara umum
masjid terdiri dari mihrab, ruang shalat, ruang wudlu serta serambi. Adapun elemen
tambahan yang terkait dengan keberadaan masjid yaitu menara, cungkup (makam) serta
gudang. Secara fisik bagian-bagian dalam suatu masjid dapat digolongkan menjadi :
a. Mihrab
Mihrab merupakan bagian dari bangunan masjid atau mushalla yang biasanya digunakan
sebagai tempat imam memimpin shalat berjamaah.

Page | 11

Gambar 2.3.3.1 Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir

b. Mimbar
Pada umumnya mimbar terletak di sebelah kanan mihrab, berupa sebuah panggung dengan
peninggian. Digunakan untuk khatib memberikan ceramah atau khotbah yang biasanya
dilakukan pada hari Jum’at.

Gambar 2.3.3.2 Mimbar di Masjid Wonogiri

c. Ruang Shalat
Ruang shalat merupakan sebuah ruangan untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan.
Secara fisik ruang ini berbeda di beberapa Negara missal di Timur Tengah ruangan ini
terdiri dari ruang tertutup dan ruang terbuka namun untuk Indonesia kebanyakan ruang ini
terdiri dari ruang tertutup hal ini lebih dikarenakan pengeruh iklim dan cuaca.
d. Dikka
Dikka yaiitu berupa sebuah peninggian lantai yang biasanya segaris dengan mihrab yang
digunakan untuk Qori menirukan gerakan imam sehingga dapat dilihat seluruh jamaah.
Hal ini tidak begitu umum di Indonesia.

Page | 12

Gambar 2.3.3.3 Bentuk Dikka

e. Kolam
Kolam digunakan untuk melakukan ritual sebelum shalat yaitu berwudlu. Biasanya
terletak di bagian depan dari suatu masjid, namun dalam perkembangannya hal ini banyak
berubah digantikan dengan ruangan khusus untuk berwudlu.

Gambar 2.3.3.4 Kolam Wudlu peninggalan masjid Agung Demak

f. Pintu Gerbang
Pintu Gerbang atau Portal yaitu sebuah pintu masuk menuju masjid yang biasanya dihiasi
ornament-ornamen yang difungsikan untuk memberikan pengalaman keruangan tersendiri
ketika jamaah akan melangkahkan kaki menuju masjid.

Page | 13

Gambar 2.3.3.5 Pintu Gerbang Masjid Raya Medan

2.3.4 Aturan dan Etiket

a. Kebersihan
Masjid merupakan tempat yang suci,maka jamaah yang datang ke masjid harus dalam
keadaan yang suci pula. Sebelum masuk masjid, jamaah harus berwudhu di tempat wudhu
yang telah disediakan. Selain itu, jamaah tidak boleh masuk ke masjid dengan
menggunakan sepatu atau sandal yang tidak bersih.

Gambar 2.3.3.6 Melepas alas kaki di areal Suci (Masjid)

b. Konsentrasi
Masjid sebagai tempat untuk beribadah tidak boleh diganggu ketenangannya.
Pembicaraan dengan suara yang keras disekitar masjid yang dapat mengganggu jamaah di
masjid dilarang. Selain itu, orang tidak boleh berjalan di depan jamaah yang sedang salat.
c. Pemisahan Gender
Pemisahan antara lelaki dan perempuan di masjid sangat penting, agar tidak menimbulkan
syahwat atau hal-hal yang tidak diinginkan. Posisi jamaah wanita di masjid adalah di
belakang jamaah pria. Di Indonesia juga terdapat beberapa masjid yang memposisikan
Page | 14

jemaah wanita di samping jamaah pria. Pada beberapa masjid di Asia Tenggara dan Asia
Selatan, jamaah perempuan dipisahkan dengan sebuah hijab/korden pembatasatau
dibedakan lantainya. Sedangkan di Masjidil Haram, jamaah perempuan dan anak-anak
diberi tempat khusus untuk beribadah.

