Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

(1)

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PUTUSAN BEBAS

(VRIJSPRAAK)

TERHADAP TERDAKWA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA

PENGADILAN NEGERI MEDAN

No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARTINA INDAH AMALIA 100200062

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) Terhadap Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn) ini.

Shalawat beriring Salam Penulis Hadiahkan kepada Junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang menderang ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang mana dalam penulisan skripsi ini Penulis menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati Penulis akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian demi kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini Penulis persembahkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, H. Arifni Marzal dan Hj. Farida Hanum yang telah memberikan doa, motivasi, saran, dan dukungan secara moril maupun materil serta kasih sayang yang tak terhingga kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan sampai dengan jenjang ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum, DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K Saidin, S.H, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan, S.H, M.H sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan Penulis dalam pembuatan skripsi ini. 8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum sebagai Dosen

Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya, memberi saran, serta membagi ilmunya dan mengarahkan Penulis dalam pembuatan skripsi ini baik secara materi maupun moril.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan.


(3)

10.Saudara kandung Penulis, dr. Dessy Dian Antarini, M. Chairul Ikhlas, SH dan Martini Indah Amalia yang selama ini selalu memberikan bantuan dan supportnya serta tempat Penulis berkeluh kesah.

11.Sahabat seperjuangan Penulis di HmI Dian Padena Hrp, S.H, Nurul Atika, Izma Suci, S.H, Yusuf Ridha, Rahmad Hidayat, Harry Azhar, Ihsan Anauali, S.H, Sakafa Guraba, S.H dan lainnya yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala dukungan, motivasi, bantuan serta doa yang telah diberikan kepada Penulis.

12.Teman-teman seperjuangan dari semester 1, yang selalu bersama menghadapi kehidupan didunia perkuliahan Triana, Siti Fitrya, Yogi Agussalam, Ramadan, S.H, dan teman-teman stambuk 2010 lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

13.Adik-adik Kesayangan Penulis di HmI Sabrina, Nazla, Thia Annur, Ray, Bakti, Hadyan dan lainnya yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan dan doa kepada Penulis selama mengerjakan skripsi ini.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan support dan kiranya diharapkan oleh Penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis serta berguna bagi Nusa, Bangsa, dan Agama.

Medan, Juli 2014 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 25

G. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN A. Peranan Hakim dalam Peradilan Pidana ... 29

1. Kemandirian Hakim Pengadilan ... 32

2. Pengertian Putusan Hakim ... 34

3. Jenis-jenis Putusan ... 35

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Pidana ... 39

1. Pertimbangan yang bersifat Yuridis ... 39

2. Pertimbangan yang bersifat non Yuridis ... 42

BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.51/PID.SUS.K/2013/ PN.MDN A. Posisi Kasus ... 46

1. Kronologi Kasus ... 46

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 51

3. Fakta Hukum ... 52

a.Keterangan Saksi ... 52

b.Keterangan Ahli ... 59

c.Surat-surat ... 61

4. Tuntutan Pidana ... 61

5. Pertimbangan Hakim ... 63

6. Amar Putusan ... 84

B. Analisis Kasus ... 84

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93


(5)

ABSTRAK Martina Indah Amalia*

Syafruddin Kalo** Mahmud Mulyadi***

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh) dan data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif.

Kasus korupsi yang terjadi di Kantor Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan Kota Padang Sidempuan telah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan pada 25 April 2013. Terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan primair, dakwaan subsidiar maupun dakwaan lebih subsidair. Berdasarkan hasil penelitian putusan bebas (Vrijspraak) yang dijatuhkan kepada pelaku terdakwa tentunya kurang memberikan kepuasan sehingga masyarakat khususnya masyarakat Kota Medan dan Kota Padang Sidempuan memberikan pertanyaan besar atas keadilan yang diputuskan oleh majelis hakim. Penegak Hukum, yang dalam hal ini adalah hakim diharapkan agar dapat lebih cermat lagi dalam menguraikan dan menganalisa setiap unsur yang terdapat dalam rumusan delik setiap kasus korupsi, sehingga pada akhirnya vonis yang dijatuhkan dapat lebih memberikan rasa keadilan serta efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu hal ini dapat membantu pemerintah dalam rangka menekan terjadinya tindak pidana korupsi. Kata Kunci : Pidana Khusus, Tindak Pidana Korupsi

      

  *

    Mahasiswa Fakultas Hukum USU 

  **

   Dosen Pembimbing I 

  ***


(6)

ABSTRAK Martina Indah Amalia*

Syafruddin Kalo** Mahmud Mulyadi***

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh) dan data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif.

