PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG SEKURITISASI U

PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG SEKURITISASI
UNTUK MENINGKATKAN PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

Oleh:
Sabrina Vanissa Rizki Hilaihi
110620170040

Dosen:
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.
Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

Diajukan untuk memenuhi syarat Ujian Akhir Semester dari mata kuliah
Politik Hukum

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. i

I.

PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 5

II.

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 6
A. Pembentukan Undang-Undang ...................................................... 6
B. Sekuritisasi................... .................................................................. 8
1. Pengertian Sekuritisasi ............................................................. 8
2. Manfaat Sekuritisasi ................................................................. 9
C. Pembangunan Infrastruktur ............................................................ 10


III.

PEMBAHASAN ................................................................................ 11
A. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Sekuritisasi ...................... 11
B. Pengaturan Sekuritisasi Aset Untuk Pembangunan Infrastruktur .... 15
1. Dasar Hukum .. ........................................................................ 15
2. Prosedur Pengisuan Sekuritisasi Aset ....................................... 18

IV.

PENUTUP .......................................................................................... 20
A. Kesimpulan ................................................................................... 20
B. Rekomendasi ................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 21

i

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Penyediaan infrastruktur yang baik merupakan salah satu syarat bagi
pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur juga dinilai dapat
memberikan ‘multiplier effect’ positif ke berbagai sektor sehingga
meningkatkan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya mendorong daya saing
Indonesia.
Pemerintahan di era Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla sangat
masif dalam pembangunan infrastruktur dalam negeri yang ditujukan untuk
membangun konektivitas guna meningkatkan daya saing, membangun dari
pinggiran, mendukung ketahanan pangan dan air, serta meningkatkan kualitas
hidup masyarakat. Di tahun 2015, Pemerintah telah giat menyusun dan
menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi yang mencakup perbaikan kebijakan
dan peraturan untuk mendorong perekonomian Indonesia, termasuk di
dalamnya perumusan Peraturan Presiden tentang Proyek Strategis Nasional
dan Peraturan Presiden tentang Pengembangan dan Pembangunan Kilang
Minyak di Dalam Negeri. Dalam sisi kebijakan fiskal, Pemerintah telah
menyediakan fasilitas direct lending ke BUMN dan fasilitas availability
payment dari APBN yang diharapkan dapat meningkatkan kelayakan proyek.


Selain itu, perbaikan di sisi kelembagaan dapat dilihat dengan adanya
peleburan antara PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dengan Pusat
Investasi Pemerintah disertai dengan pengembangan mandat PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PT PII).
Meskipun upaya-upaya Pemerintah tersebut telah memberikan
dampak positif untuk penyediaan infrastruktur dan menarik investasi Badan
Usaha, perlu disadari bahwa perbaikan lebih lanjut dari sisi regulasi, fiskal,
1

2

dan kelembagaan masih sangat dibutuhkan. Dalam melaksanakan
pembangunan infrastruktur tidak mudah karena memerlukan waktu dan
biaya yang tidak sedikit dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) tidak akan mungkin sanggup untuk menutup semua biaya
pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan studi Mandiri Sekuritas, pemerintah membutuhkan dana
untuk investasi di sektor infrastruktur sekitar Rp5.500 triliun untuk lima
tahun ke depan atau Rp1.100 triliun per tahun. Dari kebutuhan dana per

tahun itu, sekitar Rp900 triliun dapat dibiayai oleh pembiayaan konvensional
yaitu menggunakan APBN dan perbankan. Terdapat potensi sebesar Rp200
triliun per tahun kebutuhan investasi untuk infrastruktur yang dapat dibiayai
dari non APBN dan non perbankan, yaitu melalui pasar modal baik dalam
negeri maupun "offshore funding ".
Dalam mendanai proyek infrastruktur juga harus dibuat skema
pembiayaan yang lebih luwes sehingga sektor BUMN termasuk swasta yang
terlibat bisa semakin lebih luas. Di sisi lain, peran perusahaan penjamin
pelaksana emisi (underwriter ) juga dibutuhkan dalam mempertemukan
investee (tempat investor melakukanan penanaman modal) dan investor

jangka panjang. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio
mengatakan, terdapat satu cara untuk mengisi kekurangan dana infrastruktur,
yakni dengan menggunakan potensi dana di pasar modal secara maksimal. 1
Sekuritisasi menjadi solusi dalam pembiayaan infrastruktur yang
merupakan mekanisme baru di pasar modal. Sekuritasasi aset mampu
menghimpun dana lebih besar dari pasar dibandingkan dengan instrumen
lainnya seperti surat utang. Sekuritisasi adalah transformasi aset yang tidak
liquid menjadi liquid dengan cara penjualan aset keuangan oleh kreditor asal
kepada penerbit yang selanjutnya menerbitkan sekuritas beragun aset kepada

pemodal yang diwakili Wali Amanat. Sekuritisasi aset BUMN mampu
menghimpun dana untuk percepatan proyek pembangunan sebagaimana yang
1
Ant, "Kontribusi Pasar Modal Bagi Pembangunan Infrastruktur Nasional Perlu
Didukung”, 2017, , [14/12/2017].

