Arti Ruang dalam Zen Budhisme
Arti Ruang dalam Zen Budhisme
Antariksa
Ruang atau space yang terdapat dalam Zen Budhisme adalah merupakan turunan
dari kata sunyata, salah satu bagian dari ajaran yang diberikan oleh Sidarta
Gautama. Pada waktu Bodhisattva Kannon sedang menjalankan pendalaman
mengenai Prajna Paramita, melihat seluruh pengumpulan (diartikan sebagai lima
kumpulan , adalah bentuk, perasaan, persepsi, kemauan dan kesadaran) yang
nyata menjadi hampa, dan berlalu di luar dari penderitaan (Bukkyo Dendo Kyokai
1985:9; Paine & Soper 1955:9). Dimulai dengan (Legget 1989:75):
Oh murid Shariputra, bentuk tidak berbeda dari kehampaan, kehampaan tidaklah
berbeda dari bentuk; bentuk adalah kehampaan dan kehampaan adalah bentuk;
dan juga dengan sensasi, pikiran, dorongan hati dan kesadaran. Semua bendabenda Shariputra, mempunyai karakter kehampaan, keduanya lahir atau mati,
keduanya kotor dan juga tidak murni, keduanya bertambah dan juga tidak
berkurang.
Pengalaman tersebut di atas dikatakan bahwa sunyata dapat diartikan sebagai
kehampaan, dan dengan semua arti yang telah diberikan di atas keseluruhan
timbul dari kehampaan, dan kemungkinan seluruhnya juga diserap di dalam
kehampaan. Kehampaan = tidak ada di sana dan di sini. Keadaan yang tak
terhingga sebelum mata kita, demikian dijelaskan pula oleh Sentsang di dalam
Hsin Hsin Ming (Frank 1973:105). Di dalam kehampaan, bentuk-bentuk akan lahir.
Ketika seorang menjadi hampa dari asumsi-asumsi, kesimpulan dan keputusan yang
telah diperoleh selama bertahun-tahun, ia datang terbuka pada alam nyatanya dan
berbuat dari pengertian ide-ide yang asli serta bereaksi dengan segar. Kehampaan
memberikan bentuk yang khusus untuk dapat masuk ke setiap tempat di dalam
kehidupan manusia pada objek yang tak terlihat. Sebenarnya beberapa lukisan Zen
Budhisme mempunyai dasar filosofi tentang tidak ada di dalam ruang. Dapat
diungkapkan dengan sebuah garis terlukis di dalam ruang hampa. Di atas garis
tersebut, hal yang mutlak adalah aktual dan dunia nyata hanya toritikal. Di bawah
garis tersebut, dunia nyata adalah aktual dan hal yang mutlak hanya toritikal.
(Gambar 1) Walaupun perasaan akan komposisi yang abstrak agaknya lebih kuat
dibanding dengan ilusi dari kedalaman ruang. Hal tersebut datang secara tertutup
dan merupakan pantulan kecenderungan yang terdapat di dalam Zen Budhisme,
dan ditekankan dalam kilatan yang cepat dari sebuah intuisi ke dalam fenomena
spiritual.
Gambar 1. Sebuah lukisan Zen. Artis tersebut telah merubah proporsi dari lajur dan bentuk untuk
mengekspresikan tentang adanya kesendirian di dalam Zen. (Legget 1989).
1
Semua yang telah dijelaskan di atas adalah berhubungan juga dengan persesuaian
ataupun faham dari li (Jpn. ri: prinsip yang mutlak) dan shih (Jpn. ji: rupa) dalam
filosofi Cina. Keduanya juga berhubungan dengan gelap dan terang, masing-masing
dilukiskan oleh bulatan hitam
dan bulatan ○ putih . Adalah sama seperti apa
yang telah ditulis oleh Takuan Soho (1573-1645), dikatakan bahwa di antara bumi
dan langit ada sesuatu yang dinamakan ri, dan ri ini tidak berbentuk dan hampa.
Karena kosong, tidak dapat dilihat dengan mata manusia (Dumoulin 1988b:280).
Demikian pula kalau dikaitkan dengan pendapat dari pendiri Ts ao-tung (Jpn.
Soto) Tung-shan Liang-chieh (807-869), menjelaskan tentang arti lurus dan
mengatakan: Ada sesuatu benda; di atas menyokong langit; di bawah menopang
bumi. Hitam seperti pernis, abadi dalam pergerakan dan aktivitas . Lurus di sini,
adalah diartikan juga sebagai dasar dari langit dan bumi dari semua wujud. Akan
tetapi, arti mutlak di sini, adalah sangat dinamik, dan konstan dalam gerak.
