PROBLEMATIKA DUNIA KEPENGARANGAN SASTRA JAWA PERIODE 1980—1997: SEBUAH STUDI KASUS
PROBLEM A TIKA DUNIA KEPENGA RA NGA N SA STRA JA W A PERIODE 1980— 1997: SEBUA H STUDI KA SUS
Problems of Javanese Literary Authorship World in the Period of 1980—1997: A Case Study Dhanu Priyo Prabowo
Balai Bahasa Yogyakarta, Jalan I Dewa Nyoman Oka No.34, Yogyakarta 55224, Ponsel: 08156857241, Pos-el: dhanupriyoprabowo@yahoo.co.id Naskah masuk: 4 Maret 2013, disetujui: ..., revisi akhir:
Abstrak: Dunia kepengarangan sastra Jawa periode 1980—1997 ditopang oleh media berbahasa Jawa (koran dan majalah). Kehadiran institusi itu ternyata mampu memberikan kontribusi yang sangat luas terhadap sistem kesastraan Jawa. Kenyataan ini menunjukkan bahwa institusi-institusi itu telah mampu menggeser peranan penerbit buku. Di tengah situasi seperti itu, pengarang Jawa menggunakan nama samaran perempuan untuk memertahankan eksistensinya (ekonomis dan popularitas). Usaha tersebut ternyata dapat memperteguh sikap para pengarang sastra Jawa dalam memertahankan sastra Jawa, walaupun keadaan ekonomi para pengarang sastra Jawa sangat kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan pengarang sastra Indonesia. Sastra Jawa sebagai sastra daerah di Indonesia tetap dapat dipertahankan ekistensi oleh para para pengarang baru dan pengarang lama. Penelitian ini menggunakan teori makro sastra dari Ronald Tanaka. Dengan teori itu, penelitian ini dapat mengungkapkan dunia kepengarangan sastra Jawa pada periode 1980—1997. Adapun metode sosiologis dalam penelitian dipergunakan untuk memahami secara komprehensif persoalan di dalam dunia sastra Jawa periode 1980—1997.
Kata kunci: kepengarangan, periode, majalah, sastra, dan profesi
Abstract: Javanese literary authorship world in the period of 1980-1997 supported by Javanese media (newspaper and magazine). The presence of the instituation was able to give a broader contribution to Javanese literary system. The fact showed that the institutions had been able to shift the role of book’s publisher. In the midst of such a situation, the Javanese authors wrote under pseudonyms to maintain their existence (economic and popularity). The effort was able to rein- force the literary Javanese authors’ attitude in preserving the Javanese literature despite the economic condition in this period that made their payment for their works very small when com- pared to Indonesian literary authors’ payment. The existence of Javanese literature as regional literary works in Indonesia can still be maintained by new and old authors. The present study applies the Ronald Tanaka’s literary macro theory. By using the theory, the research tries to reveal the world of Javanese literary authorship in the period of 1980—1997. The sociological method of the research is used to understand problems comprehensively in Javanese literary world in the period of 1980—1997.
Key words: authorship, period, magazine, literature, and profession
1. Pendahuluan
Dari tahun ke tahun sastra Jaw a tetap massa berbahasa Jawa yang masih bertahan
d itulis o leh p ara p eng arang Jaw a, hidup, seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, khususnya antara tahun 1980—1997. Hal
d an ini d ap at d ilacak lew at berbagai m ed ia
D jaka Lodang, M ekar Sari, Praba,
Pagagan , atau lewat penerbit-penerbit buku
METASASTRA , Vol. 6 No. 2 , Desem ber 2013: 49—64
sastra Jaw a. Keny ataan itu tentu m erup akan suatu p etunjuk bahw a sebenarny a sastra Jaw a, sebag ai sastra berbahasa d aerah, tetap m end ap at perhatian orang Jawa. Bahkan, gambaran tersebut sekaligus membuktikan bahw a sastra Jawa tetap dapat bertahan hidup di tengah semakin minimnya perhatian orang Jawa terhadap sastra Jaw a.
Berd asarkan d ata y ang d ip ero leh, p enggarap an sastra Jaw a terbitan tahun 1980— 1997 telah m eng alam i suatu perubahan. Penulisan sastra Jawa tidak lagi semata-mata menekankan tema-tema atau masalah-masalah percintaan, tetapi telah mengembangkan masalah-masalah sosial secara lebih luas, misalnya kritik sosial, politik, dan hak asasi. Menurut Ras (1985:21) pada periode 1945—1966 sastra Jawa masih m em erlihatkan hasil p enulisan y ang mengikuti tradisi Balai Pustaka sebelum 1942, yaitu gaya roman didaktis. Indriani (1990:30) menyebutkan bahw a sikap hati- hati pengarang pada periode itu disebabkan pengaruh situasi so sial-po litik d i sekitar tahun 1960-an sampai dengan awal tahun 1970-an menyebabkan para penulis sastra Jawa modern kurang kreatif dan lesu.
Tumbuhnya beberap a sanggar sastra Jaw a di luar Organisasi Pengarang Sastra Jaw a sejak p ertengahan tahun 1960-an, y ang saat itu berp usat d i Yo g yakarta, misalnya Grup Diskusi Sastra Blora di Blora
d an Sang gar Triw id a d i Tulungagung , menghidupkan kembali minat kreativitas p engarang sastra Jaw a. Di samping itu, tampilnya kembali kreativitas pengarang sastra Jaw a juga didukung oleh kehadiran kelompok pengarang Paguyuban Pengarang Sastra Jaw a Surabay a d i Surabay a, Kelompok Pengarang Sastra Jawa Gunung Muria di Kudus, Pamarsud i Sastra Jaw a Bojo nego ro d i Bo jo nego ro, dan Sanggar Rara Jonggrang di Yogyakarta (Hutomo, 1988:91). Sez am an d eng an kelo m p o k- kelompok tersebut, di Surakarta juga muncul kelompok pembaca dan penulis sastra Jawa yang kegiatannya sering diselenggarakan di Sasana Mulya, kompleks keraton Surakarta. Kelo m p o k itu turut m eny em arakkan
kebangkitan sastra Jaw a d ekad e 1970— 1980-an. M enurut Brata (1981:70), d ari kelompok-kelompok itu muncul pengarang baru, m isalny a Jaka Lelana, A rsw end o Atmawiloto, Moch. Nursyahid Poernomo, dan Sri Setya Rahayu.
Peng arang -p eng arang itu m uncul
d eng an kary a y ang m antap , y ang
d itunjukkan melalui garap annya. Tema cerita yang digarap dan susunan bahasanya tid ak lag i terikat o leh sastra Jaw a sebelumnya. Para pengarang itu memiliki kekhususan, yaitu (1) berakar dari buku- buku d an p eng alam an m asa kini; (2) berbakat yang kuat; (3) berkep ribad ian daerah atau lingkungan hidupnya, dan (4) berpengalaman menulis.