3

diharapkan Pemerintah. 2 Konversi aset perusahaan BUMN menjadi instrumen
Efek Beragunan Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) di pasar modal
diharapkan membantu percepatan proyek infrastruktur pemerintah.
Mekanisme ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun
1970 dalam bentuk Mortgage Backed Securities (MBS) oleh Government
National Mortgage Association (Ginnie Mae3). Di tahun-tahun berikutnya,

menyusul aset-aset non-real estate ABSs, seperti Efek Beragunan Aset (EBA)
berbasis kartu kredit, kredit mobil, kredit usaha kecil, dan lain sebagainya
yang disekuritisasi. Meskipun pasar ABS (Asset Backed Securities)/EBA
kurang berkembang jika dibanding MBS namun beberapa tahun terakhir
perkembangannya melaju cepat. Akumulasi nilai EBA pun terus meningkat,

27 M dolar S ditahun 1988, 380 M dolar AS ditahun 1988, hingga akhir tahun
2003 mencapai 1590,8 M. Perkembangan positif EBA di Amerika Serikat ini
diikuti oleh berbagai negara lain seperti Prancis, Jerman, Korea Selatan,
Filipina, dan Jepang.
Untuk kawasan Asia Pasifik nilai penerbitan EBA mencapai 54 M
dollar AS. Di Indonesia sendiri, EBA mulai dikenal dalam transaksi pasar
modal pada akhir tahun 1997. Dengan keluarnya Surat Keputusan Bapepam
No.: Kep-53/PM/1997, tentang Peraturan No IX.K.1 tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif. Dalam pelaksanaannya, keputusan ini mengalami
dua kali revisi, yaitu melalui Keputusan Bapepam No. 19/PM/2002, dan KepNo.28/PM/2003 tentang (KIK EBA) Pedoman Kontrak Investasi Kolektif
Beragunan Aset. Kehadiran produk EBA ini sebenarnya diharapkan dapat
memberi jalan keluar bagi perusahaan-perusahaan, baik BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) maupun swasta yang membutuhkan dana melalui proses
sekuritas aset.4 Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya saat
meninjau salah satu proyek infrastruktur Bandara Soekarno Hatta menilai

Gainscope, “BEI Jelaskan Manfaat Sekuritisasi Aset BUMN”, 2017,
, [16/12/2017].
3
GNMA atau “Ginnie Mae” merupakan salah satu unit di Departemen Perumahan dan

Pemukiman Amerika Serikat. MBS merupakan ABS yang dijamin dengan piutang-piutang
jaminan Mortgage atas bidang tanah tertentu (hipotek/hak tanggungan).
4
Paripurna P. Sugarda, “Sekuritisasi Aset Dalam Kontrak Investasi Kolektif Beragun
Aset Di Indonesia”, MIMBAR HUKUM, Volume 20 Nomor 1, Februari 2008, hlm. 36.
2

4

sekuritisasi dapat menjadi jalan keluar bagi pembiayaan proyek infrastruktur.
Sayang, selama ini, sejumlah perusahaan masih enggan melakukan
sekuritisasi lantaran tak ingin kehilangan cuan dari aset yang disekuritisasi.
Ambil contoh, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang banyak memiliki
proyek jalan tol. Menurut Jokowi, akan lebih baik jika salah satu proyek
tersebut dilepas ke publik setelah proses konstruksi selesai dan mulai
beroperasi. Sebab, dengan dijual ke pihak swasta, maka Waskita Karya akan
mendapatkan tambahan dana untuk menjalankan proyek selanjutnya.
Perusahaan seharusnya tak perlu khawatir akan kehilangan aset yang
disekuritisasi, terutama aset-aset, seperti jalan tol atau pembangkit listrik.
Toh, aset tersebut tak dapat dipindahkan ke tempat lain. 5

Sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, isu sekuritisasi sudah
dihimbau dari dunia usaha dengan mendorong pemerintah memfokuskan isu
sekuritisasi. Hal ini terlihat dari Program Legislasi Nasional tahun 20062009, Rancangan Undang – Undang Sekuritisasi menjadi salah satu dari 231
Rancangan Undang – Undang Program Legislasi Nasional.

Sayangnya,

hingga saat ini, Undang – Undang Sekurtisasi belum juga diterbitkan. Dengan
tidak adanya payung hukum mengenai sekuritisasi, prosesnya pun masih
mengalami banyak kendala.
Maka, berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
dan

menuangkan

dalam

bentuk

penulisan


hukum

yang

berjudul

"Pembentukan Undang – Undang Sekuritisasi Untuk Meningkatkan
Pembangunan Infrastruktur Di Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana urgensi dari diperlukannya pembentukan Undang –
Undang Sekuritisasi ?
2. Bagaimana

pengaturan

sekuritisasi

aset


untuk

pembangunan

infrastruktur ?