Pengamatan ingatan tidak dapat dipakai sebagai arah pegangan dari arti lurus
dan menangkapnya sebagai objek (Dumoulin 1988a:225). Untuk itu, ada sesuatu
ruang hampa tidak mempunyai arti terletak antara langit dan bumi. Dalam
terminologi Budhisme dapat dikatakan sebagai kehampaan yang nyata . (Gambar
2)
Gambar 2. Pilar aksial menyangga pemisahan langit dan bumi untuk membuka ruang tengah. Hal ini
menjelaskan adanya ruang hampa di antara langit dan bumi. (Snodgrass 1985)
Pada bagian lain Inoue (1985:136) mengatakan, hal yang sering kali tercatat sejak
awal abad pertengahan, adalah mengenai ide dari kehampaan dan ke-tidakadaan yang digunakan dalam doktrin Budhisme, dan berpengaruh sangat besar di
Jepang pada waktu itu. Sebagai contoh tentang hanya shingyo sutra yang berisi
beberapa pemikiran seperti; lima jenis adanya fenomena kehampaan (goun
kaiku), dan warna-warna yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang
menghasilkan dari sebab pertama; anlam nyata bukanlah material, tetapi
kehampaam (shiki soku zeku). Bahwa di Jepang pada waktu itu telah terlihat
adanya kenyataan untuk menerima kehampaan . Bahkan shogun Minamoto no
Sanetomo (1192-1219), di dalam puisinya mempertanyakan adanya dunia dalam
sebuah sajak, yang tertulis di dalam kinkaishu: Dunia adalah bayangan yang
memantul dalam sebuah kaca; kedua-duanya itu juga tidak . Sajak yang terdapat
di dalam shakushin hoshishu, kehampaan terlihat sebagai basis dasar dari dunia
nyata: Akankah kita pernah meraih langit, kita akan mendapatkan awan-awan dan
kabut yang telah menghilang . Berikutnya bagian terakhir yang diperlihatkan di
dalam tsuretsuregusa, adalah kehampaaan dapat menangkap benda-benda.
Benda-benda itu akan selalu masuk ke dalam pikiran kita, karena pikiran tidak
selalu ada. Kalau pun telah ada, tidak seperti benda-benda yang datang pada kita
2
(Inoue 1985:136). Kehampaan ada di dalam pikiran kita, tetapi ketika kehampaan
itu muncul, adalah tergantung pada manusia yang mengalaminya.
Dengan membicarakan mengenai kehampaan di atas, kita telah meninggalkan
wilayah fenomena dari arsitektur atau yang lainnya. Kehampaan di dalam faham
Budhisme tidaklah merupakan konsep yang datang dari pemikiran rasional, tetapi
suatu ekspresi dari pengalaman individu yang tidak dapat diberitahukan (Nitschke
1988:38). Kalau kita kembali pada kata hampa , hal itu dapat terdengar bergema
keseluruh ruang-ruang dalam kuil-kuil Budha yang diucapkan yang diucapkan oleh
para bhiksu selama meditasi. Seperti halnya, ide dari ruang hampa atau sunyata
dalam Budhisme telah dibawa masuk ke dalam arsitektur tradisional Jepang, dan
hal tersebut dapat dilihat dalam ruang tempat minum teh (cha shitsu) dan juga
pada penataan dari taman-taman (kare sanzui). (Gambar 3 dan Gambar 4)
Gambar 3. Ruang minum teh Myoki-an di Kyoto, akhir abad ke-16. Dapat kita lihat adanya spirit
yang sangat dalam dari upacara minum teh ke dalam filosofi Prajna mengenai kehampaan sebagai
bagian dari ajaran Zen. (Hirotaro 1977)
Gambar 4. Sebuah komposisi taman di vihara Ryoan-ji yang disusun dari batu. Akhir abad ke-15. Ini
merupakan contoh klasik dari taman kare sansui. (Miyama 1988)
Secara literal ruang di dalam arsitektur Jepang (kukan), adalah tempat yang
hampa. Karakter pertama dalam kata tersebut aslinya berdiri untuk sebuah
lingkaran di tanah atau langit . Pada waktu lampau, Jepang membagi ruang
secara vertikal ke dalam dua bagian. Pertama, adalah sora (langit), telah diartikan
sebagai muatan yang tidak ada atau kehampaan. Bagian yang lain adalah ame atau
ama (surga), yang mana berlawanan dari kuni (daerah, kerajaan, pemerintah).
