Kasus Ekstradisi Westerling 1950 Antara
TUGAS PENGGANTI UTS
KASUS EKSTRADISI WESTERLING
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Pengganti UTS
Mata Kuliah Hukum Humaniter
SWITTRI DEWI TAMBUN
170210110025
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
KASUS EKSTRADISI WESTERLING
I.
Sekilas Kasus Westerling
Raymond Pierre Paul Westerling adalah seorang komandan pasukan khusus Belanda
yaitu Depot Speciale Troepen (DST).1 Dalam kasus ini, Ia bersama pasukannya telah
melakukan pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia, terutama didaerah Sulawesi
Selatan. Pembantaian tersebut terjadi pada bulan Desember 1946 – Februari 1947
selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Tahun 1947,
delegasi Republik Republik Indonesia Serikat menyampaikan kepada Dewan Keamanan
PBB, korban pembantaian Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa yang dilakukan
dalam kurun waktu tiga bulan.2 Kasus pelanggaran HAM tersebut kemudian tersebar di
berbagai media di dunia. Westerling berulang kali bersembunyi dan berusaha untuk
berpindah-pindah tempat agar dia tidak ditangkap dan diadili oleh Indonesia karena
telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Pada 9 Februari 1950, Moh. Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda
berhasil menangkap Westerling, pihak RIS akan mengajukan tuntutan agar Westerling
diserahkan kepada pihak Republik Indonesia Serikat. Pihak Belanda berusaha untuk
melindungi Westerling dan menyembunyikannya. Pada tanggal 22 Februari, Westerling
mengenakan seragam Sersan KNIL, yang kemudian dibantu oleh Mayor Van der Veen
dibawa menuju Pelabuhan Tanjung Priok untuk kemudian diterbangkan menuju
Singapura dengan menggunakan pesawat catalina. Pada 26 Februari 1950, Westerling
digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi.
Kemudian Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi kepada Singapura agar
Westerling diserahkan kepada Indonesia. Pada saat itu Republik Indonesia Serikat
merupakan bekas negara jajahan Belanda dan Inggris merupakan negara koloni Inggris
dan otoritas Inggris yang berkuasa di Singapura.
1
Batara. R Hutagalung. 2012. Teror Westerling di Republik Indonesia dalam Dalam
Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKIS :
Yogyakarta.
2
THE national archives. 2013. Singapore: extradition of Captain R P P Westerling.
Tersedia dari : http://discovery.nationalarchives.gov.uk/SearchUI/Details?
uri=C14049661 [Diakses 15 April 2014]
II.
Teori Ekstradisi : Review Extradition Treaties
Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan
oleh pemerintah suatu negara dan diserahkan kepada pemerintahan asing untuk
menjalani persidangan. Menurut J.G. Starke, ekstradisi merupakan proses dimana
berdasarkan perjanjian atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada
negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan
tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan,
negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku
tindak
pidana
tersebut.3
Suatu negara tidak
memiliki
suatu kewajiban
untuk
menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip negara
berdaulat bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam
batas negaranya. Untuk itu, perlu diadakan perjanjian ekstradisi yang sudah banyak
dilakukan oleh negara-negara. Contohnya adalah Amerika Serikat telah menjalin 60
perjanjian ekstradisi, 20 diantaranya dengan negara-negara Uni Eropa. Berikut ini
merupakan keterangan mengenai ekstradisi :
a. Ekstradisi dilakukan jika kejahatan yang dilakukan oleh kriminal terdapat
dalam daftar kejahatan yang sudah disetujui dalam perjanjian ekstradisi.
Daftar pelanggaran dalam perjanjian bervariasi dan cenderung bersifat usang
karena terdapat bentuk penyimpangan baru. Dalam perjanjian, terdakwa
tidak diadili karena pelanggaran, selain dari permintaan dalam ekstradisinya.
b. Terdapat konsep umum mengenai ‘double criminality’, dimana tindak
kejahatan yang dilakukan secara hukum merupakan tindak kriminal dikedua
negara tersebut. Beberapa perjanjian menerapkan aturan mengai hal tersebut,
beberapa perjanjian juga menetapkannya hanya pada pelanggaran yang
spesifik. Kriminalitas ganda tersebut terkadang menimbulkan masalah ketika
hukum dari negara lain bersifat aneh dan tidak sama.
c. Terdapat prinsip bahwa kejahatan politik tidak termasuk subjek ekstradisi.