Kasus korupsi yang terjadi di Kantor Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan Kota Padang Sidempuan telah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan pada 25 April 2013. Terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan primair, dakwaan subsidiar maupun dakwaan lebih subsidair. Berdasarkan hasil penelitian putusan bebas (Vrijspraak) yang dijatuhkan kepada pelaku terdakwa tentunya kurang memberikan kepuasan sehingga masyarakat khususnya masyarakat Kota Medan dan Kota Padang Sidempuan memberikan pertanyaan besar atas keadilan yang diputuskan oleh majelis hakim. Penegak Hukum, yang dalam hal ini adalah hakim diharapkan agar dapat lebih cermat lagi dalam menguraikan dan menganalisa setiap unsur yang terdapat dalam rumusan delik setiap kasus korupsi, sehingga pada akhirnya vonis yang dijatuhkan dapat lebih memberikan rasa keadilan serta efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu hal ini dapat membantu pemerintah dalam rangka menekan terjadinya tindak pidana korupsi. Kata Kunci : Pidana Khusus, Tindak Pidana Korupsi

      

  *

    Mahasiswa Fakultas Hukum USU 

  **

   Dosen Pembimbing I 

  ***


(7)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuatan belaka (Machtstaat). Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.


(8)

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.1

Perbuatan korupsi merupakan penyakit universal dalam tatanan politik semua Negara didunia ini. Berbagai strategi dan upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memberantasnya. Kalaupun tidak bisa memberantasnya paling tidak dapat mengurangi volumenya, karena korupsi dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Sebagaimana yang kita ketahui sendiri, bahwa jatuhnya bangsa Indonesia ke dalam jurang multidimensional berawal dari banyaknya korupsi di setiap lembaga pemerintahan, bahkan Departemen Agama sekalipun, sebuah departemen yang membawahi pembenahan moral bagi warga Negara yang sudah ditetapkan undang-undang.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana, sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang dan sebagainya.

       1


(9)

Terjadinya perbuatan korupsi dalam suatu Negara adalah lemahnya sistem, merupakan salah satu yang tidak dapat disangkal, maksudnya sistem mengenai pencegahan korupsi itu sendiri karena sudah merupakan budaya. Lemahnya mekanisme di berbagi sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan oleh masyarakat, juga para pengusaha nasional termasuk pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena banyaknya administrasi yang harus mereka lalui untuk memperoleh suatu izin atau fasilitas.

Makin maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi dan makin gencarnya pemberantasan korupsi dikarenakan sudah makin terpuruknya keadaan keuangan Negara yang disebabkan oleh kecurangan yang dilakukan oleh pejabat yang diberikan kekuasaan untuk memperkaya dirinya. Korupsi merupakan fenomena yang terjadi dalam suatu Negara yang mana merupakan kelemahan pada suatu bangsa yang merembes kesemua tingkat pelayanan umum, korupsi melemahkan garis kehidupan masyarakat dan membuat tidak adanya pemerataan kesejahteraan dalam kehidupan.

Perlu adanya pengaturan terhadap tindak pidana korupsi, mengingat juga sifat dari tindak pidana korupsi yang merupakan “extraordinary crime”. Oleh karena itu pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh hakim antara lain dengan instrument hukum yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan standar hukum secara universal.

Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh hakim di pengadilan yang saat ini sangat gencar dilakukan merupakan langkah nyata menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Namun kesemuanya pemberantasan


(10)

yang dilakukan oleh hakim memiliki kendala maupun hambatan dimana seorang hakim harus secara teliti mengkaji mengenai alat bukti yang diajukan kehadapan sidang karena merupakan tindak pidana khusus yang diatur secara tersendiri oleh Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini.

