Rukhsah Ibadah dalam shalat. doc

Rukhsah Ibadah Shalat Dalam Perjalanan
Posted Juli 29, 2010 by bidadari in ma'rifatullah. Tagged: Rukhsah Shalat, Shalat Jama' & Qashar. 8 Komentar

Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan
oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu
keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan)
dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satu waktu). Dengan demikian
pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut “sholatus safar”, dapat dilakukan
dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan menjadi
dua roka’at.
3. Jama’, yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan
Isya’, dalam salah satu waktunya.
SEMPURNA ATAU QASHAR?
Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama dalam melaksanakan
sholat saat bepergian, apakah dengan sempurna seperti biasa ataukah dengan qashar.
[1]. Pendapat pertama mengatakan qashar shalat saat bepergian hukumnya wajib.
Pendapat ini diikuti mazhab Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama kontemporer
Albani. Bahkan Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa melakukan sholat 4
rakaat saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam Malik juga diriwayatkan

mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus mengulangi sholatnya selama
masih dalam waktu sholat tersebut.
Pendapat ini menyandar kepada dalil hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:” Pada saat
pertama kali diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan pada shalat
bepergian, dan untuk sholat biasa disempurnakan” (Bukhari Muslim). Dalil ini juga
diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:”Aku menemani Rasulullah s.a.w.
dalam bepergian, beliau tidak pernah sholat lebih dari dua rakaat sampai beliau dipanggil
Allah” (Bukhari Muslim).
Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga pernah
berkata:”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian s.a.w.
bahwa untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat rakaat dan
dalam keadaan ketakutan satu rakaat.”(H.R. Muslim).
[2]. Pendapat kedua mengatakan bahwa melakukan sholat dengan cara qashar saat
bepergian hukumnya sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali dan
mayoritas ulama berbagai mazhab.
Dalil pendapat ini adalah ayat al-Qur’an:
“‫”وإذا ضربتم في الرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا‬
(Annisa:101).

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar

sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Ayat ini dengan jelas menyatakan “tidak
mengapa” yang berarti tidak keharusan.
Dalil tersebut juga diperkuat oleh riwayat dari beberapa orang sahabat yang melakukan
sholat sempurna pada saat bepergian. Sekiranya qashar wajib, tentu tidak akan ada
seorang sahabat yang meninggakannya. Beberapa sahabat yang diriwayatkan tidak
melakukan qashar saat bepergian adalah Usman, Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas r.a..
Dalil lain adalah bahwa tatkala seorang musafir bermakmum dengan orang yang mukim,
maka wajib baginya menyempurnakan sholat mengikuti tata cara shalat imam yang mukim.
Imam Syafii mengatakan telah terjadi konsensus (Ijma’) ulama mengenai hal tersebut.
Seandainya sholat musafir wajib qashar dan dua rakaat maka tentu sholatnya musafir tadi
tidak sah karena melebihi dua rakaat. Ini menunjukan bahwa qashar bukan keharusan,
tetapi anjuran atau sunnah.
[3]. Pendapat ketiga mengatakan bahwa makruh hukumnya menyempurnakan sholat saat
bepergian dan sangat disunnahkan untuk melakukan qashar. Alasannya, bahwa qashar
merupakan kebiasaan Rasulullah s.a.w. dan merupakan sunnah, meninggakan sunnah
merupakan perkara makruh. Rasulullah s.a.w. juga mengatakan dalam sebuah hadist yang
sangat masyhur:” Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya sholat”.
CARA SHOLAT QASHAR
Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja sholat yang semestinya

empat roka’at yaitu dhuhur, ashar, dan isya’, di ringkas menjadi dua roka’at dengan niat
qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok’ataini qoshron lillahi ta’ala.
Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka’at karena Allah.
SYARAT-SYARAT QASHAR
Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim sahabat
Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga
farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.
Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:”Wahai penduduk Makkah, janganlah
kalian melakukan qashar pada perjalanan kurang dari empat bard, yaitu dari Makkah ke
Usfan”. (H.r. Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga diriwayatkan sebagai statemen
Ibu Abbas).
Para ulama pada zaman dahulu memperkirakan jarak tersebut dengan durasi perjalanan
selama dua hari menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang memperkirakan
sejauh 80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih sedikit tidak masalah
karena al-Qur’an tidak secara jelas memberikan batasan jarak dan hadist-hadist dan
perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama masih mengalami perbedaan. Imam Syafii

sangat ketat memberlakukan hitungan tersebut, yakni harus melebihi minimal 80,6 km
tidak boleh kurang.

