Suara Perempuan dalam Moralitas Hukum Ta

Perdebatan “Suara Perempuan” dalam Tatanan Moralitas Hukum : Tanggapan untuk
Bernard L. Tanya1
Rian Adhivira2
Satjipto Rahardjo Institute
Abstract
The use of Lawrence Kohlberg’s morality stage on “Hukum Progresif” as stated by Bernard
L. Tanya on his last article need to be explored further. Those moral stage and its comparison
in law’s morality is questioned because according to Kohlberg, women will be difficult to
enter the highest level of morality, most all women can only develop till the third according
to sixth level morality. Impartial view on morality impose a risk that women’s inferiorhierarchy moral quality whose injected by masculine morality. This paper will be exploring
the morallity debate and later elaborate it with the empirical needs of woman’s voice in the
law enforcement domain.
Key Word : The Ethic of Justice, The Ethic of Care, Woman Voice.
Abstrak
Tahap moralitas Lawrence Kohlberg dan penggunaanya dalam Hukum Progresif
sebagaimana diungkapkan oleh Bernard L. Tanya perlu untuk dieksplorasi lebih dalam.
Penggunaan tahapan moral tersebut melupakan satu pertanyaan besar bahwa suara
perempuan dalam tatanan moral Kohlberg akan kesulitan dalam mencapai fase ketiga, yaitu
fase awal dalam tingkat kedua moral konvensional. Tatanan moralitas yang hierarkis tersebut
dapat digunakan dalam tatanan moralitas hukum beresiko membuat hukum sedari awal telah
bersifat hierarkis, yaitu maskulin. Rekonstruksi pola berpikir mengenai tatanan moralitas

hukum yang timpang tersebut kemudian mutlak diperlukan. Paper ini mengeksplorasi lebih
jauh perdebatan moralitas Kohlberg untuk kemudian mengelaborasikanya dengan kebutuhan
empiris suara perempuan dalam penegakan hukum.
Kata Kunci : Etika Kepedulian, Etika Keadilan, Suara Perempuan.
Pendahuluan
Konsorsium Hukum Progresif di Semarang pada bulan November tahun lalu meski usai
namun masih menyisakan remah jejak-jejak pertanyaan yang menunggu untuk diperdebatkan.
Salah satu pengisi materi sekaligus pembicara utama kala itu adalah Bernard L. Tanya yang
1

Dr Bernard L. Tanya, SH., MH adalah lulusan angkatan pertama Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang sekaligus Pengajar di Fakultas Hukum Undana Kupang, Nusa Tenggara Timu., PDIH UNS
Surakarta, dan berbagai tempat lain beliau adalah mahasiswa bimbingan Satjipto Rahardjo yang aktif menulis
berbagai buku antara lain; Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Penegakan Hukum Dalam Terang
Etika dan lain sebagainya.
2
Mahasiwa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang, aktif di Satjipto Rahardjo Institute tengah menulis Tesis dengan judul
Paradoks Hukum Perlindungan Tubuh Perempuan Dalam Pornografi di a ah i i ga Prof. Dr. “uteki “.H.,
M.hum. Penulis mengucapkan terimakasih pada kritik membangun Setya Indra Arifin, S.H. pada draft.


berada satu panel dengan Sulistyowati Irianto, Anthon F. Susanto, Arief Hidayat, dan
Rahayu Prabowo sebagai moderator, saya sendiri kala itu berada di meja depan menjadi
notulen yang mencatat poin-poin penyampaian dari tiap pembicara termasuk Bernard.
Bernard menyampaikan uraian mengenai tatanan moralitas dalam hukum yang ia sebut
sembari meminjam kata-kata Satjipto sebagai “conscience” –nurani- baik nurani dalam
pengadilan, kejaksaan, advokat dan lain sebagainya. 3 Kemudian, secara berturut-turut
Bernard menyampaikan tingkatan moral dari Lawrence Kohlberg, seorang profesor Harvard
dalam bidang studi mengenai moral untuk kemudian dipergunakan dalam pengandaian
tingkatan moralitas manusia dalam menjalankan hukum.
Apa yang hendak dibahas disini bukanlah mengenai bagaimana tatanan moral maupun
posisinya dalam hukum progresif (satu hal yang saya kira sudah jelas), melainkan
meneropong arus perdebatan moral yang luput dibahas oleh Bernard dalam tulisanya yang
sesungguhnya adalah poin krusial dalam perbincangan filsafati disamping minimnya
penjelasan dan eksplorasi lebih jauh dari Bernard dengan tak adanya catatan kaki ataupun
keterangan tambahan lain secara ketat, atau dengan kata lain, Bernard L. Tanya bersembunyi
dan bermain aman dibalik kabut ambiguitas. 4 Maka atas kepentingan itu tulisan ini akan
membidik langsung ke jantung ontologis dari tulisan Bernard, yaitu mengenai apakah moral
itu sendiri dengan mengkaitkanya pada satu diskursus yang juga dilupakan oleh Bernard,
yaitu moralitas perempuan dan dimana posisinya dalam spektrum perdebatan feminisme.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan falsifikasi atas tulisan Bernard, melainkan
melengkapi keberkurangan dari penguraianya. Pertama-tama akan saya uraikan terlebih
dahulu bagaimana moral dan hukum dalam perspektif Bernard yang menjadi titik pijak untuk
melakukan detour perdebatan moral antara Kohlberg dan Gilligan juga dengan beberapa
perspektif lain. Dengan demikian tulisan ini juga akan berusaha membongkar, bagaimana
kesalahan Bernard dalam menggunakan “frame” analisa moral dalam hukum progresif.
Telah banyak bahasan mengenai kaitan antara hukum dan moral. 5 Moralitas menjadi tema
sentral terutama pada masyarakat Eropa pasca pencerahan dimana terjadi pergeseran cukup
radikal mengenai hukum alam dengan demam Renessaince dimana pengetahuan menggeser
dominasi gereja. Hukum dan moral yang tadinya ada pada satu bagian tak terpisah
mengalami sekularisasi dalam nilai-nilai pengetahuan. 6 Tulisan Bernard menyajikan satu

