CRITICAL SUCCESS FACTORS UNTUK PENGEMBAN

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

CRITICAL SUCCESS FACTORS UNTUK PENGEMBANGAN
LESSON STUDY BERBASIS MGMP: PELAJARAN YANG
DIPETIK DARI KABUPATEN SUMEDANG
Oleh:
Harry Firman
Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI

Abstrak
Pengamatan terhadap implementasi kegiatan lesson study berbasis
MGMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sumedang mengindikasikan
adanya berbagai perubahan pada budaya pembelajaran dan budaya
komunitas pendidik di jenjang SMT/MTs. Pembelajaran aktif, handson, kolaboratif, dengan peralatan buatan guru dari bahan lokal,
kolegialitas antarguru, kemitraan antara guru dan dosen perguruan
tinggi, kesediaan guru untuk membuka kelasnya kepada publik, dan
kepedulian birokrasi pendidikan pada pembelajaran, semakin
membudaya di Kabupaten Sumedang. Keberhasilan yang dicapai oleh
program kerjasama teknis JICA dan Depdiknas dalam mengembangkan
lesson study ini bertali-temali dengan sejumlah critical success factor
yang berperan. Faktor-faktor tersebut terkait pada berbagai pihak,

antara lain Pemerintah Pusat dan Daerah, JICA, perguruan tinggi mitra,
kepala sekolah, guru partisipan, serta peserta didik yang terlibat.
Critical success factor yang digali dari implementasi lesson study di
Kabupaten Sumedang ini, direkomendasikan untuk dijadikan informasi
stratejik dalam perencanaan program lesson study di daerah lain ke
depan.
Kata Kunci:
Lesson study, critical success factors, pembelajaran aktif, pembelajaran
kolaboratif, kolegialitas antarguru.

1. Pendahuluan
Sejak bulan Mei 2006 Departemen Pendidikan Nasional RI dan JICA
mengimplementasikan

Program

Kerjasama

Teknis,


yang

diberi

judul

Strengthening of In-Service Teacher Training of Mathematics and Science
Education at Junior Secondary Level (disingkat SISTTEMS). Program kerjasama
teknis yang akan berlangsung selama tahun hingga

bulan Oktober 2008,

diimplementasikan di tiga situs, yakni Kabupaten Sumedang (Jawa Barat),
Kabupaten Bantul (DIY), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Program ini
bertujuan untuk mengembangkan model kegiatan MGMP yang menerapkan
lesson study (Jepang: Jugyokenkyu) untuk meningkatkan mutu pendidikan
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

1


Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

matematika dan IPA (IDCJ, 2006). Semua SMP negeri dan swasta serta MTs
negeri di ketiga kabupaten dirancang untuk berpartisipasi dalam program ini.
Kendatipun evaluasi sumatif terhadap Program SISTTEMS belum
dilaksanakan, namun berlandaskan pemantauan berbagai pihak, termasuk para
stakeholders utama, yakni Direktorat Jenderal Pendidikan Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) dan Pemerintah Kabupaten
setempat, teramati adanya perubahan budaya kerja pendidik dan budaya
pembelajaran ke arah yang prospektif bagi peningkatan mutu pendidikan
matematika dan IPA di kabupaten-kabupaten terkait. Dengan alasan ini
Pemerintah meluncurkan kebijakan untuk mendiseminasikan pengalaman dan
hasil yang dicapai Program SISTTEMS ke pihak manajemen dan praktisi
pendidikan di daerah lain di Indonesia, termasuk pelatih-pelatih guru pada LPMPLPMP di seluruh Indonesia. Lesson study juga mendapat perhatian dari perguruan
tinggi LPTK (Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan), karena dalam model
aktivitas MGMP yang dikembangkan, dosen-dosen LPTK melakukan peran
penting, yakni sebagai pendamping dan nara sumber bagi guru-guru.
Keatraktifan lesson study sebagai wahana peningkatan kompetensi dan
profesionalisme guru di Indonesia patut disyukuri, karena inovasi ini turut
memecahkan kebekuan upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sejak

