Geografi Sosial Sikap Mental Bangsa da

MAKALAH

SIKAP MENTAL BANGSA DALAM PEMBANGUNAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Geografi Sosial
Dosen pengampu : Suparmini, M.Si

Oleh :

Tarik Aziz

(11405241001)

Janu Muhammad

(11405241002)

Eka Ari Purnami

(11405241014)

Anggoro Buana P.M


(11405241028)

Iqbal Raditya Fajr

(11405241037)

Agnes Kunti Nuritasari

(11405241039)

Arief Laksono

(11405241040)

Mei Nikhy Lestari

(11405241044)

Rizky Putri Hayuningtyas (11405241046)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sikap
Mental Bangsa dalam Pembangunan”.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Geografi Sosial, Jurusan
Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNY. Selanjutnya kami akan ucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Suparmini, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah geografi sosial.
2. Orang tua kami yang selalu memberikan doa dan dukungannya
3. Serta teman-teman kelas A jurusan Pendidikan Geografi UNY 2011 yang
selalu memberikan dukungannya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan karya selanjutnya. Semoga

makalah ini bermanfaat.

Yogyakarta, 19 November 2012

Hormat Kami,
Tim Penyususn

2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang istimewa, tatanan, sejarah pembentukan, ditambah
dengan variable jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan sumber daya alam, kebinekaan
agama, etnis dan kultur. Komponen-komponen ini dapat menjadikan Indonesia sebagai
negara yang besar. Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar memiliki
keunikan budaya tersendiri, terlebih lagi jika dikaitkan dengan letaknya di peta dunia.
Indonesia merupakan teks alami yang tidak ada habis-habisnya untuk dikaji, dipelajari,
dan dimanfaatkan sumber dayanya. Proses vulkanisnya menyuburkan tanah, lerenglerengnya memeperluas lahan pertaniana. Pendek kata, Indonesia merupakan laboratorium

alami, baik bagi ilmu-ilmu kebumian, kelautan, atmosfer, dan ilmu-ilmu kehidupan.
Indonesia telah sejak lama mengusahakan pembangunan di berbagai sektor.
Mulai dari pembangunan masyarakat di pedesaan atau kaum petani sampai kalangan
penduduk kota atau kaum pegawai. Pembangunan itu sudah sejak masa kolonial
direncannakan, sampai akhirnya terealisasi pada masa orde baru, masa revolusi, dan
pascar revolusi saat ini. Pembangunan negeri ini turut menyisakan dampak mental yang
saat ini masih dirasakan oleh banyak diantara warga negaranya.
Orientasi dan sikap mental bangsa Indonesia yang belum sejatinya mencerminkan
harapan dari pendiri negeri ini. Indonesia masih sangat tergantung kepada negara lain,
baik dari segi perekonomian, ketahanan, maupun segi lainnya. Padahal, negeri ini kaya
akan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Kita masih berbangga dengan
mengimpor produk dari negara tetangga, padahal kita sebenarnya mampu untuk
membuatnya sendiri. Kita masih malu untuk percaya dan menunjukkan pada dunia bahwa
Indonesia bisa setara dengan negara super power maupun negara dengan keunggulan
teknologinya. Namun, pekerjaan rumah kita adalah sudah siapkah mental Indonesia untuk
bangkit dari keterpurukan dan berjuang melawan krisis mental ini ?

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah mentalitas pembangunan itu ?

2. Apa saja kelemahan mentalitas kita untuk pembangunan ?
3. Apa saja kelemahan mentalitas pasca revolusi ?

3

4. Bagaimana hubungan orientasi vertikal dengan pembangunan ?
5. Bagaimana upaya membangun jati diri bangsa melalui pembangunan ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui makna mentalitas pembangunan.
2. Mengetahui kelemahan mentalitas kita untuk pembangunan.
3. Mengetahui kelemahan mentalitas pasca revolusi.
4. Mengetahui hubungan orientasi vertikal dengan pembangunan.
5. Mengetahui upaya membangun jati diri bangsa melalui pembangunan.

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini akan bermanfaat, diantaranya :
1.


Menambah khasanah ilmu pengetahuan.

2.

Meningkatkan pemahaman mahasiswa dan seluruh warga negara akan pentingnya
mentalitas pembangunan.

3.

Mendidik kita untuk membangun mentalitas pembangunan sejak dini.

4.

Berusaha berperan aktif dalam menyukseskan pembangunan di Indonesia.

