Al Quran dalam Perspektif Hermeneutika

AL- QUR’AN PERSPEKTIF HERMENEUTIKA: Sebuah Tinjauan Kritis

Donald Qomaidiansyah Tungkagi

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta donald.tungkagi@gmail.com

Pendahuluan

1 Qur‘an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk tanpa 2 keraguan, petunjuk kepada jalan yang paling lurus, pembimbing kepada

Bagi umat Islam al-

3 kebenaran, 4 serta penjelas terhadap segalah sesuatu. Meski demikian keyakinan saja ternyata tidaklah cukup, sebab al- Qur‘an sebagai petunjuk tidaklah proaktif

memberi petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang bertanggung jawab membuat al- Qur‘an aktif berbicara sehingga ia berfungsi sebagai petunjuk. Agar al- Qur‘an proaktif memberi petunjuk kepada umat manusia ke jalan yang benar, para pemikir muslim pun melakukan pembacaan terhadapnya untuk menggali pesan petunjuk tersebut. Meski tujuannya sama, pembacaan tersebut tidak lantas dengan sendirinya melahirkan pemahaman yang sama terhadap al- Qur‘an. Ketidaksamaan pemahaman itu tidak hanya dilatari perbedaan latar belakang sosial mereka, tetapi

juga pendekatan yang dipakai dan ideologi yang mendasarinya. 5 Perkembangan pengkajian al- Qur‘an seiring dengan perkembangan kondisi

sosial-budaya dan peradaban manusia selalu bersifat dinamis. Munculnya karya- karya tafsir, dengan berbagai corak, metode, dan pendekatan yang digunakan, mulai dari yang klasik hingga kontemporer, menjadi bukti betapa dinamisnya

perkembangan pengkajian al- 6 Qur‘an. Tanpa argumentasi-argumentasi teologis, siapa pun harus mengakui bahwa al- Qur‘an telah membuktikan diri sebagai sesuatu

yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi. Dari al- Qur‘an, berbagai produk dan karya telah memenuhi jutaan rak di berbagai perpustakaan. Semua ini muncul karena adanya kebenaran dan keyakinan bahwa al-

Qur‘an adalah kalam Allah serta menjadi kitab suci umat Islam. Adanya kecenderungan untuk selalu mendialogkan al- Qur‘an sebagai sebuah teks dengan problem sosial kemanusiaan merupakan spirit tersendiri bagi

dinamika kajian tafsir al- Qur‘an. Hal ini karena meski Al-Qur‘an turun di masa lalu,

1 ―Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa ,‖ (QS Al-Baqarah: 2).

2 ―Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus (QS Al- Isra‘: 9).

3 ― ... (Alquran) membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus” (QS Al-Ahqaf: 30).

4 ―Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu,” (QS Ann-Nahl: 89).

5 Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al- Qur‟an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis- Hermeneutis , (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 1.

6 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2011), h. 1.

dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, ia mengandung nilai-nilai universal yang diyakini senantiasa relevan untuk perbedaan ruang dan waktu ( sh ā lihun li kulli zam ā n wa mak ā n ).

Sebagai sebuah teks, al- Qur‘an dinilai terbatas sedangkan problem sosial kemanusian selalu berubah-ubah tanpa batas. Karena itu, di era modern- kontemporer dewasa ini, al-

7 Qur‘an harus ditafsirkan untuk menjawab problem tuntutan zaman. Menafsirkan al- Qur‘an berarti upaya untuk menjelaskan dan

mengungkapkan maksud dan kandungan al- Qur‘an. Karena objek tafsir adalah al- Qur‘an yang merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi

manusia, maka bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, penafsiran terhadap al- 8 Qur‘an merupakan suatu keharusan. Secara konseptual

memang terdapat perbedaan yang sangat tegas antara teks al- Qur‘an dengan tafsir, bahkan al- Qur‘an juga secara tegas dibedakan dengan terjemahannya dalam bahasa apapun juga. Namun demikian al- Qur‘an sebagai kalām Allah, agar bisa dipahami manusia maka menjadi sebuah keniscayaan ketika al- Qur‘an hadir terangkaikan dalam bahasa manusia. Kenyataan dipilihnya salah satu bahasa (arab) sebagai pengantar –terlepas dari segala keistimewahannya— tidak lain karena manusia kenyataan bahwa manusia tidak bisa memahami keseluruhan bahasa. Ini tidak berarti tanpa konsekuensi, sebab bagaimanapun juga bahasa terkait dengan budaya, untuk itu setiap bahasa selalu terbatasi oleh kondisi dan pengalaman historis masyarakat penggunanya. Padahal realitas yang menjadi acuan firman Allah tidak hanya meliputi pengalaman historis manusia, tetapi juga realitas yang melampaui

pengalaman historis mereka. 9 Seiring dengan perkembangan jaman, yang ditandai dengan menyempitnya

dunia dimana interaksi antara semua komunitas seakan tanpa batas, turut serta mempengaruhi perkembangan pengetahuan, tak terkecuali perkembangan pengetahuan umat Islam, khususnya Ulumul Qur‟an dan Tafsir . Tentunya ini menuntut adanya epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi

sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia. 10 Mengembangkan metodologi dan epistemologi ini merupakan keniscayaan sejarah yang tidak dapat

dihindari. Apalagi dalam peta pemikiran ilmu-ilmu keislaman persoalan metodologi tafsir merupakan ilmu yang belum matang ( ghair an-nadhj ) sehingga selalu terbuka

untuk diperbarui dan dikembangkan. 11 Belakangan hermeneutika menjadi wacana menarik bagi kalangan ilmuan