Prinsip ini menjadi dilema dalam beberapa kasus, misalnya ketika seorang
3
J. G.Starke. 2004. An Introduction to International Law. ed. 7. London:
Butterworths. Hal. 127.
pembunuh atau pencuri yang merupakan buronan, tetapi ia juga adalah orang
penting dari partai revolusioner.
d. Beberapa negara dalam konstitusinya mengatur bahwa negara tersebut tidak
akan melakukan ekstradisi terhadap warga negaranya sendiri. Misalnya,
Amerika yang dalam hal ini memiliki variasi dalam perjanjiannya dengan
negara lain. Dengan Brazil, mengurangi kewajiban untuk mengekstradisi
warga negaranya, dengan Swedia yaitu dengan menyerahkannya kepada
keputusan pada lembaga eksekutif apakah dia diekstradisi dan dengan Israel
yang menyatakan bahwa ekstradisi dapat ditolak jika mempertimbangkan
bahwa buronan adalah warga negaranya.
e. Menurut pendekatan tradisional, ekstradisi hanya boleh dilakukan jika tindak
kejahatan yang dilakukan dalam teritori negara yang menuntut. Beberapa
perjanjian menerapkan sanksi ekstradisi dalam beberapa kasus jika hukum
kedua negara mengizinkan penerapan sanksi pidana meskipun hal tersebut
menyangkut permasalahan ekstrateritorial.
Dalam hal ini akan dibahas mengenai kasus ekstradisi dari Raymond Pierre Paul
Westerling, seorang komandan pasukan berkewarganegaraan Belanda yang telah
melakukan pembantaian terhadap ribuan orang Indonesia. Westerling melarikan diri ke
Singapura, Indonesia lalu meminta untuk mengekstradisi westerling dari Singapura agar
Westerling dapat diadili oleh Indonesia.
III.
Pernyataan Republik Indonesia Serikat
Indonesia yang pada saat itu (tahun 1950) masih bernama Republik Indonesia
Serikat (RIS), merupakan bekas negara jajahan Belanda dan juga merupakan negara
peralihan kekuasaan (state successor) Belanda. Dengan berdasarkan pada perjanjian
antara Belanda dengan Inggris dalam perjanjian The Anglo Netherland Extradition
Treaty pada tahun 1898, maka Republik Indonesia Serikat mengajukan permintaan
ekstradisi Westerling kepada pihak Singapura yang pada saat itu merupakan negara
koloni Inggris. Pihak Republik Indonesia Serikat sesuai dengan perjanjian ekstradisi
tersebut meminta hak-hak dan kewajiban yang didapatkan dari perjanjian ekstradisi
selaku negara peralihan kekuasaan Belanda. Pihak RIS ingin mengadili Westerling yang
telah melarikan diri ke Singapura karena dianggap telah melakukan kejahatan yaitu
pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia.
IV.
Pernyataan Hakim Singapura
Seorang hakim yang merupakan pemerintah cabang eksekutif Singapura bernama
Evans J membuat pernyataan mengenai kasus ekstradisi Westerling :
Pernyataan pertama Evans J
Tidak ada perjanjian langsung yang mengikat antara Republik Indonesia Serikat
dan Inggris mengenai ekstradisi, tidak ada juga order of council mengenai tindakan
Republik Indonesia Serikat berkenaan dengan perjanjian tersebut. Argumen tersebut
didasarkan antisipasi terhasdap kasus yang dibuat dan berdasarkan status Republik
Indonesia Serikat sebagai bekas jajahan Belanda dan merupakan ‘successor’ dari negara
Belanda. Penasihat menyatakan bahwa jika tidak ada perjanjian khusus ekstradisi, maka
tindakan RIS tersebut tidak dapat diterima.