Hakim dalam hal ini juga harus dapat memberi putusan yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam putusannya hakim dituntut tidak boleh sekedar melaksanakan undang-undang, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek moral dan sosial. Putusan hakim sangat berpengaruh atas suatu perkara karena keadilan menjadi hal yang sangat diharapkan. Putusan hakim tersebut mencerminkan proses penegakan hukum yang erat kaitannya dengan sosial kemasyarakatan yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Putusan hakim inilah yang akhir-akhir ini mendapat sorotan dari masyarakat, misalnya terkait dengan putusan bebas mengenai perkara tindak pidana korupsi.

Putusan bebas dalam tindak pidana korupsi memungkinkan terjadinya kontroversi, terutama hakim yang memutus perkara. Tindak pidana korupsi membutuhkan pembuktian untuk menunjukkan adanya praktek korupsi merupakan hal tidak mudah. Untuk itulah hakim yang memiliki kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi harus cermat dan teliti melihat berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada saat korupsi dilakukan.


(11)

Salah satu kasus tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman bebas oleh hakim pada Pengadilan Negeri Medan yaitu penyalahgunaan dana TPAPD (Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa) No.51/PID.SUS.K/2013/ PN.MDN yang dilakukan oleh H. Rahudman Harahap yang sekarang menjabat sebagai Walikota Medan Non Aktif.

Kasus ini terjadi pada saat Rahudman Harahap masih menjabat sebagai Pj. Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Tapanuli Selatan No.821.22/209/K/2001. Rahudman Harahap telah melakukan penyalahgunaan dana TPAPD dengan membuat Surat Permintaan Pembayaran (SPP) tanpa nomor sebesar 3.059.033.050 (tiga milyar lima puluh sembilan juta tiga puluh tiga ribu lima puluh rupiah) termasuk didalamnya dana TPAPD Triwulan I sebesar Rp.1.035.720.000,- (satu milyar tiga puluh lima juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah), dan atas permintaan dana tersebut, maka Ali Amri Siregar, selaku Plt. Kepala Bagian Keuangan dan Akhir Hasibuan selaku Bendahara Umum Daerah menerbitkan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) No.05 tanggal 06 Januari 2005 dan mencairkan dana tersebut dengan cek giro 538312 tanggal 06 Januari 2005. Pengajuan permintaan pembayaran dana TPAPD Triwulan I tahun 2005 dilakukan sebelum APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) TA. 2005 disahkan, dan permintaan dana tersebut tidak didasarkan pada adanya permohonan dari Bagian Pemerintahan Desa selaku yang membidangi penyaluran dana TPAPD, bahkan dana TPAPD Triwulan I yang telah dicairkan tidak diserahkan kepada Kepala Bagian Pemerintahan Desa atau Perangkat Desa.


(12)

Selanjutnya pada tanggal 13 April 2005 terdakwa Rahudman harahap dan Amrin Tambunan mengajukan SPP No.28/SPPR/2005 tanggal 13 April 2005 sebesar Rp.3.352.033.050,- (tiga milyar tiga ratus lima puluh dua juta tiga puluh tiga ribu lima puluh rupiah) termasuk di dalamnya dana TPAPD Triwulan II sebesar Rp.1.035.720.000,- (satu milyar tiga puluh lima juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah), atas permintaan tersebut maka Muhammad Lutfi Siregar, selaku Plt. Kepala Bagian Keuangan dan Haplan Tambunan selaku Bendahara Umum Daerah menerbitkan SPMU No.204/TS/2005 tanggal 04 Mei 2005, dan dana tersebut telah dicairkan dengan cek giro 628650 tanggal 04 Mei 2005. Pengajuan permintaan pembayaran dana TPAPD Triwulan II tahun 2005 dilakukan sebelum APBD TA. 2005 disahkan, dan permintaan dana tersebut tidak didasarkan pada adanya permohonan dari Bagian Pemerintahan Desa selaku yang membidangi penyaluran dana TPAPD, bahkan dana TPAPD Triwulan II yang telah dicairkan juga tidak diserahkan kepada Kepala Bagian Pemerintahan Desa atau Perangkat Desa.