Gambar 2.3.3.7 Pembatas yang digunakan dalam memisahkan jamaah pria dan wanita

2.3.5 Tampilan dan Dekorasi Masjid

Dekorasi merupakan bagian dari seni seperti pada arsitektur, terkait langsung pada
jaman dan budaya suatu masyarakat. Dalam hal hiasan pada masjid tidak lepas dari hokum
Islam tertuang dalam hadits dan Al-Quran khususnya yang berkaitan dengan seni. Sebagai
contoh :
a. Corak Geometris Intricate
Yang dimaksud bentuk geometris adalah garis, bidang, lengkung, segitiga, hingga segi
banyak dan lain-lain ada dalam ilmu ukur, bagian-bagiannya termasuk sudut dan luasannya
dapat diukur. Dalam bangunan untuk ibadah islam, prinsip geometris diterapkan secara
fleksibel, fungsinya lebih banyak sebagai hiasan bidang, kubah, pelengkung, dan system
pelengkung muqarnas. Muqarnas adalah system proyeksi, pengulangan dan penggandaan
suatu bentuk ceruk, untuk dekorasi bagian-bagian peralihan dalam arsitektur. Hiasan
muqarnas sering disebut mocarabes dan juga karena bentuknya seperti stalaktit, batu kapur
terbentuk oleh tetesan air selama ratusan bahkan ribuan tahun di bagian atas gua-gua.

Page | 15

Gambar 2.3.5.1 Pola Geometris

Selain itu pola geometris dua dimensional sangat disukai. Hiasan dua dimensional ini
dibentuk oleh garis-garis atau bidang-bidang datar warna-warni dari bermacam bahan
menjadi pola seperti bintang, rumit dan ramai oleh karena itu sering disebut intricate.
Pengulangan secara terus menerus dari pola dekorasi geometris, menjadi ukiran dasar
menyatu dengan ukuran-ukuran bagian masjid lainnya termasuk struktur dan konstruksi.
b. Kaligrafi
Kaligrafi menjadi elemen yang oleh banyak orang dianggap menyatu dan harus ada dalam
sebuah masjid. Kaligrafi (calligraphy) adalah seni menulis huruf bagian dari seni, jadi terkait
langsung dengan keindahan, dan kesenangan. Kaligrafi pada umumnya dan ditulis kalimat
atau kata dikutif dari Al-Quran keindahan bukan dari bentuknya saja, namun juga dari makna
dan isinya.

Gambar 2.3.5.2 Contoh kaligrafi pada mihrab masjid

Sejalan dengan sejarah dan perkembangan Islam telah lama beradad-abad maka seni
kaligrafi Arab berkembang pula menurut tempat dan jaman. Dikenal beberapa aliran kaligrafi
arab, antara lain : Mashq, Kufic persegi (Square Kufic), Kufic Timur, Thuluth, Naskhi,
Muhaqqaq, Rihani, dan Taliq
Mashq sudah ada sejak abad I dari jaman muslim, berkembang di Mekah dan Madinah.
Kufic persegi berkembang di Kufa, irak pada abad IX. Kufic timur, versi lebih rumit terutama
Page | 16

pada tarikan garis vertical ke atas, berkembang sejak akhir abad X. Thuluth,
sepenuhnyaberkembang pada abad IX. Naskhi, ciri dari kaligrafi yang relative paling mudah
ditulis dan dibaca, sehingga paling sering dipakai untuk menulis Al-Quran setelah dirancang
ulang pada abad X. Muhaqqaq, model tulisan sama popular dengan model Naskhi. Rihani,
merupakan bentuk kombinasi dari Thuluth dan Naskhi. Taliq tulisan “menggantung”
dikembangkan oleh para penulis kaligrafi Persia pada abad IX. Variannya disebut Nostaliq,
diperkenalkan pada abad XV dan menjadikan bentuk paling umum dalam tulisan dokumendokumen Persia.
c. Ornamen Floral (Arabesque)
Selain hiasan geometris dan kaligrafi, banyak pula masjid dihias dengan corak floral
(tumbuh-tumbuhan) baik diabstraksikan total sebagian ataupun dalam bentuk nyata menjadi
pola lengkunga-lengkung, dari tanaman batang, bunga, daun dan buah.
Hiasan floral biasanya menggunakan satu pola kemudian diulang dan dilipat gandakan,
menerus menjadi bidang, garis maupun bingkai dari pintu, jendela, kolom, balok, lantai,
plafon, kubah luar maupun dalam, bidang dan lain-lain. Sama dengan pola dekorasi
geometris dan kaligrafi, bentuk floral dibuat dengan relief, mozaik juga dengan cara dilukis
dengan bahan warna.