Memasuki dekade 1990-an, kreativitas p ara p eng arang sastra Jaw a sem akin tamp ak dengan hadirnya Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta di Yogyakarta. Kreativitas itu tercerm in d alam m ed ia y ang diterbitkannya, Pagagan. Sanggar tersebut merupakan suatu w adah yang bertujuan membangun dan mengembangkan sastra Jaw a modern yang sampai saat ini masih kurang mendapat apresiasi yang memadai
d ari o rang-orang Jaw a. Sejak berd irinya (1991), sed ikit d emi sed ikit sanggar itu menamp akkan harap an baru yang lebih konkret karena lew at sanggar itu muncul p engarang-p engarang baru yang sangat potensial dari segi ketajaman berpikirnya terbukti
d ari
kary a-kary a y ang
d ihasilkanny a, terutam a d ari seg i w aw asanny a (d ari tem a-tem a y ang digarap ). Pengarang-pengarang baru itu, misalnya Rita Nuryanti, Whani Darmawan, dan Yan Tohari.
Di samp ing m elahirkan p engarang- p engarang baru, sang gar itu jug a ikut m end ew asakan p eng arang -p eng arang lama yang belum m em p unyai jati d iri, m isalny a Turiy o Rag ilp utra, Krishna M ihard ja, d an Suhind riy o . Turiy o Ragilputra, lewat guritan-guritan atau cerkak- cerkak nya, sangat kuat menggambarkan sosok manusia yang tertindas; Yan Tohari
d eng an
m ed ia
geguritan- ny a
D H AN U P RI YO P RABOW O :P ROBLEMATI KA D UNI A K EPENGARANGAN S ASTRA J AWA P ERI ODE 1 9 8 0—1 9 9 7...
mengaktualisasikan kembali filosofi Jaw a dalam kerangka mengantisipasi semakin melunturnya semangat kejaw aan o rang Jaw a d i teng ah z am an y ang berubah (band ing kan So ed jatm o ko , 1984: 115); Krishna Mihard ja melalui no vel (cerita bersambung) atau cerkak-nya ‘cerita pendek Jawa’ mencoba mengeritik sistem dan nilai- nilai p riayi Jaw a yang ingin dihad irkan sebagai salah satu kebanggaan kultural pamong desa.
Para p eng arang sastra Jaw a y ang tumbuh dan berkreasi antara tahun 1980— 1990-an mem iliki p eluang cukup besar untuk belajar secara formal dan nonformal. Sekolah, latar belakang keluarga, nilai-nilai kehid up an, d an tekanan p erhatianny a m emeng aruhi hal-hal y ang d ikerjakan seniman. Demikian pula kekuatan sosial dan kelembagaan tertentu (akademisi-akademisi kesenian, p enerbit, d an kritikus) ikut menentukan sistem kepengarangan (Faruk, 1994:53). Sastra Jawa modern pada periode ini didominasi oleh dosen atau guru (73 or- ang) dan w artawan atau redaktur (27 Or- ang) (Prawoto, 1990: 3). Tingkat pendidikan y ang lebih baik d iasum sikan akan mendukung pengarang sastra Jawa modern untuk meningkatkan daya kritisnya dalam menuliskan gagasan dan imajinasi.
Pembicaraan tentang kepengarangan sastra Jaw a m o d ern telah d itulis o leh beberap a p engam at sastra Jaw a. Brata dalam bukunya yang berjudul Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa (1981) m engatakan bahwa sebelum tahun 1980, para pengarang sastra Jaw a terus berjuang untuk memertahankan keberadaan sastra Jaw a tidak hanya melalui penerbitan buku, tetapi juga melalui med ia massa cetak. Med ia m assa berbahasa Jaw a m enjad i w ad ah alternatif supaya sastra Jaw a tetap dapat bertahan di tengah masyarakat Jawa.
Rass melalui bukunya berjudul Bunga Rampai Sastra Jawa M utakhir (1985) mengatakan bahwa semenjak pertengahan tahun 1960-an sampai dengan akhir tahun 1970-an, p eng arang sastra Jaw a lebih bany ak m enulis cerita-cerita m o d ern
daripada menulis karya-karya dalam bentuk tradisional, misalnya tembang ‘ puisi klasik Jawa’. Para pengarang itu menulis geguritan ‘puisi Jawa’, cerita bersambung, dan cerita pendek Jawa. Kenyataan itu terjadi karena pembaca Jaw a pada tahun-tahun tersebut mencari suasana baru.
Hutomo melalui makalahnya berjudul “ Bengkel Penulisan Kreatif Sanggar Sastra Triw ida (1988) mengatakan bahw a dunia kep engarangan sastra Jaw a dap at terus
bertahan dan berkreasi karena kehadiran sanggar-sanggar sastra Jaw a di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jaw a Timur, dan DI Yogyakarta. Sanggar Triw ida sebagai sebuah media pendidikan luar sekolah atau fo rm al telah m amp u meny umbangkan perannnya bagi sastra Jawa.
Do jo santo sa m elalui bukunya yang berjud ul
Taman Sastrawan (1990) mengatakan bahw a d alam d unia sastra Jawa sejak zaman masa klasik hingga zaman sastra Jawa modern sampai tahun 1970-an, senantiasa diupayakan untuk tetap hidup. Para pengarang sastra itu sampai 1970-an terus m enulis w alau sem akin sed ikit apresiasi masyarakat Jaw a terhadap sastra etniknya. Sementara itu, Praw oto melalui m akalahny a y ang berjud ul “ D unia Kep eng arang an Sastra Jaw a” (1990) mengatakan bahwa kepengarangan sastra Jaw a kebany akan tid ak sep enuhny a menggantungkan hidup dari honor tulisan. Idealisme untuk meneruskan sejarah sastra Jaw a lebih diutamakan daripada masalah keuangan. Oleh karena itu, banyak penulis sastra secara ekonomi kekurangan, tetapi tetap
berkary a sehing g a
d unia kepengarangan sastra tidak terputus.
Indriani melalui makalahnya “ Sastra Jaw a Mo d ern p ad a Permulaan D ekad e 1990-an: Antara Harapan dan Kenyataan” (1990)
m em ertany akan
sejarah kepengarangan sastra Jaw a karena sastra Jawa sampai awal dekade 1990-an. Supaya
d unia kep engarangan sastra Jaw a tetap bertahan, sebaikny a sastra Jaw a lebih bertumpu pada penjualan buku seperti pada tahun 1960-an.