Sid Kusuma, “Jokowi: Sekuritisasi Jadi Solusi Pembiayaan Infrastruktur”, 2017,
http://sekuritisasi.co.id/jokowi-sekuritisasi-jadi-solusi-pembiayaan-infrastruktur/, [15/12/2017].
5

5

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan ini
adalah untuk memahami dan menganalisis secara lengkap, jelas, rinci dan
sistematis tentang:
1. Urgensi dari diperlukannya pembentukan Undang – Undang
Sekuritisasi.
2. Pengaturan dari sekuritisasi aset untuk pembangunan infrastruktur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembentukan Undang – Undang.
Peraturan perundang-undangan tidak akan lahir dengan sendirinya
tanpa ada lembaga pembentuknya. demikian pula halnya, lembaga pembentuk
peraturan perundang-undangan juga tidak akan berperan penting apabila tidak
membentuk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, antara
pembentukan peraturan perundang-undangan dengan lembaga pembentuknya
akan selalu berkaitan.
Dalam buku-buku lama, selalu ditulis bahwa lembaga pembentuk
undang-undang adalah Presiden dengan DPR. Undang-undang selalu
merupakan produk hasil kerja sama antara Presiden dengan DPR. Rancangan
undang-undang dapat berasal dari Presiden atau DPR. Suatu RUU tidak akan
jadi undang-undang tanpa ada kerja sama antara Presiden dan DPR. Kerja
sama tersebut dalam arti Presiden mengajukan RUU dan DPR menyetujui
atau DPR mengajukan inisiatif RUU dan Presiden mengesahkan RUU
tersebut. mekanisme tersebut cukup sederhana karena hanya melibatkan dua
lembaga.
Sebaliknya, dalam buku-buku baru setelah perubahan UUD 1945
muncul persoalan terkait dengan lembaga pembentuk undang-undang di
Indonesia. Sebagian pendapat menyatakan bahwa pembentuk undang-undang
adalah DPR dan Presiden dengan penekanan lebih berat kepada DPR karena
telah terjadi pergeseran pemegang fungsi legislasi dari Presiden kepada DPR.
Keadaan tersebut juga masih menimbulkan tanda tanya, karena sebenarnya
6

7

pergeseran tersebut bukan hanya dari Presiden kepada DPR, tetapi juga dari
Presiden ke DPD.6
Penguatan kedudukan dan fungsi DPR antara lain tampak dari
ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR
memegang kekuasaan membentuk undangundang (UU). Sebelum terjadi
perubahan UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa
kekuasaan membentuk UU berada pada Presiden. Kini, setelah perubahan
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan
undang undang (RUU) kepada DPR. Tuntutan reformasi atas perubahan Pasal
5 ayat (1) dan kaitannya dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, bukan sesuatu
hal yang berlebihan. Menurut Bagir Manan7 bahwa rumusan Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 lama sangatlah berlebihan. Bahkan muncul penilaian ekstrim dari
Bagir Manan, 8 bahwa Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama, bukan saja
membingungkan, tetapi juga mengandung anomali. Bukankah menjadi
sesuatu yang diterima umum bahwa kekuasaan membentuk undang-undang
tetap berada pada badan perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
legislatif.
Berhubung karena kekuasaan membentuk undang-undang telah berada
pada DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945), sementara Presiden hanya berhak
mengajukan rancangan undang-undang (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945), maka
timbul pertanyaan: apakah setiap RUU yang diajukan oleh Presiden wajib
atau serta merta harus diterima oleh DPR untuk dibahas dalam persidangan di
6

Hernadi Affandi (et.al.), Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum
Nasional, Bandung: Mujahid Press, 2017, hlm. 25.
7
Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, Yogyakarta: FH-UII Press, 2004, hlm.93.
8
Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII
Press, 2003, hlm. 20

8

DPR? UUD 1945 yang telah mengalami perubahan empat kali selama ini
tidak menyebutkan adanya kewajiban bagi DPR untuk menerima RUU yang
diajukan oleh Presiden untuk dibahas dalam persidangan di DPR. Praktik
yang berlangsung selama ini menunjukkan bahwa RUU yang diajukan oleh
Presiden pada umumnya diterima oleh DPR untuk dibahas dalam persidangan
di DPR.9

B. Sekuritisasi.
1. Pengertian Sekuritisasi
Black’s Law Dictionary, 7th edition memberikan definisi mengenai
sekuritisasi, yaitu sebagai berikut :
Securititization – is the process of homogenizing and packaging
financial instruments into

a

new fungible one.

Acquisition,

classification, collateralization, composition, pooling, and distribution
are functions within this process.

(Terjemahan bebas: Sekuritisasi ialah proses penggabungan dan
pengemasan instrumen keuangan menjadi sesuatu yang baru. Akuisisi,
klasifikasi, kolateralisasi, komposisi, penyatuan, dan distribusi
merupakan fungsi dalam proses ini.)

Securitization, menurut Dictionary of Financial Risk Management,

adalah :
The process of converting assets which would normally serve as
collateral for a bank loan into securities which are more liquid and
can be traded at a lower cost than the underlying assets. The largest
category of securitized assets is real estate mortgage loans which
serve as collateral for mortgage-backed securities.