krisis ekonomi akhir tahun 1990-an. Namun, persoalannya adalah apakah
keberhasilan suatu inovasi di situs ujicobanya menjamin keberhasilan inovasi
tersebut di daerah lain? Dalam banyak kasus, ketidakberhasilan adopsi suatu
inovasi yang sesungguhnya berhasil di negara asalnya, lebih disebabkan oleh
adopsi inovasi tersebut hanya dilakukan dengan cara mengalihkan prosedur
inovasi tersebut tanpa memperhatikan faktor-faktor pendukung keberhasilannya
(Galvis, 2004). Dengan demikian kuatnya animo untuk mengadopsi lesson study
di derah lain melahirkan tantangan baru untuk mengidentifikasi faktor-faktor
pendukung keberhasilan

lesson study di Kabupaten Sumedang, yang dalam

konsep manajemen stratejik dikonseptualisasi sebagai Critical Success Factors
(CSFs). Diharapkan temuan-temuan yang diketengahkan dapat menjadi rujukan
bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya perencana program diseminasi

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

2


Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

lesson study ke depan di Indonesia, agar program yang dilaksanakan berhasil,
sebagaimana terjadi di Kabupaten Sumedang.
Makalah ini lebih lanjut akan memaparkan sejumlah keberhasilan yang
dicapai oleh program SISTTEMS di Kabupaten Sumedang, yang dilanjutkan
dengan paparan tentang CSFs untuk program inovasi tersebut. CSFs yang
dikemukakan merupakan hasil inferensi dari hasil observasi dan inerviu dengan
pihak-pihak terkait selama ikut memonitor implementasi program tersebut pada
bulan Januari hingga Juni 2007.
2. Lesson Study di Kabupaten Sumedang
Sebagaimana terjadi di Jepang sejak puluhan tahun lalu, satu siklus lesson
study (Jugyokenkyu) oleh komunitas guru, terdiri atas tiga tahap studi, yakni
identifikasi masalah bersama dalam pembelajaran dan perancangan pembelajaran
yang dikaji (tahap Plan), pelaksanaan rancangan pembelajaran dalam kelas nyata
yang diobservasi oleh sejawat guru partisipan (tahap Do), serta tahap reviu dan
evaluasi terhadap rancangan pembelajaran yang telah dilaksanakan (tahap See)
(Wiburg & Brown, 2007). Diskusi-diskusi kelompok guru yang dilakukan pada
tahap perencanaan dan reviu pembelajaran berlangsung secara bersahabat, santun,
setara, kolaboratif, tanpa situasi saling menyalahkan, serta berorientasi pada

kepentingan belajar peserta didik.
Lesson study di Kabupaten Sumedang digunakan oleh komunitas guru
untuk mentransformasikan kurikulum yang direncanakan (planned curriculum)
secara nasional, yakni Standar Isi (SI) yang disusun BSNP, menjadi kurikulum
yang terimplementasikan (implemented curriculum) di tingkat kelas sesuai
konteks sekolah masing-masing. Kegiatan ini dilaksanakan pada tingkat MGMP
wilayah (terdapat 8 wilayah MGMP di Kabupaten Sumedang), yang melibatkan
guru-guru mata pelajaran sejenis dari setiap SMP/MTs negeri maupun swasta.
Satu SMP di masing-masing wilayah ditetapkan sebagai Base Camp, yakni tempat
guru-guru berkumpul melaksanakan kegiatan lesson study. Namun, dalam
pelaksanaan open lesson (fase do dan see), dimungkinkan sekolah lain bertindak
sebagai tuan rumah secara sukarela.