METASASTRA , Vol. 6 No. 2 , Desem ber 2013: 49—64
Subalid inata melalui bukunya yang Dari tinjauan kep ustakaan tersebut berjudul Novel Berbahasa Jawa dalam A bad
masalah kepengarangan sastra Jaw a mod-
D ua Puluh (1993) mengungkapkan bahw a ern antara p erio d e 1980— 1997 belum kep engarangan sastra Jaw a tid ak d ap at
dibahas secara khusus. Kepengarangan di
d ilepaskan d engan keberadaan lembaga dalam karya-karya itu hanya disoroti secara penerbitan (Balai Pustaka). Samp ai aw al
selintas dan belum mendetail. Oleh karena Indonesia merdeka, keberlangsungan sastra
itu, penelitian tentang dunia kepengarangan Jaw a sangat ditopang oleh Balai Pustaka.
sastra Jawa pada kurun waktu 1980—1997 Namun, setelah Balai Pustaka mulai jarang
perlu dilakukan supaya persoalan-persoalan menerbitkan karya sastra Jaw a pada aw al
yang berguna untuk masyarakat luas dapat tahun 1960-an, kepengarangan sastra Jawa
diangkat dan diungkapkan secara ilmiah. mulai mencari lembaga penerbitan non-
Kebangkitan sastra Jaw a pada kurun Balai Pustaka alias penerbit swasta.
w aktu tersebut d id ukung o leh hasil Q uinn m elalui d isertasiny a y ang
Sarasehan Sastra Jaw a d i Sasanam ulya berjud ul N ov el Berbahasa Jawa (1995)
Surakarta pada awal dekade 1980-an. Sejak menguraikan bahwa novel-novel berbahasa
itu berkembang d ugaan bahw a p eserta Jawa yang banyak terbit di tahun 1960-an
sarasehan (para pengarang dan beberapa merup akan bukti kep engarangan sastra
pengamat) adalah generasi terakhir sastra Jaw a y ang ko ko h. N o v el-no v el Jaw a
Jaw a karena dunia sastra Jaw a pada saat kebanyakan disebut sebagai novel panglipur
itu sud ah d alam situasi y ang sang at wuy ung ‘ p eng hibur
mencemaskan (untuk tidak menyebut sastra penampilannya sederhana dan jumlahnya
hati’ ,
w alau
Jawa kolaps).
halamanya tidak lebih dari 100 halaman, M asalah y ang d iung kap kan d alam tetap memiliki nilai so sio ligis. M elalui
penelitian ini adalah bagaimana dinamika terbitan novel seperti itu, kepengarangan
sastra Jaw a pada peiod e 1980—1997 dan sastra Jaw a dapat memberikan dorongan
ap akah benar bahw a sastra Jaw a p ad a bagi perkembangan novel Jawa.
periode 1980—1997 masih dikungkung oleh Sury ad i A G m elalui bukuny a yang
pandangan negatif (sastra Jawa akan mati). berjudul Dari Pujangga ke Penulis Jawa (1995)
Secara umum, penelitian ini merupakan m enerang kan bahw a p ad a hakikatny a
p enelitian d eskrip tif, y aitu bertujuan kep eng arang an Jaw a setelah w afatny a
membuat deskripsi atau gambaran secara sastraw an Jaw a (R.Ng. Rang gaw arsita)
sistematis, faktual, dan akurat mengenai sudah tidak memiliki pujangga. Dengan
fakta-fakta, sifat-sifat, d an hubung an- kata lain, p ujang g a Rang g aw arsita
hubung an antarfeno mena yang d iteliti sebenarnya adalah pujangga terakhir sastra
(Nazir, 1999:63). Metode p enelitian yang Jawa. Setelah itu, para penulis sastra Jawa
d ig unakan d alam p enelitian ini sejajar tidak didukung oleh pihak keraton (seperti
dengan teori yang dipilih, yaitu sosiologi z am an p ujang ga Rangg aw arsita). Para
sastra yang berlandas bahwa sastra berada pengarang sastra Jawa adalah orang-orang
di tengah jaringan komunikasi sistem makro dari luar keraton dan tinggal di kota-kota
yang luas d an rumit. Dengan demikian, kecil yang jauh dari keraton. Oleh karena
penelitian ini menggunakan metode objektif itu, kep engarang an sastra Jaw a setelah
d unia Ranggawarsita adalah kepengarangan yang
ketika
berhad ap an
d eng an
kepengarangan sastra Jawa sebagai objek indenp end en, bebas d ari intervensi raja.
dan menggunakan metode sosiologis ketika Masalah yang ditulis oleh para pengarang
peneliti berhadapan dengan elemen-elemen Jawa tidak lagi berisi nasihat-nasihat yang
sistem makro-sastra.
berifat krato n sentris, tetap i d id o minasi Teknik p eng um p ulan d ata y ang m asalah-m asalah realitas d i teng ah digunakan dalam penelitian ini adalah studi kehidupan masyarakat. pustaka. Data yang telah dibaca dan dicatat
D H AN U P RI YO P RABOW O :P ROBLEMATI KA D UNI A K EPENGARANGAN S ASTRA J AWA P ERI ODE 1 9 8 0—1 9 9 7...
ad alah usaha m em elajari berbag ai diklasifikasi sesuai dengan p okok-p okok
d ikum p ulkan,
d iiv entarisasi,
d an
fenomena makro sastra secara terbuka dan masalah. Dengan demikian, langkah yang
jelas. Oleh karena itu, faktor reproduksi dan
d istribusi teks sastra d ilibatkan d alam menetapkan persoalan pokok, merumuskan,
d ilakukan d alam p enelitian ini ad alah
lingkup teori ini. Pelibatan kedua faktor dan mendefinisikan masalah, mengadakan
tersebut atas dasar asusmsi bahw a faktor stud i p ustaka, m eng um p ulkan d ata,
reproduksi dan distribusi memberikan efek mengolah data, menganalisis dan memberi
bentuk dan fungsinya dalam masyarakat interpretasi, membuat generalisasi sesuai
secara keseluruhan.
D i d alam p end ahuluan d iuraikan simpulan, dan melaporkan hasil penelitian
d eng an sifat kesastraanny a, m enarik
bahw a sastra Jaw a pad a p eriod e 1980— (Chamamah-Soeratno, 2011:57).
1997 meng alami p erubahan-p erubahan y ang
sig nifikan berkaitan
d eng an
2. Kajian Teori
keberad aan
d an kepengarangannya. Menurut Tanaka (1976)
p eng arang
Sejalan d eng an tujuan p enelitian, perubahan-perubahan itu secara konseptual p end eskrip sian sistem p engarang d an
hanya dapat dipahami melalui karya-karya kepengarangan sastra Jawa modern 1980—
yang dip roduksi melalui sudut pand ang 1997 menggunakan teo ri m akro sastra.
Buku-buku sebenarny a Menurut Tanaka (1976) teori makro sastra
sistem .
m eng g am barkan sebag ian d ari sistem didasarkan atas asumsi bahwa karya sastra
kehidup an ko munikasi di dunia. Hal ini tidak hadir secara tiba-tiba, tanpa peranan
didasarkan oleh pendapat bahwa tidak ada faktor lain. Karya sastra sebenarnya berada
satu jenis buku pun yang dapat dijual atau dalam satu jalinan sistem yang tertata dan
m asy arakat tanp a ditata secara khusus oleh sistemnya dan
d iterim a
m eng integ rasikan d iri d eng an sistem sistem lain di luarnya. Keberadaan sastra di
pembaca atau kelas pembaca ke arah satu tengah arus komunikasi yang rumit tersebut
sistem info rmasi. Oleh karena itu, po sisi karena sastra menjadi subjek dari dua buah
p eng arang d alam sistem m akro sastra kendala sistem, yaitu sistem sastra d an
berad a d alam ling karan y ang tid ak sistem masyarakatnya. Melalui teori sistem
terpisahkan dari sistem reproduksi sastra. makro sastra, diharapkan berbagai situasi
Keberadaan pengarang tidak d apat eksis sastra pada suatu waktu dapat dipahami
seandainya sistem reproduksi sastra tidak secara nalar dan sistematik.
dapat berjalan, sedangkan reproduksi sastra Sistem makro sastra berkaitan dengan
tidak dapat berjalan apabila mengabaikan sistem reproduksi sastra. Sistem reproduksi
sistem pembaca.
sastra adalah organisasi yang memroduksi dan sekaligus mendistribusikan karya sastra.