Dengan demikian diartikan sebuah area yang aneh dari tempat tinggal, dan
mempunyai nilai (Nitsche 1988:34; Kurokawa1988:55). Di dalam konsep
kehampaan , kedua hal tersebut di atas dapat diktakan sebagai bagian dari ruang
secara keseluruhan. Di sini ruang memeluk alam semesta atau bumi dalam arti
yang menyeluruh, tetapi di dalam filosofi dapat dibedakan. Ruang yang mempunyai
arti fisik serta ruang sebagai bentuk dan berisi ruang itu sendiri. Pada prinsipnya
3
masalah ini tergantung bagaimana kita melihat ruang. Ruang sebagai bagian dari
filosofi atau ruang sebagai bentuk dari arsitektur. Pada dasarnya kedua kenyataan
atau fakta tersebut diturunkan dari konsep Budhisme mengenai ruang, karena
ruang merupakan jembatan penghubung antara bumi dan langit. Seperti terungkap
dalam sebuah sajak yang diambil dari Zen Flesh, Zen Bones dikatakan bahwa (Ross
1966:138):
Jalan yang besar tidak mempunyai pintu gerbang
Seribu jalan akan masuk kedalamnya
Ketika seseorang melewati seluruh pintu gerbang tersebut
Ia berjalan bebas di antara langit dan bumi
Ceritera dari empat puluh sembilan hari mengikuti penerangan sempurna, adalah
merupakan sebuah pertanggunganjawab dari pengembaraan kosmik Budha. Dimulai
dari pusat alam semesta, ia naik ke dunia sempurna kemudian ia mengelilingi
keempat arah dari ruang, dan terakhir ia turun ke dalam dunia bawah dengan
wujud sempurna terbungkus oleh belitan ular. (Gambar 5) Budha telah menjelajah
keenam arah alam semesta; zenith, empat arah dalam bidang horizontal dan
nadir; menyusun diri dengan pusat, dan sebagai pusat adalah dirinya sendiri.
(Gambar 6) Bahwa enam arah dari alam semesta merupakan pengembangan
sentrifugal terjadi dari arah pusat. Ini merupakan gambaran sewaktu Budha
mencapai penerangan sempurna (Snodgrass 1985). Konsep ini merupakan satu
peralihan ataupun perubahan dari posisi dalam filosofi di dalam penerangan
sempurna. Kebebasan di sini diartikan sebagai bebas dari duniawi. Posisi di pusat,
adalah pusat dari dunia, dan dunia atas adalah merupakan bagian dari kosmos itu
sendiri. Di dalam proses dari penerangan sempurna yang telah dijelaskan di atas,
adalah mencoba membebaskan diri dan masuk ke dunia atas. Akan tetapi, pada
waktu yang sama harus dikatakan bahwa sebuah intuisi dapat menunjukkan ke
dalam pengalaman bathin dan penerangan sempurna. Yang mana sebagai contoh,
adalah membuang iluminasi ke dalam pikiran. Dari sudut pandang Zen Budhisme
dikatakan bahwa kita tidak menunggu (satori) penerangan sempurna untuk datang
pada kita, tetapi dengan cara yang utama dari meditasi yang membawa kita ke
penerangan sempurna.
Gambar 5. Patung Buddha duduk dalam posisi lotus postur, menopang di atas belitan ular Cobra
(Ross 1966).
4
Gambar 6. Enam arah dari alam semesta. Pengembangan sentrifugal terjadi dari arah pusat. Ini
merupakan gambaran sewaktu Buddha mencapai penerangan sempurna (Snodgrass 1985).
