UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT ARTIKEL

  

UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT

ARTIKEL

  Oleh:

  

RIDHO AFRIANEDY

NPM. 1310018412025

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

  

UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT

Ridho Afrianedy, Sofyan Mukhtar, Uning Pratimaratri

  Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta e-mail: afrianedy@yahoo.com , pratimaratri2003@yahoo.com

  

Abstrak

  Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 93 Tahun 2009, Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Barat mempunyai tugas pokok dan fungsi, antaranya memberikan perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus KDRT di Sumatera Barat pada tahun 2012 berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2012 sebanyak 225 kasus, pada tahun 2013 meningkat drastis sebanyak 373 kasus. Hal ini menjadi masalah serius dalam melaksanakan program perlindungan bagi perempuan. Rumusan permasalahan: (1) Apa upaya Badan Pemberdayaan dalam rangka penghapusan KDRT di Sumatera Barat? 2. Apa hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan dalam rangka penghapusan KDRT di Sumatera Barat?. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan studi dokumen. Data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian: (1) Badan Pemberdayaan Sumatera Barat telah melakukan upaya penghapusan KDRT, dengan memberdayakan perempuan secara ekonomi agar terhindar dari kemiskinan. Faktor ekonomi merupakan faktor dominan pemicu terjadinya kekerasan. Kemudian mengadakan sosialisasi dan kerjasama dengan instansi terkait. (2) Hambatan dalam melakukan pemberantasan KDRT adalah, masih minimnya keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat dan dunia usaha melalui corporate social

  

responsibility dalam pemberdayaan perempuan, kemudian korban KDRT cenderung tertutup

sehingga sulit terungkap, serta partisipasi masyarakat dalam penghapusan KDRT juga rendah.

  Kata Kunci: kekerasan, rumah tangga, pemberdayaan, perempuan.

  

EFFORTS TO EMPOWER WOMEN BODIES IN ORDER TO ELIMINATION OF

  

VIOLENCE IN HOUSEHOLD IN WEST SUMATRA

Ridho Afrianedy, Sofyan Mukhtar, Uning Pratimaratri

  Program Master of Law, Bung Hatta University Graduate Program e-mail: afrianedy@yahoo.com , pratimaratri2003@yahoo.com

  

ABSTRACT

Based on West Sumatra Governor Regulation No. 93 Year 2009, the Women's Empowerment

Agency of West Sumatra province has a fundamental duty and function, including providing

protection of women from domestic violence (domestic violence). Cases of domestic violence in

West Sumatra in 2012 based on data from the Women's Empowerment in 2012 as many as 225

cases in 2013 increased dramatically as many as 373 cases. This has become a serious problem

in implementing protection programs for women. The formulation of the problem: (1) What's

Empowerment Agency's efforts for the elimination of domestic violence in West Sumatra? 2.

What are the obstacles of Women Empowerment in the context of the elimination of domestic

violence in West Sumatra ?. This study using sociological juridical approach. Data used include

primary data and secondary data. Data were collected by interview and document study. Data

were analyzed qualitatively. Results of the study: (1) Empowerment Agency of West Sumatra has

made efforts to eliminate domestic violence, to empower women economically to avoid poverty.

Economic factors are the dominant factors triggering violence. Then the socialization and

cooperation with relevant agencies. (2) Barriers in eradicating domestic violence is still lack of

involvement of NGOs and the business community through corporate social responsibility in the

empowerment of women, and victims of domestic violence tend to be closed so difficult to unfold,

as well as community participation in the elimination of domestic violence is also low.

  Keywords: Violence, Household, Empowerment, Women.

A. Pendahuluan diatur dengan undang-undang dengan

  Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang memerhatikan kekhususan dan keragaman Dasar Negara Republik Indonesia Tahun daerah. 1945 menjelaskan bahwa pemerintah daerah Kebijakan Pemerintah Pusat dalam berhak menetapkan peraturan daerah dan bidang hukum untuk mengatasi pelanggaran peraturan-peraturan lain untuk hak asasi dan kekerasan dalam rumah tangga melaksanakan otonomi dan tugas telah mensahkan Undang-Undang Nomor 23 pembantuan. Pasal

  18A ayat (1) Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan menjelaskan bahwa hubungan wewenang Dalam Rumah Tangga. Sebagai tindak lanjut antara pemerintah pusat dan pemerintahan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau pemerintah telah mengeluarkan peraturan Nomor

  4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga dalam tataran praktis baik di tingkat pemerintah pusat yaitu Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak ada koordinasi serta kerjasama dengan pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak.

  Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 18 ayat (6) dan Pasal 18A ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Indonesia serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor

  4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat. Dari Peraturan Daerah ini lahirlah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat, yang

  Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat.

  Keberadaan dan eksistensi Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Barat semakin kokoh dengan disahkannya Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 93 Tahun 2009 tentang Rincian Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat, dan selanjutnya disusul dengan Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor

  62 Tahun 2010 tentang Uraian Jabatan Pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat.

  Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat yang juga dimuat dalam Renstra (Rencana Srategis) Keluarga Berencana Tahun 2011 -2015, tugas pokok Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana adalah melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana. Dalam Pemberdayaan Perempuan mempunyai setelah dibentuknya Badan Pemberdayaan fungsi sebagai berikut: Perempuan dan 9 tahun sejak disahkannya

  1. Perumusan kebijakan teknis di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 bidang pemberdayaan perempuan tentang Penghapusan Kekerasan Dalam dan keluarga berencana.

  2. Pelayanan penunjang Rumah Tangga. penyelenggaraan pemerintahan

  Jumlah kasus kekerasan terhadap provinsi di bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana. perempuan di wilayah Provinsi Sumatera

  3. Pemberian dukungan atas Barat pada tahun 2012 berdasarkan data dari penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pemberdayaan Badan Pemberdayaan Perempuan yang perempuan dan keluarga berencana. disampaikan oleh Gubernur Sumbar dan

  4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. dimuat beritanya dalam media online Berdasarkan ketentuan Peraturan

  (www.kabarpadang.com) pada tahun 2012 Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang sebanyak 225 kasus, pada tahun 2013 Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja meningkat drastis sebanyak 373 kasus. Hal Inspektorat, Badan Perencanaan ini menjadi masalah serius bagi Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Daerah Provinsi Sumatera Barat, susunan melalui Badan Pemberdayaan Perempuan struktur organisasi Badan Pemberdayaan

  Sumatera Barat dalam melaksanakan Perempuan dan Keluarga Berencana program perlindungan bagi perempuan dari Provinsi Sumatera Barat terdiri dari Kepala, tindakan kekerasan dengan indikator kinerja Sekretariat dan 4 Bidang yaitu bidang Data yaitu menurunnya tingkat kekerasan dan Informasi, bidang Pengarusutamaan terhadap perempuan.

  Gender, bidang Perlindungan Perempuan Meningkatnya tingkat kekerasan dan Anak, bidang Keluarga Berencana. Dan dari 4 bidang yang ada, penulis lebih dalam ruang lingkup rumah tangga. Dengan menfokuskan penelitian pada bidang demikian, pelaku tindakan kekerasan perlindungan perempuan. terhadap perempuan bukan dilakukan oleh

  Pada tahun 2013 telah disahkan orang yang tidak dikenal, akan tetapi oleh Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat orang-orang terdekat korban kekerasan Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan dalam ruang lingkup rumah tangga Perempuan dan Anak, ini berarti 5 tahun saudara kandung baik laki-laki maupun perempuan.

  Rumah tangga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat merupakan pondasi dasar dalam mewujudkan masyarakat yang aman dan harmonis. Sehingga tidak mengherankan banyak pihak mengatakan rumah tangga merupakan awal menuju bangsa yang madani. Maka dalam membentuk rumah tangga yang harmonis dimulai dengan mencari pasangan (suami atau istri) baik pria maupun wanita untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang kekal bahagia dan kekal sebagaimana termuat dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Dalam konteks ini, penulis akan berupaya untuk membahas tentang upaya Badan Pemberdayaan Perempuan Dalam Penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat.

  Pemberdayaan Perempuan dalam rangka penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat?

  2. Hambatan-hambatan apa saja yang ditemui oleh Badan Pemberdayaan penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat? C. Metode Penelitian.

