Peran Aktif Militer dalam Transisi Demok

Peran aktif Militer dalam Kegagalan Demokrasi Pada Rezim
Muhammad Mursi
Oleh : Sieco Mayory Arun Paundra
(201310360311176)

Pendahuluan
Negara – negara yang berada di timur tengah yang memiliki sistem dan budaya
yang jauh dari nilai demokrasi. Masyarakat mulai merasa bosan dengan sistem otoriter
yang di anut negara – negara timur tengah salah satunya adalah negara Mesir. Kesamaan
kepentingan yang di miliki oleh masayarakat yang berada di mesir mendorong mereka
semua untuk bergerak bersama untuk menggulingkan rezim yang sudah lama berkuasa,
dari kepentingan bersama inilah mereka menginginkan perubahan sistem yang ada di
negara tersebut dengan sistem demokrasi. Terjadilah revolusi mesir pada tahun 2011
dimna rezim mubarak ditumbangkan oleh perlawanan masyarakat (people power) yang
mengkibatkn Mubarak lengser dari kursi presiden. Pelengseran rezim tersebut di bantu
oleh militer yang pro kepada masyarakat. Setelah lengsernya mubarak, Mesir memasuki
upaya demokratisasi. Adapaun salah satu konsep yang harus di lakukan oleh negara
yang demokrasi, yaitu dilaksanakannya pemilu. Dengan mesir yang memasuki
demokratisasi. Pada saat setelah revolusi mesir kekuasaan negara yang kosong di ambil
alih oleh militer tetatpi bersifat sementara dan militer berjanji akan melaksanakan
pemilu pertama di mesir.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan militer
dalam demokratisasi mesir dan apa dampak yang terjadi dari keterlibatan militer dalam
politik. Keterlibatan militer sudah dapat terlhat dari terjadinya revolusi mesir sampai
dilaksanakan pemilu pertama di mesir.
Pretorianisme, dan Hubungan sipil – Militer
Untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan militer dalam demokratisasi di
mesir,

kerangka

anlisi

yang

digunakan

dalam

penelitian


ini

adalah

teori

pretorianismedan hubungan sipi – militer. Pretorianisme di gunakan untuk menganilisis
sikap posisi dan peran militer dalam pasca revolusi. Sedangkan, hubungan sipil –militer
digunakan untuk melihat posisi militer pasca pemilu.
Militer menjadi objek analisi dalam penelitian ini karena keberhasilan revolusi
dan setelahnya tidak dapat dilepaskan dari adanya keterlibatan militer. Keterlibatan
militer atau campur tangan militer tersebut disebut sebagai pretorianisme. Eric
A.Nordlinger membagi pretorianisme ke dalam tiga kategori peran, yaitu moderator,
guardian, dan ruler. Militer berperan sebagai moderator apabila bertindak sebagai
kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik. Militer bertipe moderator
menghindari diri untuk menguasai pemerintahan. Adapaun guardia yang berperan
sebagai pengawal dan pengawas jalannya pemerintahan. Setelah melengserkan sebuah
pemerintahan sipil umumnya militer akan memegang tampuk kekuasaan untuk periode
tertentu. Sedangka kategori ruler adalah ketika militer menguasai semua bidang
kehidupanl, terutama bidang politik.1

Tipe petrorianisme selanjutnya dapat mempengaruhi bagaimna hubungan antara
sipil dan militer. Moorris Janiwitz membagi model hubungan sipil – militer menjadi
lima tipe. Pertama, authoritarian – personal, di mana pemegang kendali politik nasional
mendasarkan kekuasaanya kepada kekuasaan tradisional dan individu pemimpin.
Kedua, authoritarian – mass party apabila terdapat partai tunggal dengan
kepemimipinan pribadi pemimipin yang kuat (strong personal leadership), tanpa adanya
institusi parlemen. Ketiga, democratic – competitive apabila ada lembaga kompetisi
yang demokratis dan pola hubungan sipil – militer berdasarkan kontroo sipil atau militer
di bawah kontrol sipil. Tipe keempat, adalah civil – military coalition jika militer
memainkan peranan politik yang luas dan menjadi suatu blok politik. Sementara politisi
sipil hanya masih bisa memegang kekuasaan atas dukungan pasif dari militer. Kelima,
tipe military oligarchy apabila pola koalisi dan careteker (pejabat) di atas menghasilkan
sistem politik yang tidak stabil. Sehingga, mendorong militer untuk meningkatkan
aktivitas politiknya sampai menjadi sebuah kekuatan politik utama.2

