Perkembangan baru dalam dunia perpustaka

Perkembangan baru dalam dunia perpustakaan*
Ida F Priyanto
Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
[email protected]

Pendahuluan
Dalam kurun waktu dua sampai tiga dasa warsa terakhir, telah banyak terjadi perubahan yang
luar biasa besar dalam hal penyediaan, format, dan cara mendiseminasi informasi dan
pengetahuan. Pada akhir dasa warsa 80-an, komputer mulai memasuki perpustakaan dan
mengubah cara perpustakaan memproduksi metadata: dari produksi manual denan mesin ketik
menjadi tercetak melalui printer. Pada awal decade 90-an, perubahan besar mulai terjadi saat
perpustakaan tidak lagi memproduksi metadata tercetak dan menggantikannya dengan
penyediaan computer sebagai media untuk menyimpan metadata lokal. Perubahan terus terjadi
sampai akhirnya banyak sumber informasi dan pengetahuan tersedia secara online dan
perpustakaan menyediakan akses ke sumber informasi yang dilanggan dalam bentuk ejournals
maupun database. Di negara maju dalam 10 tahun terakhir juga mulai mengurangi rak-rak
perpustakaan dan membuang atau memindahkan koleksi cetak ke tempat penyimpanan di luar
perpustakaan. Era baru perpustakaan yang hadir saat ini telah mengubah dunia perpustakaan
secara umum.
Empat pendorong perubahan dalam dunia perpustakaan:
Ada beberapa hal yang telah mendorong terjadinya perubahan dalam dunia kepustakawan dan

perpustakaan secara umum dan hal itu terjadi karena adanya perubahan dan perkembangan baru
yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan-perubahan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama, adanya kenaikan harga-harga sumber-sumber informasi (unsustainable costs).
Pergeseran dalam dunia industri informasi saat ini cukup menarik untuk diperhatikan. Di akhir
abad 20, harga informasi dalam bentuk digital lebih mahal dibandingkan dengan harga informasi
dalam bentuk cetak. Namun belakangan ini, harga sumber informasi cetak justru semakin mahal
*bagian pertama dari dua makalah presentasi seminar Universitas Brawijaya, Malang, 29 September 2015

dibandingkan dengan harga sumber informasi dalam bentuk digital maupun online. Namun
demikian, harga sumber informasi tersebut juga terus bergerak naik. Bahkan kenaikan harga
database di awal abad 21 berkisar antara 27 sampai 94 persen per tahun (Swan, 2006). Hal yang
sebenarnya terjadi adalah bahwa beban komunikasi ilmiah selalu ada pada pihak akademik dan
pendukung-pendukungnya (Conley and Wooders, 2009, p. 75).
Kedua, hadirnya sumber informasi alternatif yang dapat digunakan (viable alternatives) yang
dapat digunakan oleh masyarakat dengan mudah dan cepat. Penelusuran informasi tidak lagi
tergantung pada katalog offline maupun online dari perpustakaan. Di akhir abad 20, telah muncul
media penelusuran online seperti Altavista, web crawler, Meta crawler, Accufind, Ask Jeeves,
Yahoo, Infoseek, dan Netscape yang memudahkan orang mendapatkan informasi. Saat ini


Google, yang muncul sejak tahun 1998, merupakan search engine paling besar di dunia dan
paling banyak digunakan. Bahkan ada kekhawatiran Google akan mampu menggantikan
perpustakaan di masa depan.
Ketiga, menurunnya jumlah pemanfaatan sumber informasi yang ada di perpustakaan secara fisik
(declining usage). Kemudahan akses atau prosedur dalam memanfaatkan sumber informasi dan
format digital dari informasi menjadi kunci meningkatnya kebutuhan informasi digital.
Menurunnya kebutuhan informasi secara fisik di perpustakaan juga terjadi karena ada pergeseran
penggunaan media (dari cetak ke digital).
Keempat, terjadi perubahan kebutuhan dan keinginan para pemustaka (new patron demand). Hal
ini terjadi karena perubahan gaya hidup yang berpengaruh pada gaya belajar. Kalua pada masa
lalu belajar membutuhkan ketenangan suasana, saat ini belajar tidak lagi memerlukan suasana
yang sepi. Namun demikian, perpustakaan sekarang justru perlu mengantisipasinya dengan
berbagai fasilitas yang dapat membantu pemustaka belajar dengan lebih baik. Gaya belajar yang
berubah ini benar-benar harus diimbangi dengan penyediaan space di perpustakaan yang
mengarah pada gaya belajar saat ini, termasuk kebutuhan tidur sesaat tentunya. Itulah sebabnya
berbagai fasilitas baru muncul di learning commons-nya perpustakaan, seperti fasilitas work
lounge, canopy, dan napping pod.
Library as space