Gambar 2.3.5.3 Ukiran Floral pada mimbar masjidNr Sulaiman Banyumas

2.3.6 Ciri Khas Masjid di Indonesia

Unsur Universal kebudayaan Islam terutama elemen kubah, minaret, kelengkungan, dan
kaligrafi, telah menyatukan tampilan arsitektur masjid seakan menjadi sama corak. Kubah,
lengkung, kaligrafi, dan mimbar bukan benda-benda suci yang perlu diistimewakan. Apabila
dilihat dengan cermat tampilan tersebut mengandung ciri pembeda antara satu wilayah
Page | 17

dengan wilayah lainnya. Ciri pembeda tersebut, untuk daerah di sekitar Timur Tengah
memang terasa kecil. Namun, tetap menjadi petunjuk adanya corak kedaerahan. Hal ini
menandai keberadaan unsure local selalu tetap dihargai dalam tampilan arsitektur Islam.
Beberapa ciri khas masjid di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Atap
Atap adalah salah satu elemen terpenting masjid di Jawa. Bentuk atap tajug yang kerap
disebut sebagai “konstruksi atap berbentuk pyramid memusat yang bertingkat-tingkat”
bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu karakteristik masjid tradisional. Bangunan masjid
tradisional Jawa kebanyakan menggunakan struktur atap tajug, yang secara inheren memiliki
ruang pusat diantara empat saka guru (empat kolom utama) ruang terpusat dan ruang yang
berada di belakangnya biasanya memiliki nilai yang lebih tinggi namun untuk bangunan
masjid, penggunaan ruang sehari-hari telah mengalahkan makna simbolis aslinya. Filosofi
atap tajug diasosiasikan sebagai jamaah yang betumpuk-tumpuk memadati masjid untuk
beribadah kepada Allah.

Gambar 2.3.6.1 Perspektif Masjid Cipanti Tempo dulu

Penggunaan atap berupa kubah di Indonesia merupakan wujud kemajuan jaman dan
modernitas. Sehingga dapat menggeser penggunaan bentuk atap dan puncak yang tradisional
(Tajug atau Tumpang dan Mustaka). Sebenarnya kubah masjid juga memiliki sejarah yang
sangat panjang dalam perkembangannya. Meskipun sebenarnya kubah belum dikenal pada
masa Nabi Muhammad SAW. Bentuk pertama kali Masjid Madinah (Nabawi) yang
merupakan masjid pertama di dunia belum menggunakan atap kubah. Akan tetapi berbentuk
persegi empat dengan dinding pembatas di sekelilingnya. Di Nusantara, masjid umumnya
beratap tumpang. Kubah belum dikenal. Penggunaan kubah di Asia Tenggara dimulai setelah
Perang Rusia-Turki pada 1877-1878 –antara Rusia, Romania, Serbia, Montenegro, dan
Bulgaria melawan Kekaisaran Ottoman– yang mencuatkan ide revitalisasi Islam dan PanIslamisme. Saat itu Kekaisaran Ottoman melancarkan gerakan budaya, termasuk pengenalan
jenis masjid baru. Gerakan ini bergema di Asia Tenggara.
Page | 18

Sehingga pada perkembangannya kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern
yang seakan-akan wajib dipergunakan dalam masjid-masjid baru di Asia Tenggara. Masjid
pertama di Nusantara yang menggunakan atap berupa kubah adalah Masjid Riau yang
dibangun pada tahun 1803 pada saat direnovasi oleh Raja Abdul Rohman (1833-1843).
Sedangkan menurut Pijper dalam Akbar (2010) menduga masjid di Jawa yang menggunakan
kubah pertama kali berada di Tuban, yang peletakanbatu pertamanya dilakukan pada tahun
1894 Masehi. Penggunaan atap kubah ini sebenarnya sangat menghilangkan gaya arsitektur
kuno Indonesia.