1 Tim HI UMM, 2013.Timur Tengah Dalam Pusaran Konflik. Yogyakarta : GRE
PUBLIHING, Hal. 316-317
2 Tim HI UMM, 2013.Timur Tengah Dalam Pusaran Konflik. Yogyakarta : GRE
PUBLIHING, Hal. 317-318


Posisi Militer Pasca Revolusi
Posisi militer di mesir begitu penting karna militer mengambil alih kekuasaan
sementara. Sebelumnya militer di puji oleh sebgai pahlawan oleh masyarakat mesir
karna telah melengserkan rezim mubarak. Tetapi itu terbanding terbalik dengan
kenyataan yang terjadi di lapangan. Militer lebih memosisikan dirinya sebagai penguasa
superioritas yang hanya membawa kepentingan kelompoknya. Militer juga dalam
melaksanakan kepentingannya yaitu menstabilkan negra dan ekonomi melalui cara
kekerasan.
Sikap yang di tunjukan oleh pihak militer tersebut pasca revolusi mesir yang
lebih mengutamakan dan mengamankan hak – hak istimewa dan kepentingannya yang
dahulu di berikan pada rezim mubarak pada militer. Akhirnya militer yang memegang
kekuasaan berjanji pada masyarakat mesir akan melaksanakan pemilu enam bulan
setalah revolusi, namun janji yang telah di ucapkan oleh militer tidak terlaksana sampai
masyarakat mesir melakukn demontrans dan mengakibatkan banyak korban jiwa.
Berdasarkan kajian pretorianisme sikap, peran yang di tunjukan oleh pihak militer mesir
termasuk dalam tipe guardian pretorian. Prethorianisme tipe guardian merupakan tipe di
mana militer memiliki campur tangan yang luas di bidang politik dengan mengambuk
alih kekuasaan sementara.
Pemilu Mesir setelah Revolusi
Pelaksanaan pemilu di mesir merupakan bentuk pemenuhan janji yang telah

diberikan oleh militer yang memegang kekuasaan sementara. Pemilu diikuti lebih dari
40 partai dan sebanyak 590 kandidat dari partai serta 6.591 kandidat independen yang
memperebutkan sebanyak 489 kursi. Pemilu berlangsung secara tiga tahap, setiap
melibatkan pemungutan suara di 9 provinsi dari total 27 provinsi yang ada di mesir.
Tahap pertama di gelar pada 28-29 november 2011. Tahap kedua berlangsung pada 1415 desember 2011. Serat tahap ketiga pada 3-4 januari 2011. Adapun hasil pemilu dari
tiga tahap tersebut dimenangkan oleh freedom and justice party (fjp), sebuah partai
ikhwanul muslimin (IM), dengan meraih 235 atau sebnyak 47,18 persen kusi di
parlemen.3
3 Tim HI UMM, 2013.Timur Tengah Dalam Pusaran Konflik. Yogyakarta : GRE
PUBLIHING. Hal. 325

Militer yang memilii peran penting dalam pelaksanaan pemilu tersebut. militer
mengeluarkan pernyataan bahwa menunda pengumuman hasil pemilu tersebut yang
mengakibat masyarakat mesir berfikir adanya potensi kecurangan yang dilakukan oleh
pihak militer dengan menundanya pengumuman hasil pemilu tersebut atau pihak militer
memiliki rencana untuk memperpanjang kekuasaanya.4 masyarakat mesir banyak yang
mempredisikan partai yang berbasis islam yaitu ikhwanul muslimin menang dalam
pemilu tersebut. sikap militer yang menundan hasil pemilu tersbut menuai protes hingga
berujung pada kekersan dan penindasan.
Setelah ada penundaan hasil dari pengumana pemilu Pada tanggal 24 Juni 2012,