Menurut Snograss (1985), menjelaskan tentang adanya empat tempat kedudukan
dari kebebasan, daerah tersebut terletak satu di atas yang lain dalam aksis bumi,
yang bersesuaian dengan empat tingkatan dalam pagoda ataupun stupa. Titik pusat
pada tingkat dasar (A), titik asal dari penataan luar dan orientasi dari bidang, dan
ini tidak terletak di bodhimanda dapat dilihat pada mata manusia dalam bidang
bumi; tempat aksis timbul dari kubah stupa (B), ditandai oleh harmika, ini adalah
bodhimanda di puncak gunung; paling atas adalah cakram dari puncak pagoda (C)
berlokasi Akanistha; dan permata atau jambangan pada puncak dari pagoda (D)
terletak bhutakoti (bhuta, adalah nyata, benar, tidak salah ; koti, adalah akhir
atau tujuan . Di dalam terjemahan bahasa Cina, adalah shih chi, sedang dalam
bahasa Jepang, adalah jissai, secara literal berarti batas dari kenyataan ), titik
pusat tempat Budha ke luar dari kosmos dan masuk dalam kehampaan (Snodgrass
1985:336-337). Seperti tertulis di atas, ada beberapa tempat kedudukan ruang
yang dapat masuk ke dalam bentuk arsitektur. Hal tersebut terlihat ketika Budha
dalam proses masuk ke dunia yang berikutnya. Dari masing-masing posisi tersebut
terletak titik transisi dari satu dunia ke dunia yang berikutnya. (Gambar 7)
Gambar 7. Kuil Anraku-ji di Nagano. Akhir abad ke-14. Istilah yang digunakan dalam anraku adalah
berarti "menyenangkan". Di sini Ehei Dogen menggunakan istilah dari Buddhis, yang merupakan
terjemahan dari bahasa sansekerta dari kata nirvana. Pilar di sini merupakan bagian dari langit dan
bumi. (Tetsuo 1983)
Di sini harmika merupakan titik transisi dari dunia yang diinginkan ke dunia yang
nyata. Bagian atas cakram dari pagoda merupakan titik transisi dari dunia
5
berbentuk ke dunia yang tak berwujud. Ujung dari puncak pagoda merupakan titik
tempat dunia tak berwujud dan keseluruhan kosmos yang ada di sebelah
belakangnya akhirnya masuk menuju ke dalam kehampaan yang nyata. Kemudian
harmika, adalah merupakan struktur bangunan yang dibangun pada puncak kubah
atau menara (Jpn. ukebana) menandai tempat pusat dari aksis timbul dari dalam
bangunan. (Gambar 8) Hal ini merupakan pusat dari dunia dan menggambarkan
suatu tempat Budha mencapai penerangan sempurna.
Gambar 8. Sebuah ruang yang suci terletak di atas puncak gunung. Ini merupakan pusat dari bumi
tempat Budha mencapai penerangan sempurna, terletak dibagian ujung atas dari sebuah pagoda
atau stupa. Dinamakan fukubachi untuk kubah dan ukebana untuk harmika (Snodgrass 1985).
Pustaka
Bukkyo Dendo Kyokai. 1985. The Teaching of Buddha. Tokyo: Kosardo Printing
Company Ltd.
Dumoulin, H. 1988a. Zen Buddhis: A History. India and China. Vol. 1. Translated by
James W. Heisig and Paul Knitter. New York: Macmillan Publishing Company.
Dumoulin, H. 1988b. Zen Buddhis: A History. Japan. Vol. 2. Translated by James
W. Heisig and Paul Knitter. New York: Macmillan Publishing Company.
Frank, F. 1973. The Zen of Seeing. Seeing/Drawing as Meditation. London: Vintage
Book Edition.
Hirotaro, O. 1977. Koza Bunkazai, Nihon no Kenchiku 3 Chusei II. Tokyo:
Daiichihoki Shuppan Kabushiki Gaisha.
Inoue, M. 1985. Space in Japanese Architecture. Translated by Hiroshi Watanabe.
Tokyo: Weatherhill.
Kurokawa, K. 1988. Rediscovering Japanese Space. Tokyo: Weatherhill.
Legget, T. 1989. Zen and the Ways. Tokyo: Charles E. Tuttle Company.
Miyama, S. 1988. Zusetsu Nihon no Bukkyo 4. Kamakura Bukkyo. Tokyo: Shinchosa.
Nitsche, G. 1988. Ma: Place, Space, Void. Kyoto Journal Fall. Pp. 33-39.
Paine. R.T & Soper, A. The Art and Architecture of Japan. London: Penguin Books
Ltd.
Ross, N.W. 1966. Hinduism, Buddhism, Zen. An Introductionto their Meaning and
their Arts. London: Faber and Faber.
Tetsuo, A. 1983. Meiho Nihon no Bijutsu 13. Gozan to Zenin. Tokyo: Shugagukan.
Snodgrass, A. 1985. The Symbolism of the Stupa. New York: Cornell Southeast Asia
Program.