4

BAB II
PEMBAHASAN


A. Makna Mentalitas Pembangunan
Secara logis terlebih dahulu memerlukan suatu bayangan ke depan mengenai
bentuk masyarakat seperti apa yang ingin kita capai dengan pembangunan kita. Hal ini
masih belum di konsepsikan oleh bangsa kita. Berbagai suku bangsa, berbagai aliran, dan
berbagai golongan dalam negara kita yang demikian banyaknya itu mungkin sudah
mempunyai konsepsinya masing-masing yang belainan satu sama lain, tetapi suatu
konsepsi konkrit untuk dituju bersama belum ada. Jelaslah bahwa model dari masyarakatmasyarakat yang sekarang sudah maju tidak mungkin dapat dicontoh begitu saja karena
memang sukar untuk mengajar suatu hal yang sudah terlampau jauh di depan. Bahkan,
model masyarakar Jepang pun tidak dapat kita tiru karena lingkungan alam, komposisi
penduduk negara, struktur masyarakat, aneka warna kebudayaan, sisten nilai-budaya, dan
agama-agama di negara kita memang berbeda dengan di Jepang.
Menurut Koentjaraningrat (1992) dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan”, untuk dapat mencapai suatu keadaan yang agak lebih makmur dari
sekarang, sudah tentu perlu suatu intensitas usaha di segala lapangan yang jauh lebih
besar daripada apa yang biasa kita gerakkan sampai kini. Sebagai contoh, coba kita
perhatikan keterangan para ahli ekonomi sebagai berikut : penduduk Indonesia bertambah
2,8% tiap tahun. Agar kita dapat merasakan akibat dari kenaikan produksi, maka laju
pertumbuhan ekonomi harus lebih besar dari 2,8%. Katakanlah 4% dari GNP tiap tahun,
tetapi kita juga harus memperhitungkan faktor kebutuhan yang terus meningkat. Hal itu
berarti laju pertumbuhan ekonomi harus beberapa kali lipat di atas laju pertambahan

penduduk.
Dengan memperhatikan contoh di atas, untuk menjadi sedikit lebih makmur kita
harus dapat berusaha bekerja, menghemat, dan sebagainya. Untuk itu, kita harus
mengubah beberapa sifat dari mentalitas kita untuk meningkatkan tekanan intensitas
usaha. Salah satu mentalitas yang sangat penting yaitu nilai budaya yang berorientasi ke
masa depan. Selain itu, nilai budaya lain yang dibutuhkan yaitu nilai budaya yang
berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam. Nilai
semacam itu akan menambah kemunkinan inovasi, terutama inovasi dalam teknologi.
Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak
harus memanfaatkan teknologi yang makin lama makin disempurnakan. Mungkin ada

5

yang beranggapan bahwa kita tidak perlu mengembangkan suatu mentalitas yang menilai
tinggi inovasi, karena kita tak perlu lagi mengembangkan teknologi.
Disamping itu, kita juga harus menumbuhkan sikap yang dapat mengapresiasi
tinggi usaha seseorang yang dengan jerih payah sendiri dapat mencapai tujuan dan hasil.
Suatu nilai itu jika diekstrimkan tentu akan berpotensi menuju arah individualisme, dan
parahnya dapat menjadi isolisme. Nah, kita harus mencegah perkembangan pola pikir
secara ekstrim tersebut karena nilai itu akan menghilangkan dasar dari rasa keamanan

hidup kita.
Di Indonesia sendiri nilai budaya kita sangat kontras dengan individualisme, yaitu
nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan. Nilai yang terlalu berorientasi
vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yanng ingin berdiri sendiri dan menyebabkan
timbulnya krisis kepercayaan pada diri sendiri. Nilai itu juga akan menghambat
tumbuhnya rasa disiplin pribadi karena dia hanya taat ketika dibawah pengawasan dari
yang berwenang. Akhirnya, hal itu akan akan mematikan rasa tanggungjawab terhadap diri
sendiri.
Dengan singkat, suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk
pembangunan harus berusaha untuk lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan dan
bersifat hemat untuk lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai
tinggi hasrat eksplorasi, dapat menghargai karya dari orang lain dan akhirnya menilai
tinggi mentalitas berusaha dengan kemampuan sendiri, percaya pada diri sendiri,
berdisiplin murni dan berani bertanggungjawab atas semua yang dikerjakan.