b. Masqura
Maksura adalah ruang khusus tempat shalat raja atau sultan pada sebuah masjid. Ruang
ini biasanya merupakan kelengkapan dari masjid kerajaan, terletak di ruang utama.
Keberadaan maksura antara lain dimaksudkan untuk menjaga keamanan penguasa apabila
berkenan hadir untuk melakukan shalat.
Maksura terdapat di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, maksura berbentuk seperti
sangkar pesergi yang terbuat dari kayu jati berukuran 270x220x210 dengan lantai setinggi 20
cm dari lantai ruangan utama. Pada sebelah kiri di sisi luar Maksura terdapat tempat tombak
berjumlah 2 buah yang berfungsi untuk meletakkan tombak para pengawal Sri Sultan. Di
Masjid Agung Kraton Surakarta, ruang tersebut diberi atap limas. Baik di Yogyakarta
maupun Surakarta, maksura terletak di dalam ruang utama, berada di sudut kiri depan, atau di
sebelah kiri mihrab. Selain di kedua masjid tersebut, maksura juga terdapat di Masjid Puro
Pakualaman, Yogyakarta dan Masjid Nur Sulaiman, Banyumas.

Gambar 2.3.6.2 Maksura pada Masjid gedhe Kauman Yogyakarta

c. Bedug
Bedug merupakan alat musik tabuh seperti gendang yang memiliki fungsi sebagai alat
komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia,

Page | 19

sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu shalat atau
sembahyang.
Bedug sebenarnya berasal dari India dan Cina. Berdasarkan legenda Cheng Ho dari
Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja
Jawa pada masa itu. Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, dan hendak memberikan
hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara
bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di
negara Cina, Korea dan Jepang, yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat
komunikasi ritual keagamaan.

Gambar 2.3.6.3 Bedug di MAsjid Istiqlal, Jakarta

2.3.7 Menara Masjid

Menara masjid merupakan sebuah bangunan sebagai tempat untuk mengumandangkan
adzan(ajakan untuk menunaikan ibadah sholat) pada awal perkembangannya. Seiring
perkembangannya, terdapat pula fungsi-fungsi lainnya. Terdapat berbagai istilah untuk
menyebutkan menara yang berasal dari bahasa Arab. Ms’dhana dan Mi’dhana yang berarti
tempat menyerukan adzan dan Sawma’a yang berarti ruangan. Dalam bangunan masjid
sendiri bangunan menara bukan suatu hal yang wajib ada. Agama Islam sendiri tidak
memberikan aturan khusus dakam pembangunan menara. Namun, di pulau Jawa beberapa
masjid memiliki bangunan yang memilik bangunan yang bentuknya beragam. Pada menaramenara masjid di Pulau Jawa abad ke 15-19 M terdapat gaya-gaya yang di pengaruhi oleh
budaya asing. Berdasarkan periode waktunya maka pengaruh-pengaruh tersebut berasal dari
Belanda, Arab, dan Hindu-Budha. Berikut merupakan contoh-contoh masjid yang memiliki
menara di Indonesia :
Page | 20

a. Menara Kudus

Gambar 2.3.7.1 Menara pada masjid Kudus

Masjid yang terletak di Kota Kudus, Jawa Tengah, ini dibangun pada 956 H/1549 M.
Masjid ini terkenal dengan menaranya yang unik, yang merupakan bagian dari kompleks
makam Sunan Kudus. Menara ini pada dasarnya meniru bangunan candi zaman Majapahit
yang terdiri dari kaki dan tubuh bangunan yang berjenjang beserta pelipit-pelipit mendatar
sebagai batas.
Bagian dinding menara terbuat dari material batu bata. Sementara bagian atas menara
berbentuk atap tumbang dengan konstruksi kayu. Hiasan bidang, meskipun sudah
disamarkan, masih tampak seperti bekas-bekas hiasan pada bangunan candi.

b. Masjid Istiqlal Jakarta

Gambar 2.3.7.2 Menara pada masjid Istiqlal

Masjid Istiqlal merupakan salah satu masjid di Indonesia yang mengedepankan gaya
arsitektur Islam modern. Gaya arsitektur modern ini juga tampak pada bagian menara masjid.
Bangunan menara yang berfungsi sebagai tempat muazin mengumandangkan azan sebagai
tanda waktu shalat tiba ini dibangun meruncing ke atas dan memiliki lubang-lubang pada
bagian dindingnya. Lubang-lubang tersebut untuk mengurangi tekanan dan hembusan angin.
Page | 21

Menara ini memiliki ketinggian 66,66 meter dengan diameter lima meter. Ketinggian
menara ini sebagai simbol dari jumlah ayat yang terdapat dalam Alquran. Sementara di atas
tempat muazin mengumandangkan azan adalah puncak menara yang terbuat dari baja tahan
karat seberat 28 ton dengan tinggi 30 meter.