Islam. Sebagian di antara mereka menerima kehadiran hermeneutika sebagai salah satu metode yang relevan untuk dipergunakan dalam memahami teks-teks al-

7 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 1. 8 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani: Antara Teks, Konteks, dan

Kontekstualisasi , (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, cet ke-4), h. 8. 9 Nur Rofiah, ―Hermeneutika al-Qur‟an: Melacak Akar Problem Krusial

Penafsiran,” MIMBAR Jurnal Agama dan Budaya, (Vol. 24, No. 1, 2007), h. 2-3. 10 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer ,h. 2.

11 Lihat Amin al-Khuli, Manahij at-Tajdid an-Nahwi wa al-Balaghah wa at-Tafsir wa al-Adab , (Beirut: Dar al- Ma‘rifah, 1961), h. 302.

Qur‘ân, meskipun mereka menyadari asal-usul dan latar belakang metode ini bersumber dari luar khazanah keilmuan Islam. Sebagian lainnya bersikap apriori ,

bahkan menolak dengan tegas hermeneutika sebagai salah satu metode tafsir ( 12 manhaj al-tafsîr ) dengan berbagai alasan. Ada yang menolak hermeneutika

karena ia dinilai sebagai metode yang ―berbahaya‖ yang dapat merusak teks suci 13 umat Islam dan lain sebagainya.

Bagi sebagian kalangan, kajian kritis teks keagamaan lewat pendekatan hermeneutika tidak begitu popular dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Pasalnya, hermeneutika bukan orsinil ciptaan umat Islam. Kajian kritis gaya hermeneutika merupakan tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh Kristen yang digunakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible . Meski demikian, diakui ataupun tidak, kenyataannya hermeneutika telah menjadi bagian penting dalam kajian Islam dan pengembangan hukum Islam kontemporer. Hermeneutika sangat populer di kalangan akademisi tertutama di pendidikan tinggi Islam. Visi yang dibawa oleh hermeneutika sebagian maupun keseluruhan diserap oleh akademisi muslim tersebut.

Tulisan ini sebenarnya tidak berniat untuk terjun dalam daftar panjang perdebatan pro-kontra tersebut, melainkan hanya mendiskusikan gagasan al- Qur‘an dalam perspektif hermeneutika. Selain itu secara sederhana tulisan ini meninjau secara kritis metode hermeneutika, kemudian mengkomparasikannya dengan ilmu tafsir yang dikenal dalam tradisi umat Islam. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran tentang penggunaan hermeneutika dalam pengkajian kitab suci al- Qur‘an.

Tinjauan Umum Hermeneutika

Istilah hermeneutika dapat ditemukan dalam literatur peninggalan Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di dalamnya terdapat istilah terkenal peri hermeneias. Istilah ini digunakan dengan bentuk nominal dalam Epos Oedipus at Colonus, yang beberapa kali muncul dalam tulisan tulisan Plato, dan pada karya karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes ( hermeias), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar samar ke

dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. 14 Menurut Sayyed Hossein Nasr, Hermes merupakan Nabi Idris 15 .

12 Nasar uddin Umar, ―Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir‖, Jurnal Studi Quran , (Vol. I, No. 1, Januari 2006), h. 33.

13 Achma d Khudori Soleh, ―Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir,‖ Jurnal TSAQAFAH (Vol. 7, No. 1, April 2011), h. 32.

14 Richard E. Palmer. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi, Schleiermacher, Dilthey, Heidager and Gadamer , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.

13. 15 Dalam literatur Islam klasik, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang sering

disebut penemu tulisan dan memiliki kemampuan teknologi, kedokteran, astrologi, sihir, dan lain lain. Sementara dalam mitos Mesir kuno, kaum Yahudi mengenalnya sebagai Dewa

Hermeneutika dalam bahasa aslinya disebut hermeneuine dan hermenia yang masing masing berarti ―menafsirkan‖ dan―penafsiran‖. 16 Hermes itu

merupakan kiasan untuk tiga tugas utama hermeneutika modern. Pertama ,mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalampikiran melalui kata kata (utterance, speaking) sebagai mediumpenyampaian. Kedua , menjelaskan secara ra-sional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samarsamar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga , menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asingke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai.Baik dalam bahasa Yunani, maupun dalam bahasa Inggris,tiga pengertian mengenai istilah hermeneutika di atas kemudiandirangkum dalam pengertian ―penafsiran‖ (interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang masihmembutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yangmasuk akal, dan penerjemahan bahasa, pada dasamyamengandung proses ―memberi pemahaman‖ atau, dengan katalain, ―menafsirkannya‖. 17

Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan, dan gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendifinisian hermeneutika dengan lengkap diungkapkan oleh Richard E. Palmer membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu

Toth, atau Nabi Musa. Menurut Quraish Shihab penamaannya dengan Idris boleh jadi karena beliau adalah orang pertama yang mengenal tulisan atau orang yang banyak belajar dan mengajar. Lafazh Idris seakar dengan darasa yang berarti ajar mengajar. Ini berarti bahwa Idris, atau katakanlah Hermes, adalah orang terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan Yang Mahakuasa kepada manusia. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahuan dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran , cet. Ke-III (Ciputat: Lentera Hati, 2015), 402. Sedangkan menurut Komaruddin Hidayat, berdasarkan legenda Nabi Idris adalah tukang tenun, yang ketika dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, terdapat korelasi positif. Kata kerja ―memintal‖ padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Lihat Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik , (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 125-126.