Antariksa © 2008
6
Antariksa
Ruang atau space yang terdapat dalam Zen Budhisme adalah merupakan turunan
dari kata sunyata, salah satu bagian dari ajaran yang diberikan oleh Sidarta
Gautama. Pada waktu Bodhisattva Kannon sedang menjalankan pendalaman
mengenai Prajna Paramita, melihat seluruh pengumpulan (diartikan sebagai lima
kumpulan , adalah bentuk, perasaan, persepsi, kemauan dan kesadaran) yang
nyata menjadi hampa, dan berlalu di luar dari penderitaan (Bukkyo Dendo Kyokai
1985:9; Paine & Soper 1955:9). Dimulai dengan (Legget 1989:75):
Oh murid Shariputra, bentuk tidak berbeda dari kehampaan, kehampaan tidaklah
berbeda dari bentuk; bentuk adalah kehampaan dan kehampaan adalah bentuk;
dan juga dengan sensasi, pikiran, dorongan hati dan kesadaran. Semua bendabenda Shariputra, mempunyai karakter kehampaan, keduanya lahir atau mati,
keduanya kotor dan juga tidak murni, keduanya bertambah dan juga tidak
berkurang.
Pengalaman tersebut di atas dikatakan bahwa sunyata dapat diartikan sebagai
kehampaan, dan dengan semua arti yang telah diberikan di atas keseluruhan
timbul dari kehampaan, dan kemungkinan seluruhnya juga diserap di dalam
kehampaan. Kehampaan = tidak ada di sana dan di sini. Keadaan yang tak
terhingga sebelum mata kita, demikian dijelaskan pula oleh Sentsang di dalam
Hsin Hsin Ming (Frank 1973:105). Di dalam kehampaan, bentuk-bentuk akan lahir.
Ketika seorang menjadi hampa dari asumsi-asumsi, kesimpulan dan keputusan yang
telah diperoleh selama bertahun-tahun, ia datang terbuka pada alam nyatanya dan
berbuat dari pengertian ide-ide yang asli serta bereaksi dengan segar. Kehampaan
memberikan bentuk yang khusus untuk dapat masuk ke setiap tempat di dalam
kehidupan manusia pada objek yang tak terlihat. Sebenarnya beberapa lukisan Zen
Budhisme mempunyai dasar filosofi tentang tidak ada di dalam ruang. Dapat
diungkapkan dengan sebuah garis terlukis di dalam ruang hampa. Di atas garis
tersebut, hal yang mutlak adalah aktual dan dunia nyata hanya toritikal. Di bawah
garis tersebut, dunia nyata adalah aktual dan hal yang mutlak hanya toritikal.
(Gambar 1) Walaupun perasaan akan komposisi yang abstrak agaknya lebih kuat
dibanding dengan ilusi dari kedalaman ruang. Hal tersebut datang secara tertutup
dan merupakan pantulan kecenderungan yang terdapat di dalam Zen Budhisme,
dan ditekankan dalam kilatan yang cepat dari sebuah intuisi ke dalam fenomena
spiritual.
Gambar 1. Sebuah lukisan Zen. Artis tersebut telah merubah proporsi dari lajur dan bentuk untuk
mengekspresikan tentang adanya kesendirian di dalam Zen. (Legget 1989).
1
Semua yang telah dijelaskan di atas adalah berhubungan juga dengan persesuaian
ataupun faham dari li (Jpn. ri: prinsip yang mutlak) dan shih (Jpn. ji: rupa) dalam
filosofi Cina. Keduanya juga berhubungan dengan gelap dan terang, masing-masing
dilukiskan oleh bulatan hitam
dan bulatan ○ putih . Adalah sama seperti apa
yang telah ditulis oleh Takuan Soho (1573-1645), dikatakan bahwa di antara bumi
dan langit ada sesuatu yang dinamakan ri, dan ri ini tidak berbentuk dan hampa.
Karena kosong, tidak dapat dilihat dengan mata manusia (Dumoulin 1988b:280).
Demikian pula kalau dikaitkan dengan pendapat dari pendiri Ts ao-tung (Jpn.
Soto) Tung-shan Liang-chieh (807-869), menjelaskan tentang arti lurus dan
mengatakan: Ada sesuatu benda; di atas menyokong langit; di bawah menopang
bumi. Hitam seperti pernis, abadi dalam pergerakan dan aktivitas . Lurus di sini,
adalah diartikan juga sebagai dasar dari langit dan bumi dari semua wujud. Akan
tetapi, arti mutlak di sini, adalah sangat dinamik, dan konstan dalam gerak.