Pernyataan kedua Evans J
Evans J juga menyatakan bahwa RIS adalah negara yang baru merdeka dan
berdaulat setelah Belanda telah memberikan suksesi. Sehingga, kasus dari kedua negara
tersebut tidak dapat mempengaruhi pihak ketiga. Pernyataan tersebut dibuat sebagai
respon dari pernyataan jaksa agung yang mengatakan bahwa RIS mempunyai hak-hak
dan kewajiban yang didapatkan dari kerajaan Belanda berdasarkan perjanjian perjanjian
ekstradisi antara Ingris dan Belanda pada 1898 bernama The Anglo Netherland
Extradition Treaty, perjanjian tersebut berlaku dan dapat diaplikasikan antara RIS dan
Inggris. Evans J juga mencantumkan beberapa kasus yang sama, seperti kasus Sultan
Johor, Tungku Abubakar dengan perusahaan duff development dari pemerintahan
Kelantan. Kasus yang kedua antara Engelke Musmann dan Gagara, serta kasus lainnya.
Kasus tersebut pada intinya menyimpulkan tentang kadaulatan negara asing dijunjung
tinggi.
Jadi sehubungan dengan pernyataan diatas, proses ekstardisi tidak dapat dilakukan
dikarenakan oleh alasan yang dinyatakan, antara lain bahwa (a) tidak ada perjanjian
ekstradisi yang spesifik dan mengikat secara langsung antara RIS dengan Indonesia, dan
(b) tidak ada order of council yang diperlukan berkenanaan dengan perjanjian
ekstradisi, dalam hal ini acts terhadap Indonesia. Pengadilan, pada awalnya menerima
pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesiatelah menggantikan Belanda sehubungan
dengan perjanjian Anglo Netherland Extradition Treaty 1898. Tetapi selanjutnya,
pengadilan memegang prinsip bahwa ketiadaan order in council merupakan sesuatu
yang fatal dalamproses ekstradisi, pengadilan tidak mempunyai yurisdiksi untuk
mengesahkan penyerahan terdakwa,
Pernyataan ketiga Evans J
Dalam hal ini berhubungan dengan aplikasi dari larangan yang ditujukan kepada
hakim distrik dan hakim utama untukmelanjutkan proses ekstradisi atas nama Republik
Indonesia Serikat pada penyerahan dari Raymond Paul Pierre Westerling dalam tindak
kejahatan yang telah dilakukan di pulau Jawa.
Ekstradisi melibatkan dua negara, pertama negara yang meminta ekstradisi dan
kedua negara dari terdakwa. Sebelum hal tersebut dapat diterapkan, kedua negara
tersebut terlebih dahulu harus setuju untuksaling ekstradisi. Selain tidak adanya
perjanjian,tidak ada pula order in council dari Republik Indonesia Serikat.
Jadi,penasihat berpendapat benar bahwa permasalahan ini tidak dapat disahkan. Ia juga
menyatakan bahwa Republik Indonesia Serikat merupakan negara yang baru merdeka
dan berdaulat dan bahwa Belanda telah memberikan suksesi kepada Indonesia, tetapi
tindakan dari kedua negara tersebut tidak dapat mempengaruhi pihak ketiga.
Pernyataan Mr Massey
Mr. Massey menekankan pada aspek ‘order of council’, dengan menyoroti paragraf
Netherlands Act : ‘Mulai saat ini dan setelah tanggal 14 Maret 1989, Acts tersebut akan
berlaku dan diaplikasikan pada kasus-kasus Belanda, berkenann dengan perjanjian yang
telah dibuat dengan Ratu Belanda.”