3

Uraian Bernard L. Tanya dipublikasikan dalam Proceeding Hukum Progresif: Bernard L. Tanya. Hukum
Progresif: Perspektif Moral dan Kritis. Dalam Mahfud MD dll. Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum
Progresif. Thafa Media & Konsorsium Hukum Progresif UNDIP. 2013. Hlm 39-47
4
Ibid hlm 39 secara sederhana saya hendak mengatakan bagaimana satu perbincangan mengenai filsafat
dapat dimungkinkan apabila tidak dimulai dengan pertanyaan dan perdebatan untuk mendudukkan posisi

pemikiran dalam spektrum filsafati. Tulisan Bernard disini hanya berupa poin-poin dengan tidak menyertakan
catatan kaki ataupun keterangan penguat lain yang dapat dipergunakan untuk menegaskan posisi dari
argumenya.
5
Penjelasan lebih jauh mengenai pembabakan hukum alam dapat pula dilihat dalam Brian Brix. Natural Law
Theory. Dalam Dennis Patterson (ed). A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Wiley-Blackwell.
2010 . hlm 211-227
6
Ibid hlm 20 Tamanaha mengatakan bahwa pergeseran di masa Renesaince melalui Galileo, Copernicus
maupun Newton menaikkan prestis ilmu pengetahuan menggantikan moralitas gereja A science of man

sudut pandang yang berbeda, yang ia persoalkan adalah moralitas pada para subyek hukum,
yaitu manusia secara psikologis. 7 menggunakan cara pandang yang sama, etika dalam tulisan
ini digunakan sebagai kepentingan kritis, yaitu etika sebagai instumen rasional untuk
mempertanyakan norma-norma moral. 8 Penggunaan tersebut juga didasarkan pada rujukan
teks primer seperti Carol Gilligan dengan apa yang disebutnya sebagai Etika Kepedulian.
Gilligan menggunakan etika kepedulian dengan riset empirisnya dengan tujuan untuk
mendelegitimasi tingkatan moralitas Kohlberg, sekilas dapat dikatakan bahwa Gilligan
mempertanyakan tingkatan moralitas Kohlberg dengan mengajukan dengan moralitas
perempuan, namun yang diajukan oleh Gilligan bukanlah moralitas jenis baru, melainkan

moralitas yang mengakui adanya perbedaan. Gilligan mengatakan :
“What women then enunciate is not a new morality, but a morality disentangled from
the constraint that formerly confused its perception and impeded its articulation. The
willingness to express and to take responsibility for judgement stems from a
reognition of the psychologial costs of indirect action, to self and to others and thus to
relationships. Responsibility for care then includes both self and other, and the
injunction not to hurt, freed from conventional straints, sustains the ideal of care
while focusing the reality of choice”9
Bernard Tentang Hukum dan Moralitas
Untuk kepentingan menjelaskan tatanan moralitas dalam hukum, Bernard meminjam skema
penelitian Kohlberg. Menurut Kohlberg, tingkatan moral terbagi dalam tiga fase besar yang
masing-masing terdiri dari dua bagian, perlu diketahui, bahwa tidak semua orang dapat
mencapai tingkat moralitas puncak. Pertama tahap Pre-Konvensional, dalam tahap ini
tindakan seseorang didasarkan pada pertimbangan untung-rugi “apabila saya berbuat x
apakah saya mendapat hukuman atau tidak”, tahap kedua, tahap Konvensional meliputi
pertimbangan sejauh mana suatu perbuatan diterima secara sosial, dan terkahir, tahap PostKonvensional dengan prinsip keadilan universal, Kohlberg mengikuti Piaget menitikberatkan
pada kemenangan seseorang secara individu.10

focusing on human nature and society would yield knowledge about natural principles of law and morality,
e a li g a ki d to use reaso to shape so iet to a hie e aterial a d politi al progress .