  1. Metode Pendekatan.

  Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode pendekatan yang yuridis empiris. Data yang diperoleh berpedoman pada segi- segi yuridis juga berpedoman pada segi-segi empiris yang digunakan sebagai alat bantu. Pendekatan yuridis mempergunakan sumber data sekunder, digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang- undangan dibidang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), perlindungan perempuan, buku-buku yang berkaitan dengan perlindungan perempuan, peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan Badan pemberdayaan Perempuan serta artikel- artikel yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, sedangkan pendekatan empiris menganalisis hukum yang dilihat dalam praktik masyarakat Sumatera Barat dan peran Badan Pemberdayaan Perempuan serta keterlibatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam rangka penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

B. Rumusan Permasalahan.

  Disini penulis dalam melakukan

  a. Data Primer, yaitu suatu data yang penelitian lebih mengedepankan penelitian didapatkan dari hasil penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Dikatakan lapangan yang diperoleh secara deskriptif, karena penelitian ini diharapkan langsung dari narasumber, yang mampu memberi gambaran rinci, sistematis digunakan meliputi Hasil wawancara dan menyeluruh mengenai segala hal yang terhadap informan: berhubungan dengan Badan Pemberdayaan

  a) Drs. Ifrah, M. Pd, Kepala Perempuan dalam rangka penghapusan Bidang Perlindungan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Perempuan dan Anak Badan Istilah analisis mengandung makna Pemberdayaan Perempuan menghubungkan, membandingkan dan dan Keluarga Berencana memberi makna terhadap peran Badan Sumatera Barat. Pemberdayaan Perempuan dalam rangka

  b) Eri Widiastuti, S. Sos, penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Kasubid Perlindungan Rumah Tangga) di Sumatera Barat. Perempuan Badan

  3. Lokasi/Wilayah Penelitian. Pemberdayaan Perempuan

  Untuk melakukan suatu penelitian dan Keluarga Berencana tentunya diperlukan wilayah tertentu sebagai Provinsi Sumatera Barat. lokasi untuk diteliti. Dalam penelitian ini

  c) Kompol Evi Maria, SH, ditentukan Provinsi Sumatera Barat sebagai Kanit II Subdit IV PPA wilayah penelitian, dengan pertimbangan Reskrimum Polda Sumatera bahwa Sumatera Barat merupakan provinsi Barat. identik dengan masyarakat minangkabau

  d) Fitri Ermita, Kanit PPA dan perempuan mempunyai posisi dan e) Siswatmono Radiantoro, SH, kedudukan tersendiri yang lebih dikenal Humas Pengadilan Negeri dengan sebutan bundo kanduang. Padang.

  4. Jenis Data.

  f) Syamwil, SH Panitera Muda Jenis data yang penulis dapat Hukum Pengadilan Tinggi bersumber pada dua hal yaitu: Agama Padang. g) Dr. Rika Susanti, Sp. F, Kepala SMF Forensik RSUP DR. M. Djamil Padang.

  h) Rahmi Meri Yenti, S. Sos, Koordinator Divisi Pendampingan LSM Nurani Perempuan Padang.

  b. Data Sekunder, yaitu suatu data yang didapatkan dari hasil penelitian pustaka di tempat penelitian, sumber data sekunder penulis sebagai berikut:

  1. Database Badan Pemberdayaan Perempuan Sumatera Barat.

  2. Database Laporan Pengaduan ke Kepolisian Resor Padang.

  3. Database laporan perkara pidana KDRT di Pengadilan Negeri Padang.

  4. Database laporan perkara perceraian karena KDRT di

  5. Database LSM Nurani Perempuan Kota Padang.

  6. Database laporan permintaan

  visum et repertum di Rumah Sakit M. Djamil Padang.

  Metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data sebagai berikut: a. Wawancara, sangat berperan dalam pengumpulan data primer di lapangan, karena metode ini langsung berhubungan dengan informan dengan teknik tatap muka.

  b. Studi dokumen, penulis mengumpulkan data yang bersumber dari laporan teknis Badan Pemberdayaan Perempuan, laporan data LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), koran, majalah yang memberitakan tentang Sumatera Barat yang berkaitan dengan tindakan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Alat yang digunakan dalam pegumpulan data ini adalah tape recorder yang berfungsi untuk merekam dari awal wawancara dengan informan hingga selesai, yang dianggap penting dan berhubungan dengan judul tesis, biasanya data tabel.