3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka’at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya’
5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
6. Tidak bermakmum/berjama’ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar
sholat.
7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seorang musafir masih diperbolehkan
melakukan qashar ketika transit di satu tempat. Mayoritas ulama dan mazhab empat
kecuali Hanafi mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan melakukan qashar
adalah tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat telah melebihi tiga hari
maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus menyempurnakan sholat. Pendapat
kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan al-Tsauri mengatakan maksimum waktu transit yang
diperbolehkan jama’ adalah 15 hari. Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan
Dawud mengatakan maksimum 4 hari.
JAMA’ SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)
Menjama’ sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua
sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya’ dalam

salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut. Maka sholat dengan cara
jama’ ada dua macam:
1. Jama’ taqdim. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur,
atau sholat maghrib dan sholat isya’ dalam waktu maghrib.
2. Jama’ ta’khir. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar,
atau sholat maghrib dan sholat isya’ dalam waktu isya’.
HUKUM JAMA’
Banyak yang beranggapan bahwa jama’ merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan
qashar. Sejatinya kedua cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan
sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara bersamaan. Jadi
melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama’. Sholat seperti itu disebut jama’
qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama’ lebih longgar dibandingkan dengan qashar.
Qashar boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi
jama’ mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya jama’ sholat. Mayoritas
ulama mengatakan jama’ sholat hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena
hukumnya boleh maka seorang musafir boleh melakukan jama’ dan boleh tidak
melakukannya. Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah s.a.w. adalah
kesunahan.

Dalil-dalil yang menunjukkan dipebolehkannya jama’ adalah antara lain:
[1]. Hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik r.a. belaiau berkata bahwa Rasulullah s.a.w
menggabung sholat Maghrib dan Isya’ pada saat bepergian.
[2]. Hadist riwayat Muslim dari Muadz beliau berkata: kami bepergian bersama Rasulullah
s.a.w. untuk perang Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar secara digabung
dan begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya’.

[1] hadist Anas bin Malik r.a.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari
condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti
dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau
sholat dulu lalu memulai perjalanan”. (h.r. Bukhari Muslim).
[2] Hadist Ibnu Umar r.a. berkata: suatu hari aku dimintai pertolongan oleh salah satu
keluarganya yang tinggal jauh sehingga beliau melakukan perjalanan, beliau mengakhirkan
maghrib hingga waktu isya’ kemudian berhenti dan melakukan kedua sholat secara jama’,
kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan Rasulullah s.a.w. ketika
menghadapi perjalanan panjang.
Kedua hadist di atas juga dijadikan landasan diperbolehkannya jama’ taqdim, yaitu
melakukan kedua pasangan sholat di atas dalam waktu pertama.
[3]. Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk, manakala beliau
memulai perjalanan setelah Maghrib, beliau memajukan Isya’ dan melaksanakannya di

waktu sholat maghrib. (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menghasankan
hadist ini).
Sebagian ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang
sedang dalam perjalanan adalah melakukan jama’. Sedangkan musafir yang melakukan
transit atau stop over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan semangat
mengikti sunnah Rasulullah s.a.w. maka kita mengikuti yang paling mudah dan
meringankan sejauh itu tidak dosa. Rasulullah s.a.w. tidak pernah disodori dua pilihan
kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak dosa, kalau itu dosa maka beliau
yang paling gigih menjauhinya (h.r. Bukhari dan Muslim).
Pendapat kedua adalah yang diikuti imam Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi mengatakan
bahwa sholat jama hanya boleh dilakukan pada hari Arafah untuk para jamaah haji, yaitu
jama’ taqdim, dan jama’ ta’kir pada malam Muzdalifah. Alasan pendapat ini bahwa riwayatriwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah hadist mutawaatir (diriwayatkan
banyak orang), sedangkan hadist yang meriwayatkan jama’ selain di waktu haji adalah
hadist Ahad (personal), hadist yang mutawatir tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad.
Pendapat ini juga melandaskan pada riwayat Ibnu Mas’ud r.a. beliau berkata: “Demi Dzat
yang tidak ada Tuhan lain yang menyekutuinya, Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan
sholat kecuali pada waktunya kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama’ (taqdim)
dhuhur dan ashar di Arafah dan jama’ (ta’khir) maghrib dan isya di Muzdalifah” (h.r.
Bukhari Muslim).
CARA JAMA’ TAQDIM

Yang dimaksud dengan sholat jama’ taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam
waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya’ dalam waktunya sholat maghrib.
Sholat shubuh tidak dapat dijama’ dengan sholat isya’. Pelaksanaan sholat dengan jama’
taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara, setelah masuk waktu
dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan ketika takbirotul ihram, berniat
menjama’ sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam’an bil ‘ashri taqdiman lillahi ta’ala.
Artinya : “Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama’ taqdim dengan ashar karena Allah”
Niat jama’ taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam,
dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama’ taqdim antara ashar dengan
dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian
juga cara sholat jama’ taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya’, sama dengan cara

jama’ taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur diganti dengan
maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya’.
Jika sholat jama’ taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat raka’at, yaitu
dhuhur, ashar, dan isya’, diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama’ taqdim serta
qashar:

Usholli
fardlod-dhuhri
rok’ataini
jam’an
bil
‘ashri
taqdiman
wa
qoshron
lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sholat dhuhur dua roka’at dengan dijama’ taqdim dengan ashar dan
diqashar karena Allah “
SYARAT-SYARAT JAMA’ TAQDIM
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama’ taqdim, dengan
syarat sebagai berikut :
1. Bukan berpergian maksiat .
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan
sholat maghrib sebelum sholat isya’.