3. Hasil dan Pembahasan
Melalui sistem rep ro d uksi sastra, akan diamati efek dari organisasi ini pada produk
Berd asarkan teo ri sistem Tanaka sastra yang ditulis pengarang dan produksi
(1976:5—6) dan berdasarkan pengamatan sastra o leh p enerbit kep ad a p em baca.
terhadap data yang dikumpulkan, d apat Deng an d em ikian, p embicaraan sistem
ditarik suatu konsep bahwa kepengarangan rep ro d uksi
sastra Jawa dibangun oleh tiga komponen m em p ertimbangkan keberad aan fakto r
sastra
sang at
y ang saling berkait. Keterkaitan itu pengarang dengan sistem yang berada di
membangun sistem kesastraan Jaw a mod- lingkungannya.
ern. Ketiga komponen itu adalah (1) dunia Teo ri sistem m akro sastra tid ak
p enerbitan sastra Jaw a m o d ern, (2) memerso alkan keluasan d an ked alaman
pengarang Jawa, dan (3) pembaca Jawa eksploitasi yang dilakukan peneliti sastra
Ko mp o nen d unia p enerbitan sastra karena yang terp enting d alam teo ri ini
Jaw a sebagai sistem rep ro d uksi sastra
METASASTRA , Vol. 6 No. 2 , Desem ber 2013: 49—64
membangun relasi dengan pengarang Jawa. memberikan sambungan kehidupan bagi Pengarang Jaw a y ang d id o m inasi o leh
sastra Jaw a karena kehad iran d unia p eng arang
penerbitan sudah sangat minim dan jarang keinginan p embaca dan pengarang Jaw a
laki-laki
m em unculkan
yang mau menerbitkan buku-buku sastra untuk m enulis d eng an nam a sam aran
Jawa. Kendala mengenai masalah tersebut perempuan. Melalui penyamaran nama itu
sangat banyak, tetapi salah satunya adalah karya-karya sastra Jaw a d isam but atau
semakin ditinggalkannya bahasa Jawa oleh dibeli pembaca sehingga reproduksi sastra
orang Jawa. Kenyataan ini tentu saja sangat dapat dipertahankan. Komponen (1) dan (2)
berpengaruh bagi para produsen buku-buku tersebut, ternyata d ap at terjad i karena
sastra Jaw a (p enerbit) untuk m au
ad any a ko m p o nen (3) v ariasi p ro fesi menerbitkan sastra Jaw a. Bagi p enerbit, pengarang Jaw a. Dunia penerbitan sastra
buku-buku sastra Jawa dinilai sudah tidak Jawa modern dan sambutan pembaca atas
komersial dan tidak menguntungkan bagi kehad iran tulisan p ara p eng arang
p erusahaan p enerbitan ap abila berani p erem p uan,
menerbitkan sastra Jaw a. Oleh karena itu, munculnya pengarang baru yang berasal
m em bang un
harap an
reproduksi sastra Jawa secara massal hanya
d ari berm acam -m acam latar belakang dapat dito pang oleh keberadaan majalah p ekerjaan. Para p eng arang Jaw a tid ak
berbahasa Jaw a. N am un, d i antara hanya didominasi oleh pengarang murni
kenyataan yang tid ak menggembirakan (bekerja sebagai pengarang), tetapi juga dari
tersebut, beberap a o rang p eng arang kalangan lain (misalnya, PNS, guru, petani,
ataupun kelompok berusaha menerbitkan dan tentara). Bahkan, akhirnya, kehadiran
karya-karya secara p ribadi dan berusaha p eng arang m urni justru terg eser o leh
menyebarluaskannya secara perorangan. pengarang yang berlatar belakang profesi
Ked ua kead aan ini tentu saja sang at lainnya (guru). Para pembaca Jawa sebagai
d alam p eng kad eran bentuk d ari suatu lingkaran ko munikasi
berp eng aruh
pengarang-pengarang baru. yang rumit dengan penerbit dan pengarang
M enurut N o to d id jo jo (1991:664), Jawa (lihat Damono, 1994:82).
melemahnya situasi reprodukisi karya sastra
3.1 Penerbitan Sastra Jawa M odern
Jaw a atau karya sastra berbahasa daerah karena tid ak lag i berp ang kal p ad a
Tanaka (1976:39) menerangkan bahwa p enerbitan buku. Balai Pustaka sebagai media massa, dalam sistem reproduksi sastra
perusahaan penerbitan milik negara, juga adalah sebuah rangkain sistem informasi
sudah tidak begitu banyak menghasilkan kesastraan. Media massa cetak merupakan
buku-buku bahasa Jawa; tidak seperti pada salah satu sarana untuk menyamp aikan
m asa p rap erang . M ung kin hal ini suatu gagasan sastra d i tengah jaringan
disebabkan juga karena kurangnya naskah sistem sosial kemasyarakatan.
bahasa Jawa yang masuk 1 . Keberad aan p enerbitan buku sastra
Perny ataan N o to d id jo jo tersebut Jawa yang mulai menurun semenjak Balai
merupakan gambaran keadaan buku-buku pustaka tidak giat menerbitkan buku-buku
sastra Jawa yang kian melemah setelah In- sastra Jaw a m em aksa p ara p eng arang
do nesia merdeka yang tentu saja sangat untuk mencari media lain untuk berkarya,
berpengaruh bagi pemekaran pengarang yaitu melalui majalah. Media massa cetak
Jaw a. Sistem kepengarangan sastra Jaw a adalah bentuk lain reproduksi sastra Jawa
berubah mengalami kemunduran dalam di tengah masyarakat. Sastra Jawa, dilihat
publikasi sastra Jawa setelah Balai Pustaka. dari sistemnya, memp erlihatkan adanya
Dengan kata lain, pada masa praperang ketergantungan dengan media massa cetak
buku-buku sastra Jaw a masih mendap at berbahasa Jawa (majalah) (Hutomo, 1998:7).
tempat penerbitan, tetapi sebaliknya, pada Kehadiran majalah Jaw a ternyata mampu
masa setelah p erang karya sastra Jaw a hanya dap at d ipublikasikan di majalah-
D H AN U P RI YO P RABOW O :P ROBLEMATI KA D UNI A K EPENGARANGAN S ASTRA J AWA P ERI ODE 1 9 8 0—1 9 9 7...