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

3

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

Kegiatan lesson study masing-masing mata pelajaran di tiap wilayah

diikuti oleh 5-15 guru partisipan yang didampingi oleh 1-2 orang dosen UPI yang
berkeahlian terkait sebagai nara sumber. Kegiatan lesson study di masing-masing
wilayah dikelola oleh dua orang fasilitator MGMP, yang dapat berasal dari
sekolah Base Camp atau sekolah lain. Dalam satu siklus kegiatan lesson study,
fase perencanaan dilaksanakan dalam 2-3 pertemuan, untuk mengidentifikasi
masalah, merencanakan pembelajaran dan mengujicoba perangkat pembelajaran,
fase implementasi dan refleksi dilaksanakan dalam 2 pertemuan. Satu siklus
lesson study ditutup dengan kegiatan penyempurnaan rencana pembelajaran yang
telah dilaksanakan berdasarkan masukan-masukan dari pengamat. Oleh karena
pertemuan lesson study dilaksakanan tiap dua minggu sekali, maka satu silklus
kegiatan lesson study berbasis MGMP memerlukan 2-3 bulan. Sejak awal
pelaksanaanya, kini kegiatan lesson study berbasis MGMP di Kabupatem
Sumedang sedang memasuki akhir siklus ke-3.
Fase open lesson terbuka untuk siapa saja, sehingga selain guru partisipan,
dalam kegiatan ini adakalanya hadir pengamat tamu dari daerah (kabupaten/kota)
lain serta widyaiswara LPMP, sehingga pada umumnya kegiatan open lesson
dihadiri 20-30 pengamat. Fase open lesson dipandu oleh Kepala Sekolah setempat
atau Fasilitator MGMP, dan semua pengamat memperoleh kesempatan untuk
mengemukakan amatan dan gagasannya dalam fase diskusi refleksi dalam pada
open lesson ini.

3. Perubahan Budaya Komunitas Pendidikan di Kabupaten Sumedang
Dalam

rangka

implementasi

program

SISTTEMS

di

Kabupaten

Sumedang, FPMIPA UPI membentuk Tim Monev (evaluasi dan pemantauan)
sebagai instrumen manajemen program untuk melaksanakan evaluasi untuk
perencanaan, evaluasi formatif, dan evaluasi sumatif terhadap program. Suatu
baseline survey telah dilakukan untuk mengumpulkan seperangkat data kuantitatif
dan kualitatif yang diperlukan untuk prencanaan program dan evaluasi sumatif

pada akhir program. Tim monev melakukan evaluasi formatif secara on-going,
untuk menyediakan informasi bagi pihak manajemen dalam mengawal
implementasi program, serta memantau perkembangan-perkembangan yang
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

4

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

terjadi dalam implementasi SISTTEMS. Pemantauan program berfokus pada
kolegialitas group dalam aktivitas lesson study di MGMP, serta efektivitas setiap
tahap proses lesson study dalam mengembangkan pembelajaran yang berbasis
hands-on dan kolaboratif, dengan menggunakan peralatan yang dibuat guru
dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal yang mudah diperoleh, termasuk
barang-barang bekas.
Pemantauan dilakukan Tim Monev FPMIPA UPI melalui observasi
partisipatif terhadap setiap tahap kegiatan dalam lesson study berbasis MGMP di
sekolah target, workshop evaluasi sertiap akhir siklus kegiatan lesson study, serta
forum-forum MGMP di Kabupaten Sumedang dalam konteks implementasi
SISTTEMS.


Temuan-temuan pemantauan (Tim Monev, 2007a; Tim Monev,

2007b) memperlihatkan terjadinya perkembangan positif, yang ke arah
pencapaian indikator-indikator keberhasilan implementasi SISTTEMS. Beberapa
perkembangan yang teridentifikasi dipaparkan di bawah ini.
Kolegialitas
Pada siklus pertama implementasi lesson study di Kabupaten Sumedang,
partisipan cenderung pasif, menunggu stimulasi dari nara sumber dalam
mengungkap masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi partisipan dalam
tugas profesinya.

Demikian juga halnya dengan keberanian mengemukakan

gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah tersebut berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan penalaran masing-masing.
Pada

tahap pengembangan rencana


pembelajaran dan perangkat

pembelajaran (teaching materials) terjadi ketidaklancaran pengambilan keputusan
kelompok, karena masing-masing membawa rancangan berbeda dan enggan untuk
perdebatkan, dan keputusan akhir penyusunan rencana pembelajaran diserahkan
pada guru yang ditugasi menjadi guru model (guru yang mengimplementasikan
rencana pembelajaran dalam fase do). Pandangan nara sumber pada tahap ini
sangat berpengaruh pada formulasi akhir rencana pembelajaran dan perangkat
pembelajaran.
Situasi berbeda terjadi pada siklus kedua implementasi lesson study.
Pandangan dan gagasan partisipan diketengahkan secara spontan dalam diskusi,
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