  6. Pengolahan Data dan Analisis Data.

  Pengolahan data dilakukan setelah data telah terkumpul dengan cara editing dan

5. Metode dan Alat Pengumpulan

  penelitian ini dilakukan secara kualitatif Barat. (Wawancara dengan Ifrah, Kabid. yaitu dari data yang diperoleh kemudian Perlindungan Perempuan dan Anak Badan disusun secara sistimatis kemudian dianalisa Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga secara kualitatif untuk mencapai kejelasan Berencana Prov. Sumbar). terhadap masalah yang akan dibahas. Peningkatan terjadinya kasus KDRT Analisis data kualitatif adalah suatu cara disebabkan oleh beberapa faktor yang penelitian yang menghasilkan data deskriptis menjadi akar permasalahan (Wawancara

  Kasubbid.

  analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh dengan Eri Widiastuti,

  Perlindungan Perempuan Badan Pemberdayaan informan secara tertulis atau lisan. Perempuan dan Keluarga Berencana Prov.

A. Upaya Badan Pemberdayaan

  Sumbar) , yaitu: Perempuan Dalam Rangka

  1. Media komunikasi yang tidak

  Penghapusan Kekerasan Dalam

  terkontrol dalam menampilkan

  Rumah Tangga (KDRT) Di Sumatera

  tayangan kekerasan secara vulgar Barat. sehingga merusak moral dan tatanan

  Badan Pemberdayaan Perempuan rumah tangga. Gambaran kekerasan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera yang tampil di media massa terutama pada awalnya berbentuk Biro dibawah televisi setiap harinya akan membuat Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat, pandangan dan persepsi bahwa kemudian berbentuk Badan berdasarkan kekerasan itu suatu hal yang biasa amanat Peraturan Daerah Provinsi Sumatera terjadi dan bisa dimaklumi. Pandangan Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang ini tentu membuat terjadinya Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja kekerasan itu semakin meningkat. Inspektorat, Badan Perencanaan

  2. Kurangnya pendidikan agama di tengah keluarga. Hal ini akan Daerah Provinsi Sumatera Barat. mempengaruhi watak dan sikap dari

  Perubahan bentuk dari biro ke badan masing-masing anggota keluarga merupakan tuntutan organisasi serta dalam menyikapi terjadinya suatu meningkatnya kasus kekerasan terhadap masalah atau problem antar mereka perempuan, maka harus dikembangkan yang akan menjurus pada terjadinya menjadi sebuah SKPD (Satuan Kerja perselisihan dan pertengkaran dan berujung pada tindakan kekerasan tangganya tidak melihat sisi salah satu anggota keluarga pada kedepannya akan berdampak buruk anggota keluarga lainnya. Padahal bagi kelangsungan rumah tangganya ajaran agama melarang tindakan apalagi pertengkaran yang disertai aniaya dan zalim pada orang lain. adanya kekerasan fisik, karena

  3. Faktor kemiskinan. Tuntutan hidup seringkali terjadinya kekerasan fisik secara ekonomi dari waktu ke waktu didahului kekerasan verbal berupa terus tinggi, hal ini akan kata-kata cacian, umpatan, hinaan dan mempengaruhi hubungan antar kata-kata kasar lainnya. anggota keluarga, terutama antara Badan pemberdayaan Perempuan suami dan istri termasuk anak, apalagi berfungsi untuk pembinaan, pengendalian semua anggota keluarga bergantung dan perlindungan, namun untuk penanganan pada satu orang sebagai pencari nafkah kasus diselenggarakan oleh P2TP2A (Pusat yaitu suami, apabila salah satu pihak Pelayanan Terpadu Perlindungan meminta sesuatu yang bernilai uang Perempuan dan Anak), oleh karena itu yang mana suami tidak bisa apabila ada korban KDRT datang langsung memenuhinya dan permintaan itu terus ke Badan Pemberdayaan Perempuan maka menerus diajukan, maka suami Badan Pemberdayaan Perempuan berpotensi menjadi marah dan melimpahkannya ke P2TP2A dan Badan berujung pada tindakan kekerasan, Pemberdayaan perempuan akan memonitor apalagi kalau suami istri tersebut kasus tersebut. (Wawancara dengan Ifrah, mempunyai anak yang banyak Kabid. Perlindungan Perempuan dan Anak sehingga tuntutan nafkah juga semakin Badan Pemberdayaan Perempuan dan