Pengamatan ingatan tidak dapat dipakai sebagai arah pegangan dari arti lurus
dan menangkapnya sebagai objek (Dumoulin 1988a:225). Untuk itu, ada sesuatu
ruang hampa tidak mempunyai arti terletak antara langit dan bumi. Dalam
terminologi Budhisme dapat dikatakan sebagai kehampaan yang nyata . (Gambar
2)
Gambar 2. Pilar aksial menyangga pemisahan langit dan bumi untuk membuka ruang tengah. Hal ini
menjelaskan adanya ruang hampa di antara langit dan bumi. (Snodgrass 1985)
Pada bagian lain Inoue (1985:136) mengatakan, hal yang sering kali tercatat sejak
awal abad pertengahan, adalah mengenai ide dari kehampaan dan ke-tidakadaan yang digunakan dalam doktrin Budhisme, dan berpengaruh sangat besar di
Jepang pada waktu itu. Sebagai contoh tentang hanya shingyo sutra yang berisi
beberapa pemikiran seperti; lima jenis adanya fenomena kehampaan (goun
kaiku), dan warna-warna yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang
menghasilkan dari sebab pertama; anlam nyata bukanlah material, tetapi
kehampaam (shiki soku zeku). Bahwa di Jepang pada waktu itu telah terlihat
adanya kenyataan untuk menerima kehampaan . Bahkan shogun Minamoto no
Sanetomo (1192-1219), di dalam puisinya mempertanyakan adanya dunia dalam
sebuah sajak, yang tertulis di dalam kinkaishu: Dunia adalah bayangan yang
memantul dalam sebuah kaca; kedua-duanya itu juga tidak . Sajak yang terdapat
di dalam shakushin hoshishu, kehampaan terlihat sebagai basis dasar dari dunia
nyata: Akankah kita pernah meraih langit, kita akan mendapatkan awan-awan dan
kabut yang telah menghilang . Berikutnya bagian terakhir yang diperlihatkan di
dalam tsuretsuregusa, adalah kehampaaan dapat menangkap benda-benda.
Benda-benda itu akan selalu masuk ke dalam pikiran kita, karena pikiran tidak
selalu ada. Kalau pun telah ada, tidak seperti benda-benda yang datang pada kita
2
(Inoue 1985:136). Kehampaan ada di dalam pikiran kita, tetapi ketika kehampaan
itu muncul, adalah tergantung pada manusia yang mengalaminya.
Dengan membicarakan mengenai kehampaan di atas, kita telah meninggalkan
wilayah fenomena dari arsitektur atau yang lainnya. Kehampaan di dalam faham
Budhisme tidaklah merupakan konsep yang datang dari pemikiran rasional, tetapi
suatu ekspresi dari pengalaman individu yang tidak dapat diberitahukan (Nitschke
1988:38). Kalau kita kembali pada kata hampa , hal itu dapat terdengar bergema
keseluruh ruang-ruang dalam kuil-kuil Budha yang diucapkan yang diucapkan oleh
para bhiksu selama meditasi. Seperti halnya, ide dari ruang hampa atau sunyata
dalam Budhisme telah dibawa masuk ke dalam arsitektur tradisional Jepang, dan
hal tersebut dapat dilihat dalam ruang tempat minum teh (cha shitsu) dan juga
pada penataan dari taman-taman (kare sanzui). (Gambar 3 dan Gambar 4)
Gambar 3. Ruang minum teh Myoki-an di Kyoto, akhir abad ke-16. Dapat kita lihat adanya spirit
yang sangat dalam dari upacara minum teh ke dalam filosofi Prajna mengenai kehampaan sebagai
bagian dari ajaran Zen. (Hirotaro 1977)
Gambar 4. Sebuah komposisi taman di vihara Ryoan-ji yang disusun dari batu. Akhir abad ke-15. Ini
merupakan contoh klasik dari taman kare sansui. (Miyama 1988)
Secara literal ruang di dalam arsitektur Jepang (kukan), adalah tempat yang
hampa. Karakter pertama dalam kata tersebut aslinya berdiri untuk sebuah
lingkaran di tanah atau langit . Pada waktu lampau, Jepang membagi ruang
secara vertikal ke dalam dua bagian. Pertama, adalah sora (langit), telah diartikan
sebagai muatan yang tidak ada atau kehampaan. Bagian yang lain adalah ame atau
ama (surga), yang mana berlawanan dari kuni (daerah, kerajaan, pemerintah).