16 Hermeneutika juga berasal dari bahasa Yunani: hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Secara etimologis berasal dari nama dewa pembawa pesan bernama Hermes

yang bertugas menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olimpus agar dapat dimengerti oleh manusia. Maka hermeneutika, adalah cara mencapai pemahaman yang mempunyai fungsi seperti Hermes. Hermeneutikan mengusahakan penafsiran dan bahkan pehamaman antarmanusia, antargenerasi, dan antarbudaya. Artinya, dalam proses pemahaman, mereka menafsirkan tidak hanya berhadapan dengan fakta, tetapi juga makna dan realitas yang berdialog serta ikut memengaruhi dirinya. Hal yang ditafsirkan adalah ―teks‖ dalam arti luas. Termasuk di dalamnya; pemikiran, bahasa, tulisan, budaya dan pengalamannya di dalam dunia. Lihat Megandika (ed), Menafsirkan Dunia: Sebuah Usaha Menyajikan Kembali Pemikiran George F. McLEAN dalam Rangka Merespons Zaman Global , cet ke-4 (Yogyakarta: KANISIUS), h. 25-27.

17 Nasaruddin Umar, ―Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir‖, h. 43.

kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, 18 dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.

Sejak berdiri sebagai sebuah pengetahuan, kehadiran hermeneutika telah mengalami berbagai perdebatan. Seiring berjalannya waktu, hermeneutika mengalami perkembangan bahkan beberapa pakar yang belakangan disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh hermeneutika memiliki pandangan berbeda ketika mengkaji hermeneutika itu sendiri. Beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, yaitu: pertama Friedrich Ernest Daniel Schleiermacher (1768 -1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. Kedua , Wilhelm Dilthey (1833-1911), tokoh hermeneutika metodis, berpendapat bahwa proses pemahaman ber -mula dari pengalaman, kemudian men gekspresikan - nya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini. 19 Ketiga , Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis,

menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan

membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek. 20 Keempat , Martin Heidegger (1889-1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang

pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu me -rupakan pembacaan ulang atau

penafsiran ulang. 21 Kelima , Hans George Gadamer (1900-2002), tokoh hermeneutika dialogis dan subjektif, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang

mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengaju -kan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi

terjadinya dialog. 22 Keenam , Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menye butkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan

horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender. Ketujuh, Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. Kedelapan , Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan

18 Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 33.

19 Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 37. 20 Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 41. 21 Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 43.

22 Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 37.

makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

Di kalangan intelektual muslim kontemporer juga mengembangkan model hermeneutika pembebasan seperti Hasan Hanafi (1935), Farid Esack (1959) dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dimana hermeneutikan ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutikan mestinya tidak hanya berarti

ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. 23 Karena itu, dalam kaitannya dengan al- Qur‘an, Hasan Hanafi menyatakan bahwa

hermeneutikan adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.

Al-Qur ’an dalam Perspektif Hermeneutika

Ada beberapa problem mengenai hermeneutika, terutama mengenai teks- teks. Sebagaimana apabila seseorang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang dikenalnya atau sezaman, maka pembaca tidak akan ada kesulitan memahami kalimat-kalimat ataupun istilah-istilah khusus yang termuat dalam teks tersebut, sehingga ketidak jelasan makna teks yang terkandung dapat di atasi secara lisan oleh pengarangnya apabila ia masih hidup. Atau dengan pemahaman kata, kalimat, dan terminologi khusus yang sudah dikenal pada zaman ini. Akan tetapi persoalannya akan lebih jauh apabila teks tersebut dari zaman dahulu, sebab orang yang hidup pada zaman ini terputus oleh sebuah rentang waktu yang panjang, sehingga kata-kata, kalimat, dan terminologi khusus dalam sebuah teks sulit untuk dipahami dan tidak jarang banyak yang salah paham. Disinilah problem-problem hermeneutika mulai tercuat baik dalam penafsiran teks kitab, sejarah, hukum, dan lainnya. Oleh sebab itu dalam memahami hermeneutika teks amat sangat bermanfaat untuk menambah wawasan atau cara pandang terhadap produk budaya masa lalu atau tradisi ilmu yang berkenaan dengannya.

Dari penjelasan tentang hermeneutika tersebut, sesungguhnya letak persoalannya adalah bahwa pada metode hermeneutika, manusia sebagai para penafsir menduduki posisi yang signifikan. Oleh karena itu, dalam pandangan hermeneutika tidak ada sebuah konsep kebenaran tunggal penafsiran, karena yang ada adalah sebuah relativisme penafsiran yang bersumber pada maksud dan tujuan manusia.