B. Kelemahan Mentalitas Kita untuk Pembangunan
Orang desa biasanya bekerja dalam sektor pertanian dan mentalitas mereka
adalah suatu mentalitas yang khas, yang kita sebut dengan mentalitas petani. Sebaliknya,
orang kota bekerja sebagai buruh, pedagang, usahawan, atau pegawai. Baik kelas buruh
maupun kelas pedagang dan usahawan masih lemah, sehingga kehidupan kota dikuasai

oleh kelas pegawai yang amat bergengsi, dan mentalitas penduduk kota didominasi oleh
mentalitas pegawai ( di kota-kota Jawa Tengan atau Timur oleh mentalitas priyayi ).
Orang ABRI yang berkuasa di kota-kota dapat disamakan dengan pegawai, baik dalam
sifat pekerjaan mereka, maupun dalam gaya hidup dan mentalitas mereka.
Dalam

hal

membicaraka

kelemahan-kelemahan

mentalitas

kita

untuk

pembangunan, perlu dibedakan antara dua hal, yaitu (1) konsepsi-konsepsi, pandanganpandangan, dan sikap mental terhadap lingkungan kita yang sudah lama mengendap dalam


6

alam pikiran kita karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya kita sejak
beberapa generasi yang lalu; dan (2) konsepsi-konsepsi, pandangan-pandngan, dan sikap
mental terhadap lingkungan kita yang baru timbul sejak zaman revolusi dan yang
sebenarnya tidak bersumber pada sisten nilai budaya kita. Tulisan ini akan berfokus pada
yang disebutkan pertama dengan kerangka Kluckhohn mengenai masalah-masalah dalam
hidup yang menjadi orientasi dari sistem nilai budaya nmanusia ialah kerangka MH-MKMW-MA-MM.
1. MH-MK (Nilai budaya mengenai hakikat dari hidup dan karya manusia)
Mentalitas petani tidak biasa berspekulasi tentang hakikat dari hidup, dari karya
dan hasil karya manusia, dan papabila kita mengajukan pertanyaan mengenai itu maka
mereka secara langsung menjawab bahwa hidup itu bekerja keras untuk dapat makan.
Berbeda dengan mentalitas priyayi Jawa yang mengubungkan karya dengan konsep
amal. Konsep amal dalam priyayi Jawa tidak dikaitkan dengan wujud hidup kelak,
konsep amal dibayangkan sebagai karya yang mewujudkan kebahagiaan dalam hidup
ini. Suatu hal yang tidak cocok dengan jiwa pembangunan dalam hal ini adalah bahwa
konsep tersebut tidak bersumber pada suatu nilai budaya yang berorientasi pada hasil
karya manusia itu sendiri (tidak achievement oriented) tetapi hanya terhadap amal dari
karya, ibarat orang sekolah yang tidak mengejar keterampilan yang diajarkan, tetapi
hanya ijazah saja.
2. MW (Nilai budaya mengenai persepsi mengenai waktu)
Mentalitas petani mempunyai persepsi waktu yang terbatas. Irama waktu
ditentukan oleh cara-cara adat untuk memperhitungkan tahap-tahap aktivitas pertanian
dalam lingkaran waktu. Sebagian besar dari keputusan-keputusan penting dan arah
orientasi hidup petani ditentukan oleh keadaan masa kini. Sebaliknya, mentalitas
priyayi Jawa mempunyai persepsi waktu yang banyak ditentukan oleh masa lampau.
Rutinitas mereka masih saja juga diisi dengan perhatian terhadap mitologi, silsilah, dan
karya-karya pujangga kuno serta diselingi dengan upacara-upacara rumit untuk
memelihara benda-benda pusaka. Hal itu semua tentu bukan hal yang melemahkan
mentalitas mereka, hanya saja suatu orientasi yang terlampau hanya terarah ke masa
lampau dan melemahkan mentalitas orang untuk melihat masa depan. Hal ini
sebaliknya melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat. Unsur mentalitas
terakhir inilah yang kurang cocok dengan keperluan pembangunan.
3. MA (Masalah hakikat hubungan manusia dengan alam)