Dengan demikian diartikan sebuah area yang aneh dari tempat tinggal, dan
mempunyai nilai (Nitsche 1988:34; Kurokawa1988:55). Di dalam konsep
kehampaan , kedua hal tersebut di atas dapat diktakan sebagai bagian dari ruang
secara keseluruhan. Di sini ruang memeluk alam semesta atau bumi dalam arti
yang menyeluruh, tetapi di dalam filosofi dapat dibedakan. Ruang yang mempunyai
arti fisik serta ruang sebagai bentuk dan berisi ruang itu sendiri. Pada prinsipnya
3
masalah ini tergantung bagaimana kita melihat ruang. Ruang sebagai bagian dari
filosofi atau ruang sebagai bentuk dari arsitektur. Pada dasarnya kedua kenyataan
atau fakta tersebut diturunkan dari konsep Budhisme mengenai ruang, karena
ruang merupakan jembatan penghubung antara bumi dan langit. Seperti terungkap
dalam sebuah sajak yang diambil dari Zen Flesh, Zen Bones dikatakan bahwa (Ross
1966:138):
Jalan yang besar tidak mempunyai pintu gerbang
Seribu jalan akan masuk kedalamnya
Ketika seseorang melewati seluruh pintu gerbang tersebut
Ia berjalan bebas di antara langit dan bumi
Ceritera dari empat puluh sembilan hari mengikuti penerangan sempurna, adalah
merupakan sebuah pertanggunganjawab dari pengembaraan kosmik Budha. Dimulai
dari pusat alam semesta, ia naik ke dunia sempurna kemudian ia mengelilingi
keempat arah dari ruang, dan terakhir ia turun ke dalam dunia bawah dengan
wujud sempurna terbungkus oleh belitan ular. (Gambar 5) Budha telah menjelajah
keenam arah alam semesta; zenith, empat arah dalam bidang horizontal dan
nadir; menyusun diri dengan pusat, dan sebagai pusat adalah dirinya sendiri.
(Gambar 6) Bahwa enam arah dari alam semesta merupakan pengembangan
sentrifugal terjadi dari arah pusat. Ini merupakan gambaran sewaktu Budha
mencapai penerangan sempurna (Snodgrass 1985). Konsep ini merupakan satu
peralihan ataupun perubahan dari posisi dalam filosofi di dalam penerangan
sempurna. Kebebasan di sini diartikan sebagai bebas dari duniawi. Posisi di pusat,
adalah pusat dari dunia, dan dunia atas adalah merupakan bagian dari kosmos itu
sendiri. Di dalam proses dari penerangan sempurna yang telah dijelaskan di atas,
adalah mencoba membebaskan diri dan masuk ke dunia atas. Akan tetapi, pada
waktu yang sama harus dikatakan bahwa sebuah intuisi dapat menunjukkan ke
dalam pengalaman bathin dan penerangan sempurna. Yang mana sebagai contoh,
adalah membuang iluminasi ke dalam pikiran. Dari sudut pandang Zen Budhisme
dikatakan bahwa kita tidak menunggu (satori) penerangan sempurna untuk datang
pada kita, tetapi dengan cara yang utama dari meditasi yang membawa kita ke
penerangan sempurna.
Gambar 5. Patung Buddha duduk dalam posisi lotus postur, menopang di atas belitan ular Cobra
(Ross 1966).
4
Gambar 6. Enam arah dari alam semesta. Pengembangan sentrifugal terjadi dari arah pusat. Ini
merupakan gambaran sewaktu Buddha mencapai penerangan sempurna (Snodgrass 1985).