5

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

tanpa keraguan akan dampak psikologis pada sejawatnya. Perbedaan-perbedaan
gagasan diselesaikan melalui diskusi yang santun dan rasional. Semua partisipan
berbagai pekerjaan dan menunjukkan kesediaan untuk direviu bersama, sehingga
secara keseluruhan diskusi dan kerja kelompok bersifat produktif.
Fakta di atas mengindikasikan bahwa pada kegiatan lesson study berhasil
mengembangkan kolegialitas (kesejawatan) antarpartisipan. Partisipan berhasil
menumbuhkan kepercayaan (trust) satu sama lain, dan pada saat yang bersamaan
partisipan menumbuhkan keterbukaan pada pikiran dan gagasan sejawat. Hal ini
yang menyebabkan kelompok guru dengan lancar berbagi pendapat, gagasan, dan
pengalaman. Kekakuan pada awal kegiatan dapat juga disebabkan oleh minimnya
pengalaman mengembangkan rencana pembelajaran secara bersama, yang
membentuk pandangan bahwa penyusunan rencana pembelajaran merupakan
urusan personal. Bekembangnya kolegialitas antarguru menjadi pra-kondisi untuk
peningkatan keberhasilan kegiatan lesson study ke depan.
Kesediaan guru membuka kelasnya
Keengganan menjadi guru model merupakan fenomena umum yang terjadi
pada siklus pertama lesson study di Kabupaten Sumedang. Setiap partisipan
mengharapkan sejawat lain untuk tampil sebagai guru model, sehingga kelompok
tidak terlalu mudah mengambil keputusan tentang guru model. Namun,
pemberlakuan “kewajiban” bagi guru di sekolah base camp untuk menjadi guru
model, akhirnya memaksa guru di sekolah tempat kegiatan MGMP umumnya
tampil sebagai guru model. Interviu yang dilakukan untuk menggali faktor di
balik fenomena ini, menunjukkan bahwa keengganan menjadi guru model bukan
karena keraguan pada kemampuan profesionalnya, melainkan lebih banyak
disebabkan ketidakbiasaan melakukan tugas mengajar yang dihadiri sejawat guru
lain. Situasi keengganan menjadi guru model sirna pada siklus kedua lesson study
di Kabupaten Sumedang. Sejak awal siklus kedua banyak partisipan menyatakan
minatnya untuk menjadi guru model.
Munculnya keberanian ini secara internal didorong oleh rasa percaya
(trust) guru secara internal keberanian guru dipicu oleh kepercayaan kepada
perilaku pengamat dalam open lesson yang tidak menyalahkan, melainkan
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

6

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

memberikan masukan secara santun dan bersahabat. Di samping itu guru telah
meyakini bahwa menjadi guru model bukan berarti menjadi terdakwa atau
dikorbankan, namun justru akan memainkan peran yang lebih besar dalam
mengembangkan pembelajaran. Menjadi guru model disadari akan memberikan
pengalaman berharga, menumbuhkan kepercayaan diri sekaligus wahana untuk
aktualisasi diri dalam kompetensi profesionalnya. Guru juga yakin bahwa fase
refleksi yang tidak akan memojokkan atau mempersalahkan dirinya. Fakta ini
mengindikasikan bahwa kegiatan lesson study telah menghilangkan miskonsepsi
pada benak partisipan, baik yang menjadi guru model maupun pengamat, tentang
observasi pada open lesson sebagai penilaian kinerja guru. Pada saat yang sama
partisipan mengembangkan konsepsinya bahwa fase open lesson dan refleksi
sebagai self-assessment kelompok secara bersama-sama terhadap rancangan
pembelajaran yang dikaji dan dikembangkan kelompok.
Orientasi pembelajaran ke arah pembelajaran hands-on
Base-line survey mengindikasikan di masa lalu pembelajaran matematika
dan IPA pada jenjang SMP di Kabupaten Sumedang lebih didominasi oleh
pembelajaran ekspositoris. Proporsi jam pembelajaran lebih banyak diisi oleh
eksplanasi guru tentang materi pembelajaran secara chalk & talk, dengan sedikit
tanya jawab dan percontohan menyelesaikan soal secara klasikal. Dari diskusi
partisipan dalam kegiatan lesson study terungkap bahwa budaya pembelajaran
seperti itu disadari memudahkan pekerjaan guru, namun menimbulkan berbagai
masalah, antara lain rendahnya keantusiasan belajar siswa. Implementasi
rancangan pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik melalui kegiatan
manipulatif, observasi, dan eksperimentasi