Yang dimaksud relativisme penafsiran di sini bukan berarti tidak ada sebuah kebenaran pada tafsir terhadap teks, akan tetap sebuah karya tafsir masih bisa dirubah dan disesuaikan dengan konteks yang berkembang. Sebab, tujuan sang

23 Achmad Khudori Soleh, ―Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir‖, h. 36-37.

penafsir dalam menafsirkan teks pertama kali adalah untuk menjembatani masa lalu dan masa sekarang. 24

Hermeneutika sendiri hadir seiring dengan kehadiran teks-teks keagamaan dan agama itu sendiri. Dari sudut semiologi, apapun yang dijumpai di sekeliling manusia adalah teks yang bisa dibaca dan ditafsirkan. Teks dalam pengertian ini identik dengan ayat yang dalam bahasa Arab (Al- Qur‘ân) berarti tanda. Kemunculan tanda (signifiant/al-dâl/signifier) meniscayakan adanya obyek ( signifiée/al-madlûl/signified ) yang ditandai. Di sinilah teks memicu munculnya teks-teks yang lain. Dengan kemampuan berbahasa dan aktivitas penafsirannya, manusia menjadikan teks awal sebagai titik tolak untuk melakukan penafsiran dan penelusuran atas teks-teks lain yang saling berkaitan. Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh hermeneutika adalah terjadinya jarak antara penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan dengan teks. Di sinilah persoalan interpretasi muncul. Namun hal ini bukan berarti menafikan interpretasi dalam dialog langsung. Hanya saja hermeneutika lebih menekankan penafsiran teks, sebab pesan yang sudah mewujud dalam teks telah mengalami banyak reduksi. Teks tidak cukup menampung logat, intonasi, mimik bahkan suasana batin si penyampai pesan sekaligus sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Hermeneutika hadir untuk membantu pembaca teks untuk sampai atau setidaknya mendekati keutuhan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyampai teks. 25

Fakta bahwa Al-Qur ‘an dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat nabi dan disahkan pada zaman Utsman bin Affan merupakan sesuatu yang mendapat perhatian dari umat Islam. Artinya, Al-Qur ‘an telah menjadi wahyu yang ditulis, dikodifikasi dalam bahasa Arab. Karena Al-Qur ‘an merupakan diskursus yang ditulis, maka Al-Qur 26 ‘an adalah teks. Pandangan ini sejalan dengan kalangan

penganut hermeneutikan atau studi tentang penafsiran bahwa setiap diskursus yang disusun atau disempurnakan dalam bentuk tulisan disebut teks. 27 Dari segi proses

turunnya dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dapat dipahami, bahwa Al-Qur ‘an merupaka Kitab Suci yang sejak awal berkomunikasi dengan realitas dan kebudayaan setempat. Bila dimensi bahasa Arab mendorong untuk dipahami secara terbuka, maka secara sosiologis bahasa Arab yang digunakan Al-Qur ‘an dapat menjadi bagian terpenting dalam kebudayaan Arab. Dalam sebuah ungkap terkenal,

24 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis Menggagas Keberagamaan Liberatif, (Jakarta: Buku Kompas, 2004), hlm. 89

25 Nasaruddin Umar, ―Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir‖, h. 50. 26 Mengenai Al- Qur‘an sebagai teks ini sejalan dengan ungkapan Imam Ali ra.: ―Wa hadza al- Qur‟an innama huwa khatthun masthur bayna daffatayn la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi al-Rijal .‖ Artinya: ―Dan Al Qur‘an tidak lain hanyalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al- Qur‘an tidak bisa bicara sendiri. Manusialah yang berbicara melaluinya.‖ Ini mengandung pengertian bahwa sebagai teks, Al-Qur‘an hanya bisa berbunyi melalui laku pembacaan, entah itu berupa penterjemahan, penafsiran, pantakwilan atau yang lain. Dan perlu diingat, pembacaan terhadap Al- Qur‘an tidak setara statusnya

dengan Al- Qur‘an itu sendiri, karena manusia sebagai pembaca tidak bersifat qadim.

27 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme , (Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007), h. 66-67.

― bahasa menunjukkan peradaban sebuah bangsa‖. Nilai estetika yang sangat tinggi, yang terkandung dalam bahasa Arab telah menjadi kehendak Tuhan untuk

menurunkan Al-Qur 28 ‘an dalam bahasa Arab. Selain Al-Qur ‘an dipahami sebagai Kalam Tuhan yang tertulis, maka

keterlibatan Al-Qur ‘an dengan budaya Arab merupakan sebuah implikasi yang tidak bisa dihindarkan. Keterlibatan budaya dalam turunnya Al-Quran, terutama pada fase penurunan dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak merendahkan Al-Quran, tetapi justru menguatkan posisinya. Artinya, sebagaimana disampaikan oleh Tuhan dalam Al- Quran; ―Sesungguhnya Kami turunkan Al- Qur‘an dalam bahasa Arab agar kalian berakal (QS Yusuf [12]: 2). Ayat ini dijelaskan bahwa pilihan Tuhan atas bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur ‘an menunjukkan adanya dialektika antara wahyu dan budaya. Bukan hanya itu agar wahyu dapat diterjemahkan dalam konteks budaya tertentu. karena itu, konsep yang menyatakan bahwa Al-Qur ‘an mengandung dan dikandung oleh unsur budaya merupakan pernyataan yang harus diterima dan dipahami dengan baik. Sebab dengan demikian teks Al-Qur ‘an memberikan makna bagi kehidupan. Dalam tataran yang lebih luas, penyikapan yang unik itu mempunyai implikasi positif bagi konteks umat Islam kontemporer, yaitu Al-Qur ‘an akan senantiasa menyemangati perubahan-perubahan sosial.