Menurut Snograss (1985), menjelaskan tentang adanya empat tempat kedudukan
dari kebebasan, daerah tersebut terletak satu di atas yang lain dalam aksis bumi,
yang bersesuaian dengan empat tingkatan dalam pagoda ataupun stupa. Titik pusat
pada tingkat dasar (A), titik asal dari penataan luar dan orientasi dari bidang, dan
ini tidak terletak di bodhimanda dapat dilihat pada mata manusia dalam bidang
bumi; tempat aksis timbul dari kubah stupa (B), ditandai oleh harmika, ini adalah
bodhimanda di puncak gunung; paling atas adalah cakram dari puncak pagoda (C)
berlokasi Akanistha; dan permata atau jambangan pada puncak dari pagoda (D)
terletak bhutakoti (bhuta, adalah nyata, benar, tidak salah ; koti, adalah akhir
atau tujuan . Di dalam terjemahan bahasa Cina, adalah shih chi, sedang dalam
bahasa Jepang, adalah jissai, secara literal berarti batas dari kenyataan ), titik
pusat tempat Budha ke luar dari kosmos dan masuk dalam kehampaan (Snodgrass
1985:336-337). Seperti tertulis di atas, ada beberapa tempat kedudukan ruang
yang dapat masuk ke dalam bentuk arsitektur. Hal tersebut terlihat ketika Budha
dalam proses masuk ke dunia yang berikutnya. Dari masing-masing posisi tersebut
terletak titik transisi dari satu dunia ke dunia yang berikutnya. (Gambar 7)
Gambar 7. Kuil Anraku-ji di Nagano. Akhir abad ke-14. Istilah yang digunakan dalam anraku adalah
berarti "menyenangkan". Di sini Ehei Dogen menggunakan istilah dari Buddhis, yang merupakan
terjemahan dari bahasa sansekerta dari kata nirvana. Pilar di sini merupakan bagian dari langit dan
bumi. (Tetsuo 1983)
Di sini harmika merupakan titik transisi dari dunia yang diinginkan ke dunia yang
nyata. Bagian atas cakram dari pagoda merupakan titik transisi dari dunia
5
berbentuk ke dunia yang tak berwujud. Ujung dari puncak pagoda merupakan titik
tempat dunia tak berwujud dan keseluruhan kosmos yang ada di sebelah
belakangnya akhirnya masuk menuju ke dalam kehampaan yang nyata. Kemudian
harmika, adalah merupakan struktur bangunan yang dibangun pada puncak kubah
atau menara (Jpn. ukebana) menandai tempat pusat dari aksis timbul dari dalam
bangunan. (Gambar 8) Hal ini merupakan pusat dari dunia dan menggambarkan
suatu tempat Budha mencapai penerangan sempurna.
Gambar 8. Sebuah ruang yang suci terletak di atas puncak gunung. Ini merupakan pusat dari bumi
tempat Budha mencapai penerangan sempurna, terletak dibagian ujung atas dari sebuah pagoda
atau stupa. Dinamakan fukubachi untuk kubah dan ukebana untuk harmika (Snodgrass 1985).
Pustaka
Bukkyo Dendo Kyokai. 1985. The Teaching of Buddha. Tokyo: Kosardo Printing
Company Ltd.
Dumoulin, H. 1988a. Zen Buddhis: A History. India and China. Vol. 1. Translated by
James W. Heisig and Paul Knitter. New York: Macmillan Publishing Company.
Dumoulin, H. 1988b. Zen Buddhis: A History. Japan. Vol. 2. Translated by James
W. Heisig and Paul Knitter. New York: Macmillan Publishing Company.
Frank, F. 1973. The Zen of Seeing. Seeing/Drawing as Meditation. London: Vintage
Book Edition.
Hirotaro, O. 1977. Koza Bunkazai, Nihon no Kenchiku 3 Chusei II. Tokyo:
Daiichihoki Shuppan Kabushiki Gaisha.
Inoue, M. 1985. Space in Japanese Architecture. Translated by Hiroshi Watanabe.
Tokyo: Weatherhill.
Kurokawa, K. 1988. Rediscovering Japanese Space. Tokyo: Weatherhill.
Legget, T. 1989. Zen and the Ways. Tokyo: Charles E. Tuttle Company.
Miyama, S. 1988. Zusetsu Nihon no Bukkyo 4. Kamakura Bukkyo. Tokyo: Shinchosa.
Nitsche, G. 1988. Ma: Place, Space, Void. Kyoto Journal Fall. Pp. 33-39.
Paine. R.T & Soper, A. The Art and Architecture of Japan. London: Penguin Books
Ltd.
Ross, N.W. 1966. Hinduism, Buddhism, Zen. An Introductionto their Meaning and
their Arts. London: Faber and Faber.
Tetsuo, A. 1983. Meiho Nihon no Bijutsu 13. Gozan to Zenin. Tokyo: Shugagukan.
Snodgrass, A. 1985. The Symbolism of the Stupa. New York: Cornell Southeast Asia
Program.
Antariksa © 2008
6