7

Konsep mengenai pengaruh nasib yang amat kuat dalam mentalitas petani di
Indonesia pada umumnya bersumber pada suatu nilai budaya yang tidak aktif terhadap
alam di sekelilingnya. Namun petani Indonesia itu biasanya tidak merasa tunduk
terhadap alam, sebaliknya mereka juga tidak merasa mampu untuk menguasainya.
Konsepsi bahwa petani harus hidup berdampingan dengan alam adalah suatu konsepsi
mentalitas petani di Indonesia. Adapun priyayi di kota-kota Jawa Tengan dan Timur
yang hidupnya dalam kantor tentu tidak banyak sangkut pautnya dengan alam. Selain
itu, terutama dalam pandangan hidup priyayi ada suatu konsep yang penting yaitu
mereka menganggap manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini tetapi dikelilingi oleh
masyarakat dan alam semesta dan di dalam sistem mikrokosmos itu dirinya adalah
sebuah benda kecil yang ikut terbawa oleh proses peredaran semesta yang maha besar
itu. Teutama dalam mentalitas priyayi inilah telah berkembang mentalitas yang
terlampau banyak menggantungkan diri kepada nasib. Suatu mentalitas yang tidak
begitu sesuai dengan jiwa pembangunan.
4. MM (Nilai budaya mengenai hubungan manusia dengan sesamanya)
Mentalitas petani di Indonesia menilai tinggi konsep sama rata sama rata.
Dalam konsep penting ini, di dunia manusia itu hakikatnya tidak berdiri sendiri, ia bisa
mendapatkan bantuan dari sesamanya. Tetapi ada sisi negatif yang timbul yaitu ketika
orang tidak mau lebih menonjol dari orang lain agar ia yang harus membantu orang
lain. Sikap konformisme inilah yang bertentangan dengan jiwa pembangunan yang
justru memerlukan usaha jerih payah dengan sengaja dari pihak individu ntuk maju dan
menonjol di atas yang lain. Di sisi lain konsep yang dilakukan oleh priyayi adalah
orientasi ke arah atasan. Orang hanya akan bergerak dan bekerja jika mendapat perintah
dari atasan. Mentalitas menunggu restu dari atasan jelas tidak cocok dengan jiwa
pembangunan. Kelemahan mentalitas yang lain, yang timbul setelah zaman revolusi
akan dijelaskan secara umum berikut ini.

C. Kelemahan Mentalitas Pasca Revolusi
Revolusi kita serupa dengan semua revolusi yang pernah terjadi dalam sejarah
manusia, telah membawa akibat post-revolusi berupa kerusakan-kerusakan fisik dan
mental, dalam masyarakat bangsa kita. Suatu revolusi pertama-tama mematahkan
kontinuitas kehidupan masyarakat dengan konsekuensi timbulnya improvisasi dari polapola kehidupan baru yang tidak mantap, dan yang menimbulkan keraguan-raguan dalam

8

suatu kehidupan tanpa pedoman. Konsekuensi lain adalah terabaikannya prasaranaprasarana ekonomi dan kehidupan ekonomi yang menjadi kacau.
Masa sesudah revolusi, kemerdekaan sudah tercapai, timbul banyak masalah lain,
dan biasanya dengan segera mulai suatu proses yang oleh para ahli disebut proses
dekolonisasi. Dalam proses itu norma-norma serta peraturan-peraturan lama yang
dianggap feodal atau kolonial dijebol dengan maksud untuk diganti dengan norma dan
peraturan yang baru. Masalah post-revolusi dan dekolonisasi telah mengakibatkan usaha
untuk merehabilitasi prasarana ekonomi diabaikan, jalan-jalan, jembatan, peralatan kereta
api, pelabuhan menjadi makin rusak.
Sifat-sifat kelemahan mentalitas bangsa yang bersumber pada kehidupan tanpa
pedoman dan orientasi yang tegas, adalah:
1.

Sifat mentalitas yang meremehkan mutu

2.

Sifat yang suka menerabas

3.

Sifat tak percaya pada diri sendiri

4.

Sifat tak berdisiplin murni

5.

Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh

Mentalitas yang meremehkan mutu
Kebutuhan akan kualitas dari hasil karya kita, dan rasa peka kita terhadap mutu,
sudah hampir hilang. Hal itu akibat otomatis dari kemiskinan menghebat yang melanda
bangsa. Kita sampai tak sempat memikirkan mengenai mutu dari pekerjaan yang
dihasilkan dan mutu dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Orientasi kita memang
terlampau mementingkan konsep ketergantungan kepada atasan atau kepada sesama
manusia dalam komunitas.
Masalah mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas itu dalam masyarakat kita
juga jelas disebabkan karena proses penyebaran, pengluasan, pemerataan dan
ekstensifikasi dari sistem pendidikan yang tidak disertai dengan perlengkapan sewajarnya
dari prasarana-prasarana pendidikan.