majalah. perempuan sastrawan. Akan tetapi, jangan Dengan adanya p ublikasi sep erti itu
tergesa-gesa percaya. Nama perempuan itu sistem kep eng arangan p un meng alam i
hanya sekad ar namanya, sesungguhnya keterbatasan, m isalny a kary a y ang
semuanya adalah laki-laki 100%. Di antara dipublikasikan menjadi sangat terbatas dan
nama-nama y ang bersembunyi d i balik sangat bergantung p ad a jumlah majalah
nama p erempuan itu adalah Poerw adhie yang ada. Apalagi, pada priode 1980—1997
Atmodihardjo menggunakan nama smaran jumlah media massa berbahasa Jawa hanya
A tmirah, Harinta, Sriningsih, Juw ariyah, beberap a buah, yaitu Jaya Baya, D harma
d an Prabasari Linggarjingga; Sud harmo Nyata , Panjebar Semangat, Mekar Sari, D jaka
K.D. menggunakan nama Pini A.R.; Tamsir Lodang, Panakawan,
A S menggunakan nama Tantri A ngsoka; Majalah-majalah tersebut dapat menjad i
d an Jawa A ny ar.
dan Satim Kadaryono menggunakan nama penopang riil bagi kerbelangsungan sastra
Kadarw ati. Bahkan, ada seri nama A ny: Jaw a hing ga saat tahun 1997. Majalah-
Any A smara, Ani Sumarsono, A njar Any, majalah tersebut yang masih hidup secara
A ny (Uto m o D S), A ny (Drs. Sutarno ). komersial adalah Panjebar Semangat, Jaya
Pengarang terkenal Suparto Brata memakai Bay a, d an D jaka Lodang. Namun, ketiga
nama samaran Peni. Dia menggunakan m ajalah
nama samaran Peni ketika menulis cerita menggantikan keberadaan penerbit buku
itu benar-benar
m am p u
detektif atau gaya cerita detektif. Pembaca komersial.
yang tidak mengetahui tradisi penggunaan nama samaran, mengira nama Peni adalah
3.2 Pengarang Jawa
seorang perempuan.
Tanaka (1976:18) menerangakan bahwa M engap a sastraw an Jaw a memakai inovasi dalam dunia kesastraan tidak dapat
nama perempuan sebagai nama samaran? dipisahkan (atau harus beradaptasi) dari
A d a y ang m eng atakan bahw a d alam kenyataan yang terjadi di sekitarnya atau
menyamar seseo rang jangan tanggung- m asy arakatny a.
tanggung. Jenis kelamin laki-laki pun harus menyesuaikan dengan perkembangan yang
Keing inan
untuk
nam a seo rang terjad i sep erti itu merup akan hal y ang
d isam arkan
lew at
perempuan.
masuk akal dalam sistem kesastraan. Oleh Penggunaan nama samaran perempuan karena itu, sambutan para pembaca Jaw a
ternyata memiliki tujuan tertentu. Brata atas kehadiran perempuan pengarang yang
(1981:76) mengatakan bahwa bersembunyi merupakan samaran laki-laki menjadi suatu
d eng an nam a sam aran Peni, bany ak hal yang masuk akal dalam sistem sastra.
pembaca tertarik membaca karangannya. Hutomo (1998:8) menerangkan bahwa
Pengarang itu menggunakan nama samaran kehad iran p eremp uan p engarang sastra
Peni apabila cerita yang digarapnya berkisar Jaw a d ap at memberikan suatu harap an
tentang w anita 2 . Im p likasiny a ad alah baru terhadap keberlangsungan sastra Jawa.
bahw a sebenarny a bany ak p em baca Oleh karena itu, p eremp uan p engarang
m end am bakan cerita tercip ta d ari dalam sastra Jawa merupakan suatu sistem
perempuan pengarang. dalam dunia kepengarangan Jawa. Sistem
Ungkapan Brata tersebut merup akan kepengarangan sastra Jawa ternyata sangat
salah satu gaya kepengarangan Jawa yang khas
did asari oleh suatu prediksi dan data di menggunakan nama perempuan. Salah satu
karena
p eng arang
sering
d alam kehid up an o rang Jaw a y ang bentuk sistem ini ad alah ditemukannya
membaca sastra Jaw a. Di samp ing ingin nam a-nam a p eng arang Jaw a d eng an
m encuri hati p em baca, Brata jug a menggunakan nama samaran perempuan.
m em p erlihatkan bahw a p em baca Jaw a Prad o p o (1998:28) m eng atakan bahw a
m end am bakan kehad iran dalam jagat sastra Jawa, banyak ditemukan
sang at
perempuan pengarang.
METASASTRA , Vol. 6 No. 2 , Desem ber 2013: 49—64
Brata (1981:77) mengatakan bahw a di asli memang dapat memerkenalkan jati diri kalangan kepengarangan sastra Jawa telah
p eng arang secara utuh sehing ga abad i lam a
p em baca
m eng ag um i
d an
dikenang pembaca.
m end am bakan kary a p eng arang y ang Peremp uan pengarang baru muncul p uny a citra p erem p uan, sep erti St.
pada periode 1980—1997, tetapi jumlahnya Iesmaniasita, Any Asmara, Sriningsih, Peni,
tidak seimbang dan lebih didominasi oleh To tilaw ati (Mbak M inuk), Susilam urti,
laki-laki. Para laki-laki pengarang banyak Maryunani, d an Tiw iek SA . Daya tarik
y ang m eng g unakan nam a sam aran utam a ad alah kary a sastra itu, tetap i
p erem p uan untuk m encap ai tujuan p erem p uan p eng arang ag akny a lebih
popularitas dan ekonomi. diharapkan bisa berkarya. Penceritaan yang
Kebebasan menulis dalam dunia sastra fem inim lebih cep at m eng ena d i hati Jawa memberikan kesempatan yang seluas- pembaca. luasny a bag i setiap o rang untuk
Dalam mengarang dan menggunakan meny alurkan bakatnya d alam berkarya nama samaran, Suparto Brata ternyata tidak
sastra. Tanaka (1976:23) m enjelaskan hanya ing in m encuri hati p embacany a
bahwa sistem sastra sesuatu yang kompleks. karena ia memp unyai argumentasi yang
Kekompleksannya terjadi karena adanya lebih substansial. Brata
jaringan sistem sosial yang secara rumit menuturkan bahwa ia menggunakan nama
saling berkait. Kemunculan pengarang tidak samaran agar pembaca dapat secara murni
dapat dilepaskan dari sitem sosial yang ada. menilai buah karyanya, bukan melihat siapa
Komp leksitas sistem sosial menjad i alat p engarangnya. Hal ini terkad ang p erlu
pencarian dan pembelajaran dalam proses untuk m eng asah kep ekaan
keberlangsungan kepengarangan sastra. m end alam i kehid up an y ang m enjad i
d alam
D ikaitkan d eng an kep eng arang an sasaran
kary any a
atau
m eng uji
sastra Jaw a, kehad iran p ara p engarang kemampuannya dengan mereka-reka gaya Jaw a yang p ro fesinya sangat bervariasi, lain, sed ang kan p ihak p em baca p erlu tidak dapat dilepaskan dari sistem yang penyegaran. Kadang kala orang menjadi so sial y ang berlang sung d i teng ah bo san melihat satu nama saja sehingga masyarakat Jaw a. Sistem kepengarangan enggan membaca tulisan pengarang yang sastra Jawa modern didominasi oleh guru itu-itu. Apalagi biasanya seorang pengarang atau d o sen. Menurut Praw o to (1990:2) mempunya ciri dan kemampuan yang sulit pengarang sastra Jaw a hingga awal tahun diubah sehingga karya-karyanya tunggal 1990-an berjumlah 173 o rang, yaitu (a) nada. Pembaca menjad i jemu. Mungkin
g uru/ d o sen: 73 o rang , (b) w artaw an/ beg itu melihat nama p engarang seg era redaktur: 27 orang, (c) nonguru: 14 orang, tim bul antip ati d alam d iri p em baca. (d) karyawan swasta: 7 orang, (e) pengarang Pembaca merasa mengetahui apa yang akan murni: 3 orang, (f) wirastawan: 2 orang, (g) didapat dari karangan itu. Nama pengarang petani: 1 orang, (h) ABRI: 1 orang, (i) tidak yang terus-menerus ditonjo lkan kadang-
jelas: 45 orang.
kad ang membuat o rang tid ak berminat membaca cerita.