7
Kajia Psikologi Huku
disi i sesungguhnya pernah diungkapkan dalam beberapa kesempatan oleh
Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta. 2006. Hlm 16-33 lihat juga Satjipto Rahardjo. Ilmu
Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. Hlm. 360 meski tulisan Bernard disini adalah kajian teoritis, dan
bukan mengenai kajian empiris psikologis namun dari sini Bernard telah menggunakan perspektif psikologi
dalam penggunaanya dalam dunia hukum.
8
Frans Magnis Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta. 1992. Hlm 42 pengertian berbeda
mengenai posisi etika dan moralitas dapat ditemukan dalam K. Bertens. Etika. Gramedia. Jakarta. 2011. Hlm 47 Bertens membagi studi mengenai etika dalam hubunganya dengan moralitas menjadi tiga bagian.
9
Carol Gilligan. In A Different Voice, Ps hologi al Theor a d Wo e s De elop e t. Harvard University
Press. Cambridge, Massachussetts & London. 1993. Hlm 95
10
Enam tingkat secara lengkap berturut-turut sebagai berikut : I. Pre-Conventional Level terdiri dari Stage 1:
The punishment and obedience orientation, Stage 2 : the instrumental relativist orientation. II Conventional
Level terdiri dari “tage : the i terperso al o orda e or good- o - i e-girl orie tatio , “tage : so iet
maintaining orientation dan fase tertinggi, III. Postconventional level terdiri dari Stage 5: the social contract
orientation, dan Stage 6: the universal ethical principle orientation. Disarikan dari Janice McLaughlin. Feminist
Social and Political Theory, Contemporary Debates and Dialogues. PalgraveMacmillan. New York. 2003. Hlm 73.


Tatanan moralitas tersebut kemudian diterjemahkan dalam posisi hukum progresif, oleh
Bernard tingkat moralitas dalam Kohlberg tersebut diklasifikasikan dalam beberapa bagian
melihat moralitas mana yang sesuai dengan karakter pengembangan hukum progresif, atau
setidaknya bagaimana hukum progresif dimungkinkan dalam sebuah ruang sosial dalam
tingkat moralitas tertentu. Bernard mengatakan, dalam perspektif hukum progresif dimana
posisi manusia diletakkan sebagai subyek melalui adegium “hukum untuk manusia”
memerlukan prasyarat moralitas yang tinggi, baik manusia maupun sistemnya. 11 Karena
hukum tak mungkin stagnan, stagnan adalah sekaligus dekadensi, kemandegan dan justru
pelanggengan atas status quo, karenanya jelas dibutuhkan keberanian untuk melakukan
dobrakan pada tatanan yang mandeg tersebut. Pada titik ini Bernard memberikan dua kutub
batasan mengenai sejauh mana hukum progresif menjadi mungkin, yaitu pada moralitas
konvensional sebagai batas minimum dan moralitas post-konvensional sebagai puncak
tertinggi. Moralitas jenis pertama, pre-konvensional menurut Bernard tak mencukupi untuk
menjadi ruang tumbuh hukum progresif mengingat moralitas jenis tersebut semata hanya
berdasarkan pertimbangan untung-rugi, pertimbangan hukuman, dan pertimbangan
kepentingan segelintir kelompok semata.12 Jadi sejauh pertimbangan moral masih
disandarkan pada kepentingan seseorang secara sempit, sebagai instrumen keuntungan
maupun kenikmatan, maka sejauh itu pula hukum progresif menjadi tak mungkin hadir dalam
memberikan dobrakan.

Syarat minimal dari moralitas dalam tatanan hukum progresif haruslah dimulai dari moralitas
yang didasarkan pada kewajiban, atau yang disebut sebagai moralitas tugas. Pada moralitas
jenis ini seseorang tak lagi melakukan perbuatan karena ia disukai atau tidak, melainkan
berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi tugas.13 Meski demikian, moralitas dalam artian
yang seperti ini masihlah terlalu sempit, dalam penegakan hukum progresif yang
membutuhkan baik integritas, keberanian dan kemampuan berpikir kreatif, maka diperlukan
standar moral yang lebih tinggi. Fase lebih tinggi dari tingkat moralitas menandakan
kematangan kognisi, kedewasaan moral. Fase kelima dalam tingkat ketiga moralitas
Kohlberg ini dimiliki oleh mereka yang menggunakan akal kritis dengan dibarengi
pertimbangan-pertimbangan logis.14 Tak adalagi kepentingan individu maupun kelompok
disini, titik berat tindakan ada pada rasio dan kalkulasi yang matang. Tahap paling puncak
dalam tingkat moralitas Kohlberg adalah apa yang dari awal tulisan ini saya kutip, nurani.
Seseorang yang berada pada puncak tertinggi moralitas ini adalah orang dengan keyakinan
mengenai kebenaran dan kebaikan, yang dengan demikian tak akan menyerahkan dirinya
pada suara mayoritas maupun kepuasan pribadi, dan pada moralitas puncak ini, menurut
Bernard adalah posisi moralitas paling ideal bagi penegakan hukum progresif. 15 Kekuatan
hati nurani melampaui pertimbangan akal sehat sebagaimana terdapat dalam fase kelima,
bukan berarti akal sehat tidak diperlukan, melainkan karena nurani memiliki intuisi akan
11