Pernyataan Sir Roland Brandell
Sir Roland Brandell menanggapi pernyataan Mr.Massey dengan menekankan bahwa
yang perjanjian adalah istrumen terpenting karena sifatnya paling operatif dan jelas. Dia
menekankan bagian 2 dari Acts of 1870 bahwa setiap hal harus dipertimbangkan seperti
yang tercantum pada perjanjian. Jika rekuisisi dibuat, apakah rekuisisi tersebut dibuat
oleh negara yang hukum (act) telah diaplikasikan, dan untuk menentukan, cara tersebut
harus mempunyai alasan-alasan yang di nyatakan, bukan untuk perjanjian, tetapi pada
order of council. Order of council merupakan instrumen hukum biasa yang diartikan
oleh pengadilan. Negara, dalam kasus ini yang hukum dapat diaplikasikan adalah
Belanda, bukan negara lain. Bukan Republik Indonesia Serikat, dan bukan Belanda dan
negara suksesornya (kedua-duanya) baik secara bersamaan maupun bergantian.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan pernyataan para hakim dan ahli Singapura yang menyatakan bahwa
Republik Indonesia Serikat tidak memiliki perjanjian ekstradisi langsung dengan
Inggris, ditambah lagi dengan tidak adanya order in council maka permintaan Indonesia
untuk mengekstradisi Westerling dari Singapura ditolak oleh pengadilan di Singapura.
Republik Indonesia Serikat juga sebagai negara yang baru merdeka dan berdaulat
mmeskipun telah mendapatkan suksesi dari Belanda, kedua negara tidak dapat
melibatkan pihak ketiga. Perjanjian The Anglo Netherland Extradition Treaty antara
Inggris dan Belanda, tidak berlaku bagi Indonesia meskipun Indonesia adalah negara
bekas jajahan Belanda. Westerling yang notabene juga memiliki kewarganegaraan
Belanda juga menyebabkan Indonesia tidak dapat mengadilinya sesuai dengan hukum
yurisdiksi Indonesia. Sehingga, alasan tersebut menguatkan bahwa permintaan
ekstradisi Westerling ditolak oleh Singapura sehingga Indonesia gagal mendapatkan
Westerling untuk diadili oleh pemerintahan Indonesia meskipun Ia sudah melakukan
pembunuhan sewenang-wenang terhadap ribuan warga Indonesia.
Pada 21 Agustus 1950, Westerling keluar dari penjara Changi dan meninggalkan
Singapura sebagai orang bebas. Dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan
ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang
pendukung Westerling.4 Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta
berbicara dalam berbagai pertemuan. Ia kemudian menulis buku mengenai
otobiografinya, yaitu Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit
tahun 1982.5 Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan
menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi
4
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Westerling Arrested in Singapore ;
Extradition Sought. Tersedia dari : http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/18143596
[Diakses 15 April 2014]
5
Batara, Op. Cit.
negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka
di Asia dan Afrika.6 Westerling pun meninggal pada tahun 1987 tanpa pernah diadili
dan merasakan hukuman akibat kejahatan kemanusiaan yang telah diperbuat olehnya
yaitu pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia.
Seharusnya, Indonesia pada saat itu dapat menggunakan alasan bahwa Westerling
adalah pelaku kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat yang sifatnya
universal dimana ia telah melakukan genosida terhadap ribuan orang Indonesia,
sehingga negara manapun yang menangkap dan menemukan dia harus menghukum atau
memberikannya kembali kepada Indonesia. Akan tetapi Indonesia pada saat itu tidak
menggunakan alasan tersebut, sehingga permintaan Indonesia ditolak karena alasan
yang tidak kuat.
6
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Request For Extradition of Westerling.
Tersedia dari : http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/47832424 [Diakses 15
April2014]
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Hutagalung, Batara. R. 2012. Teror Westerling di Republik Indonesia dalam Dalam
Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia. LKIS : Yogyakarta.
Starke, J. G. 2004. An Introduction to International Law. ed. 7. London: Butterworths.
Sumber Surat Kabar
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Request For Extradition of Westerling.
Tersedia dari : http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/47832424 [Diakses 15
April 2014]
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Westerling Arrested in Singapore ;
Extradition
Sought.
Tersedia
dari
:
http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/18143596 [Diakses 15 April 2014]
Sumber Internet
THE national archives. 2013. Singapore: extradition of Captain R P P Westerling.