Sangat sulit terelakkan bahwa kenyataannya antara teks dan budaya saling mempengaruhi. Ada kalanya budaya mempengaruhi teks, yang kemudian

melahirkan paradigma ―budaya sebagai faktor determinan atas teks‖ atau muntajun tsaqafiyyun , atau sebaliknya Al-Qur ‘an dalam perjalanannya juga mengubah budaya Arab, yang kemudian dikenal ―teks sebagai produsen budaya‖ atau muntijun tsaqafiyyun 29 . Mesti dipahami bahwa teks Al- Qur‘an lahir dan diturunkan Tuhan

bukan dalam ruang hampa, tetapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Itu sebabnya, Fazlur Rahman menyebut Al- Qur‘an sebagai ―respon Ilahi melalui pikiran Muhammad saw. Terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis

masyarakat Arab abad ke-7 M. 30 Dengan demikian, budaya dan sejarah masyarakat Arab sebagai audiens Al-

Qur‘an menjadi suatu wilayah yang harus dikaji untuk menemukan gagasan- gagasan pokok Al- Qur‘an. Analisis yang dilakukan itu, tentu tidak hanya bergantung pada asbab al-nuzul. Sebab, asbab al-nuzul sendiri tidak sepenuhnya

28 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h.80. 29 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al- Nash: Dirasah fi „Ulum Al-Qur‟an, (Beirut: al-Markaz al- ‗Arabi al-Tsaqafi, 1996), 24. Pandangan Nashr Hamid seringkali disalahpahami hanya berhenti pada paradigma budaya sebagai faktor dominan bagi pembentukan teks. Padahal yang tidak bisa diabaikan adalah teks juga dapat membentuk budaya. Jadi, yang terjadi sesungguhnya adalah dialektika antara teks dan budaya. Pergulatan keduanya berputar dalam lingkaran hermeneutis sepanjang masa. Pada zaman sekarang yang menonjol adalah tafsir terhadap teks. Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi , h. 83.

30 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 10.

mampu menggambarkan secara sempurna bangunan sosio-historis masyarakat (Arab) sebagai audiens. Di samping memang tidak semua ayat mempunyai asbab al-nuzul. Langkah yang demikian penting karena dengan berbagai unsur tersebut teks al- Qur‘an terbentuk dan dalam konteks itu pula mestinya konsepsi-konsepsi

yang dibangunnya harus dipahami. 31 Menurut Farid Esack, Al-Qur ‘an tidaklah ―unik‘, dalam hal hubungannya

dengan proses pewahyuhan, bahasa dan isi di satu sisi; serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi lain. Wahyu selalu saja merupakan komentar terhadap satu kondisi masyarakat tertentu. Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuhan Al-Qur ‘an itu tampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai Al-Qur ‘an. Hal ini tampak pula misalnya dalam perbendaam antara ayat- ayat makkiyah 32 dan ayat-ayat madaniyah .

Patut diperhatikan bahwasannya Al-Qur ‘an dalam perspektif hermeneutika ini lebih dipahami dalam dimensi ―relasional‖-nya daripada sebagai satu fenomena

atau kategori keagamaan yang absolut. Sebagaimana dalam pandangan Esack, bahwasanya pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwasannya kitab suci itu tidak hanya sekedar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni yang berhubungan dengan pribadi atau masyarakat- masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif. 33

Dalam sejarah hermeneutika tafsir Al- Qur‘an, setidaknya terbagi menjadi dua: (1) hermeneutik al-Quran tradisional, dan (2) hermeneutik Al- Qur‘an kontemporer. Dalam hermeneutik Al- Qur‘an tradisional, perangkat metodologi yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun unsur triadi ini telah hidup di dalamnya waktu itu. Sedangkan hermeneutik Al-Qur ‘an kontemporer telah melakukan perumusan sitematis unsur triadik tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tetapi penafsir di satu sisi dan audiens di sisi yang lain, secara metodologis merupakan bagian yang

mandiri. 34 Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa Al- Qur‟an: Qira‟ah Mu‟asirah berkata: ―perlakukanlah Al-Qur‘an seolah-olah Nabi baru meninggal

kemarin. Menurut Muhammad ‗Abid al-jabiri, sebagian besar umat Islam disinyalir

terjebak dalam tafsir yang lebih berdimensi taklid daripada berdimensi hermeneut is.Kondisi tersebut telah menyebabkan umat Islam mengalami ―krisis iman‖ di satu sisi dan ―krisis nalar‖ di sisi lain. Krisis iman, karena slogan kembali kepada Al- Qur‘an terjebak pada ideologi kekerasan. Sedangkan krisis nalar, karena

31 Islah Gusman, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), 220.

32 Farid Esack, Qur‟an Pluralism and Liberation, (Oxford: One World, 1997), 50. 33 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani, h. 45-46.