  4. Faktor tingkat pendidikan dan status Beberapa upaya yang dilakukan oleh sosial yang rendah. Pendidikan Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi seseorang yang rendah pada awalnya Sumatera Barat dalam penghapusan KDRT disebabkan permasalahan kemiskinan. adalah sebagai berikut (Wawancara dengan Sehingga sikap dan pola pandang Ifrah, Kabid. Perlindungan Perempuan dan dalam menyikapi setiap permasalahan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan

  1. Secara yuridis, Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Barat telah berhasil dalam pensahan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat.

  Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 menjadi dasar hukum dalam melakukan penindakan kepada pelaku serta memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam kasus KDRT di wilayah Provinsi Sumatera Barat.

  2. Badan Pemberdayaan Perempuan telah menjalin kerjasama dengan FORKOMPIDA (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) termasuk pihak kepolisian dan pengadilan dalam bidang perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindakan kekerasan.

  3. Badan Pemberdayaan Perempuan telah membentuk forum bersama untuk perlindungan perempuan dengan 10 provinsi lainnya di Pulau Sumatera. Forum ini sebagai koordinator antar provinsi untuk penanganan kasus-kasus antar dilaksanakan rapat koordinasi tingkat gubernur.

  4. Penguatan kelembagaan dalam rangka perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan dengan membentuk P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak) dibawah naungan provinsi dan setiap kota dan kabupaten di Sumatera Barat telah dibentuk P2TP2A. Sehingga P2TP2A bisa menjalin koordinasi dengan pihak kepolisian terhadap setiap kasus kekerasan yang terjadi termasuk KDRT dan pendataannya selalu dilaporkan ke Badan Pemberdayaan Perempuan.

  5. Melibatkan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam rangka perlindungan perempuan dan anak dari tindakan kekerasan termasuk KDRT, diantaranya dengan LSM Nurani Perempuan dan LSM lainnya. dengan instansi-instansi terkait perlindungan perempuan di Provinsi Sumatera Barat, diantaranya dengan Unit PPA Polres dan Polda, Kemenkumham, Dinas Sosial untuk rehabilitasi dan RSUP DR. M. Djamil

  7. Mengadakan beberapa kegiatan dan sosialisasi kepada wali nagari sebagai pemerintahan terendah mengenai kekerasan termasuk KDRT serta sosialisasi pada setiap ada pertemuan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat semakin tahu mengenai hak-hak korban dan kemana mereka akan melapor jika terjadi tindakan kekerasan serta penyelesaiannya baik melalui proses mediasi maupun jalur hukum di kepolisian dan pengadilan.

  8. Memberdayakan perempuan yang hanya menggantungkan nafkah kehidupannya pada suaminya sebagai pencari nafkah dengan mengadakan pelatihan, keterampilan dan pengenalan pada dunia usaha untuk peningkatan kualitas kehidupan, diantaranya keterampilan menjahit, pelatihan ESQ dan lain-lain. dengan beberapa instansi untuk mengadakan beberapa kegiatan, diantaranya dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam bentuk program kegiatan untuk perempuan di daerah- daerah pesisir, istri-istri nelayan

  Dinas Kehutanan dalam bentuk program pembudayaan jamur tiram, dengan Dinas Pertanian dalam bentuk budidaya tanaman bunga untuk perempuan pencari nafkah karena janda atau suami tidak mampu dan perempuan sebagai kepala keluarga, dengan SKPD lainnya Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perkebunan untuk meningkatkan produktifitas perempuan dan mengentaskan kemiskinan, dan membentuk Nagari Prima bertujuan agar perempuan sebagai motor penggerak.

  10. Mengadakan pelatihan SDM dalam bidang pelayanan dan pendampingan korban kekerasan termasuk KDRT, pelatihan advokasi bagi wali nagari dan tim penggerak PKK di Nagari serta sosialisasi KDRT untuk pasangan pra nikah.