Oleh karena itu, Rahudman Harahap diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Medan yang kontroversial ini menarik untuk dikaji secara ilmiah. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk


(13)

melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul: DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS

(VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA

KORUPSI (STUDI PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN)

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran sesuai yang dikehendaki.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam membuat sebuah putusan?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.51/pid.sus.k/2013/pn.mdn) ?


(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu:

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam membuat sebuah putusan.

b. Untuk mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.51/pid.sus.k/2013/pn.mdn).

2. Manfaat Penelitian :

Mengenai manfaat akan hasil penelitian skripsi ini terhadap rumusan permasalahan yang sudah diuraikan dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.


(15)

b. Manfaat Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam pengambilan kebijakan oleh aparat penegak hukum dalam tindak pidana korupsi dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.51/pid.sus.k/2013/pn.mdn) belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi, penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini juga adalah murni hasil pemikiran dari penulis dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.


(16)

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman.2

Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa latin

corruption atau corruptus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya

disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. 3 Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; Belanda, yaitu corruptie (korruptie) dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.

Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa :

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran4.

       2

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman 7

3

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, halaman 4

4 S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, penerbit: Hasta, Bandung 


(17)

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya5

c. Korup (busuk; suka menerima uang suap / uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya); korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya); koruptor (orang yang korupsi)6

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

a. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

b. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Menurut Gurnar Myrdal menyebutkan: To include       

5

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976

6

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Penerbit Pustaka Amani Jakarta 


(18)

not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers. (korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan).7

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum).

Dikatakan pula, disguised payment in the form og gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga,       

7

 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi berikut Studi Kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 33 


(19)

pengaruh kedudukan social, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan).8

2. Bentuk/ Jenis Tindak Pidana Korupsi

Menurut J. Soewartojo (1988) ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut :9

a. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.

b. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungutan liar pada pos-pos pencegatan di jalan, pelabuhan, dan sebagainya.

       8

Evi Hartanti, Op. cit, halaman 9

9


(20)

c. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.

d. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.

e. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan. f. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan

mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.

g. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakukan secara adil.

Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (disingkat KAK 2003) ada 4 macam tipe tindak pidana korupsi sebagai berikut:10

a. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of National Public Officials). Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan Pasal 17 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau secara tidak langsung       

10

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik, dan Masalahnya, Bandung, 2007, halaman 41


(21)

suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau orang lain atau badan hukum agar pejabat bersangkutan bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.

Selain itu, dikategorisasikan juga aspek ini adalah permohonan atau penerimaan seorang pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat itu sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya. Kemudian, terhadap penyuapan pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik (bribery of foreign public officials dan officials of public internasional organizations) diatur dalam ketentuan Pasal 16 dan penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik (embezzlement, misappropriation or other diversion of proverty by a public official) diatur dalam ketentuan Pasal 17 KAK 2003. Pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik (embezzlement, misappropriation or other diversion of proverty by a public official) diatur dalam ketentuan Pasal 17 KAK 2003.

b. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribey in the Private Sector).

Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 21 disebutkan bahwa :


(22)

Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when commited internationally in the course of economic, financial or commercial activities:

1) The promise, offering or giving, directly or indirectly, of an undue

advantage to any person who directs or works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself or for another person, in other that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain from acting.

2) The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of an undue advantage by any person who directsor works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself or for another person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain from acting.

Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang memimpin atau bekerja pada suatu badan di sektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila diperbandingkan, ada korelasi erat antara tipe tindak pidana korupsi penyuapan di sektor publik maupun swasta.

Laporan penjelasan mengenai Criminal Law Convention menyebutkan 2 (dua) pertimbangan dimasukkannya kriminalisasi tindak pidana korupsi di sektor swasta ke dalam konvensi ini, yaitu : pertama, bahwa korupsi di sektor swasta telah melemahkan nilai-nilai seperti, kepercayaan, loyalitas yang diperlukan untuk