Tersedia dari : http://discovery.nationalarchives.gov.uk/SearchUI/Details?
uri=C14049661 [Diakses 15 April 2014]
KASUS EKSTRADISI WESTERLING
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Pengganti UTS
Mata Kuliah Hukum Humaniter
SWITTRI DEWI TAMBUN
170210110025
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
KASUS EKSTRADISI WESTERLING
I.
Sekilas Kasus Westerling
Raymond Pierre Paul Westerling adalah seorang komandan pasukan khusus Belanda
yaitu Depot Speciale Troepen (DST).1 Dalam kasus ini, Ia bersama pasukannya telah
melakukan pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia, terutama didaerah Sulawesi
Selatan. Pembantaian tersebut terjadi pada bulan Desember 1946 – Februari 1947
selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Tahun 1947,
delegasi Republik Republik Indonesia Serikat menyampaikan kepada Dewan Keamanan
PBB, korban pembantaian Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa yang dilakukan
dalam kurun waktu tiga bulan.2 Kasus pelanggaran HAM tersebut kemudian tersebar di
berbagai media di dunia. Westerling berulang kali bersembunyi dan berusaha untuk
berpindah-pindah tempat agar dia tidak ditangkap dan diadili oleh Indonesia karena
telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Pada 9 Februari 1950, Moh. Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda
berhasil menangkap Westerling, pihak RIS akan mengajukan tuntutan agar Westerling
diserahkan kepada pihak Republik Indonesia Serikat. Pihak Belanda berusaha untuk
melindungi Westerling dan menyembunyikannya. Pada tanggal 22 Februari, Westerling
mengenakan seragam Sersan KNIL, yang kemudian dibantu oleh Mayor Van der Veen
dibawa menuju Pelabuhan Tanjung Priok untuk kemudian diterbangkan menuju
Singapura dengan menggunakan pesawat catalina. Pada 26 Februari 1950, Westerling
digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi.
Kemudian Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi kepada Singapura agar
Westerling diserahkan kepada Indonesia. Pada saat itu Republik Indonesia Serikat
merupakan bekas negara jajahan Belanda dan Inggris merupakan negara koloni Inggris
dan otoritas Inggris yang berkuasa di Singapura.
1
Batara. R Hutagalung. 2012. Teror Westerling di Republik Indonesia dalam Dalam
Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKIS :
Yogyakarta.
2
THE national archives. 2013. Singapore: extradition of Captain R P P Westerling.
Tersedia dari : http://discovery.nationalarchives.gov.uk/SearchUI/Details?
uri=C14049661 [Diakses 15 April 2014]
II.
Teori Ekstradisi : Review Extradition Treaties
Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan
oleh pemerintah suatu negara dan diserahkan kepada pemerintahan asing untuk
menjalani persidangan. Menurut J.G. Starke, ekstradisi merupakan proses dimana
berdasarkan perjanjian atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada
negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan
tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan,
negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku
tindak
pidana
tersebut.3
Suatu negara tidak
memiliki
suatu kewajiban
untuk
menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip negara
berdaulat bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam
batas negaranya. Untuk itu, perlu diadakan perjanjian ekstradisi yang sudah banyak
dilakukan oleh negara-negara. Contohnya adalah Amerika Serikat telah menjalin 60
perjanjian ekstradisi, 20 diantaranya dengan negara-negara Uni Eropa. Berikut ini
merupakan keterangan mengenai ekstradisi :
a. Ekstradisi dilakukan jika kejahatan yang dilakukan oleh kriminal terdapat
dalam daftar kejahatan yang sudah disetujui dalam perjanjian ekstradisi.
Daftar pelanggaran dalam perjanjian bervariasi dan cenderung bersifat usang
karena terdapat bentuk penyimpangan baru. Dalam perjanjian, terdakwa
tidak diadili karena pelanggaran, selain dari permintaan dalam ekstradisinya.
b. Terdapat konsep umum mengenai ‘double criminality’, dimana tindak
kejahatan yang dilakukan secara hukum merupakan tindak kriminal dikedua
negara tersebut. Beberapa perjanjian menerapkan aturan mengai hal tersebut,
beberapa perjanjian juga menetapkannya hanya pada pelanggaran yang
spesifik. Kriminalitas ganda tersebut terkadang menimbulkan masalah ketika
hukum dari negara lain bersifat aneh dan tidak sama.
c. Terdapat prinsip bahwa kejahatan politik tidak termasuk subjek ekstradisi.