(hands-on) secara berkelompok

(kolaboratif) yang dilakukan dalam lesson study, ternyata mengubah situasi
pembelajaran menjadi lebih atraktif dan mudah dimengerti. Perubahan situasi ini
terungkap pada wawancara dengan siswa yang mengikuti pembelajaran pada fase
implementasi pembelajaran dalam lesson study. Diskusi partisipan kegiatan lesson
study pada fase refleksi memperlihatkan munculnya keyakinan guru bahwa
pembelajaran hands-on akan meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

7

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

Kesediaan mengembangkan sendiri alat-alat pembelajaran dari bahan lokal.
Verbalisme dalam pembelajaran matematika dan IPA adalah fenomena
yang terjadi di banyak sekolah di Indonesia. Faktor ini berakibat pada rendahnya
motivasi belajar dan efektivitas proses pembelajaran. Salah satu penyebabnya
adalah ketiadaan peralatan dan bahan yang diperlukan. Investasi sarana dan
prasarana laboratorium IPA yang dilakukan Pemerintah pada tahun 1970-1980,
kini hanya sebagian kecil masih dapat digunakan karena kerusakan. Semetara itu
kemampuan sekolah untuk memperbarui sarana laboratorium itu sangat terbatas.
Di sisi lain pendidik kurang difasilitasi untuk mendayagunakan peralatan yang
masih ada dan mengembangkan sendiri peralatan sederhana, murah, dapat
diperoleh dari sekitar untuk menunjang pembelajaran matematika dan IPA.
Implementasi SITTEMS membawa misi mengembangkan motivasi guru
mendayagunakan peralatan yang tersedia di sekolah dan mengkreasi peralatan
sederhana dari bahan yang ada di masyarakat, baik bahan yang dapat dibeli
maupun barang-barang bekas (dipopulerkan dengan istilah local materials).
Agenda pengembangan pembelajaran yang bersifat hands-on dalam kegiatan
lesson study mengkondisikan partisipan membuat dan mengujicobakan peralatan
pembelajaran pada satu sesi khusus dalam rangkaian kegiatan lesson study.
Agenda ini juga mengkondisikan manajemen sekolah untuk memasukan
pengembangan sarana pembelajaran dalam APBS-nya.
Pembelajaran menjadi isu sentral manajemen pendidikan
Berbagai forum dalam konteks implementasi lesson study di Kabupaten
Sumedang, baik itu forum MGMP, pelatihan fasilitator, workshop evaluasi,
maupun open lesson, mengkondisikan berbagai lapisan pada komunitas
pendidikan duduk bersama untuk mendiskusikan masalah pembelajaran, termasuk
di dalamnya kepala dinas, kepala bidang, pengawas, kepala sekolah dan pengelola
MGMP. Situasi ini dipandang oleh berbagai pihak tidak biasa sebelumnya. Situasi
itu pula yang membuat semua lapisan manajemen pendidikan meyakini peran
kunci proses pembelajaran di kelas dalam membangun mutu pendidikan secara
lebih luas. Akibat lebih lanjut dari pemahaman akan hal itu adalah terjadi
peningkatan komitmen banyak kepala sekolah dalam memberikan dukungan
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

8

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

finansial untuk keterlibatan guru dalam kegiatan MGMP, serta menghidupkan
kegiatan lesson study MGMP sekolah, bukan hanya untuk mata pelajaran
matematika dan IPA, melainkan juga mata pelajaran lain.
4. Critical Success Factors Program SISTTEMS di Sumedang
Fenomena yang terpapar pada bagian 3 makalah ini memperlihatkan bahwa
setelah satu tahun kegiatan lesson study berbasis MGMP diimplementasikan,
terjadi