Komisi Pemilihan Umum Mesir mengumumkan bahwa Mursi memenangkan Pemilu
Presiden dengan mengalahkan Ahmed Shafik, Perdana Menteri terakhir di bawah
kekuasaan Hosni Mubarak. Komisi Pemilihan menyatakan Morsi memperoleh 51,7
persen suara, sedang Shafiq mendapatkan 48,3 persen. Morsi kemudian mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai Ketua FJP setelah kemenangan yang diraihnya.
Berdasarkan kajian hubungan sipil – militer, sikap, peran, posisi militer di mesir
tersebut menunjukan bahwa hubungan antara pihak sipil dan militer berlangsung secara
tidak sehat. Hubungan sipil – militer tersebut dapat disebut tipe military oligarchy, karna
militer terlihat secara luas dalam kehidupan politik yang sesungguhnya bukan raah
profesinya sebagai state apparatus.
Peran Militer Pasca terpilihnya Mursi sebagai Presiden
Muhammad Mursi presiden mesir yang kelima di negara mesir. Tetapi presiden
kelima tersebut adalah salah satu presiden yang terpilih secara demokrasi yang
dilakukan oleh mesir, bagaimana tidak setelah revolusi mesir yang terjadi semua
masyarakat menginginkan atau membentuk negara yang demokrasi.
Peran militer dapat dilihat dari awal sejarahnya revolusi mesir. Peran militer
pasca terpilihnya presiden mesir yaitu Muhammad Mursi yang terpilih secara
demokrasi. Kepimpinan Muhammad Mursi tidak berlanjut baik karna mursi
mendapatkan tekanan yang besar karna belum stabilnya dari berbagai aspek di negara
4 Tim HI UMM, 2013.Timur Tengah Dalam Pusaran Konflik. Yogyakarta : GRE

PUBLIHING. Hal. 326

mesir pasca revolusi. Dengan hal tersebut menimbulkan pihak masyarakat mesir turun
jalan melakukan demo untuk menyuarankan pendapatna. Kebanyakan demostran
berasal dari pihak oposisi.
Militer mesir memiliki posisi yang kuat dan peran penting itu dikarenakan
suasana semakin runyam di negara mesir setelah pihak militer menguultimatum
presiden mursi untuk mundur dari jabatannya. Padahal dalam konstitusi yang ada di
dalam negara tersbut dimana pemimpin angkatan senjata tertinggi adalah presiden.
Tetapi kita dapt lihat dari hal ini bahwa militer masih memosisikan dirinya seperti
pemerintahan semntara. Sikap militer tersebut menuai protes dari pihak yang
mendukung mursi. Pihak yang mendukung mursipun turut turun ke jalan untuk
menyuarakan untuk melawan pemerintahan militer.
Sikap yang di tunjukan oleh militer yang membuat susana negara semakin sulit
dengan mengeluarkan ultimatum pada presiden untuk mundur. Berdasarkan kajian
pretorianiame sikap, posisi, dan peran yang dimainkan oleh pihak militer mesir
menunjukan tipe guardian pretorian. Pretorianisme tipe guardian

meruapakan tipe


dimana militer memiliki campur tangan yang luas di bidang politik dengan mengambil
alih kekuasaan sementara.
Kudeta militer terhadap presiden
Militer salah satu yang sangat berpengaruh di mesir yang melakukan kudeta
terhadap presiden mursi yang memiliki dampak pada hubungan sipi – militer. Militer
pada saat melakukan kudeta pada presiden tidak berjalan mulus dikarekan pihak militer
harus juga menghadapi pihak yang berasal dari pendukung mursi. Terjadinya konflik
kemungkina terjadi besar terjadi dengan adanya demonstran yang turun di jalan untuk
mendukung mursi. Pihak militer merespon demonstran yang turun ke jalan dengan cara
kekerasan. Militer memilih cara untuk menggunakan senjata untuk membubarkan
demostran yang ada yan gmengakibatkan banyak korban dengan menggunakan senjata
dalam melawan demonstran.5

5 Ratna Ayu Kartika. 2013. Demokrasi yang telah Gagal di Mesir, dalam
http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/2817-demokrasi-telah-gagaldi-mesir.html (diakses pada 22/10/2015)

Konflik yang terjadi di negara mesir yang melibatkan antara warga sipil yaitu
pendukung mursi dengan pihak militer sangat menggambarkan bagaimna tidak
berjalannya sebagai state aparatus dan warga sipili menjadi korban seharusnya militer
yang melindungi dan menjaga keamanan terbanding terbalik dari apa yang harus di

lakukan oleh pihak militer apalagi sampai menggunakan senjata yang seharusnya tidak
di gunakan.
Berdasarkan sikap atas respon yang dilakukan oleh pihak militer dalam
menghadapi pihak demonstran yang sampai menimbulkan korban jiwa di kedua pihak.
Berdasarkan kajian hubungan sipil – militer apa yang dilakukan oleh militer tersebut
menunjukan bahwa hubungan antara pihak sipil dan militer yang terlibat konflik
berlangsung dengan cara tidak sehat. Hubungan sipil – militer tersebut dapat di sebut
tipe military oligarchy, dikarenakan militer terlihat secara luar dalam kehidupan politik
yang sesungguhnya bukan ranah profesinya sebagai state apparatus.