Mentalitas yang suka menerabas
Merupakan mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuannya secepat-cepatnya
tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara langkah demi selangkah, dan
merupakan akibat dari mentalitas yang meremehkan mutu. Mentalitas menerabas pada
hakikatnya suatu sikap yang boleh dikata universal, dan ada pada hampir semua manusia
dalam segala macam bentuk dan lingkungan kebudayaan di dunia.

9

D. Orientasi Vertikal dengan Pembangunan
Beikut ini merupakan sifat-sifat yang berorientasi vertikal terhadap pembangunan :
1. Sifat tidak percaya terhadap diri sendiri
Sifatnini timbul karena mentalitas Indonesia yang lemah sejak masa kolonial Belanda.
Kita terkesan menerima nasib negeri ini dan terhadap kemampuan bangsa ini untuk
maju. Bagi kalangan petani masih berorientasi pada pertanian yang tradisional saja
dan belum sepenuhnya mau maju menjadi petani modern. Begitu juga dengan para
priyayi. Namun demikian, kini Indonesia mulai tumbuh dengan percaya diri, dengan
mengoptimalkan pembangunan yang berorientasi pada kekayaan nasional negeri ini.
2. Sifat tidak berdisiplin Murni
Sifat tak berdisiplin murni juga merupakan suatu sifat yang justru dalam zaman
setelah revolusi tampak makin memburuk dan yang merupakan salah satu pangkal
dari banyak masalah sosial budaya yang sekarang ini kita hadapi. Walaupun
demikian, sifat itu dapat dikembalikan kepada nilai-nilai dalam mentalitas pegawai
dan priyayi yang terlampau banyak berorientasi vertikal tadi. Banyak orang di
Indonesia yang berdisiplin hanya karena takut akan atasan. Pada saat pengawasan itu
kendor, hilanglah jiwa dan hasrat untuk menaati aturan.
3. Sifat tidak bertanggung jawab
Dlam zaman stetlah revolusi, sifat ini tampak memburuk dalam kalangan pegawai dan
priyayi di kota. Sifat tak bertanggung jawab pada mata pencaharian hidup sehari-hari
mudah dapat kita mengerti sebagai sebabnya. Demikian sikap tidak tanggung jawab
ini sebenarnya merupakan suatau keadaan yang tak mampu dari orang yang hidup
dalam keadaan serba kurang.

Misalnya kurangnya pendidikan dan kematangan

watak/karakter.

E. Membangun Jati Diri Bangsa Melalui Pembangunan
Sebenarnya harus diingat kembali bahwa mentalitas pembanguna itu mewajibkan
sebagai syarat nilai budaya yang berorientasi pada masa depan, suatu sifat hemat, suatu
hasrat untuk bereksplorasi dan berinovasi, suatu pandangan hidup yang menilai tinggi
achievement dari karya, suatu nilai budaya yang berorientasi kurang vertikal, suatu sikap
lebih percaya pada kemampuan sendiri, berdisiplin murni, dan berani bertanggung jawab.
Menurut

Koentjaraningrat,

ada

empat

jalan

untuk

meraih

mentalitas

pembangunan : dengan memberi contoh yang baik, dengan memberi perangsang-

10

perangsang yang cocok, dengan persuasi dan penerangan, dan dengan pembinaan dan
pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam
kalangan keluarga. Selain itu, partisipasi rakyat merupakan sisi penting dalam
mewujudkan pembangunan negeri ini. Menurut Sultan Hamengku Buwono X (2007)
dalam bukunya Merajut Kembali keIndonesiaan Kita, ada beberapa cara yaitu :
1. Bhineka tunggal Ika : Faktor Integrasi
Indonesia merupakan Negara yang secara alami sangat majemuk, ditengah arus
reformasi dewasa ini, idiom yang seharusnya dijadikan basis strategi integrasi nasional
mestinya adalah Bhineka Tunggal Ika. Artinya, sekalipun satu, tidak boleh dilupkan
bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Pengalaman
mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan(tunggal-ika) yang paling potensial
untuk bias melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan
adanya pluralitas (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa
Indonesia. Inilah yang lebih menjamin persatuan dan kesatuan serta integrasi nasional
dalam rentang waktu jangka panjang yang kukuh dan lestari.
2. Warisan Kultur Orde Baru
Orde baru yang mencapai lebih dari tiga dasawarsa