Op Cit Bernard L. Tanya hlm 40
Ibid hlm 41 dijabarkan pada poin 8-10 dalam tulisan Bernard. Ia mengatakan de ga
e ggu aka ske a
peta moralitas dari Kohlberg, maka pengelolaan hukum progresif tidak cukup dengan moralitas tingkat rendah
seperti pra-ko e sio al ya g erorie tasi takut dihuku , takut rugi , de i sekau .
13
Ibid hlm 43
14
Ibid hlm 44
15
Ibid hlm 45

12

kebenaran, Bernard menyebutnya sebagai Moralitas “Trans-rasional”.16 Prinsip moralitas
akhir disini adalah Etika Keadilan yang akan dibahas lebih jauh dalam bagian selanjutnya.
Tidak ada yang salah dalam tinjauan teoritis yang dilakukan oleh Bernard dengan
mengelaborasikan antara Tatanan Moralitas Kohlberg dan Hukum Progresif Satjipto
Rahardjo. Melalui tulisan tersebut Bernard memberikan sumbangsih pada landasan
epistemologis hukum progresif, yaitu mengenai bagaimana hukum progresif menjadi

mungkin dalam satu ruang lingkup tertentu, yaitu melalui penilaian tingkatan moral. Meski
demikian, Bernard meski mengutip Marx dan beberapa tokoh dari Madzhab Frankurt yang
tersohor dengan teori kritisnya tak cukup memberikan agenda kritik mengenai moralitas itu
sendiri. Sebagaimana kita ketahui, agenda kritik dalam sebuah proyek filosofis memiliki
posisi yang amat penting. Agenda kritik yang ditulis Bernard dalam bagian akhir tulisanya
tak memberikan satu pendasaran gagasan yang kokoh, dan kemudian hanya mengulang
adegium hukum progresif, bahwa hukum progresif menolak dekadensi hukum, bahwa ia
memperoleh tempat dalam perlawanan, dan –terutama- bahwa hukum adalah untuk
manusia.17 Sampai disini kita akan meninggalkan argumen Bernard sebagai terminal
keberangkatan untuk keluar dari bayang-bayang kabut ambiguitas dan masuk kedalam
perspektif baru dari Carol Gilligan dan bagaimana implikasinya dalam hukum.
Etika Kepedulian Carol Gilligan
Uraian Bernard tersebut menimbulkan satu konsekuensi berfikir, bahwa moralitas memiliki
jenjang dan tingkatan tertentu, apa yang dilupakan oleh Bernard adalah adanya perdebatan
sengit perihal hasil penelitian Kohlberg. Adalah Carol Gilligan, yang berpendapat bahwa
tingkatan moralitas Kohlberg dibangun dalam pondasi pemikiran yang patriarkis, alasan
utama dari pendapat Gilligan adalah bahwa dalam tingkatan moralitas Kohlberg perempuan
memiliki tingkat moral yang lebih rendah. 18 Menurut Gilligan, perbedaan tingkat moralitas
antara laki-laki dan perempuan dalam tingkatan moral Kohlberg bukan karena perempuan
inferior, melainkan karena perempuan memiliki standar moral yang berbeda, yang disebutnya

sebagai Etika Kepedulian [The Ethic of Care]. Posisi akan yang “berbeda” tersebut kemudian
disalahpahami untuk kemudian diletakkan dalam tatanan hierarkis, dimana yang satu
menjustifikasi yang lain, kesalahan yang menurut Gilligan, juga Simone adalah kesalahan
yang terus berulang.
Kohlberg menurut Gilligan, mengulang kesalahan Freud dalam memandang perbedaan antara
laki-laki dan perempuan sebagai perbedaan hierarkis. Freud pada salah satu karyanya,
Female Sexuality (1931) menyatakan bahwa perempuan memiliki karakter inferior karena ia
16

Loc Cit
Ibid hlm 46-47 Harus ditekankan disini, bahwa apa yang dikatakan Bernard L. Tanya melalui adegium
hukumnya tidaklah sepenuhnya salah, hanya saja disayangkan bahwa Bernard tak memberikan argumen kritis
mengenai moralitas Kohlberg itu sendiri.
18
Op Cit Carol Gilligan Hlm
le ih jauh lagi Gilliga
e yataka This different construction of the moral
problem by women may be seen as the critical reason for their failure to develop within reponsibility as
e ide e of Kohl erg s s ete . ‘egardi g all o stru tions of responsibility as evidence of conventional moral
understanding, Kohlberg defines the highest stages of moral development as deriving from a reflective
understanding of human rights. That the morality of rights differs from the morality of responsibility in its
e phasis o separatio rather tha o e tio [...]. (hlm 19)
17