Prinsip ini menjadi dilema dalam beberapa kasus, misalnya ketika seorang
3
J. G.Starke. 2004. An Introduction to International Law. ed. 7. London:
Butterworths. Hal. 127.
pembunuh atau pencuri yang merupakan buronan, tetapi ia juga adalah orang
penting dari partai revolusioner.
d. Beberapa negara dalam konstitusinya mengatur bahwa negara tersebut tidak
akan melakukan ekstradisi terhadap warga negaranya sendiri. Misalnya,
Amerika yang dalam hal ini memiliki variasi dalam perjanjiannya dengan
negara lain. Dengan Brazil, mengurangi kewajiban untuk mengekstradisi
warga negaranya, dengan Swedia yaitu dengan menyerahkannya kepada
keputusan pada lembaga eksekutif apakah dia diekstradisi dan dengan Israel
yang menyatakan bahwa ekstradisi dapat ditolak jika mempertimbangkan
bahwa buronan adalah warga negaranya.
e. Menurut pendekatan tradisional, ekstradisi hanya boleh dilakukan jika tindak
kejahatan yang dilakukan dalam teritori negara yang menuntut. Beberapa
perjanjian menerapkan sanksi ekstradisi dalam beberapa kasus jika hukum
kedua negara mengizinkan penerapan sanksi pidana meskipun hal tersebut
menyangkut permasalahan ekstrateritorial.
Dalam hal ini akan dibahas mengenai kasus ekstradisi dari Raymond Pierre Paul
Westerling, seorang komandan pasukan berkewarganegaraan Belanda yang telah
melakukan pembantaian terhadap ribuan orang Indonesia. Westerling melarikan diri ke
Singapura, Indonesia lalu meminta untuk mengekstradisi westerling dari Singapura agar
Westerling dapat diadili oleh Indonesia.
III.
Pernyataan Republik Indonesia Serikat
Indonesia yang pada saat itu (tahun 1950) masih bernama Republik Indonesia
Serikat (RIS), merupakan bekas negara jajahan Belanda dan juga merupakan negara
peralihan kekuasaan (state successor) Belanda. Dengan berdasarkan pada perjanjian
antara Belanda dengan Inggris dalam perjanjian The Anglo Netherland Extradition
Treaty pada tahun 1898, maka Republik Indonesia Serikat mengajukan permintaan
ekstradisi Westerling kepada pihak Singapura yang pada saat itu merupakan negara
koloni Inggris. Pihak Republik Indonesia Serikat sesuai dengan perjanjian ekstradisi
tersebut meminta hak-hak dan kewajiban yang didapatkan dari perjanjian ekstradisi
selaku negara peralihan kekuasaan Belanda. Pihak RIS ingin mengadili Westerling yang
telah melarikan diri ke Singapura karena dianggap telah melakukan kejahatan yaitu
pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia.
IV.
Pernyataan Hakim Singapura
Seorang hakim yang merupakan pemerintah cabang eksekutif Singapura bernama
Evans J membuat pernyataan mengenai kasus ekstradisi Westerling :
Pernyataan pertama Evans J
Tidak ada perjanjian langsung yang mengikat antara Republik Indonesia Serikat
dan Inggris mengenai ekstradisi, tidak ada juga order of council mengenai tindakan
Republik Indonesia Serikat berkenaan dengan perjanjian tersebut. Argumen tersebut
didasarkan antisipasi terhasdap kasus yang dibuat dan berdasarkan status Republik
Indonesia Serikat sebagai bekas jajahan Belanda dan merupakan ‘successor’ dari negara
Belanda. Penasihat menyatakan bahwa jika tidak ada perjanjian khusus ekstradisi, maka
tindakan RIS tersebut tidak dapat diterima.