9

Aminuddin Kasim, "Proses Pembentukan Undang-Undang Pasca Pergeseran Kekuasaan
Legislatif Dari Presiden ke DPR”,
, [15/12/2017]

9

Menurut Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Perusahaan
Sekunder Perumahan. Pengertian sekuritisasi dalam Pasal 1 huruf 14 adalah:
“transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian
aset keuangan dari kreditor asal dan penerbitan Efek Beragun Aset.” Ini
berarti sekuritisasi aset terjadi atau dilaksanakan melalui suatu transformasi
dari aset-aset keuangan (berupa piutang/tagihan) yang tidak dapat segera
diubah menjadi dana yang likuid dengan cara kreditor asal melepaskan
kepemilikannya, dimana transformasi tersebut dilakukan dengan cara
menerbitkan efek yang dapat dijual (marketable securities) kepada investor
dengan dijamin oleh aset keuangan yang bersangkutan. 10

2. Manfaat Sekuritisasi
Terdapat beberapa alasan yang merupakan alasan pokok dilakukannya
sekuritisasi aset oleh bank atau lembaga keuangan. Beberapa alasan yang
penting tersebut adalah:
a. Untuk mengubah aset yang kurang likuid menjadi lebih likuid.
b. Untuk mengubah aset yang tadinya kurang menarik menjadi mudah
untuk diperdagangkan di pasar.
c. Agar terjadi perluasan investor terhadap suatu aset.11
Ketiga hal tersebut diatas menunjukkan pentingnya sekuritisasi aset
tidak hanya bagi kalangan bank dan lembaga keuangan ( originator ), tetapi
juga bagi kalangan investor. Sekuritisasi aset tidak hanya mengurangi
mismatch funding bagi lembaga keuangan, tetapi bisa juga menjadi alternatif

investasi yang menarik bagi para investor pasar uang dan pasar modal.
a. Manfaat Bagi Investor
1) Alternatif produk investasi dengan tingkat risiko yang lebih baik
karena berbasis portfolio aset.
2) Produk investasi dengan rating idAAA.
3) Underlying aset portfolio yang kuat sesuai kriteria sehat dari SMF.
10
Gunawan Widjaja dan E. Paramitha Sapardan, Asset Securitization (Pelaksanaan SMF
di Indonesia), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 10-11.
11
, [16/12/2017].

10

4) Struktur transaksi yang solid dengan adanya Dukungan Kredit dan
Subordinasi.
b. Manfaat bagi Pasar Modal
1) Pengembangan produk investasi di pasar modal yang berbasis
portfolio aset.
2) Ketersediaan produk investasi bagi Investor yang menginginkan
produk jenis ini. 12

C. Pembangunan Infrastruktur.
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terjadi secara
terus menerus. Menurut Pasal 1 butir 4 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun
2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur, mengatakan bahwa :
“infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras,
dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada
masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan
ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik”.
Sedangkan pembangunan infrastruktur dikatakan sebagai bagian dari
pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan usaha yang
dilakukan sebagai langkah untuk membangun manusia Indonesia. Hal ini
mengandung arti bahwa setiap kebijakan yang akan diambil yang berkaitan
dengan pembangunan harus tertuju pada pembangunan yang merata di
seluruh

wilayah

Indonesia

dan

diselenggarakan

untuk

kepentingan

masyarakat agar hasil pembangunan tersebut benar-benar dapat dirasakan
oleh masyarakat sehingga pada akhirnya dapat berdampak terhadap perbaikan
dan peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia. 13

12
PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), , [16/12/2017].
13
Adisasmita Rahardjo, Teori-Teori Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013, hlm. 35.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Urgensi Pembentukan Undang – Undang Sekuritisasi.
Pemerintah

saat

ini

sangat

menggadang-gadangkan

terkait

pembangunan infrastruktur untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Tantangan yang
dihadapi melalui pembangunan infrastruktur adalah urbanisasi yang tinggi,
belum optimalnya pemanfaatan sumber daya dalam mendukung kedaulatan
pangan dan energi , serta daya saing nasional masih belum kuat. Tantangan
berikutnya soal pendanaan pembangunan infrastruktur jalan, perumahan,
sumber daya air, energi, listrik, telekomunikasi, transportasi darat,
transportasi laut, dan kereta api selama 2015-2019 diperkirakan mencapai Rp
4.796 triliun. Dari jumlah tersebut rencana sumber pembiayaan pemerintah
melalui APBN dan APBD sebesar Rp 1.978,6 triliun (41 persen), namun
selama 3 tahun terakhir (2015-2017) baru dapat dipenuhi Rp 960,7 triliun.
Sebagian besar lainnya melalui pembiayaan dari BUMN dan swasta termasuk
skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU).14
Dukungan APBN yang terbatas dalam infrastruktur, pemerintah
merasa memerlukan keterlibatan mitra-kerjasama yang dapat ikut serta untuk
mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur, termasuk swasta. Untuk
itu mekanisme Sekuritisasi dianggap menjadi solusi yang cukup efektif untuk
memperoleh pembiayaan pembangunan infrastruktur dengan menjual
sebagian aset kepada pihak swasta untuk ikut memilikinya.
Sekuritisasi pada hakekatnya adalah teknik pembiayaan dengan mana
dikumpulkan dan dikemas sejumlah aset (aktiva) keuangan berupa piutang
(tagihan) yang lahir dari transaksi keuangan atau transaksi perdagangan, yang
biasanya kurang likuid menjadi Efek yang likuid karena mudah diperjual
belikan.