*bagian pertama dari dua makalah presentasi seminar Universitas Brawijaya, Malang, 29 September 2015


Agar perpustakaan terus dapat memiliki fungsi, maka perpustakaan perlu menyesuaikan diri
dengan apa yang terjadi saat ini. Dengan menurunnya kebutuhan koleksi cetak dan
meningkatnya kebutuhan fasilitas belajar, maka sudah waktunya perpustakaan mengubah
fasilitas dan layanannya. Namun demikian, library as place masih akan tetap dibutuhkan.
Perpustakaan sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi serta memberikan
layanan bagi life-wide learners akan tetap berlangsung.
Perubahan gaya belajar dan cara pemustaka berinteraksi baik dengan informasi dan dengan
pemustaka lain serta pustakawan, sudah selayaknya diikuti dengan perubahan layanan
perpustakaan as place. Penyediaan fasilitas bagi pemustaka generasi baru tentu akan berbeda
dengan fasilitas pemustaka generasi lama. Perpustakaan akan terus hidup dan berjalan baik
apabila perpustakaan mampu mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya.
Hybrid, digital, dan bookless libraries
Dilihat dari format koleksinya, trend perpustakaan saat ini sudah beralih dan tidak lagi
merupakan perpustakaan konvensional dengan banyak buku dan media cetak dilayankan di
perpustakaan. Ada tiga model perpustakaan yang masing-masing memiliki kekhasan sendirisendiri, yaitu, hybrid, digital, dan bookless. Perpustakaan hybrid (hybrid libraries) memiliki
koleksi kombinasi baik koleksi cetak maupun koleksi non cetak serta koleksi online. Model
perpustakaan ini masih memiliki space yang cukup untuk koleksi cetaknya dan terus melayankan
koleksi cetak yang dimilikinya. Di sisi lain, fasilitas baca juga tetap dikembangkan agar dapat
menjadikan suasana mendukung para pemustaka untuk memanfaatkan koleksi yang ada sesuai

dengan karakter dan format koleksi serta gaya membaca para pemustaka. Itulah sebabnya
fasilitas baca baik berupa tempat duduk dengan meja, tempat duduk tanpa meja, sofa baca, dan
canopy menjadi fasilitas yang dapat dikembangkan di perpustakaan. Sementara pada
perpustakaan bookless, penyediaan fasilitas seperti laptop lounge, desktop dengan berbagai
aplikasi dan ukuran layar, serta penyediaan e-reader, menjadi penting.
Di sisi lain, perpustakaan digital juga hadir untuk memberikan akses kepada pemustaka secara
jarak jauh: dimanapun dan kapanpun. Perpustakaan digital membutuhkan konten yang tentu saja
mudah diakses. Perangkat teknologi yang kekar (robust) menjadi kunci pertama dalam
perpustakaan digital. Sementara kemudaan navigasi menjadi kunci akses pemustaka ke
perpustakaan digital. Oleh karena perpustakaan digital tidak terlihat secara kasad mata, maka
*bagian pertama dari dua makalah presentasi seminar Universitas Brawijaya, Malang, 29 September 2015

pustakawan perlu mempertimbangkan aspek visibilitas dan hal ini dilakukan baik menggunakan
teknologi (misalnya, google accessible) maupun promosi yang ditujukan ke pemustaka potensial.
Perpustakaan bookless yang hadir beberapa waktu ini masih tetap menghadirkan space sebagai
wujud dari sebuah perpustakaan bookless. Perpustakaan bookless berbeda dengan perpustakaan
hybrid yang memiliki dua jenis koleksi—koleksi cetak dan digital, sementara di perpustakaan
bookless, semua koleksi cetak tidak disediakan. Fasilitas baca menggunakan ereader. Itulah
sebabnya sebuah perpustakaan bookless meminjamkan ereader kepada para pemustakanya,
selain juga menyediakan desktop untuk akses koleksi di tempat. Konsep perpustakaan bookless