c. Masjid Agung Banten

Gambar 2.3.7.3 Menara pada masjid Agung Banten

Masjid ini termasuk salah satu yang tertua di Jawa. Masjid yang dibangun oleh Sultan
Maulana Hasanuddin (1552-1570) terletak di sisi alun-alun dan di sebelah utara keraton.
Menara Masjid Agung Banten berbentuk mercusuar dengan gaya Eropa yang tampak kurang
serasi dengan bangunan masjidnya.
Awalnya, sebelum difungsikan sebagai menara masjid, menara ini digunakan sebagai
menara rambu dan pengintai untuk Pelabuhan Banten yang kerap menjadi sasaran serangan
oleh kekuatan-kekuatan Eropa sebagai rival Belanda. Menara ini dibangun oleh seorang
arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel, yang bekerja di kota pelabuhan itu pada abad ke17M.

2.3.8 Contoh-contoh Masjid

Keberagaman budaya di Indonesia pun menyebabkan karakter dari Arsitektur di setiap
daerah berbeda-beda juga, sama halnya dengan bangunan Islam terutama untuk bangunan
Masjid. Contoh bangunan masjid di daerah Sumatra adalah masjid Beuracan.

Page | 22

Gamabar 2.3.8.1 Masjid Beuracan / masjid Guci Keuramat Pidie Jaya

Masjid beuracan terletak di desa kecil di daratan Aceh Raya yang terletak di Kecamatan
Meureudu, Kabupaten Pidie jaya, yaitu di sisi jalan poros Sigli-Medan. Dimana masjid
tersebut merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia berusia 390 tahun yang dibangun
oleh Teungku Salim seorang mubaligh asal Madinah di zaman Sultan Iskandar Muda.
Masjid-masjid kuno di Sumatra pada umumnya juga memiliki ciri khas yang sama.

Gamabar 2.3.8.2 Masjid Minangkabau tahun 1895

Page | 23

Gamabar 2.3.8.3 Masjid Indrapoeri di Aceh pada tahun 1880

Gamabar 2.3.8.4 Masjid Jambi tahun 1900-1939

Gamabar 2.3.8.5 Masjid Van Samalanga tahun 1880-1910

Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar memiliki beberapa
ciri diantaranya sebagai berikut:
Page | 24

 Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari
tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya
ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut
dengan Mustaka.
 Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar
Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk
menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli
Indonesia.
 Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan
didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Pada bangunan masjid di Jawa memiliki lebih banyak variasi dibandingkan dengan
bangunan masjid di daerah-daerah lain di Indonesia. Ini dikarenakan perkembangan budaya
di Pulau Jawa sangatlah cepat karena banyaknya para pendatang ataupun saudagar yang
singgah di daratan Jawa tersebut. Beberapa contoh masjid di Jawa adalah sebagai berikut :
a. Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi, sebagaimana tertulis di prasasti yang
terpahat di saka masjid. Masjid ini juga lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri
tahun 1294 Masehi, disinyalir masjid ini berdiri pada masa kerajaan Singasari. Masjid
Saka Tunggal menjadi satu-satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era
Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16 Masehi. Jika dihitung
mundur, masjid ini diperkirakan berdiri 2 abad sebelum era wali songo.

Gamabar 2.3.8.6 Gerbang menuju Masjid Saka Tunggal Baitussalam

Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat
sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu
dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian
Page | 25

masjid tersebut. Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di
tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat
lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti
manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air,
dan bumi. Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus.
Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi
manusia.

Gamabar 2.3.8.7 Interior Masjid Saka Tunggal pasca renovasi.

Masih mempertahankan arsitektur asli dengan penambahan tiang bantu
Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu
banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin,
jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak
ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,”
Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia.
Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah,
mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi
watak manusia.

Page | 26

Gamabar 2.3.8.8 Ornamen masjid di ruang utama

Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di
mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar
matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada
bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini
mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di
Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya
sudah diganti dengan tembok.
Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga
diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding telah
direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada
perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang. Sedangkan tiang dari
kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih terlihat begitu
kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak
mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu, kecuali hanya membangun tembok
sekeliling masjid sebagai penopang. Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap
rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib
dan tempat wudlu.