Sekuritisasi

aset

infrastruktur,

pertama

kali

di

Indonesia,

14
Eduardo Simorangkir, “Gencar Bangun Infrastruktur, Jokowi Genjot Pertumbuhan
Ekonomi RI”, 2017, , [16/12/2017].

11

12

melibatkan PT Mandiri Manajemen lnvestasi dan PT Bank Rakyat lndonesia
(Persero) Tbk bertindak selaku Manajer investasi dan Bank Kustodian. PT
Mandiri Sekuritas bertindak selaku Arranger melalui skema KIK-EBA (Efek
Beragun Aset) pada Tol Jagorawi yang didukung oleh OJK, Kementerian
Keuangan dan BEI serta para investor.
Kelayakan

(jalan

tol

Jagorawi)

dinilai

memiliki

aset

dan

disekuritisasikan ditunjukkan melalui jaminan yang memiliki nilai dan
manfaat tinggi bagi debitur, diprediksi meningkatkan permintaan hingga Rp
5,1 triliun atau setara dengan 2,7 kali dari total nilai penerbitan. Begitupun
infrastruktur lain, sehingga sesuai apabila infrastruktur layak untuk
disekuritisasikan. Kedua,dari transaksi sekuritisasi aset, kelayakan tol jagorawi
telah melibatkan berbagai pihak dari penerbit (badan hukum), mekanisme
penjualan/pengalihan aset dan aliran kas arus kas. Pada sekuritisasi tol
jagorawi, Jasa Marga selaku Originator transaksi juga bertindak sebagai
Collection Manager , bertugas mengumpulkan pendapatan tol jagorawi yang di

sekuritisasikan dan mendistribusikannya.15
Mengenai isu sekuritisasi sebenarnya sudah menjadi perhatian
pemerintah sejak lama, hal ini terlihat dari Rancangan Undang-Undang
(RUU) Program Legislasi Nasional tahun 2006-2009, Rancangan Undang –
Undang Sekuritisasi menjadi salah satu dari 231 Rancangan Undang –
Undang Program Legislasi Nasional (Proglegnas) yang berjalan di Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM.
Regulasi terkait sekuritisasi saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khususnya Pasal 5 butir p dan Pasal 30 ayat
(2) (lihat Lampiran). Peraturan yang berkaitan dengan sekuritisasi di
Indonesia pertama kali dikeluarkan oleh Bapepam (saat ini berubah nama
menjadi Otoritas Jasa Keuangan) pada tahun 1997 yang dikenal dengan nama
Kontrak Investasi Kolektif–Efek Beragun Aset (KIK-EBA) dimana yang
telah mengalami revisi pada tahun 2002 dan 2003. Berdasarkan keputusan

15
Agan Wayang, “Sekuritisasi Aset Sebagai Strategi Alternatif Pembiayaan Infrastruktur di
Indonesia”,
2017,
, [16/12/2017].

13

Ketua Bapepam No. KEP- 28/PM/2003 disebutkan bahwa KIK-EBA adalah
kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat Efek
Beragun Aset, yaitu Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola
portofolo investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan penitipan kolektif. 16
Kehadiran

Prolegnas

sebagai

suatu

perencanaan

di

bidang

pembentukan peraturan perundang-undangan lebih menunjukkan urgensinya
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Di dalam
lampiran Undang-Undang Propenas tersebut ditegaskan berbagai program
pembangunan dimana salah satunya adalah terkait dengan program
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam bagian huruf C Program-program Pembangunan angka 1 yang
berisi tentang Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
ditegaskan tujuan dan sasaran sebagai berikut:
“Program ini bertujuan untuk mendukung upaya-upaya dalam rangkaa
mewujudkan supremasi hukum terutama penyempurnaan terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional
yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.”
“Sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan
kebutuhan pembangunan.”17
Diunduh dari laman www.djpp.kemenkumham.go.id, naskah RUU
Sekuritisasi terdiri dari enam bab dan 32 pasal. Namun, RUU tersebut tidak
berlanjut ke parlemen, dan bahkan tidak tercantum dalam daftar Program
Legislasi Nasional 2015-2019. Menurut hemat penulis, banyaknya RUU yang
diajukan ke DPR tidak menjamin bahwa RUU tersebut akan dikabulkan
menjadi Undang-Undang. Kendala yang menyebabkan tidak efektifnya
penyusunan Prolegnas seperti:
Sri Liani Suselo (et.al.), “Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan Dan Pengembangan
Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam Rangka Pendalaman Pasar Keuangan Indonesia”, 2013,
, [16/12/2017].
16

17

Hernadi Affandi (et.al.), Op.Cit., hlm. 10.