34 Islah Gusman, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, 210.

iman tidak dilandasi pada analisa dan metodologi yang kuat. 35 Selanjutnya al-Jabiri menawarkan cara padang baru terhadap Al- Qur‘an. Dimana model pembacaan

terhadap Al-Quran, di satu sisi mempunyai relevansi pada konteks diturunkannya, tetapi di sisi lain juga mempunyai konteks pada zaman kontemporer ( ja‟al al -maqru mu‟ashiran linafsihi wa mu‟ashiran lana). Sehingga dalam pandangan ini memerlukan dua metodologi sekaligus, yaktu klasik dan kontemporer. Sebab untuk memahami Al- Qur‘an sebagaiman konteks diturunkannya membutuhkan penguasaan yang kuat terhadap ilmu-ilmu Al- Qur‘an di masa lalu, seperti asbab al- nuzul, nasikh-mansukh , dll. Penelusuran terhadap tradisi Islam klasik menjadi sangat penting, sehingga tafsir yang dihadirkan bukan tafsir yang terpisah dari apa yang sudah menjadi garis akademis ulama terdahulu. Di samping itu pembacaan dengan mengunakan metodologi klasik akan memberikan kesempatan untuk mengetahui sejauhmana konsistensi pemahaman ulama terhadap Al-Quran dalam kaitannya dengan metodologi yang tersedian dalam ilmu-ilmu Al-Quran. 36

Al- Qur‘an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. 37 Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu

terkumpulnya teks Al- Qur‘an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al- Qur‘an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al- Qur‘an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al- Qur‘an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al- Qur‘an akan bisa hilang begitu saja. Sedangkan Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Al- Qur‘an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi

35 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h. 18. 36 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h.19 37 Lihat misalnya pernyataanya tentang hal ini: “I‟m critical of old and modern

Islamic thought. I treat the Qur‟an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur‟an. This is not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku memperlakukan Al- Qur‘an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al- Qur‘an. Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani). Lihat: Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Dan dalam kesempatan lain ia menulis: ―Al-Qur‘an adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan ―saluran‖, yaitu Bahasa Arab, untuk memahami teks saya memerlukan perangkat yang lebih dari sekedar filologi. Analisis ini menempatkan Al- Qur‘an sebagai teks peotik yang terstruktur. Oleh karena itu, Al- Qur‘an bukan teks puisi, ia tetap menjadi teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi‖. Liha di: Dr. Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembaca an terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al- Qira‟ah wa Alliyat al- Ta‟wil, (Yogyakarta: LKiS, 2004), xiv.

pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al- Qur‘an yang sangat

universal itu. 38 Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud

dalam Al- Qur‘an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif. Hasan Hanafi juga mengajukan premis-premis metodis yang menjadi landasan filosofis bagi proses pembacaan atas teks suci. Ia menyatakan bahwa sebagaimana teks- teks lain, Qur‘an juga harus menerima perlakuan yang sama karena ia menjadi obyek interpretasi yang sama dengan yang diperkenankan pada secular text. 39

Hermeneutika: Pergulatan Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi

Sejauh pembacaan penulis, para intelektual pengguna hermeneutika umumnya menganggap bahwa metodologi klasik belum bisa dibilang memadai. Sehingga diperlukan sebuah perangkat metodologis tambahan untuk menjadikan Al-Qur ‘an sebagai Kitab Suci yang mempunyai relevansi dan signifikansi dengan realitas kekinian. Dalam hal ini, teori-teori tafsir kontemporer dapat menjadi metodologi pelengkap, terutama dalam rangka melihat secara kritis relasi antara tafsir keagamaan dengan kepentingan politik. Sikap ini sebenarnya tidak mempunyai tujuan apa-apa, kecuali menyelematkan Al-Qur ‘an dari praktik politisasi Al-Qur ‘an, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kalangan Khawarij di masa lalu.

Paul Riceour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung- selubung yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya

sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. 40 Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks. Oleh karena itu,

pengertian tetntang teks menjadi sangat sentral dalam pemikiran hermeneutika. Kemudian dengan mengunakan istilah discoursous , Ricoeur membagi bahasa dalam dua sifat, yakni bahasa sebagai meaning dan bahasa sebagai event. Dimana bahasa sebagai meaning adalah dimensi non-historis, dimensi statis, sedangkan bahasa sebagai event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Untuk konteks inilah

Hermeneutika untuk al- Qur‘an‖, http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=124 , (diakses pada 1 Nopember 2015), 2.

38 Ahmad Fuad

Fanani,

―Metode

39 A. Zainul Hamdi, ―Hermeneutika Islam,‖ Jurnal Gerbang, No. 14 Vol. V (2003), h. 48.

40 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani, h. 45-46.

artikulasi 41 discourse dapat bermakna sebagai bahasa lisan dan bahasa tulisan. Pada bahasa lisan terbentuk komunikasi langsung yang dimana tidak terlalu

membutuhkan metode hermeneutik, sebab apa yang disampaikan masih sangat melekat kepada penyampainya. Makna dari apa yang disampaikanpun masih bisa dirujuk langsung pada intonasi maupun gerak isyarat ( gestures ) dari si pembicara. Sedangkan teks merupakan korpus yang otonom, yang dalam hal ni Ricoeur menganggap bahwa teks memiliki kemandirian, totalitas, yang dicirikan oleh empat

hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat pada ―apa yang dikatakan ( what is said )‖ terlepas dari proses pengungkapannya ( the act of saying ), sedangkan

dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan. 42 Istilah hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir

Al-Qur ‘an klasik memang tidak ditemukan. Meski demikian menurut Farid Esack, praktik hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menafsirkan Al-Qur ‘an. Buktinya antaralain: 1) adanya kajian- kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh-mansukh . 2) perbedaan interpretasi terhadap Al-Qur ‘an dengan aturan, teori dan metode yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. 3) tafsir tradisional yang terdiri dari beberapa kategori, seperti tafsir

fiqih, tafsir sufi, tafsir syi‘ah, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kelompok, ideologi dan horison sosial tertentu terhadap tafsir. 43

Sebagai metode penafsiran hermeneutika tidak saja berurusan dengan teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan penafsiran teks tersebut membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sejalan dengan pemahaman tersebut, Fakhruddin Faiz menyebutnya sebagai "mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut", yakni horison teks, horison pengarang, dan horison

pembaca. 44 Dengan mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan

reproduksi makna teks, yang di samping melacak bagaimana suatu teks itu dimuncuIkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya;juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode pena [siran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam

upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. 45

Kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat al- Quran ini dalam ilmu tafsir al- Qur‘an sangat dikenal dalam disimplin kajian Asbab al-Nuzul, dimana isi dari kajian ini adalah menelaah latar belakang diturunkannya

41 Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membela Makna dalam Anatomi Bahasa , terj. Masnur Hery, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2002), 217-218.

42 Paul Ricoeur, Filsafat Wacana, h. 219. 43 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani, h. 46. 44 Fakhruddin Faiz, 45 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟an, h. 11.

Hermeneutika Qur‟ani, h. 12.

ayat-ayat al-Quran kepada Nabi. Di samping bertujuan untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat al-Quran. Disiplin kajian ini pada akhirnya juga sangat membantu dalam melacak makna dan spirit (semangat) dari suatu ayat, dimana hal ini tentunya sangat berguna dalam upaya kontekstualisasi ayat untuk waktu dan tempat yang berbeda.

Menurut Abu Zayd, ilmu asbab al-nuzul merupakan disiplin ilmu yang paling penting dalam menunjukkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Ilmu tentang asbab al-nuzul memberikan bekal kepada seorang mufasir mengenai materi teks yang merespons realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan yang dialogis dan dialektis antara teks dan realitas. 46 Bahwa asbab al-Nuzul merupakan salah satu bentuk dari perhatian

terhadap konteks ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah. Namun yang perlu diketahui yang dimaksud oleh hermeneutika dengan konteks disini bukan sekedar peristiwa yang melatarbelakangi munculnya sebuah teks, tetapi lebih tepatnya adalah setting sosial-historis dimana teks tersebut muncul. Setting sosial-historis yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi yang ada di seputar teks tersebut ketika ia muncul. Kondisi ini oleh hermeneutika diasumsikan sebagai sangat mempengaruhi makna teks dan bagaimana orang memahami teks tersebut, sehingga apabila kondisi-kondisi ini diabaikan, seorang yang menafsirkan satu teks sangat dimungkinkan untuk salah arah dan salah paham mengenai maksud yang sebenarnya dari teks.

Meski begitu disiplin kajian asbab al-Nuzul ternyata tidak cukup untuk mewakili gambaran konteks setting sosial-historis ini, meskipun harus diakui dalam hal ini disiplin asbab al-nuzul sangat membantu. Asbab al-nuzul harus dikatakan ‗hanya‘ mengungkap peristiwa atau kejadian apa yang melatar belakangi turunnya ayat. Perhatian terhadap konteks yang sekedar berhenti pada asbab al-nuzul seringkali membawa kelemahan. Kelemahan yang dimaksud misalnya sering hilangnya interaksi antara asbab al-nuzul dengan penafsiran, juga mengimplikasikan sikap tidak kritis. Dalam banyak kitab tafsir, kutipan-kutipan asbab al-nuzul ini sering menimbulkan pengabaian terhadap konteks kesejarahan yang melingkupinya.

Dengan kerangka pikir yang berlandaskan konteks ini akhirnya akan terasa wajar jika dalam al-Quran banyak ditemukan contoh-contoh yang secara spesifik dikenal di wilayah arab, seperti sebuah peringatan dengan penciptaan untuk dalam

QS. Al-Ghasiyah 47 atau dengan keindahan surga yang digambarkan dengan mengalirnya sungai di bawahnya. Semua itu tentunya gambaran kondisi masyarakat

Arab yang kesehariannya akrab dengan unta dan hanya bisa membayangkan indahnya sungai dan air yang mengalir. Selain itu berkenaan dengan istilah khamr

46 Nasr Abu Zayd, Mahfum al- Nas: Dirasat fi „Ulum Al-Qur‟an (Kairo: al-Hay‘ah al-Misriyyah al- ‗Ammah li al-Kitab, 1993), 119. Lihat Fakhruddin Faiz, Hermeneutika

Qur‟ani, h. 102-103. 47

. ةىر ج ٌنْىع هْىـف Di dalamnya ada mata air yang mengalir. (QS. Al-Ghasiyah: 12) . ةىر ج ٌنْىع هْىـف Di dalamnya ada mata air yang mengalir. (QS. Al-Ghasiyah: 12)

ayat ini turun di Madinah, maka yang biasa dikonsumsi oleh penduduk madinah itu bukan hanya perasan anggur, tetapi juga perasan kurma, karena tradisi itulah yang ada di Madinah.