  Pada tahun 2015, ada beberapa Pemberdayaan Perempuan dalam rangka memberdayakan perempuan agar terhindar dari kemiskinan sebagai faktor utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

  1. Peningkatan dan pelatihan keluarga, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 April 2015 dan diikuti oleh 30 orang peserta. Para peserta merupakan perempuan yang juga sebagai kepala rumah tangga, baik karena di tinggal mati oleh suaminya maupun akibat perceraian, sehingga secara sosiologis status mereka menjadi kepala rumah tangga yang harus membiayai hidup pribadi, anak- anak serta keluarga lainnya yang tinggal satu rumah dengan mereka.

  2. Pelatihan keterampilan bagi wanita penyandang disabilitas, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 20 – 21 Mei 2015 dan diikuti oleh 30 orang peserta. Para peserta merupakan perempuan penyandang disabilitas yang sangat rentan keterbatasan fisik, sehingga memberdayakan mereka diharapkan agar dapat meningkatkan keterampilan yang dimiliki dan bermanfaat bagi diri sendiri dan keluarga mereka

  3. Pelatihan produktivitas ekonomi perempuan putus sekolah, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 3 – 5 Juni 2015 dan diikuti oleh 36 orang peserta. Para peserta merupakan perempuan putus sekolah yang sangat rentan dengan kemiskinan, diharapkan kegiatan ini dapat membuat peserta tidak tergantung dengan suami atau ayah mereka sebagai kepala rumah tangga dari sisi ekonomi bahkan diharapkan peserta dapat membantu perekonomian keluarga dan terhindar dari kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga karena faktor kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka dari sisi ekonomi.

  4. Pelatihan peningkatan produktivitas ekonomi pensejahteraan ekonomi masyarakat pesisir, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 28 –

  29 Juni 2015 dan diikuti oleh 30 orang peserta. Para peserta merupakan perempuan berstatus ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga yang mana suami sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai nelayan, dan penghasilannya sangat tergantung dari kondisi dan cuaca di laut yang tidak menentu, kadang-kadang pernah sehari atau beberapa hari tidak menangkap ikan dilaut karena faktor cuaca buruk, maka peran istri yang bukan saja mengurusi rumah tangga akan tetapi juga mempunyai keterampilan dan keahlian yang dapat menambah penghasilan/nafkah dari suaminya demi kesejahteraan keluarga.

  5. Pengembangan dan pembinaan nagari model Perempuan Indonesia Maju Mandiri (PRIMA), kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 10 –

  11 Juli 2015 bertempat di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Darmasraya, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kegiatan ini diharapkan dapat sebagai pelopor dan motor penggerak dalam suatu nagari baik dari sisi pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya. Pemerintah Provinsi Daerah Sumatera

  Barat telah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak serta mendukung kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan yaitu:

  1. Peraturan Derah (Perda) Nomor

  5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.

  2. Nota Kesepakatan antara Gubernur Sumatera Barat dengan Kapolda Sumatera Barat, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, Kepala Kanwil Kemnkum dan HAM Sumatera Barat, dan Kepala Kanwil Kementerian Agama Sumatera Pelaksanaan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Nomor: 120- 5-GSB-2013, Nomor: B/1121/N3/E/VI/2013, Nomor: W3/566/HK/VI/2013, Nomor: W3-02.HA.01.01/2013, Nomor: KW.03/1-C/833/2013 tanggal 12 Juni 2013.

  3. MoU Gubernur se Sumatera Nomor: 050/Ekonomi/Bappeda/2012 tentang Penanganan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan khususnya kekerasan dalam bentuk perdagangan orang.

  4. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-1021-2013 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Percepatan Penerapan SPM Bidang Layanan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

  5. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-105-2013 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Sumatera tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Limapapeh Rumah Nan Gadang periode 2010-2015.

  6. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-27-2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA).