berbagai

kemajuan,

ditinjau

dari

perspektif

perubahan

budaya

pembelajaran dan budaya komunitas pendidikan di Kabupaten Sumedang.
Fenomena ini menunjukkan lesson study berhasil membangun kolegialitas
(kesejawatan) antarguru, dan antara guru dan administrator pendidikan serta dosen
perguruan tinggi. Lesson study juga telah mengubah orientasi pembelajaran ke
arah yang lebih mengaktifkan peserta didik, menstimulasi berpikir, memanfaatkan
lingkungan sekitar, dan mendayagunakan peralatan yang ada di sekolah dan
peralatan buatan guru.
Keberhasilan program lesson study di Kabupaten Sumedang tidak terlepas
dari sejumlah faktor penunjang keberhasilan, yang dikonseptualisasikan sebagai
critical success factors (CSF). Terdapat berbagai pandangan mengenai CSF,
tetapi pada umumnya mengkonsepsikan Critical Success Factors sebagai faktorfaktor (karakteristik, kondisi, variable) tertentu yang penting sifatnya pada
keberhasilan organisasi, dalam arti bahwa tanpa keberadaan faktor-faktor tersebut
menjadi sulit bagi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya (Houtary &
Wilson, 2001). Dalam konteks inovasi pendidikan, CSF dipandang sebagai faktorfaktor yang jika tersedia, akan secara signifikan meningkatkan implementasi suatu
proyek inovasi mendidikan (Kirschner, et al, 2004).
Dari analisis kualitatif terhadap situasi kegiatan lesson study di Kabupaten
Sumedang, dapat disimpulkan bahwa CSF lesson study di Kabupaten Sumedang
terkait pada berbagai pihak, antara lain Pemerintah, FPMIPA UPI, sekolah, guru,
peserta didik. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara rinci berikut ini.

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

9

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

CSF terkait pada Pemerintah


Kebijakan Dirjen PMPTK memposisikan lesson study sebagai satu model
pengembangan profesional guru. Sejak penandatanganan kesepakatan
kerjasama penyelenggaraan program SISTTEMS, Dirjen PMPTK, membuat
kebijakan memasukkan kegiatan lesson study sebagai pilot program
pengembangan profesional guru. Kebijakan dan tindakan-tindakan stratejik
yang diambil dalam konteks ini dikemukakan Dirjen PMPTK pada sebuah
presentasi panel dalam Japan Education Forum III bulan Februari 2006 (Jalal,
2006). Kebijakan ini berimplikasi pada penyediaan anggaran penunjang untuk
memfasilitasi implementasi SISTTEMS, serta diseminasi secara bertahap hasil
program ke seluruh wilayah di Indonesia melalui jaringan LPMP yang ada di
tiap propinsi.



Kepedulian Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang terhadap implementasi
program SISTTEMS. Rasa memiliki, kerjasama dan kepemimpinan para
pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang menyebabkan kelancaran
koordinasi dalam Perencanaan dan implementasi SISTTEMS, khususnya
dalam pengerahan pengawas, kepala sekolah, dan guru dalam kegiatan lesson
study MGMP di seluruh wilayah Kabupaten Sumedang.

CSF terkait pada JICA


Tenaga ahli JICA yang profesional. Profesionalisme tenaga ahli JICA yang
ditugaskan, baik dalam kemampuan pedagogik maupun perilaku kesejawatan
dalam melakukan pelatihan, memberikan pemahaman tentang pelaksanaan
lesson study, sekaligus menjadi model peran bagi fasilitator MGMP dalam
melaksanakan tugasnya dalam kegiatan lesson study di MGMP.

CSF terkait pada UPI


Kebijakan UPI berpartisipasi aktif dalam SISTTEMS. Sebagai perintis lesson
study di Indonesia, FPMIPA UPI berperan sebagai inisiator dan fasilitator
implementasi SISTTEMS, sejak tahap perencanaan, pengorganisasian,
implementasi, serta diseminasi hasil.



Partisipasi dosen-dosen FPMIPA. Kemampuan dan komitmen profesional
sejumlah dosen FPMIPA untuk secara sukarela menjadi pendamping bagi
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

10

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

MGMP dalam setiap fase lesson study. Sebagai pendamping, dosen FPMIPA
berperan sebagai fasilitator penumbuhan kolegialitas dan mengembangkan
profesionalisme guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan
pembelajaran.


Partisipasi dosen-dosen FPMIPA sebagai Tim Monev, yang melakukan
pengembangan rancangan monitoring dan evaluasi (desain, instrumen, dan
prosedur), mengumpulkan data, memberikan informasi formatif kepada
manajemen program agar implementasi program SISTTEMS berjalan secara
efektif.