Pemahaman akan al-Quran dalam konteksnya masih belum cukup, karena pemahaman terbatas pada konteks hanya akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan kontemporer. Disinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tertentu di masa yang telah lalu dengan konteks yang berbeda di masa kini. Dalam bahasa Fazlur Rahman, seorang penafsir harus melakukan double movements atau gerakan ganda, yaktu merumuskan visi Al-Quran yang utuh kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang.

Setidaknya ada dua asumsi dasar yang menjadi latar belakang perlunya kontekstualisasi ini‘ yaitu: 1) Al-Qur‘an adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia ( hudan li al-nas ). Sebagai dokumen untuk manusia, Al- Qur‘an harus selalu memberikan bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Dengan kata lain al- Qur‘an merupakan sumber dan tata nilai. 2) Sebagai petunjuk Allah kepada manusia, pesan- pesan Al- Qur‘an bersifat universal; dan ini disepakati oleh seluruh umat Islam. Persoalannya adalah bagaimana agar pesan-pesan al- Qur‘an yang universal itu bisa ditangkap dan dimanfaatkan oleh setiap orang pada setiap masa.

Upaya kontekstualisasi juga terdapat dalam ilmu tafsir yang dikenal dengan tafsir al-adab al- ijtima‟i dimana yang menjadi ciri khasnya adalah berupaya merumuskan petunjuk Al- Qur‘an agar bisa dipakai sebagai pedoman praktis dalam kehidupan umat Islam. Dalam perspektif hermeneutik, hal ini lebih dekat dengan teori Dilthey yang menyatakan bahwa hermeneutika berarti menafsirkan secara reproduktif, dalam arti tidak sekedar mencari pemahaman apa yang dimaksud oleh teks semata, tetapi juga mencari apakah teks bermakna untuk masa kini. Ini senada dengan Carl Braaten yang berpandangan bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.

Antara teks, konteks dan kontekstualisasi dalam tafsir klasik jarang digunakan secara bersamaan. Seringkali penafsiran satu ayat hanya mengeksplorasi setting historis (asbab al-nuzul) kemudian merumuskan pemahaman tanpa membawah ke arah kontekstualisasi, demikian juga sebaliknya, kadangkala muncul

48 ―Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa

keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah: 219) keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah: 219)

Tradisi hermeneutika memusatkan perhatian terhadap ketiga aspek tersebut dalam circle yang tidak terputus, dalam arti ketika seorang melakukan penggalian dan sekaligus ‗reproduksi‘ makan, ketiga aspe tersebut harus dilibatkan tanpa

terputus. Ketika seorang menggali makna teks, maka ketika itu pula ia harus memperhatikan konteks dimana teks tersebut muncul dan bagaimana teks tersebut dipahami dalam konteks asalnya, sehingga dengan pemahaman tersebut bisa dilakukan pemaknaan kembali teks yang dimaksud dalam konteks yang berbeda.

Dalam bahasanya Mohammed Arkoun, bahwa selalu ada keterkaitan antara bahasa, pemikiran dan sejarah. Umat Islam, dan umat beragama pada umumnya, perlu menyadari sepenuhnya adanya hubungan dialektik antara bahasa, pemikiran dan sejarah. Tidak ada pemikiran keagamaan apapun yang terlepas sama sekali dari bahasa dan sejarah. Dalam kaitannya dengan Al- Qur‘an, Arkoun menegaskan bahwa kitab suci kaum muslimin ini merupakan merupakan perkataan, fenomena bahasa, kebudayaan dan keagamaan yang lahir dalam suasanannya sendiri sehingga ia tidak akan melahirkan berbagai makna kecuali kalau dimasukkan dalam konteksnya; dan pada gilirannya melahirkan satu penstrukturan kesadaran,, terlebih pada kenyataannya Al-Quran merupakan teks keagamaan yang dimaksudkan untuk

dibaca dan dihayati. 49

Tinjauan Kritis Hermeneutika al- Qur’an

Seiring dengan dinamika intelektual manusia beserta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka perkembangan metodologi analisis Al-

Qur‘an merupakan suatu keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan usang oleh si pemakainya, sehingga akan diusahakan mendapatkan yang baru. Proses pencarian ini akan akan bermuara pada perumusan metodologi baru dan akhirnya pembaruan pun tidak mungkin dihindari. Dalam hal ini hermeneutika merupakan metodologi baru yang sedang aktual dibicarakan oleh para ahli. Dalam realitasnya kehadiran hermeneutika telah memunculkan pro dan konra yang begitu sengit di tengah umat Islam. Ada yang berpandangan bahwa ketika hermeneutika diterapkan ke dalam studi al- Qur‘an, maka ―paradigma baru‖ akan muncul bukan saja terhadap tafsir al- Qur‘an, tetapi juga kepada status al-Qur‘an itu sendiri. Pendapat Schleiermacher yang mengasumsikan semua teks tidak memiliki keunikan akan bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin yang menganggap al-

50 Qur‘an sebagai wahyu (tanzil/diturunkan/meta-historis) yang otentik dan final.

Kehadiran hermeneutika dalam kejian tafsir Al- Qur‘an pada hakikatnya adalah sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi kontemporer

49 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al- Qur‟an, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997), 185-186. 50

Adnin Armas, ―Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi Al- Quran,‖ dalam Islamic Worldview, ed: Adian Husaini, (Bogor: Universitas Ibn Khaldun, 2010), h. 18.