Melihat data tersebut tamp ak bahw a p ro fesi guru/ d osen mendo minasi dunia
Dengan sistem kepengarangan seperti kep eng arang an sastra Jaw a. Pro fesi itu sebenarnya pengarang mencoba untuk kew artaw anan m end ud uki p ering kat
mengasah diri dan menjajagi kep edulian kedua. Satu hal yang menarik untuk diamati p em baca hany a p ad a kary any a tanp a
ad alah p ro fesi g uru atau d o sen d an melihat nama pengarangnya. Sistem nama
m end o m inasi samaran dalam dunia kepengarangan Jawa kep eng arang an sastra Jaw a. M enurut pada perio de 1980—1997 tetap berlanjut, Praw o to (1990:3; lihat p ula So ep rap to , tetapi kebanyakan pengarang muda Jaw a
w artaw an
y ang
1989:27) dominasi itu terjadi karena profesi menggunakan nama asli. Penggunaan nama
guru dan wartawan mempunyai jalur-jalur
D H AN U P RI YO P RABOW O :P ROBLEMATI KA D UNI A K EPENGARANGAN S ASTRA J AWA P ERI ODE 1 9 8 0—1 9 9 7...
yang seiring, baik guru maupun wartawan senantiasa dituntut untuk banyak membaca, menimba ilmu pengetahuan, merenung, m elo ntarkan hum o r-hum o r, tuntutan sang atlah m ung kin untuk d ituang kan dalam karya-karya sastra yang ditulisnya. Baik guru maupun w artawan mempunyai w aktu luang . Keluang an itu bisa dimanfaatkan untuk menjalin pergaulan dengan anak didik, kerabat, dan kaw an- kawan. Bertolak dari sinilah profesi guru dan w artaw an sang at m end o m inasi d unia kep eng arang an sastra Jaw a. D unia kew artaw anan
p un
sang at
jelas
m enunjukkan bahw a w artaw an d an redaktur adalah orang-orang yang sudah terbiasa untuk menulis di setiap harinya. Dengan begitu, teknis menyusun karangan sudah tidak menjadi permasalahan. Seorang w artaw an tentu sarat d engan berbag ai pengetahuan, seperti pengetahuan sosial, budaya, dan politik serta memiliki pergaulan secara vertikal pergaulan horisontal yang begitu luas. Bahkan, untuk mengemukakan o bsesinya p engarang yang merangakap w artaw an tidak harus takut dan tund uk pada atasannya. Ia bisa memaparkan yang dilihat, didengar, dan dirasakan meskipun semuanya harus dilandasi oleh kode etik dan tanggung jawab yang besar.
Urutan p ering kat p ro fesi y ang dipaparkan menaampakkan bahwa setelah guru dan dosen (75 orang) dan wartaw an atau redaktur (27 orang), disusul pegaw ai negeri nonguru (14). Jumlah 14 orang profesi nonguru tersebut ternyata cukup besar jika dibandingkan dengan profesi lainnya dan hal ini tentu sangat menarik untuk dicermati. Profesi pegawai negeri nonguru cukup besar p eranny a.
Sisten
p eng arang
d an
kepengarangan sastra Jawa pegawai negeri no ng uru d im ung kinkan o leh beberap a alasan, yaitu (1) tingkat intelektual mereka y ang cukup baik karena d id ukung
pendidikan yang cukup, (2) kesempatan mereka menulis terkait dengan informasi yang mereka peroleh lewat institusi tempat mereka bekerja, dan (3) tersedianya waktu untuk berp ikir d an berenung karena tersedianya gaji bulanan. Uraian (3) tersebut
sangat erat kaitannya dengan sejarah yang sudah terbentuk dalam budaya Jawa para bangsawan atau punggaw a kerajaan yang berperan aktif dalam dunia kepengarangan Jawa. Menurut Indriani (1990:4) di berbagai p enjuru d unia tam p ak ad a suatu kesem estaan ciri, y aitu sastra (p ad a mulanya) adalah milik raja-raja dan kaum bangsaw an. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tingkat ap resiasi mereka untuk m em aham i sesuatu y ang sud ah tid ak merisaukan masalah kebutuhan makan, sandang, dan papan. Kenyataan inilah yang dapat dipakai sebagai salah satu penegasan tentang cukup banyaknya pegawai negeri nonguru yang aktif menjadi penulis sastra Jawa modern.
Di samp ing profesi guru dan d osen, w artaw an d an red aktur serta p eg aw ai negeri nonguru, sebetulnya profesi A BRI (A ngkatan Bersenjata Republik Indonesia)
d ap at d ikatakan p ula sebagai p egaw ai negeri. Sangat langkanya pengarang sastra Jaw a d ari kalang an p ro fesi A BRI dimungkinkan terjadi karena kesempatan mereka untuk mengekspresikan p ikiran sangat terbatas oleh aturan kerja yang selalu harus tund uk p ad a atasan. Sem p itny a kebebasan berekspresi tentu sangat bertolak belakang dengan hakikat karya sastra yang m em erlukan keluasan w aktu untuk m erenung kan d an m eng ung kap kan masalah apa pun. Namun, pengarang yang berprofesi ABRI bukan berarti tidak memiliki daya kepekaaan dan produktivitas. Hal ini dap at dilihat dari Ismoe Rianto , seorang anggota polisi yang berdomisili di Surabaya. W alaup un aktif d alam tug as, kary a- karyanya selalu muncul d alam majalah- majalah berbahasa Jawa. Jumlah pengarang Jawa yang berprofesi sebagai petani sama dengan yang berprofesi A BRI, yaitu satu orang. Kemungkinan penyebabnya adalah karena dunia dan intelektualitas para petani (ketika itu) belum memungkinkan untuk berkiprah dalam dunia sastra Jawa. Dunia p etani dan pedesaan sebetulnya banyak digarap oleh para p engarang Jaw a yang berprofesi sebagai guru dan wartawan. Hal inilah yang m enim bulkan p em ahaman
METASASTRA , Vol. 6 No. 2 , Desem ber 2013: 49—64
bahw a sastra Jaw a mo d ern sebetulny a tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa adalah sastra ndesa ‘desa’ (lihat Soeprapto,
sastra Jaw a modern sebetulnya hanyalah 1989:28).