Pernyataan kedua Evans J
Evans J juga menyatakan bahwa RIS adalah negara yang baru merdeka dan
berdaulat setelah Belanda telah memberikan suksesi. Sehingga, kasus dari kedua negara
tersebut tidak dapat mempengaruhi pihak ketiga. Pernyataan tersebut dibuat sebagai
respon dari pernyataan jaksa agung yang mengatakan bahwa RIS mempunyai hak-hak
dan kewajiban yang didapatkan dari kerajaan Belanda berdasarkan perjanjian perjanjian
ekstradisi antara Ingris dan Belanda pada 1898 bernama The Anglo Netherland
Extradition Treaty, perjanjian tersebut berlaku dan dapat diaplikasikan antara RIS dan
Inggris. Evans J juga mencantumkan beberapa kasus yang sama, seperti kasus Sultan
Johor, Tungku Abubakar dengan perusahaan duff development dari pemerintahan
Kelantan. Kasus yang kedua antara Engelke Musmann dan Gagara, serta kasus lainnya.
Kasus tersebut pada intinya menyimpulkan tentang kadaulatan negara asing dijunjung
tinggi.
Jadi sehubungan dengan pernyataan diatas, proses ekstardisi tidak dapat dilakukan
dikarenakan oleh alasan yang dinyatakan, antara lain bahwa (a) tidak ada perjanjian
ekstradisi yang spesifik dan mengikat secara langsung antara RIS dengan Indonesia, dan
(b) tidak ada order of council yang diperlukan berkenanaan dengan perjanjian
ekstradisi, dalam hal ini acts terhadap Indonesia. Pengadilan, pada awalnya menerima
pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesiatelah menggantikan Belanda sehubungan
dengan perjanjian Anglo Netherland Extradition Treaty 1898. Tetapi selanjutnya,
pengadilan memegang prinsip bahwa ketiadaan order in council merupakan sesuatu
yang fatal dalamproses ekstradisi, pengadilan tidak mempunyai yurisdiksi untuk
mengesahkan penyerahan terdakwa,
Pernyataan ketiga Evans J
Dalam hal ini berhubungan dengan aplikasi dari larangan yang ditujukan kepada
hakim distrik dan hakim utama untukmelanjutkan proses ekstradisi atas nama Republik
Indonesia Serikat pada penyerahan dari Raymond Paul Pierre Westerling dalam tindak
kejahatan yang telah dilakukan di pulau Jawa.
Ekstradisi melibatkan dua negara, pertama negara yang meminta ekstradisi dan
kedua negara dari terdakwa. Sebelum hal tersebut dapat diterapkan, kedua negara
tersebut terlebih dahulu harus setuju untuksaling ekstradisi. Selain tidak adanya
perjanjian,tidak ada pula order in council dari Republik Indonesia Serikat.
Jadi,penasihat berpendapat benar bahwa permasalahan ini tidak dapat disahkan. Ia juga
menyatakan bahwa Republik Indonesia Serikat merupakan negara yang baru merdeka
dan berdaulat dan bahwa Belanda telah memberikan suksesi kepada Indonesia, tetapi
tindakan dari kedua negara tersebut tidak dapat mempengaruhi pihak ketiga.
Pernyataan Mr Massey
Mr. Massey menekankan pada aspek ‘order of council’, dengan menyoroti paragraf
Netherlands Act : ‘Mulai saat ini dan setelah tanggal 14 Maret 1989, Acts tersebut akan
berlaku dan diaplikasikan pada kasus-kasus Belanda, berkenann dengan perjanjian yang
telah dibuat dengan Ratu Belanda.”