tak mengalami fase ketakutan kastrasi, karena ia sedari awal memang tidak memiliki penis
sehingga tak seperti anak laki-laki, super-ego anak perempuan tidak berkembang secara
penuh layaknya anak laki-laki. 19 Lebih jauh lagi, dalam karyanya yang lain terlihat jelas
bagaimana perempuan adalah “obyek sengketa” pada revolusi sosial dan drama penggulingan
sang-ayah [The Primal Father ]. 20 Argumen Freud tersebut sebelum Gilligan mendapat reaksi
keras dari para feminis, salah satunya yang melakukan kritik keras terhadap Freud adalah
Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis asal Perancis melalui The Second Sex
menyatakan bahwa takdir biologis maupun historis tak mencukupi untuk memberikan
justifikasi perempuan sebagai seks kedua, disini Simone mengajukan bahwa manusia –disini
perempuan- harus ditilik melalui titik eksistensinya. 21
Etika Kepedulian yang ditawarkan oleh Carol Gilligan ini berbeda dari feminis sebelumnya,
sebut saja Simone de Beauvoir seorang feminis-eksistensialis sekaligus kekasih Jean Paul
Sartre, dalam The Second Sex mengatakan bahwa perempuan adalah yang-lain, yaitu yang
berbeda, karena dunia dimiliki oleh laki-laki. 22 Secara gamblang, Simone juga mengatakan
perempuan karena ia tak eksis dan keberadaanya baik dalam sejarah maupun sosial
ditentukan oleh laki-laki maka ia mengalami malafide, penyakit eksistensi diri, dan dorongan
–sebagaimana dikatakan Freud- narsistik, Simone mencontohkan dorongan tersebut pada
perempuan yang menikah dimana untuk mengatasi kebosanan mereka berdandan, bergosip,
dan lain sebagainya. 23
Carol Gilligan berangkat dari titik yang sama, yaitu perempuan sebagai yang lain, ia
menunjukkan tentang bagaimana pandangan androgini para tokoh psikologi menempatkan
perempuan sebagai sebuah penyimpangan, terutama dalam Freud dan Kohlberg. Namun
berbeda dengan Simone de Beauvoir yang mengatakan karena perempuan sebagai liyan maka
19

Sigmund Freud. Female Sexuality dalam Ivan Smith (ed). Sigmund Freud Complete Works. Tanpa Penerbit.
2010. Hlm 4590-4607 Menurut Freud, baik anak laki-laki maupun anak perempuan berawal dari kecintaan
secara seksual pada orang tua mereka, yaitu pada fase pertama adalah ibu. Yang membedakan adalah, ibu
bagi anak laki-laki adalah hasrat utama yang tak tergantikan meski pada akhirnya mereka menginternalisasi
diri pada figur sang ayah. Pada anak perempuan, figur ibu dengan segera digantikan oleh figur sang ayah (hlm
4592) begitu anak perempuan menyadari bahwa dirinya tak memiliki penis dibandingkan dengan anak-lakilaki. Penis kemudian menjadi obsesi untuk dimiliki, dan dari sini menuju rasa cintanya pada sang-ayah setelah
menyadari bahwa ibunya tak memiliki penis. Ketakutan Kastrasi menjadi kata kunci disini.
20
Sigmund Freud. Totem and Taboo. Routledge. London & New York. 2001 sesungguhnya karya Freud ini
dapat dibaca dengan perspektif yang berbeda, yaitu bahwa justru melalui Totem and Taboo, Freud
menjelaskan bagaimana kondisi awal mula dari institusionalisasi tatanan patriarkis paling awal terbentuk dan
meresap dalam berbagai hukum dan larangan. Dalam Totem and Taboo, Freud menjelaskan asal-usul superego yang didalamnya termasuk bagaimana agama terbentuk, melalui larangan paling primitif yaitu dari sistem
kawin eksogami yang sesungguhnya berakar dari bentuk penggulingan sang-ayah, simbol dari kepala suku yang
ditakuti namun sekaligus dikagumi (hlm 160). Pembunuhan terhadap sang ayah menyisakan rasa trauma yang
kemudian diasosiasikan dalam bentuk berbagai ritual seperti ritual memakan hewan totem yang bertujuan
untuk membagi rasa bersalah dari pembunuhan sang ayah. Freud disini mempertahankan drama Oedipus
Compleks dimana perempuan adalah benda yang diperebutkan antara sang ayah dan anak.
21
Simone de Beauvoir. The Second Sex. Jonathan Cape. London. 1956. Hlm 76
22
Ibid hlm 2
23
“i o e e ahas ya dala satu a khusus de ga judul The Married Woman ia e gataka
pere pua ya g e ikah se agai “i o e e gataka now she is confined to a restricted space; Nature is
redu ed to the di e sio s of a potted gera iu ; alls ut off the horizo dalam ibid hlm 437 barangkali hal
ini pula yang membuatnya tak menikahi Sartre.