sebuah kary a bud ay a y ang kurang Secara emp iris d ap at d ikem ukakan
mengakar karena profesi ini tidak dapat bahw a sebagian besar p engarang sastra
dipergunakan untuk mencari nafkah yang Jaw a mo d ern bertemp at tinggal d i ko ta
layak. Sastra Jaw a hanya dapat bertahan kabupaten atau ko ta kecamatan, sep erti
hid up karena p eran patron-p atron yang Blora, Kudus, Pati, Klaten, Sragen, Wonogiri,
m asih ad a, y aitu m ajalah-m ajalah Tulungagung , Mo jo kerto , Bany uw angi,
berbahasa Jaw a. Dunia penerbitan buku Malang, Madiun, Bojonegoro, dan Ungaran.
sama sekali tidak dapat diharapkan sebagai Bahkan, ad a beberap a p engarang y ang
tempat untuk mencari uang karena tidak bertem p at ting g al d i d esa. Beberap a
m em berikan ruang berkreasi. D eng an pengarang berdomisili di kota besar, seperti
d emikian, p rofesi kep engarangan sastra Yo g y akarta, Surakarta, d an Surabay a.
Jaw a sebetulnya hanya sebagai sampiran Pengarang yang berdo misili di ibu kota
p ro fesi y ang lain (g uru, p eg aw ai, Jakarta kira-kira 5 o rang . D o m isili
wartawan). Pengarang seperti Harwimuka, p eng arang tersebut sed ikit bany ak
Jayus Pete, dan Suryanto Sastro atmo djo memengaruhi objek-objek yang digarapnya.
tetap dapat bertahan hidup karena dari segi Jarang pengarang-pengarang daerah yang
keuangan mereka tidak bergantung pada menggarap orang-orang Jakarta sebagai
sastra Jaw a. Bahkan, lew at profesinyanya objek karangannya karena masih kurang
mereka memertahankan sastra Jawa mod- mengetahui medan. Kalaupun mengangkat
ern agar dapat terus hidup. kota sebagai objek karangannya, minimal
Beto lak d ari p enjabaran sistem p eng arang m enam p ilkan m asy arakat
kepengarangan sastra Jawa modern periode p erko taan kecil yang sering kali m asih
1980—1997, tampak bahwa para pengarang komunal dan tradisional.
sastra Jaw a masih dapat berkarya karena Para pengarang Jaw a yang berprofesi
ditopang oleh kehadiran majalah-majalah hanya sebagai pengarang, jumlahnya tiga
berbahasa Jaw a. Kehad iran m ajalah orang. Praw oto (1990:1) memertanyakan
berbahasa Jaw a m am p u m em berikan mengapa orang menjadi pengarang. Dunia
kontribusi yang sangat luas terhadap sistem kep eng arang an ham p ir tid ak p ernah
kesastraan Jaw a pad a umumnya. Hal ini m enjanjikan kebahag iaan m ateri d an
merupakan salah satu bentuk dari sangat kemewahan. Dunia kepengarangan bukan
sedikitnya penerbit-penerbit buku yang mau tem p at lay ak untuk m eng g antung kan
menerbitkan sastra Jawa. Penerbit buku milik harapan. A palagi pengarang sastra Jaw a
negara seperti Balai Pustaka, sudah tidak yang serba kalah dalam segala sesuatunya
banyak memberikan dukungan terhadap jika dibandingkan dengan sastra Indonesia.
keberad aan sastra Jaw a. Keny ataan ini Up ah, ho no rarium, p eng hasilan tetap ,
sangat bertentangan dengan keadaan yang fasilitas, popularitas, dan kekayaan, tidak
terjadi pada masa praperang. Oleh karena menjajikan secara materi bagi mereka yang
itu, sistem kepengarangan sastra Jawa lebih melibatkan diri dalam dunia sastra Jawa.
m enitikberatkan p erhatian p ad a sastra majalah yang sifatnya tidak monumental.
Jum lah ho no rarium y ang kecil Selain m enerbitkan kary a sastra lew at menjadikan pengarang sastra Jaw a yang majalah, para pengarang sastra Jaw a juga benar-benar berprofesi sebagai pengarang berusaha menerbitkan karya-karya mereka sangat sedikit jumlahnya. Gambaran ini secara pribadi atau berkelompok. Usaha m em berikan suatu p em ahaman bahw a tersebut d ap at m emerteg uh sikap p ara dunia kepengarangan Jawa ternyata tidak pengarang dalam memertahankan sastra
d ap at d iand alkan sebagai suatu bentuk Jawa, walaupun keadaan ekonomi mereka lahan p ro fesio nalisme. Oleh karena itu, sangat kecil jumlahnya jika dibandingkan
D H AN U P RI YO P RABOW O :P ROBLEMATI KA D UNI A K EPENGARANGAN S ASTRA J AWA P ERI ODE 1 9 8 0—1 9 9 7...
dengan pengarang Indonesia. baru karena pada dekade 1950-an, banyak Para pengarang sastra Jaw a modern,
pengarang Jawa yang menulis dengan dua
d alam m emertahankan keberad aannya, bahasa (Jaw a-Indo nesia) (lihat Damo no , m enem p uh jalur secara berkelo mp o k,
1994:82). Hutomo (1994:33) berp endapat misalnya d engan mend irikan kelo mp o k
bahw a p enyebarang an p ara p engarang dikusi sastra atau sanggar-sanggar sastra
Jawa itu bertumpu pada soal ekonomi atau Jaw a. Kehadiran sanggar atau kelompok
ho no rarium karang an. Ho no rarium
d iskusi mamp u menjad i temp at untuk karangan di majalah berbahasa Jawa daerah mend id ik kad er p engarang yang kelak
umumnya lebih rendah daripada honorarium berperan dalam dunia sastra Jawa. Sanggar
karangan dalam majalah bahasa Indonesia. sastra Jawa, dengan berbagai kegiatannya,
Pada tahun 1988, sebuah cerita pendek Jawa selain sebagai tempat untuk saling berukar
yang dimuat di majalah Panjebar Semangat pikiran dan diskusi, juga sebagai w adah
d an Jay a Baya, ho no rariumny a berkisar untuk m em p ererat so lid aritas sesam a
antara Rp 5.000,00 d an Rp 10.000,00, pengarang sastra Jaw a. Melalui cara itu,
sed ang kan jika d im uat d i surat kabar keberadaan pengarang dan kepengarangan
Surabay a Post ho no rariumnya mencap ai sastra Jaw a d ap at betahan d i teng ah
Rp 50.000,00. Kecilnya ho no rarium yang p erubahan p and angan p engarang Jaw a
d iberikan o leh majalah-majalah bahasa terhad ap
d aerah karena kem am p uan mem bay ar pandangan tersebut memungkinkan para
sastra
Jaw a. Perubahan
majalah tersebut hanya sejumlah itu. Harga p engarang yang berad a d i luar d aerah
jual m ajalah berbahasa d aerah sang at pemakai bahasa Jawa baku (pesisir: Tegal)
murah, misalnya pada tahun 1988, harga berusaha melepaskan diri dari ikatan bahasa
eceran majalah Panjebar Semangat Rp550,00; Jawa baku yang sudah lazim dipergunakan
Jay a Bay a Rp 550,00; d an M ekar Sari sebagai media penulisan sastra Jawa. Usaha
Rp 4.00,00. Band ing kan harg a tersebut pelepasan tersebut ditandai dengan upaya
dengan harga eceran majalah Tempo pada menulis sastra Jawa dengan dialek bahasa
periode yang sama sebesar Rp2.250,00. Jawa Tegal secara utuh.