5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat
kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya,
kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka’at singkat.
CARA JAMA’ TA’KHIR
Yang dimaksud dengan jama’ ta’khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya
sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya’. Sholat shubuh
tidak dapat dijama’ dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama’ ta’khir antara sholat
dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam
hati niat mengakhirkan sholat dhuhur untuk dijama’ dengan sholat ashar dalam waktu
sholat ashar. Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat
ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama’ ta’khir. Demikian juga cara
melakukan jama’ ta’khir sholat magrib dengan sholat isya’. Ketika masuk waktu maghrib
berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama’ pada waktu sholat isya’.
SYARAT-SYARAT JAMA’ TA’KHIR
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama’ ta’khir apabila memenuhi
syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ ta’khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.
KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA’

Ketentuan jama’ dan atas adalah mengacu kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut ini
adalah kondisi-kondisi yang diperbolehkan melakukan sholat dengan jama’ dari berbagai
mazhab:
1. Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).
2. Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).
3. Hujan lebat sehingga menyulitkan melakukan sholat berjamaah khusus untuk sholat
maghrib dan isya’ (Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan yang becek, banjir
dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini hanya memperbolehkan jama’
taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat
bersama kita di Madina dhuhur dan ashar digabung dan maghrib dan isya’ digabung,
bukan karena takut dan bepergian” (h.r. Bukhari Muslim).

4. Sakit (menurut Maliki hanya boleh jama’ simbolis, yaitu melakukan solat awal di akhir
waktunya dan melakukan sholat kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali sakit
diperbolehkan menjama’ sholat).
5. Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.
6. Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang anaknya masih kecil dan tidak
memakai pampers (Hanbali).
7. Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).
8. Saat kesulitan mengetahui waktu sholat (Hanbali).
9. Saat perempuan mengalami istihadlah, yaitu darah yang keluar di luar siklus haid.
(Hanbali). Pendapat ini didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada Rasulullah
s.a.w. saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:”Kalau kamu mampu
mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan melakukan jama’
kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu” (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.
10. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, seperti khawatir keselamatan diri sendiri
atau hartanya atau darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang tidak bisa
ditinggal kerjaannya. (Hanbali).
Para pekerja di kota-kota besar yang pulang dengan tansportasi umum setelah sholat ashar
sering menghadapi kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib secara tepat waktu
karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk waktu isya’, sementara
untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak mudah. Pada kondisi ini dapat
mengikuti mazhab Hanbali yang relatif fleksibel memperbolehkan pelaksanaan sholat
jama’. Menurut mazhab Hanbali asas diperbolehkannya qashar sholat adalah karena
bepergian jauh, sedangkan asas diperbolehkannya jama’ adalah karena hajat atau
kebutuhan. Maka ketentuan jama’ lebih fleksibel dibandingkan dengan ketentuan qashar.
SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika
dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku’ dan sujud dilakukan
seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri,
maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat
fardlu maka rukun-rukun sholat seperti ruku’ dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan.
Sholat fardlu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan
melakukan sujud dan ruku’ serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat
atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan
sholat secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu
sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian
pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
[1]. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:”Rasulullah s.a.w. melakukan
sholat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah
kendaraan, beliau berisyarat (ketika ruku’ dan sujud), kecuali sholat-sholat fardlu. Beliau
juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.
[2].Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:”Abdullah bin
Umar pernah sholat malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli
dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:”Rasulullah s.a.w. juga melakukan
sholat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan berjalan, beliau juga
melakukan sholat witir, hanya saja itu tidak pernah dilakukannya untuk sholat fardlu”.
Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan
memenuhi rukun-rukun sholat? Terdapat dua cara, yaitu:
[1] Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya,
misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini wajib diulang (I’adah), setelah
menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu secara sempurna

Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja,
bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca
bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan fatihah.
ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM
Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami
kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau
ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu’, seperti ketika
berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk
berwudlu’, karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga
dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini
diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu.
Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka
sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.
QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN
Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau
tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita
tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan
qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum
sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila
kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya
melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga
kita
masih
mendapatkan
dispensasi
melakukan
qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di
tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah,
maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan
sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat
itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan sholat secara sempurna.
BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN
Batas mulai diperbolehan jamak dan qashar adalah pada saat musafir telah melewati batas
desanya. Begitu juga batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jamak
bagi seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia akan tinggal
atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jamak takhir saat perjalanan pulang,
hendaknya melakukannya sebelum masuk batas desa anda. Kalau anda terlanjur masuk
desa tersebut, maka anda tidak lagi berhak atas keringanan seperti jamak atau qashar.
Demikianlah yang dapat disimpulkan semoga kita dapat mengerjakan shalat qashar dan
shalat jama’ ini apabila kita bepergian kesuatu tempat (musafir) karena ini merupakan
sebuah keringanan dari Allah bagi hamba-Nya.
Dalam penulisan artikel ini, tentunya masih banyak terdapat kekurangan dan
ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan artikel ini. Semoga bermanfaat. Artikel ini
disarikan dari berbagai sumber kitab kuning.
Link : https://bidadari08.wordpress.com/2010/07/29/macam-macam-rukhsah-pada-ibadahshalat/#more-609