menurunkan kultur yang

cenderung merugikan bagi bangsa Indonesia. Selama Orde BAru terlihat dengan jelas
bahwa kekuasaan cenderung digunakan untuk menumpuk kekayaan melalui KorupsiKolusi-Nepotisme (KKN). Menurut M.T. Zen (1998), ada tiga gejala yang sangat
merugikan, yakni:
1. Budaya permisif, lambat laun, sikap permisif ini terutama terhadap kkn sudah
dianggap biasa dan bahkan sesuau yang memang seharusnya demikian.
2. Gejala semua dapat diatur, secara langsung hal ini mengaburkan peraturan, seperti
perizinan, penerimaan pegawai, dsb.
3. Gejala Submisif yang berkaitan dengan toleransi tanpa batas, membiarkan diri diinjak
dan dihina oleh penguasa. Bagaimanapun keadaannya tetap saja patuh, malahan
menjilat terus keatas.
Keriga gejala tersebut lambat laun tapi pasti mengikis prinsip-prinsip etika dan
menggerogoti nilai-nilai moralyang menggoyahkan jati diri bangsa. Lambat laun, orang
tidak lagi membedakan antara yang benar dan salah, antara baik dan buruk.
3. Rethinking-Reshaping
Jangkauan kekuasaan Orde Baru mencapai tiga dasawarsa lebih. Lalu reformasi
social budaya seperti apa yang tepat untuk dilancarakn sehignga mampu menciptakan

11

iklim yangkondusif abgi terciptanaya birokrasi yang bersih dari KKN ? mungkin ada
manfaatnya untuk mengangkat kembali rangkaian dialog budaya pada masa pra
kemerdekaan yang actor-aktornya adalah para pendiri negeri ini. Sejarah member
pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran piiran
itulah sesungguhnya yang mengantar kita ke gerbang kemerdekaan.
Membangun Optimisme masyarakat Indonesia saat ini tidaklah mudah.
Dikarenakan masih kentalnya kultur kekerasan, konflik etnis, dan konflik politik sebagai
dampak dari warisan kultur Orde Baru. Oleh karena itu, usaha menciptakan optimism
memang harus dibangun bersamaan dengan keharusan kita untuk berusaha menyelesaikan
persoalan rumit yang sedang dihadapi.
Kesadaran akan kemungkinan kebesaran kita sebagai bangsa di hari depan di
tengah-tengah bangsa-negara yang lain, juga merupakan factor penopang dari usaha
penciptaan keberanian untuk optimis dan melnjutkan hidup bersama kita. Ada kesadaran
yang menggejala secara umum, bahwa hanya dengan hidup bersama dalam Negara yang
bernama Indonesia, dengan jati diri kita sendiri, kita dapat membangun kehidupan yang
terhormat, di tengah-tengah bangsa-negara lain.
Indonesia adalah Negara dengan segunung potensi, maka yang perlu dipikirkan
adalah bagaimana caranya kita mengubah potential forces menjadi actual forces.
Kekuatan nyata yang mampu menjawab tantangan globalisasi. Dibutuhkan sebuah
Konsensus untuk menunjukkan kearah mana Indonesia akan dibawa oleh pemimpin
bangsa ini. Consensus tersebut akan menjadi factor penentu keberhasilan dalam
membangun jati diri bangsa yang maju, beradap, demokratis dan berkeadilan serta
menghormati hak-hak asasi manusia dalam kancah dunia internasional serta arus
globalisasi.

12

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Simpulan akhir dari makalah ini yaitu :
1. Untuk dapat mencapai suatu keadaan yang agak lebih makmur dari sekarang,
sudah tentu perlu suatu intensitas usaha di segala lapangan yang jauh lebih besar
daripada apa yang biasa kita gerakkan sampai kini.
2. Sifat-sifat kelemahan mentalitas bangsa yang bersumber pada kehidupan tanpa
pedoman dan orientasi yang tegas, adalah: sifat mentalitas yang meremehkan
mutu, sifat yang suka menerabas, sifat tak percaya pada diri sendiri, sifat tak
berdisiplin murni, sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang
kokoh.
3. Menurut Koentjaraningrat, ada empat jalan untuk meraih mentalitas pembangunan
: dengan memberi contoh yang baik, dengan memberi perangsang-perangsang
yang cocok, dengan persuasi dan penerangan, dan dengan pembinaan dan
pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil
dalam kalangan keluarga.

B. Saran
Dalam perwujudan mentalitas pembangunan, sangat diperlukan harmonisasi antara
pemerintah dan rakyat agar terjalin kekuatan bersama demi mencapai tujuan
pembangunan itu sendiri.

13

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat.1992. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Sultan Hamengku Buwono X. 2007. Merajut Kembali keIndonesiaan Kita. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya.

14