14

1. Tidak maksimal memperdayakan masyarakat
Dalam hal pengaturan, partisipasi masih tidak mendapat tempat, sebab
UU No. 10/2004 hanya mengatur mengenai tahap perencanaan yang
dituangkan dalam bentuk Prolegnas serta lembaga yang terlibat dalam proses
pembuatannya. Untuk proses di DPR, Pasal 8 Perpres No. 61 tahun 2005
mengatur adanya forum konsultasi. Di dalam forum konsultasi ini,
pemerintah dapat mengundang ”para ahli dari lingkungan perguruan tinggi
dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnnya
sesuai dengan kebutuhan.
2. Prosedur Birokrasi
Pada

tingkat

perundangundangan

Departemen/LPND
berada

ditangan

penyusunan

Kepala

Biro

atau

peraturan
satuan

menyelenggarakan fungsi bidang peraturan perundang-undangan. 54 Akan
tetapi tidak setiap Departemen/LPND memiliki pemahaman tersebut, hal ini
terbukti sangat dominannya Direktorat Jenderal atau Badan dalam menyusun
rancangan peraturan perundang-undangan sendiri tanpa konsultasi atau
menyerahkan pada biro hukum bahkan pada tingkat Antardep yang
seharusnya sekretaris adalah Biro Hukum sesuai dengan UU No. 10 tahun
2004 tidak dilakukan.
3. Prosedur pembuatan RUU
Berbicara tentang prosedur legislasi, menurut Bivitri, berarti berbicara
tentang pembentukan Undang-undang dari awal sampai akhir. Mulai dari
tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, hingga pengundangan,
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004. Salah satu penyebab tidak
tercapainya target Prolegnas selama ini merupakan akibat dari menumpuknya
beban kerja pembahasan RUU pada sejumlah anggota DPR. Ini terlihat dari
hasil kinerja DPR 2004-2009 yang secara kuantitas baru mengesahkan 44 UU
dari 284 RUU yang ditargetkan. Adapun akar penyebab penumpukan beban
kerja pada anggota adalah sistem pengelompokan berdasarkan Fraksi.
Fraksilah yang dianggap harus memberikan opini, memposisikan, dan

15

menyepakati substansi undang-undang. Sedangkan Undang-Undang disahkan
bila disetujui fraksi-fraksi dan pemerintah. Keberatan individu hanya dicatat
dan diistilahkan sebagai catatan minor, yaitu catatan yang tidak penting.
Belum lagi, kerap rapat tersebut tidak memenuhi kuorum, yang juga sering
disebabkan tak sinkronnya jadwal rapat antar alat kelengkapan Dewan. 18
B. Pengaturan Sekuritisasi Aset Untuk Pembangunan Infrastruktur.
1. Dasar Hukum
Tentang dasar hukum dari penerbitan suatu asset backed securities
dibagi dalam enam kategori yaitu:
a. Dasar Hukum Prosedural
Dasar hukum prosedural terhadap penerbitan suatu asset backed
securities/efek beragun aset adalah ketentuan perundang-undangan di

bidang pasar modal. Dasar hukum prosedural yang utama

terhadap

penerbitan suatu asset backed securities adalah Undang-Undang Pasar
Modal No. 8 Tahun 1995. Selanjutnya untuk mewujudkan pelaksanaan
efek ke dalam kenyataan khususnya yang menyangkut dengan asset
backed securities ini, maka Bapepam telah mengeluarkan aturan-aturan

sebagai berikut:
1) Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-46/PM/1997, yang dikenal
dengan Peraturan No. V.G.5. tentang fungsi manajer investasi
berkaitan dengan Efek Beragun Aset.
2) Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-47/PM/1997, yang dikenal
dengan Peraturan No. IV.A.2. tentang fungsi Bank Kustodian
berkaitan dengan Efek Beragun Aset.
3) Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-50/PM/1997, yang dikenal
dengan Peraturan No. IX.C.9. tentang Pernyataan pendaftaran
dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset.

Andi Irman Putra, “Penulisan Kerangka Ilmiah Tentang Peran Prolegnas Dalam
Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan Uud 1945 (Pasca Amandemen)”, 2008,
, [16/12/2017].
18

16

4) Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-51/PM/1997, yang dikenal
dengan Peraturan No. IX.C.10. tentang Pedoman bentuk dan isi
Prospektus dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset.
5) Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-53/PM/1997, yang dikenal
dengan Peraturan No. IX.K.1. tentang Pedoman Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset.
b. Dasar Hukum Surat Berharga
Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat pengaturan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang mengenai surat berharga ini. Salah satu
pengaturannya adalah berkenaan dengan surat berharga dalam bentuk
“surat aksep”. Yaitu mulai dari Pasal 174 sampai dengan Pasal 177
KUHD. Asset backed securities ini, yang merupakan suatu surat hutang
juga mempunyai ciri-ciri dari surat sanggup. Karena itu, sejauh tidak diatur
secara lain dalam ketentuan di bidang Pasar Modal, maka ketentuan
tentang surat sanggup dalam KUHD tersebut secara yuridis formal berlaku
juga terhadap asset backed securities ini.
c. Dasar Hukum Perkreditan
Ketentuan-ketentuan mengenai perkreditan juga berlaku bagi suatu
asset backed securities. Sebab, kedudukan dari debitur tetap merupakan

debitur yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. Hanya yang
berubah adalah pihak krediturnya, dari kreditur asal kepada pihak investor
dari asset backed securities. Sementara posisi debitur tetap tidak berubah
dan tetap harus membayar hutang-hutangnya sesuai hukum yang berlaku.
Masalah lain yang juga merupakan persinggungan yuridis dengan
perundang-undangan di bidang perkreditan/perbankan adalah berkenaan
dengan adanya kewajiban untuk menjaga rahasia bank. Hal ini terdapat
ketentuannya dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Pasal
40 sampai dengan Pasal 45. Akan tetapi, ketentuan perbankan seperti
tersebut diatas tidak mengakomodasi terhadap kemungkinan adanya