Pernyataan Sir Roland Brandell
Sir Roland Brandell menanggapi pernyataan Mr.Massey dengan menekankan bahwa
yang perjanjian adalah istrumen terpenting karena sifatnya paling operatif dan jelas. Dia
menekankan bagian 2 dari Acts of 1870 bahwa setiap hal harus dipertimbangkan seperti
yang tercantum pada perjanjian. Jika rekuisisi dibuat, apakah rekuisisi tersebut dibuat
oleh negara yang hukum (act) telah diaplikasikan, dan untuk menentukan, cara tersebut
harus mempunyai alasan-alasan yang di nyatakan, bukan untuk perjanjian, tetapi pada
order of council. Order of council merupakan instrumen hukum biasa yang diartikan
oleh pengadilan. Negara, dalam kasus ini yang hukum dapat diaplikasikan adalah
Belanda, bukan negara lain. Bukan Republik Indonesia Serikat, dan bukan Belanda dan
negara suksesornya (kedua-duanya) baik secara bersamaan maupun bergantian.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan pernyataan para hakim dan ahli Singapura yang menyatakan bahwa
Republik Indonesia Serikat tidak memiliki perjanjian ekstradisi langsung dengan
Inggris, ditambah lagi dengan tidak adanya order in council maka permintaan Indonesia
untuk mengekstradisi Westerling dari Singapura ditolak oleh pengadilan di Singapura.
Republik Indonesia Serikat juga sebagai negara yang baru merdeka dan berdaulat
mmeskipun telah mendapatkan suksesi dari Belanda, kedua negara tidak dapat
melibatkan pihak ketiga. Perjanjian The Anglo Netherland Extradition Treaty antara
Inggris dan Belanda, tidak berlaku bagi Indonesia meskipun Indonesia adalah negara
bekas jajahan Belanda. Westerling yang notabene juga memiliki kewarganegaraan
Belanda juga menyebabkan Indonesia tidak dapat mengadilinya sesuai dengan hukum
yurisdiksi Indonesia. Sehingga, alasan tersebut menguatkan bahwa permintaan
ekstradisi Westerling ditolak oleh Singapura sehingga Indonesia gagal mendapatkan
Westerling untuk diadili oleh pemerintahan Indonesia meskipun Ia sudah melakukan
pembunuhan sewenang-wenang terhadap ribuan warga Indonesia.
Pada 21 Agustus 1950, Westerling keluar dari penjara Changi dan meninggalkan
Singapura sebagai orang bebas. Dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan
ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang
pendukung Westerling.4 Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta
berbicara dalam berbagai pertemuan. Ia kemudian menulis buku mengenai
otobiografinya, yaitu Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit
tahun 1982.5 Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan
menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi
4
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Westerling Arrested in Singapore ;
Extradition Sought. Tersedia dari : http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/18143596
[Diakses 15 April 2014]
5
Batara, Op. Cit.
negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka
di Asia dan Afrika.6 Westerling pun meninggal pada tahun 1987 tanpa pernah diadili
dan merasakan hukuman akibat kejahatan kemanusiaan yang telah diperbuat olehnya
yaitu pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia.
Seharusnya, Indonesia pada saat itu dapat menggunakan alasan bahwa Westerling
adalah pelaku kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat yang sifatnya
universal dimana ia telah melakukan genosida terhadap ribuan orang Indonesia,
sehingga negara manapun yang menangkap dan menemukan dia harus menghukum atau
memberikannya kembali kepada Indonesia. Akan tetapi Indonesia pada saat itu tidak
menggunakan alasan tersebut, sehingga permintaan Indonesia ditolak karena alasan
yang tidak kuat.
6
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Request For Extradition of Westerling.
Tersedia dari : http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/47832424 [Diakses 15
April2014]
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Hutagalung, Batara. R. 2012. Teror Westerling di Republik Indonesia dalam Dalam
Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia. LKIS : Yogyakarta.
Starke, J. G. 2004. An Introduction to International Law. ed. 7. London: Butterworths.
Sumber Surat Kabar
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Request For Extradition of Westerling.
Tersedia dari : http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/47832424 [Diakses 15
April 2014]
TROVE. The Sidney Morning Herald. 1950. Westerling Arrested in Singapore ;
Extradition
Sought.
Tersedia
dari
:
http://trove.nla.gov.au/ndp/del/article/18143596 [Diakses 15 April 2014]
Sumber Internet
THE national archives. 2013. Singapore: extradition of Captain R P P Westerling.
Tersedia dari : http://discovery.nationalarchives.gov.uk/SearchUI/Details?
uri=C14049661 [Diakses 15 April 2014]