Page | 27

b. Masjid Sultan Suriansyah

Gamabar 2.3.8.9 Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah yang
merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa
pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama
Islam . Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota
Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya
adalah Masjid Besar (Masjid Jami) dan Masjid Basirih. Masjid ini terletak di Kelurahan
Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama
merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya
berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di seberangnya terdapat
sungai kuin.
Bentuk arsitektur dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang, merupakan
masjid bergaya tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian
mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan di
tepi sungai Kuin.

Page | 28

Gamabar 2.3.8.10 Atap bagian mihrab yang terletak di samping atap bangunan induk

Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang
berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang
Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi:
" Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu
ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang
mulia." Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu
berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri
Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak
terbaca)" . Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanghgal 10 Sya'ban 1159
telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (renovasi masjid) oleh Kiai Demang
Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I (1734-1759).
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan
kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat
tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada
bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".

Gamabar 2.3.8.11 Interior bangunan Masjid Sultan Suriansyah

Page | 29

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur
Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah
ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh
arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut
tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid
tersebut.
Tiga aspek tersebut yaitu sebagai berikut :
 Atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella.
 Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang
bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi
kekuasaan ke atas.
 Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak
dan paling tinggi.
Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat
sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan,
memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut
cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang
cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara
kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

c. Masjid Agung Demak

Gamabar 2.3.8.12 Tampak depan Masjid Agung Demak

Mesjid Agung Demak berlokasi di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Di tempat ini
juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya
Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak terletak kurang lebih 26 km dari kota
Semarang dipercaya berasal dari kerajaan Majapahit
Masjid Agung Demak merupakan situs peninggalan Islam tertua di Indonesia berupa
sebuah mesjid kuno yang arsitekturnya masih perpaduan antara arsitektur jawa kuno pada
Page | 30

masa kerajaan Hindu. Hal ini dapat dilihat dengan adanya atap meru, ruang keramat dan
tiang guru yang melingkupi ruang cella. Ini merupakan ciri khas dari bangunan-bangunan
suci pada masa kerajaan Jawa kuno.

Gamabar 2.3.8.13 Interior bangunan masjid agung demak

Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional
khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan
berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan
ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang
terdiri dari tiga bagian yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang
berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau
887 H.

d. Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar)
adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956
Hijriah dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama
dan terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah.Yang
paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak
Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya
yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan
Page | 31

berbagai menara masjid di seluruh dunia.Keberadaannya yang tanpa padanan karena
bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang
menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid ini
mendekati kualitas local genius.

Gamabar 2.3.8.14 Bangunan masjid Kudus denan menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit

Gamabar 2.3.8.15 Menara Masjid Kudus merupakan bangunan menara masjid paling unik di Kota
Kudus karena bercorak Candi Hindu Majapahit

Menara Kudus itu tingginya sekitar 18 meter dan di bagian dasarnya berukuran 10 x
10 m, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya
berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan
masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sedang 12 buah lainnya berwarna merah
putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati
yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas
Page | 32

menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara
Kudus itu terdiri dari 3 bagian :

Kaki ,


Badan dan



Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix ( hiasan yang

menyerupai bukit kecil ).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk
motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang
tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian
kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat
soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk.
Pada bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada
puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas
merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.
Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa
perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara
khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering
ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat
pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati
dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian
puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang
bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen
arsitektur Jawa-Hindu.
Arsitektural Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5
buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah,
dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini
tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 – an telah direnovasi.
Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk “padasan” tersebut
merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat
khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang
biasa disebut oleh penduduk sebagai “Lawang kembar“.
Di komplek Masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan. Di
atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi
keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.

Page | 33

e. Masjid Agung Banten

Gamabar 2.3.8.16 Masjid Agung Banten di tahun 1880-an
(litografi berdasarkan lukisan oleh Josias Cornelis Rappard)

Masjid Agung Banten termasuk masjid tua yang penuh nilai sejarah. Setiap harinya
masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tak hanya dari Banten dan Jawa
Barat, tapi juga dari berbagai daerah di pulau Jawa.

Gamabar 2.3.8.17 Morfologi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Banten terletak di kompl