17

pembukaan rahasia bank dalam hal penerbitan asset backed securities.
Karenanya, jika menyangkut dengan nasabah bank, jalan yang paling
aman adalah jika peralihan aset atau tagihan dalam konstruksi asset backed
securities tersebut dilakukan dengan mendapat persetujuan dari pihak

debitur. Akan tetapi hal ini tentu tidak mudah dilakukan dalam praktek
mengingat kemungkinan untuk tidak setuju dari pihak debitur tentu sangat
besar.
d. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
e. Dasar Hukum Keperdataan
Selain dari ketentuan KUHPerdata yang berkenaan dengan hukum
kontrak, ketentuan KUHPerdata di seputar peralihan piutang (cessie) mesti
dianggap berlaku pada saat dialihkannya piutang dari kreditur lama kepada
investor melalui suatu pooling tagihan/asset. Selanjutnya ketentuan
KUHPerdata tentang cessie tersebut juga mesti dianggap berlaku ketika
seorang investor (pemegang) asset backed securities mengalihkan efeknya
kepada investor yang lain. Dalam KUHPerdata, ketentuan yang berkenaan
dengan pengalihan piutang (cessie) tersebut pada prinsinya diatur dalam
Pasal 613.
f. Dasar Hukum Kontrak
Hukum perjanjian juga tersangkut jika suatu asset backed securities
diterbitkan.

Sebab,

ketentuan

perundang-undangan

mensyaratkan

dibuatnya suatu kontrak yang disebut dengan Kontrak Investasi Kolektif
Efek Beragun Aset (“KIK EBA”). KIK EBA ini memainkan peran yang
sangat sentral dalam penerbitan suatu asset backed securities ini.
Karena begitu sentralnya posisi dari asset backed securities
tersebut, maka hukum kontrak dalam KUHPerdata, khususnya buku
ketiga, bagian umum, yaitu dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456

18

KUHPerdata. KIK ABS tersebut tidaklah dapat dikategorikan ke dalam
salah satu dari kontrak khusus (kontrak bernama) dari buku ketiga
tersebut. karena itulah maka yang berlaku hanyalah ketentuan-ketentuan
hukum kontrak yang umum saja. Di samping itu, karena asset backed
securities tersebut dapat juga diagunkan, maka ketentuan-ketentuan
tentang gadai dari KUHPerdata tetap berlaku bagi suatu asset backed
securities tersebut, khususnya jika efek yang bersangkutan dijadikan

jaminan hutang.19
2. Prosedur Pengisuan Sekuritisasi Aset
Di Indonesia, penerbitan/pengisuan dari sutu asset backed
securities ini dilakukan lewat suatu proses sebagai berikut:
a. Manajer Investasi dan Bank Kustodian membuat Kontrak Investasi
Kolektif.
b. Manajer Investasi membeli aset-aset keuangan (tagihan) dari pihak
kreditur awal.
c. Manajer Investasi mencatat aset-aset keuangan untuk dan atas
nama Bank Kustodian.
d. Bank Kustodian melakukan pembayaran kepada pihak kreditur
awal sebagai harga dari pembelian aset keuangan.
e. Bank Kustodian menyimpan aset-aset keuangan dalam rekening
Kontrak Investasi Kolektif dari asset backed securities.
f. Manajer Investasi mengisukan asset backed securities kepada
pihak investor.
g. Bank Kustodian menerima pembayaran atas pembelian asset
backed securities dari pihak investor.

19

Munir Fuady, Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2003, hlm. 50.

19

h. Sebagai

penyedia

jasa

(servicer),

pihak

kreditur

awal

mengumpulkan angsuran tagihan-tagihan dari debitur.
i.

Penyedia jasa (kreditur awal) membayar angsuran dari tagihantagihan tersebut kepada Bank Kustodian.

j.

Bank Kustodian membayar pokok dan bunga dari asset backed
securities kepada pihak investor.20

20

Ibid., hlm. 92.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terbatasnya dana APBN membuat Pemerintah merasa memerlukan
keterlibatan mitra-kerjasama yang dapat ikut serta untuk mendukung
pembiayaan pembangunan infrastruktur, termasuk swasta. Untuk itu
mekanisme

Sekuritisasi

bisa

menjadi

solusi

untuk

menjawab

permasalahan tersebut. Naskah RUU Sekuritisasi sendiri sebenarnya
sudah diajukan pada Program Legislasi Nasional tahun 2006-2009,
namun nampaknya RUU Sekuritisasi tersebut tidak menjadi prioritas
dalam legislasi nasional, hal ini terbukti dengan belum adanya UndangUndang mengenai Sekuritisasi hingga saat ini.
2. Sembari menanti UU Sekuritisasi itu sendiri, Bapepam telah
mengeluarkan beberapa peraturan terkait prosedural penerbitan suatu
asset backed securities/efek beragun aset. Serta dasar hukum lain yang

mendasari sekuritisasi di Indonesia diantaranya terdapat Dasar Hukum
Surat Berharga, Perkreditan, Hak Tanggungan, Keperdataan, dan Dasar
Hukum Kontrak.
B. Rekomendasi
Sekuritisasi memang menjadi solusi yang tepat untuk pembiayaan
infrastruktur, namun masih banyak perusahaan yang enggan untuk
melakukannya karena takut akan kehilangan cuan dari aset yang
disekuritisasi. Oleh sebab itu, perlu dibentuknya Undang-Undang Sekuritisasi
agar bisa melindungi hak-hak perusahaan apabila aset tersebut nantinya akan
disekuritaskan ke pihak swasta.