ia harus menolak posisi itu dan berusaha menjadi diri, Carol Gilligan justru menegaskan tak
apa menjadi liyan karena nilai-nilai yang ada antar kedua gender memang berbeda, ia
menuding tingkatan moral Kohlberg adalah terlalu androsentris, yang berangkat dari
kegagalan intrepretasi peneliti dalam sejumlah wawancara pada pengalaman perempuan. Ia
mengatakan :
“Different judgments of the image of man as giant imply different ideas about human
development, defferent ways of imagining the human conditian, different notions of
what is of value in life [...] Psychological theorists have fallen as innocently as strunk
and white into the same observational bias. Implicitly adopting the male life as the
norm, they have tried to fashion woman out of a masculine cloth” 24
Apa arti moralitas apabila sebagian dari jumlah manusia –perempuan- lebih inferior dari yang
lain, Gilligan berpikir pasti ada yang salah dengan moralitas yang memiliki ciri imparsial
namun pada kenyataanya justru berat sebelah. Gilligan mempersoalkan sebuah pertanyaan
fundamental yang digunakan Kohlberg dalam penelitianya, yaitu “Heinz’s Dillema”
pertanyaan yang membenturkan antara moralitas dan logika untuk memecahkan masalah.
Heinz adalah seorang yang miskin dengan istri yang menderita sakit parah, dokter yang
memeriksanya mengatakan bahwa Heinz harus segera membeli obat dengan harga 2000
dolar. Tak memiliki uang sebanyak itu Heinz memutuskan untuk mengerahkan segala upaya
untuk menebus harga dengan meminjam kepada kerabatnya, namun apa daya, ia hanya dapat
mengumpulkan setengah dari harga obat tersebut, 1000 dolar. Ia masuk kedalam toko obat
dan hendak membeli obat yang dimaksud, namun sang penjual tak mau menjual obat tersebut
Heinz tak memiliki cukup uang. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah Heinz harus
mencuri obat tersebut? Dan mengapa?
Gilligan melakukan intrepretasi ulang pada jawaban atas pertanyaan tersebut, ia menemukan
adanya perbedaan kecenderungan jawaban antara anak laki-laki dan perempuan. Jawaban
anak laki-laki menyatakan bahwa Heinz harus mencuri obat tersebut karena nyawa lebih
penting dibandingkan dengan hukum, dan bahwa juga bisa terdapat kesalahan dalam
hukum. 25 Reponden perempuan menjawab secara berbeda, mereka mengatakan bahwa Heinz
tak seharusnya mencuri, karena meski istrinya selamat, perbuatan mencuri tersebut dapat
membuat Heinz dipenjara dan memisahkanya dengan sang istri yang tengah sakit. 26
Penekanan yang berbeda mengenai hubungan tersebut membuat standar resolusi masalah
yang berbeda. Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah, pada fase perkembangan anak,
anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk sikap agresif, pada perempuan telah mulai
mengembangkan kepekaan mengenai relasi dengan sekitar. 27 Adanya dua cara berpikir yang
berbeda ini, dalam skema berpikir Kohlberg menyatakan bahwa perempuan dengan
kecenderungan untuk menuju aspek “kepedulian” akan sulit untuk melampaui fase ketiga.
Kesalahan persepsi itu dapat dilihat dalam enam tahapan moralitas Kohlberg yang berpuncak
pada “Rasa Keadilan”, Gilligan memaparkan bahwa wawancara yang dilakukan oleh
24

Op Cit Carol Gilligam. Hlm 5-6
Ibid hlm 26
26
Ibid hlm 28
27
Ibid hm 40
25

Kohlberg justru menunjukkan perempuan memiliki bahasa moralitas yang berbeda, apabila
laki-laki berpikir dalam logika matematis, maka perempuan berpikir dalam kerangka
bagaimana ia dan hubungan ia dengan dunia, yang disebut oleh Gilligan sebagai Etika
Kepedulian. 28 Keadilan dalam puncak tahapan moralitas Kohlberg adalah nilai dari sudut
pandang laki-laki yang individualistik, sementara etika kepedulian menitik beratkan pada
hubungan dengan yang lain (relationship), dan rasa yang peduli dalam hubungan tersebut
(connectedness). Jadi ada dua jenis etika disini, Etika Keadilan, dan Etika Kepedulian,
keduanya –harus ditekankan disini- bukanlah dua hal yang secara dikotomis berbeda
demikian jauh, keduanya berdampingan dan berjalan secara paradoks.29
Gilligan kemudian mengajukan tingkat moralitas yang berbeda dengan Kohlberg, melalui
studinya terhadap keputusan perempuan dalam melakukan aborsi Gilligan mengatakan
terdapat tiga tingkatan moralitas dalam perempuan tahap pertama adalah dimana
pengambilan keputusan dalam tindakan bersifat egosentris, yaitu kepedulian terhadap diri
sendiri untuk bertahan hidup. 30 Tahap adalah masa transisi ketika muncul kesadaran akan
adanya hubungan dengan orang lain dengan sisi tanggung jawab, pada mereka yang rentan,
disini kebaikan berarti adalah kepedulian pada yang lain. 31 Fase tertinggi dalam moralitas
adalah ketika kepedulian menjadi prinsip hidup yang digunakan secara sadar dengan
kepedulian dan respons pada keadaan partikular, juga kepedulian secara universal dalam
kaitanya dengan eksploitasi dan kekerasan. 32 Moralitas tertinggi baru dapat digapai apabila
seseorang memahami bahwa relasi antar manusia, antar diri dan yang lain adalah
interdependen. Meski dua jenis kelamin memiliki kecenderungan yang berbeda, namun
kecenderungan tersebut tidaklah bersifat absolut melainkan relatif antara satu dengan yang
lain. 33