Kesimpulan
Salah satu dilaksanakanya pemilu di mesir adalah salah satu elemn yang ada
dalam demokrasi. Tetapi bagaimana jika militer mengikutsertakan dirinya dalam urusan
politik yang megakibatkan tidak berjalan demokrasi yang tidak baik ataupun dapat di
katakan demokrasi yang gagal. Militer terlibat hampir di semua fase yang terjadi negara
mesir. Fase pertama militer pasca revolusi, dimana peran mliter di fase ini adalah
menduduki kekuasaan semntara yang terjadi akibat revolusi mesir dan kekosongan
presiden, tetapi peran yang di tunjukkan oleh militer mesir yang memosisikan dirinya
sebagai kekuasaan superioritas yang hanya membawa kepentingan kelompoknya.
Kerlibatan militer dalam mengisi kekuasaan yang ksong di mesir berdasakan kajian

protarianisme termasuk dalam tipe guardia pretorian, dimana tipe guardian pretorian
tersebut militer mengambil alih kekuasaan untuk beberapa waktu hingga terpilihnya
pemerintahan baru secara demokratis.
Fase kedua, dilaksanakanya pemilu secara demokrasi di mesir. Berjalannya
pemilu di mesir awalnya berjalan dengan baik tetapi pada akhirnya tidak baik dimna hal
ini dapat dilihat dari penundaan hasil dari pemilu tersebut dari militer yang memegang

kekuasaan di mesir yang menimbulkan sudut pandang yang tidak baik di dalm
masyaraat mesir, dan masyarakat memprotes keputusan militer tersebut dengan turun ke
jalan dan militer merespon sikap demostran dengan cara kekeran yang menimbulkan
hubungan yang tidak sehata antara masyarakarat dan militer. Berdasarkan kajian
hubungan sipil – militer bertipe military oligarchy dimana militer memiliki kekuasaan
yang dominan.
Fase ketiga, pasca pemilu, sikap yang ditunjukan oleh pihak militer tidak seperti
militer yang profesional itu di karenakan militer mengeluarkan ultimatum kepada
presiden mursi yang mengakibatkan susana yang terjadi di negara mesir semakin
runyam dalam kondisi negara yang belum stabil. Sikap militer ini jika di lihat dari
kajian pretotianisme termasuk dalam tipe guardian pretoria dimana militer memiliki
campur tangan yang luas di bidang politik dengan mengambil alih kekuasaan.
Fase keempat, kudeta militer terhadap presiden, dengan dikeluarkan ultimatum

dari militer yang ditujukan pada presiden yang mengakibatkan timbulnya konflik yang
besar yang melibatkan masyarakat sipil yaitu pendukung presiden dan militer.
Pendukung presiden merespon ultimatum tersebut dengan turun ke jalan dengan skala
yang besar tetapi pihak militer meresponya dengan cara melwan demonstran tersebu
dengan cara kekerasan dan menggunaka senjata yang mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa. Sikap yang di perlihatkan oleh militer jika di kaji dalam hubungan sipil – miiter
temasuk dalam tipe military oligarchy dimana militer memiliki kekuasaan yang
dominan yang dapat bertindak apa yang mereka inginkan.

DAFTAR PUSTAKA
Tim HI UMM, 2013.Timur Tengah Dalam Pusaran Konflik. Yogyakarta : GRE
PUBLIHING
Ratna Ayu Kartika. 2013. Demokrasi yang telah Gagal di Mesir, dalam
http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/2817-demokrasi-telah-gagal-dimesir.html (diakses pada 22/10/2015)
http://www.arrahmah.com/news/2015/07/04/pendukung-mursi-turun-ke-jalan-jalan-dibeberapa-kota-di-mesir-memprotes-rezim-kudeta.html (diakses pada 22/10/2015)