adalah perpustakaan tanpa koleksi cetak, dan tetap membutuhkan space. Sementara perpustakaan
digital tidak membutuhkan space, tetapi membutuhkan konten yang dapat diakses dari manapun
dan kapanpun.
Implikasi dari perkembangan dunia perpustakaan di Indonesia
Melihat perkembangan yang terjadi saat ini dan mengantisipasi apa yang akan berkembang di
masa depan, tentu pustakawan akan perlu melakukan langkah-langkah yang dapat menunjang
keberlangsungan perpustakaan di era yang saat ini memasuki hyperhistory—era dimana
ketergantungan pada teknologi menjadi sangat besar.
Pertama, pustakawan perlu mengembangkan fasilitas-fasilitas yang dapat mengakomodasi
kebutuhan pemustaka saat ini dan kemudian hari. Perlu diketahui juga bahwa standar baru space
untuk pemustaka saat ini adalah 3.5m2 per orang (IFLA satellite meeting). Space tersebut
meningkat karena pemustaka membawa tambahan perangkat saat bekerja di perpustakaan.
Kedua, perpustakaan perlu mempertimbangkan penyediaan fasilitas-fasilitas baru di dalam
perpustakaan, misalnya napping pod yang dapat digunakan oleh pemustaka untuk tidur sesaat.
Canopy juga dapat disediakan untuk pemustaka yang tidak ingin terganggu pada saat membaca.
Fasilitas lain seperti work lounge atau laptop lounge akan membantu pemustaka untuk dapat
bekerja dan tinggal lebih lama di dalam sebuah perpustakaan.
Ketiga, penyediaan konten yang dapat memudahkan perputaran pengetahuan (knowledge
lifecycle) dengan lebih baik tentu akan sangat mendukung pemustaka dalam meningkatkan
pengetahuan. Perpustakaan sebagai fasilitas penyedia dan pendukung ilmu pengetahuan akan

mampu mengakomodasi generasi baru dari pemustaka apabila mampu mengenali gaya belajar
*bagian pertama dari dua makalah presentasi seminar Universitas Brawijaya, Malang, 29 September 2015

(learning style), interaksi pemustaka dengan information (human information interaction), dan
lain sebagainya. Hal ini dilakukan agar mereka dapat menjadi life-wide learner. Untuk dapat
memahami berbagai perkembangan baru tersebut tentu saja perpustakaan tidak dapat
melakukannya sendiri. Institusi pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan ilmu
perpustakaan dan informasi tentu harus meng-update keilmuan, pengetahuan, dan ketrampilan
para mahasiswa program studi ilmu perpustakaan dan informasi, yang akan menjadi pengelola
perpustakaan di masa depan (Pembahasan tentang hal-hal ini ada pada presentasi kedua).
Penutup
Dapat dikatakan bahwa beberapa dekade ini, ada perubahan-perubahan besar yang terjadi di
perpustakaan, di antaranya perubahan dari konvensional menjadi hybrid, bookless, dan digital.
Perubahan yang terjadi dalam industri informasi maupun teknologi informasi menjadikan
perpustakaan semakin berkembang sesuai dengan perubahan kebutuhan pemustakanya. Untuk
itu, perpustakaan akan tetap relevan bagi pemustakanya apabila perpustakaan mau dan mampu
mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi. Gaya belajar, cara akses informasi, dan
interaksi antara pemustaka generasi baru (baik generasi Z, generasi Y, digital settlers, maupun
digital immigrants) dengan sumber informasinya menjadi penting dan menjadi dasar untuk
melakukan perubahan-perubahan di dalam perpustakaan.


Referensi
Conley, J., & Wooders, M. (2009). But what have you done for me lately? Commercial
publishing, scholarly communication, and open-access. Economic Analysis & Policy,
39(1), 71-87.

Swan, A. (2006). Overview of scholarly communication. In Jacobs, N. (Ed.) Open Access: Key
Strategic, Technical and Economic Aspects, (pp. 4-11). Oxford: Chandos.

*bagian pertama dari dua makalah presentasi seminar Universitas Brawijaya, Malang, 29 September 2015