  7. Instruksi Gubernur Sumatera Barat Nomor: 8/INST-2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak.

  8. Keputusan Gubernur Nomor 260-824-2013 tentang Pembentukan Forum Anak Sumatera Barat.

  9. Keputusan Gubernur Nomor: 260-683-2013 tentang Gugus Tugas Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).

  10. Surat Edaran Nomor 472/407/VIII/Bppr&KB/2013 tentang Kepemilikan Akta Kelahiran Bebas Bea.

  Sumatera Barat Nomor 77 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.

  12. Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 78 Tahun Pelayanan Penanganan Pengaduan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

  13. Surat Edaran Gubernur Nomor: 463/489/IX/PPA/Bppr&KB/2013 tentang Penyediaan Pojok Asi bagi Perusahaan-perusahaan.

  21. Surat Perjanjian Kerjasama BPPKB dengan RSUP M.

  24. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

  23. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-527-2015 tentang Pembentukan Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak Daerah Provinsi Sumatera Barat.

  22. Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2006 tentang Larangan Pornografi Pornoaksi dan Perbuatan Tuna Susila.

  Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

  Visum Et Repertum Untuk

  DJAMIL Padang Nomor 463.4/497/BPPr&KB/2014/Nom or HK.05.01/I/909.A/2014 tentang Pembebasan Biaya

  Kementerian Kesehatan.

  14. Penyediaan 127 Panti Asuhan di Kab/Kota.

  20. Penyusunan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar oleh

  Korban Kekerasan Terhadap Anak untuk Petugas Kesehatan oleh Dinas Kesehatan.

  18. Pendirian Pusat Krisis Terpadu (PKT), Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumatera Barat.

  17. Pendirian rumah aman di P2TP2A Provinsi dan Kab/Kota.

  16. Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatera Barat.

  15. Pengembangan Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) oleh Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat.

  Berbagai upaya yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan Sumatera Barat tersebut merupakan bentuk perlindungan perempuan dari tindakan bentuk pencegahan dan pemberdayaan perempuan pasca terjadinya kekerasan yang dialaminya. hal ini sejalan dengan hukum responsif yang digagas oleh tokoh sosiologi hukum Philippe Nonet-Philip Selznick. Selama ini produk hukum fokus kepada pelaku tindak pidana kekerasan dan mengenyampingkan korban.

  Keberadaan Badan Pemberdayaan Perempuan merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat pada saat sekarang ini. Aspirasi masyarakat tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dari tindakan kekerasan. Dan hal ini tidak menutup peluang dari peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah lainnya dalam memberikan perlindungan kepada perempuan. Sehingga terpenuhilah ciri-ciri dari produk hukum responsif itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD: 1. Proses pembuatannya partisipatif.

  2. Muatannya aspiratif.

  Hukum responsif yang berorientasi pada perlindungan hukum yang dijalankan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan menunjukan pemerintah daerah tanggap terhadap terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam ruang lingkup

  Pemberdayaan Perempuan bukan lembaga penegak hukum akan tetapi mempunyai kontribusi dalam meningkat perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan.

  Teori hukum responsif tergambar dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selama ini produk hukum mengenai kekerasan fokus pada penindakan pada pelaku dari sisi hukuman pidananya yang diperberat. Selain itu, jenis kekerasan dalam rumah tangga tidak terbatas pada kekerasan fisik, akan tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

  B. Hambatan-Hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan Dalam Rangka Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Sumatera Barat.

  Pemberdayaan Provinsi Sumatera Barat dalam rangka penghapusan KDRT adalah sebagai berikut (Wawancara dengan Ifrah, Kabid. Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Prov. Sumbar):

  1. Masih minimnya keterlibatan LSM yang kurang atau pendekatan dalam dan perusahaan melalui CSR penyelesaian kasus yang belum (corporate social responsibility ) maksimal serta koordinasi yang belum dalam pemberian bantuan untuk optimal dengan pihak terkait lainnya kegiatan dan sosialisasi untuk dalam rangka penghapusan KDRT. pengentasan kemiskinan bagi