20

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku
Affandi, Hernadi (et.al.). Program Legislasi Nasional Dalam
Pembangunan Hukum Nasional. Bandung: Mujahid Press. 2017.
Fuady, Munir. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum) . Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. 2003.
Manan, Bagir. DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru .
Yogyakarta: FH UII Press. 2003.
-------------------. Perkembangan UUD 1945. Yogyakarta: FH-UII Press.
2004.
Rahardjo, Adisasmita. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2013.
Widjaja, Gunawan dan E. Paramitha Sapardan, Asset Securitization
(Pelaksanaan SMF di Indonesia) . Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2006.
B. Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
Keputusan Ketua Bapepam No. KEP-28/PM/2003 tentang Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Perusahaan Sekunder
Perumahan.

21

22

C. Jurnal, Makalah
Aminuddin Kasim, "Proses Pembentukan Undang-Undang Pasca
Pergeseran Kekuasaan Legislatif Dari Presiden ke DPR”, diakses
dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=167052&val=
6113&title=PROSES%20PEMBENTUKAN%20UNDANGUNDANG%20PASCA%20PERGESERAN%20KEKUASAAN%2
0LEGISLATIF%20DARI%20PRESIDEN%20KE%20DPR pada
tanggal 15 Desember 2017.
Andi Irman Putra, “Penulisan Kerangka Ilmiah Tentang Peran Prolegnas
Dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan
Uud 1945 (Pasca Amandemen)”, 2008, diakses dari
http://www.bphn.go.id/data/documents/peran_prolegnas_dalam_pe
rencanaan_pembentukan_hukum_nasional.pdf pada tanggal 16
Desember 2017.
Paripurna P. Sugarda, “Sekuritisasi Aset Dalam Kontrak Investasi Kolektif
Beragun Aset Di Indonesia”, MIMBAR HUKUM, Volume 20
Nomor 1, Februari 2008.
Sri Liani Suselo (et.al.), “Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan Dan
Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam Rangka
Pendalaman Pasar Keuangan Indonesia”, 2013, diakses dari
http://www.bi.go.id/id/publikasi/wp/Documents/Sekuritisasi%20As
et-Revisi-revisi-%20final%20juni-5-2013.pdf pada tanggal 16
Desember 2017.

D. Sumber Lain
Agan Wayang, “Sekuritisasi Aset Sebagai Strategi Alternatif Pembiayaan
Infrastruktur
di
Indonesia”,
2017,
diakses
dari
https://medium.com/@musafir/sekuritisasi-aset-sebagai-strategialternatif-pembiayaan-infrastruktur-di-indonesia-50e1dfb967dc pada
tanggal 16 Desember 2017.
Ant, "Kontribusi Pasar Modal Bagi Pembangunan Infrastruktur Nasional
Perlu Didukung”, 2017, diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2017/11/27/278/1821068/kontri
busi-pasar-modal-bagi-pembangunan-infrastruktur-nasional-perludidorong pada tanggal 14 Desember 2017.

23

Eduardo Simorangkir, “Gencar Bangun Infrastruktur, Jokowi Genjot
Pertumbuhan
Ekonomi
RI”,
2017,
diakses
dari
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3565161/gencarbangun-infrastruktur-jokowi-genjot-pertumbuhan-ekonomi-ri pada
tanggal 16 Desember 2017.
Gainscope, “BEI Jelaskan Manfaat Sekuritisasi Aset BUMN”, 2017,
diakses dari http://www.gainscope.co.id/bei-jelaskan-manfaatsekuritisasi-aset-bumn/ pada tanggal 16 Desember 2017.
Sid Kusuma, “Jokowi: Sekuritisasi Jadi Solusi Pembiayaan Infrastruktur”,
2017, diakses dari http://sekuritisasi.co.id/jokowi-sekuritisasi-jadisolusi-pembiayaan-infrastruktur/ pada tanggal 15 Desember 2017.
www.indoproperty.com
smf-indonesia.co.id/layanan-produk/sekuritisasi/

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN WARISAN OLEH AHLI WARIS MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA

7 73 16

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

ANALISIS PEMBENTUKAN PORTO FOLIO OPTIMAL Studi Pada Saham Indeks LQ-45 Yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta

1 31 1

APLIKASI PENGGUNAAN CHITOSAN TERHADAP PEMBENTUKAN PROTOCORM LIKE BODY (PLB) PADA ANGGREK Phalaenopsis sp L.

0 10 14

KAJIAN YURIDIS TERHADAP SEORANG WALI YANG MELAKUKAN PENGAMBILAN HARTA WARIS ANAK DIBAWAH PERWALIANNYA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

1 28 17

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 17 50

CARA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN DI PANTI ASUHAN (Studi di Panti Asuhan AL-Muttaqin Kecamatan Muaradua Kabupaten OKU Selatan)

3 35 66

ANALISIS TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

0 7 53