28

Gilligan melakukan intrepretasi ulang atas Pertanyaan Kohlberg tentang Heinz, pencurian roti untuk
menyelamatkan istrinya, dalam intrepretasinya, Gilligan menemukan bahwa perbedaan tingkat moralitas
perempuan bukan karena perempuan amoral, melainkan ia memiliki bahasa yang berbeda, lihat dalam ibid
hlm 21
29
Gilligan mengatakan The disparate isio s i their te sio refle t the parado i al truths of hu a
experience-that we know ourselves as separate only insofar as we live in connection with others, and that we
e perie e relatio ship o l i sofat as e differe tiate other fro self dalam ibid hlm 63 lihat lebih jauh
dalam Lawrence A. Bum. Gilligan and Kohlberg: Implications for Moral Theory. Chicago Journals Vol 98 No:3
1988. University of Chicago Press. La re e e yataka
Gilligan does not suggest that care and
responsibility are to be seen either as replacing impartiality as a basis of morality or as encompassing all of
morality, as if all moral concern could be translated into ones of care and responsibility. Rather, Gilligan holds
that there is an appropriate place for impartiality, universal principle, and the like within morality and that a
final mature morality involves a complex interaction and dialogue between the concerns of impartiality and
those of personal relationship and care hl
-474 Pembacaan tersebut menyatakan bahwa Gilligan tak
bermaksud menegasi dari moralitas individual dengan pandangan imparsial (sama rata) melainkan bahwa
dialog dan perbedaan moralitas dengan standar yang berbeda termasuk didalamnya kepedulian, relasi
kebersamaan, adalah juga merupakan bagian dari moralitas.
30
Op Cit Carol Gilligan hlm 73 dalam aborsi, perempuan yang memilih untuk melakukanya yang berada dalam
fase moralitas pertama berdasarkan pada pertimbangan atas kepentingan dirinya sendiri.
31
Ibid hlm 74
32
Lo it care becomes the self chosen principle of a judgement that remains psychological in its concern with
relationships and response but becomes universal in its condemnation of exploitation and hurt
33
I id hl
Gilliga
e gataka for both sexes the existence of two contexts for moral decision makes
judgement by definition contextually relative and leads to a new understanding of responsibility and choice [...]

Agenda Kritik: Dari Etika Kepedulian ke Feminist Jurisprudence
Gilligan memberikan sumbangsih besar pada studi moral dan etika, karya dan perdebatanya
dengan Kohlberg memberi dampak besar pada perkembangan filsafat moral dan etika, Frans
Magnis bahkan mengatakan bahwa Etika Kepedulian merupakan “Bom Carol Gilligan”
karena pengaruhnya yang demikian krusial. 34 Pada lain pihak, Catherine Mackinnon
mengatakan bahwa Etika Kepedulian memberikan nafas baru mengenai perbedaan antar
gender. 35
Namun persis dari sumbangsih terbesar Gilligan tersebut kritik juga dilancarkan. Kritik
paling fundamental kepada Gilligan berpusat pada bipolaritas seks, yaitu apakah pembedaan
antara maskulin dan feminin sungguh diperlukan. Menanggapi hal ini Frans Magnis
mengatakan bahwa etika kepedulian sebagai corak khas dari moralitas perempuan tak perlu
untuk dipermasalahkan terlalu jauh, karena kepedulian itu sendiri tak bersifat eksklusif dan
karena perempuan sendiri pada kenyataanya memang memiliki tingkat kepekaan yang lebih
mumpuni dibanding laki-laki. 36 Kritik lain yang ditujukan pada Gilligan adalah bahwa
pembedaan dikotomis antara moralitas laki-laki dan perempuan dengan nilai-nilai feminim
dan maskulin akan membawa pada kenangan melankolia domestifikasi perempuan dan
mengembalikan posisinya dalam ruang publik. Lagi-lagi kritik ini gagal melihat bahwa apa
yang dimaksudkan oleh Gilligan dengan kedua jenis moralitas bukanlah moralitas yang
terpisah secara dikotomis dan kaku, melainkan fleksibel bergantung dari satu kondisi dengan
yang lain secara personal. Kritik dari etika kepedulian dalam perspektif teori hukum feminis
adalah kekuranganya dalam meberikan basis asupan strategi politik perlawanan perempuan.
Pada satu sisi Etika kepedulian memberikan landasan perihal keberagaman standar moralitas,
dan bahwa perbedaan tersebut tak dapat diletakkan hubungan yang mensubordinasi yang lain.
Pengalaman paling riil mengenai bagaimana etika kepedulian bekerja ada pada satu ruang
khusus mengenai bagaimana perempuan bekerja dalam membantu sesamanya. Perdebatan
seputar Etika Kepedulian pada dasarnya mengakui sumbangsih Carol Gilligan mengenai
bagaimana suara perempuan yang berbeda kerap dipandang secara bias sebagai sisi inferior
dalam standar patriarki, dimana relasi antar-yang-berbeda, berbeda dengan relasi hierarkis
dimana satu nilai menjadi acuan untuk menjustifikasi yang lain. Satu hal yang pasti mengenai
perbedaan pengalaman antar jenis kelamin adalah bahwa pengalaman perempuan tak dapat
digantikan maupun dipresentasi oleh sudut pandang laki-laki. Sejumlah pengalaman khas
seperti hamil, menstruasi, dan lain sebagainya baik secara biologis maupun sosiologis jelas