CSF terkait pada Manajemen Sekolah


Komitmen kepala sekolah terhadap lesson study. Komitmen ini berimplikasi
pada ketersediaan dana penunjang (untuk perjalanan dan penyediaan bahan)
bagi guru partisipan untuk dapat hadir di Base Camp MGMP dan
berpartisipasi aktif dalam kegiatan lesson study. Perlu dipahami bahwa cukup
banyak partisipan lesson study harus menempuh perjalanan 10-15 km untuk
mencapai Base Camp.



Leadership kepala sekolah. Pengaturan internal yang dilakukan banyak kepala
sekolah, misalnya pengosongan tugas mengajar pada hari tertentu untuk guru
matematika dan IPA, memungkinkan guru dapat berpartisipasi penuh dalam
kegiatan lesson study berbasis MGMP, dan menstimulasi penerapan hasil
lesson study dalam kelasnya serta menyampaikannya kepada sejawatnya di
sekolah.

CSF terkait pada guru


Motivasi guru untuk meningkatkan pelaksanaan tugas profesional dalam
pembelajaran. Motivasi ini yang membuat guru secara antusias aktif
berpartisipasi dalam setiap fase kegiatan lesson study, yang menuntut
kesungguhan dan kerja keras.



Kesediaan untuk berubah. Sikap ini yang membuat MGMP inovatif dan
adaptif pada perubahan dalam metode dan peralatan pembelajaran.

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

11

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

CSF terkait pada peserta didik


Keadaptifan peserta didik. Kelas yang dipakai dalam lesson study akan
menghadapi situasi yang tak biasa. Pertama, kehadiran pengamat dalam
jumlah banyak dalam kelas. Kedua, proses pembelajaran yang berbeda dari
biasanya, sebagai akibat dari inovasi dalam pengelolaan kelas dan pendekatan
pembelajaran. Perilaku peserta didik yang normal dalam kegiatan open lesson
bertemali dengan keberhasilan pengembangan pembelajaran inovatif, sebab
informasi yang dipakai untuk mengevaluasi efektivitas inovasi itu adalah
perilaku belajar peserta didik.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Sejumlah critical success factor berkontribusi pada keberhasilan program
SISTTEMS dalam membudayakan lesson study di Kabupaten Sumedang. Faktorfaktor tersebut terkait pada kebijakan Pemerintah Pusat, keterlibatan Pemerintah
Daerah, partisipasi perguruan tinggi mitra, komitmen dan kepemimpinan kepala
sekolah, motivasi dan kesediaan untuk berubah dari guru partisipan lesson study,
serta keadaptifan siswa pada situasi baru.
Critical success factor yang teridentifikasi dari implementasi lesson study di
Kabupaten Sumedang perlu dijadikan sebagai informasi stratejik dalam
perencanaan program adopsi lesson study di daerah lain di Indonesia ke depan.
Dengan cara itu daerah lain akan dapat mencapai keberhasilan dalam
mengimplementasikan lesson study berbasis MGMP, sebagaimana yang telah
terjadi di Kabupaten Sumedang.
Referensi
Galvis, A. H. (2004). Critical success factors implementing multimedia case-based
teacher professional development. Project Report [Online] Tersedia
http://www.educoas.org/portal/bdigital/lae-ducation/ [17 Juni 2007]
Huotary, M. & Wilson, T. D. (2001). Determining organizational needs; the Critical
success factor approach. Information Research, 6(3),1-33.
IDCJ (2006). Inception report of program for strengthening in-service teacher training of
mathematics and science education at junior secondary level (SISTTEMS).
Tokyo: International Development Center of Japan.
Jalal, F. (2006). Teachers’ quality improvement in Indonesia: New paradigm and
milestones. Japan Education Forum III, Tokyo, February 9, 2006.

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

12

Seminar Nasional ”Exchange of Experiences on Best Practices of Lesson Study”, 21 Juli 2007

Kirschner, P. A., Cordewener, B., Paas, F., Wopereis, I. & Hendriks, M. (2004).
Determinants for failure and success of innovation projects: The road to
sustainable education innovation. ERIC Abstract [Online] Tersedia:
http://eric.ed.gov/ [Juni 2007].
Monev Team (2007). Laporan hasil monitoring dan evaluasi program SISTTEMS di
Sumedang Putaran I dan Putaran II. Bandung: FPMIPA UPI.
Wiburg, K. & Brown, S. (2007). Lesson study communities. Thousand Oaks (CA):
Corwin Press.

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia

13