Melihat kenyataan itu pengarang sastra Para pengarang sastra Jaw a sebagian
daerah atau w artaw an berbahasa daerah besar hidup di kota kecil dan pedesaan. Oleh
y ang ing in cep at kay a, m eny erang ke karena itu, letak geografis tempat tinggal
bahasa Indonesia. Mereka memilih penerbit- para pengarang sastra Jawa sebagian besar
penerbit besar dan terkenal. Oleh karena itu, tercermin dalam karya-karyanya. A kibat
menurut Hutomo (1994:34) tidaklah benar
d ari sebagian besar karya-karya mereka yang dikatakan oleh Benedict A nd erso n menggambarkan masyarakat pedesaan atau
bahw a penulis-penulis Jaw a yang terbaik p erko taan, kary a-kary a tersebut lebih
tidak menulis dalam bahasa ibu mereka, cenderung dinilai sebagai sastra ndesa ‘desa’.
tetapi memilih menulis dalam bahasa Indo- Oleh karena itu, sastra Jawa tidak dapat
nesia sebagai “ bahasa pembebasan” . Jika y ang d ikatakan A nd erso n itu benar,
melahirkan p engarang yang p rofesio nal kebenaran itu hanya berlaku bagi segelintir dalam bidangnya sehingga mendorong para o rang yang bermo tif mencari uang atau pengarang sastra Jawa untuk menyeberang
ke d alam sastra Ind o nesia y ang lebih m em ang tid ak m amp u m enulis d alam memberikan peluang untuk memperoleh
bahasa ibunya.
honor yang tinggi. Pengarang sastra Jawa modern periode 1980—1997 masih banyak yang berasal dari
A d any a p enyeberang an p eng arang periode tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka Jaw a ke
d alam
sastra Ind o nesia
menjadi acuan bagi pengarang berikutnya, m enunjukkan bahw a p eng arang Jaw a yaitu periode 1980—1997. Para pengarang sebenarnya pengarang d w ibahasa (Jaw a- periode sebelum 1980—1997 itu mengakui Indonesia). Kenyataan itu bukan hal yang bahwa telah terjadi perubahan dan visi yang
METASASTRA , Vol. 6 No. 2 , Desem ber 2013: 49—64
membedakan mereka d engan pengarang terbitan berkala bahasa Jaw a yang besar yang muncul p ad a tahun-tahun setelah
tetap stabil. Tidak seperti majalah-majalah zamannya. Dengan kenyataan ini d apat
berbahasa Ind o nesia, m ajalah-m ajalah dibuktikan bahw a sebenarnya pandangan
berbahasa Jawa disebarkan melalui jaringan negatif tentang masa depan yang suram
ag en-ag en p ad a p ara p elang g an y ang sastra Jawa (sastra Jawa mati) tidak benar.
sebagian besar tinggal di kota-kota kecil dan Regenerasi dunia kep engarangan sastra
desa.
Jaw a tetap bertahan dan diteruskan oleh Gambaran sep erti itu menunjukkan para pengarang baru disertai oleh pengarang
bahw a majalah berbahasa Jaw a sebagai yang lebih senior dari masa sebelum tahun
penyebar karya sastra, memberikan peran 1980.
d alam p em bentukan p em baca Jaw a. Majalah-majalah berbahasa Jaw a, selain
3.3 Pembaca
m em uat masalah-masalah umum, jug a m eny ed iakan rubrik khusus m eng enai
Damano (1994:82) menerangkan bahwa masalah kesastraan. Seluruh majalah Jawa masalah p embaca tid ak d ip isahkan d ari
memuat rubrik cerita pendek crita cekak, pengarang dan cara penyebarannya; kedua
cerita bersam bung , p uisi Jaw a mo d ern unsur dalam sistem keberadaan sastra itulah
‘ geguritan’ d an p uisi Jaw a trad isio nal sebenarnya yang menciptakan pembaca.
‘macapat’ , dan kadang-kadang esai sastra. Dengan teknik yang d ikembangkannya,
Karya-karya dalam majalah berbahasa Jawa p engarang p ad a d asarnya mencip takan
lebih bersifat d id aktis d an m eng ajak p embaca karyanya; sed angkan p enerbit
pembaca untuk selalu menjaga kebudayaan dengan sadar menunjukkan produknya bagi
atau sastra Jawa. Hal ini bisa dilihat dalam kelompok masyarakat tertentu.
rubrik Layang saka W arga ‘Surat dari Warga’ Pembaca sastra Jaw a mo d ern d ap at
Majalah Jaya Baya, No.6, 3 Oktober 1989. dilihat dari tiras majalah berbahasa Jaw a
A d ap un terjemahanny a (p o to ngannya) (Panjebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, dan
sebagai berikut.
Djaka Lodang ) dan jumlah buku sastra Jawa “ Saya berharap majalah Jaya Baya dapat
modern yang terjual di toko buku (Sudikan, menyaring pengarangnya, karangan 2001). Sudikan menerangkan bahwa dalam
yang berbobo t (bahasa d an isinya). beberap a hal, seperti pada Jaya Baya d an
Jangan mudah dirongrong orang yang Panjebar Semangat hampir sebagian besar
akan merusak Jawa. Masih banyak orang p enjualan langsung kep ad a p elang gan.
Jawa yang mencintai kebudayaan dan Sebagaimana pada bulan Desember 1981,
kesusastreraan Jawa, walau hanya lewat Panjebar Semangat menyebutkan peredaran
majalah.”
63.000 eksemplar, Jaya Baya sekitar 44.000 eksem p lar. D jaka Lodang sekitar 20.000
Surat pembaca itu menunjukkan bahwa eksemplar, d an M ekar Sari sekitar 10.000
peran majalah Jaw a bukan hanya sebagai eksemplar. Parikesit bertiras sekitar 10.000
m ed ia info rm asi, m elainkan sebag ai eksem p lar D asaw arsa 1980-an, kelim a
p endidikan d an p elestarian kebud ayaan majalah ini memiliki perkiraan penjualan
d an kesastraan Jaw a. Red aktur sebagai mingguan sekitar 140.000 eksemplar.
penyaring naskah berkew ajiban menjaga keberad aan kesastraan Jaw a. Selain itu,
Tidak ada alasan untuk beranggapan surat p embaca d ap at d im aknai sebagai bahwa angka ini menurun sepanjang tahun
sebuah p eng akuan bahw a m ed ia m asa 1980-an.
berbahasa Jaw a m erup akan p encip ta kemungkinan jumlah o rang Jaw a yang
D eng an
d em ikian, besar