thus, starting from very different points, from different ideologies of justice and care, the men and women in
the study come, in the course of becoming adult, to a greater understanding of both points of view and thus to
a greater convergence in judgement. Recognizing the dual context of justice and care, they realize that
judgment depends on the way which the problem is framed
34
Franz Magnis Suseno. Pijar-Pijar Filsafat dari Gathloco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke
Postmodernisme. Kanisius. Yogyakarta. 2005. Hlm 236
35
Catherine Mackinnon. Difference and Dominance dalam Catherine Mackinnon. Feminism Unmodified,
Discourse on Life and Law. Harvard University Press. Cambridge, Massachussets, and London. 1987. Hlm 38. Ia
e gataka The work of Carol Gilligan on gender differences in moral reasoning gives it a lot of dignity, more
tha it has e er had, ore, fra kl , tha I thought it e er ould ha e
36
Op Cit Franz Magnis. Pijar-Pijar... hlm 242

berbeda dengan pengalaman laki-laki. Catherine Mackinnon, seorang kritikus Gilliigan,
dalam satu hal sepakat bahwa suara perempuan tak dapat dihindarkan, ia mengatakan
kegagalan perjuangan perempuan adalah kegagalan memandang perempuan sebagai satu
kelas tertentu yang khas sehingga dari situ dapat mengangkat kesadaran perempuan mengenai
apa yang harus ia perjuangkan. 37
Pertanyaan yang layak diajukan adalah, apakah perdebatan “moral” masih relevan? Bagi
MacKinnon, kacamata moral dalam hukum tidaklah mencukupi. Mackinnon menganjurkan
untuk bersikap waspada pada tiap kebijakan, entah dalam perspektif sameness maupun
differences karena bila tak disikapi dengan hati-hati kedua corak kebijakan tersebut tak lebih
dari fascade untuk melanggengkan nilai-nilai lama, dengan kata lain; tak ada emansipasi
disitu. Demikian Mackinnon meletakkan hukum bukan dalam konteks moral, melainkan
mendudukanya sebagai bangunan politis yang harus disikapi secara politis pula. Dengan sinis
ia mengatakan :
I say, give women equal power in social life. Let what we say matter, then we will
discourse on questions of morality. Take your footer, then we will hear in what tongue
women speak. 38

Penutup
Setelah mengalami jalan memutar yang panjang dan melelahkan kita dapat melihat beberapa
poin (1) bahwa moralitas sebagaimana dikatakan oleh Bernard dalam konteks hukum
progresif tidaklah mencukupi karena diandaikan dalam perspektif patriarkis, Bernard luput
memandang bahwa dibalik yang-universal dan seolah netral tersembunyi bias-bias yang
samar namun berakar dalam. Agenda Kritik yang ditulis pada akhir tulisanya juga tidaklah
mencukupi untuk disebut sebagai agenda kritik, atau dengan kata lain agenda kritik tanpa
semangat kritis. (2) Moralitas perempuan dalam hal moralitas kepedulian sebagaimana
diungkapkan Gilligan memberikan sumbangsih penting dimana perbedaan tolak ukur tak
dapat dijadikan justifikasi infrerior pada yang berbeda. (3) Perbincangan mengenai moralitas
dalam hukum tak dapat diterima secara an sich sebagai diskusi moralitas per se, melainkan
sebagaimana dikatakan Mackinnon harus dipandang pula dalam perspektif politik, yaitu
ranah strategis dari satu peraturan tertentu dan implikasinya dalam beberapa kasus.

37

Rian Adhivira. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata

Catherine MacKinnon. Feminism, Marxism, Method and the State : Toward Feminist Jurispridence dalam
Kelly Weisberg. Feminist Legal Theory Foundations. Temple University Press. Philadelphia. 1993. Hlm 449 ia
e gataka Co ious ess raisi g, ofte i groups, the i pa t of ale s do i a e is o retel u o ered
and analyzed through the olle ti e speaki g of o e s e perie e fro the perspe ti e of that e perie e
Catherine Mackinnon mengatakan adanya kesamaan antara conciousness raising dengan metode marxism
yaitu tumbuhnya revolusi karena adanya kesadaran kelas .Apabila kelas proletar mengalami alienasi, maka
perempuan mengalami objektivikasi yaitu dinilai berdasarkan sesuatu yang diluar dirinya. Ia mempertahankan
dirinya dari kritik bahwa conciousness raising akan mudah kembali pada simplifikasi identitas perempuan,
MacKinnon berpendapat bahwa hanya melalui conciousness raising lah perempuan dapat tersadar akan
posisinya sebagai liyan yang berada dalam dominasi laki-laki.lihat ibid hlm 440
38
Op Cit Catherine Mackinnon. Feminism unmodified hlm 45

Semarang. Aktif di Satjipto Rahardjo Institute dan beberapa komunitas diskusi
lainya, dengan konsentrasi kajian teori hukum feminis, sosiologi hukum dan
filsafat hukum.