  3. Masih kurang terbukanya korban perempuan disabilitas, perempuan dalam mengungkapkan kasus KDRT sebagai kepala keluarga dan yang dialaminya karena masih perempuan yang suaminya tidak menganggap itu merupakan aib mampu mencari nafkah serta biaya tes keluarga. Dan kesadaran masyarakat DNA bagi korban kekerasan seksual, yang masih rendah dalam tidak ada bantuan permodalan bagi mengungkap kasus KDRT dan lebih korban kekerasan dan belum berupaya menutup kasus KDRT yang tersedianya sarana dan prasarana terjadi apakah disebabkan oleh pendukung seperti rumah singgah dan pandangan dan persepsi bahwa itu lain-lain. Selain adanya anggaran dari merupakan masalah masing-masing APBN dan APBD, bantuan dari pihak keluarga dan mereka tidak mau ikut lain baik LSM dan perusahaan melalui campur dan terlibat. Hal ini secara CSR masih dibutuhkan. Hal ini tidak langsung menghambat upaya didasari faktor kemiskinan merupakan Badan Pemberdayaan Perempuan akar permasalahan terjadinya KDRT. dalam rangka penghapusan KDRT. Suami sebagai satu-satunya pencari PENUTUP nafkah akan membuat perempuan Simpulan terjadinya kekerasan dengan dalih Badan Pemberdayaan Perempuan suami merasa dibutuhkan oleh istrinya Provinsi Sumatera Barat telah dan anak-anaknya. melakukan upaya. baik secara

  2. Masih kurang optimalnya P2TP2A perangkat hukum berbentuk Perda dalam menanggulangi kasus (Peraturan Daerah) provinsi, maupun pengaduan korban KDRT, apakah peraturan gubernur untuk penguatan perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindakan kekerasan termasuk KDRT. Selain itu, dengan menjalin kerjasama dengan instansi lain dan dunia usaha dalam mengadakan beberapa program dan kegiatan pemberdayaan perempuan. Namun berdasarkan data dari Polres dan Polda tingkat kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat, hal ini bukan berarti Badan Pemberdayaan Perempuan tidak maksimal dalam memberikan perlindungan, akan tetapi bentuk kekerasan KDRT meningkat karena KDRT tidak hanya kekerasan fisik saja, akan tetapi juga kekerasan seksual, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, sehingga laporan pengaduan korban KDRT ke polres, polda dan dilanjutkan ke pengadilan fisik yaitu penelantaran rumah tangga, dalam bentuk suami sebagai kepala rumah tangga tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan nafkah kepada anggota keluarganya dalam ruang lingkup rumah tangga.

  2. Hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan dalam memberikan perlindungan dari KDRT serta memberdayakan perempuan agar terhindar dari kemiskinan terbentur dengan tidak sebandingnya jumlah kasus yang semakin meningkat serta anggaran untuk program dan kegiatan pemberdayaan perempuan itu sendiri.

  Selain itu masih belum optimalnya P2TP2A dalam penanganan pengaduan korban KDRT apakah dikarenakan SDM atau personel petugas yang kurang atau lainnya. kemudian kurang terbukanya korban KDRT dalam mengungkap kasus KDRT yang dialaminya karena menganggap kejadian itu merupakan aib keluarga.

  Lalu kesadaran masyarakat yang masih minim dengan menganggap ini merupakan urusan masing-masing keluarga.

  Rekomendasi

  masalah yang ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Dalam mengadakan program dan kegiatan, Badan Pemberdayaan Perempuan sangat membutuhkan kerjasama dan bantuan pihak lain, baik dianggarkan dalam APBD, apalagi dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT, ini merupakan hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan dalam penghapusan KDRT, karena upaya perlindungan ini tidak hanya dibebankan kepada Badan Pemberdayaan Perempuan saja, akan tetapi juga membutuhkan kerjasama semua pihak. maka peranserta dunia usaha seperti perusahaan-perusahaan melalui CSR (corporate social

  responsibility ) sangat dibutuhkan agar

  upaya penghapusan KDRT di Sumatera Barat lebih optimal.

  2. Badan Pemberdayaan Perempuan diharapkan dapat menguatkan kerjasama dan koordinasi yang telah terjalin sebelumnya dengan instansi lainnya seperti SKPD terkait, instansi penegak hukum dan LSM agar upaya penghapusan KDRT lebih maksimal merupakan pintu utama dalam mewujudkan penghapusan KDRT di Sumatera Barat.

DAFTAR PUSTAKA

  Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di

  

Indonesia , Rajagrafindo Persada, Jakarta,