Kesepatakan Dalam Perjanjian Atau Kontra

KESEPATAKAN
DALAM PERJANJIAN ATAU KONTRAK

OLEH :
JANUARSE DJAMI RIWU
NIM.1202011076
DPA. BILL NOPE,SH.,LLM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

TAHUN 2015

KESEPATAKAN
DALAM PERJANJIAN ATAU KONTRAK

Suatu perjanjian terbentuk karena adanya pernyataan kehendak
dari para pihak dan tercapai kata sepakat di antara mereka yang
kemudian dituangkan dalam bentuk kata-kata lisan atau tulisan, sikap,
maupun tindakan.
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak

sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Pasal
1320 KUH Perdata menentukan empat syarat untuk sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif
karena kedua Syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif
karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Tidak
dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian
menjadi dapat dibatalkan. Maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi
batal apabila ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan tidak
dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan perjanjian tersebut
menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Dalam pembahasan kali ini, hanya akan dibahas syarat subjektif
yang pertama yakni Kesepatakan Kehendak (Consensus, Agreement)


Kesesuaian antara kehendak dan pernyataan merupakan dasar
dari terbentuknya kesepakatan. Meskipun terdapat kesesuaian antara
kehendak dan pernyataan, suatu tindakan hukum masih dapat
dibatalkan. Hal ini terjadi apabila terdapat cacat pada kehendak. Cacat
pada kehendak terjadi apabila seseorang telah melakukan suatu
perbuatan hukum, padahal kehendak tersebut terbentuk secara tidak
sempurna.
Kehendak yang terbentuk secara tidak sempurna tersebut dapat
terjadi karena adanya:
1. Ancaman/paksaan (bedreiging, dwang);
2. Kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwaling);
3. Penipuan (bedrog);
Mengenai ancaman, kekeliruan dan penipuan, diatur dalam
Pasal 1322 – Pasal 1328 KUH Perdata. Sedangkan mengenai

penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUH Perdata

1. ANCAMAN/PAKSAAN (BEDREIGING, DWANG)
Ancaman terjadi apabila seseorang menggerakkan orang lain

untuk

melakukan

suatu

perbuatan

hukum,

dengan

menggunakan cara yang melawan hukum mengancam akan
menimbulkan kerugian pada orang tersebut atau kebendaan
miliknya atau terhadap pihak ketiga dan kebendaan milik
pihak ketiga.

Suatu ancaman dapat terjadi atau dilakukan dengan
menggunakan cara atau sarana yang legal maupun ilegal.
Contoh sarana yang ilegal adalah mengancam dengan pisau.

Sedangkan contoh sarana yang legal adalah mengancam
untuk melakukan permohonan pailit.

2. KEKELIRUAN/KESESATAN/KEKHILAFAN (DWALING)
Kekeliruan yang dimaksud adalah terdapat kesesuaian
antara kehendak dan pernyataan, namun kehendak salah
satu atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Diluar hal
tersebut, maka akibat dari kekeliruan harus ditanggung oleh
dan menjadi risiko pihak yang membuatnya.

3. PENIPUAN (BEDROG)
Yang dimaksud dengan penipuan adalah apabila seseorang
sengaja dengan kehendak dan pengetahuan menimbulkan
kesesatan pada orang lain. Penipuan dapat terjadi karena
suatu fakta dengan sengaja disembunyikan atau bila suatu
informasi dengan sengaja diberikan secara keliru atau
dengan menggunakan tipu daya lainnya. Terdapat hubungan
yang erat di antara kekeliruan dan penipuan. Perbedaan
utama di antara keduanya adalah pada penipuan, unsur
perbuatan melawan hukum dari pihak yang menipu dan

tanggung gugatnya terlihat dengan jelas. Sedangkan pada
kekeliruan hal ini tidak tampak. Selain itu pada kekeliruan

masih terdapat peluang untuk mengubah perjanjian.
Sedangkan

pada

penipuan

tertutup

peluang

untuk

mengubah perjanjian.

Apabila didapati bahwa perjanjian yang dibuat tidak sah maka
salah tu pihak dapat meminta pembatalan, Hak meminta pembatalan

hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh UU diberi
perlindungan itu (pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas
dalam memberikan sepakat). Meminta pembatalan itu oleh pasal 1454
KUHPer dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun, yang
mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini
menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan
itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafanatau penipuan, sejak hari
diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.

Ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian:
1. Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat
meminta kepada hakim upaya perjanjian itu dibatalkan.
2. Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi
perjanjian

tersebut,

kemudian

mengemukakan


bahwa

perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum
cakap, atau karena diancam, ditipu atau khilaf mengenai objek
perjanjian. Di depan sidang pengadilan itu ia memohon kepada
hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan
secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.