(23)

memelihara dan meningkatkan hubungan sosial dan ekonomi. Sekalipun dampak negatif kepada korban tidak tampak nyata, tetapi korupsi disektor swasta menimbulkan akibat kerugian kepada masyarakat sehingga perlindungan atas persaingan sehat perlu dilakukan. Kriminalisasi korupsi di sektor swasta justru bertujuan memulihkan kepercayaan dan loyalitas di dalam memeliharara hubungan sosial dan ekonomi suatu negara. Kedua, terdapat teori yang dapat dijadikan justifikasi atas kriminalisasi tersebut, yaitu teori interdepence of others.11

Berdasarkan teori ini, seluruh subsistem sosial saling mempengaruhi secara timbal balik termasuk nilai-nilainya. Atas dasar itu, mustahil kiranya pemberantasan korupsi dilakukan di satu sektor sementara itu juga mengabaikan kegiatan yang sama di sektor yang lain. Oleh karena itu, hambatan-hambatan di sektor ekonomi dan regulasinya akan berdampak terhadap sistem sosial yang lain seperti, di sektor politik dan administrasi.

Bertolak dari pernyataan teori di atas, pemberantasan korupsi melalui peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha hanya akan melemahkan seluruh institusi pemberantasan korupsi. Akan tetapi, apabila diperhatikan pada KAK 2003 tampaknya negara peserta dalam proses negosisasi penyusunan konvensi tidak mencantumkan secara tegas bahwa korupsi di sektor swasta sebagai mandatory obligation, hal ini terbukti bahwa adanya kalimat “shall consider adopting” dalam ketentuan Pasal 21 sedangkan terminologi       

11

Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta, 2006, halaman 8-9


(24)

“shall adopt” dalam ketentuan Pasal 15 untuk kriminalisasi dan penegakan hukum terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials).

c. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah (Illicit Enrichment).

Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya secara tidak sah (illicit enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 KAK 2003 yang menentukan, bahwa :

“ subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when commited intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.”

Ketentuan Pasal 20 KAK 2003 mewajibkan kepada setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya untuk menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 khususnya unsur kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 KAK 2003 tentang scope of application yang menegaskan bahwa, “For the purpose of


(25)

implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence … to result in damage or harm to State property.”

d. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in Influence).

Tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 KAK2003. tipe tindak pidana korupsi baru dengan memperdagangkan pengaruh (trading in influence) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau untuk orang lain.

Hakikatnya, ketentuan ini berkorelasi apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 15 KAK 2003 dengan pengertian :

“bribery of national public officials, “yang menentukan: “…when commited intentionally: (a) to promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her officials duties.”

Lebih lanjut, Romli Atmasasmita beramsumsi yaitu masalah hukum dari dua ketentuan ini adalah, bagaimana secara teknis hukum dalam pembuktian membedakan antara menyalahgunakan pengaruh dan tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Sekalipun ketentuan tersebut bersifat mendatory (“Shall Consider”), tetapi harus dicermati dan dikaji secara teliti.


(26)

3. Pengertian hakim

Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Pengertian hakim juga disebutkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang.

4. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim

Perihal putusan hakim atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.12

Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

       12


(27)

tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.13

Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.14

Jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

a. Putusan yang bukan putusan akhir

Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.15 Putusan yang bukan putusan akhir antara lain sebagai berikut: 1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.

Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan       

13

Opcit, Evi Hartanti, 2006:52

14

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, Hal :426

15


(28)

surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.

Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap.

3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:

(a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada.

(b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan

(c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).


(29)

b. Putusan akhir

Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP).16 Putusan akhir antara lain sebagai berikut:

1) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:

(a) Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi bukan merupakan tindak pidana.

(b) Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain: 17 (1) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).

(2) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP).

(3) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP). (4) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).       

16

Ibid, Hal:125

17


(30)

(5) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP). 2) Putusan bebas (vrijspraak)

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti dalam persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

3) Putusan pemidanaan (veroordeling)

Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya. Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim yang berpendapat bahwa: 18 (a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum

dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;

(b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen); dan

(c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).

       18


(31)

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka Penulis menggunakan metode penulisan antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian19 yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (penelitian hukum doktriner). Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Sumber Data

Sumber data ini ialah data sekunder yang diteliti terdiri atas :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan korupsi dan putusan hakim.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa :

1) Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana dalam tindak pidana korupsi.

       19


(32)

2) Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai kejahatan tindak pidana korupsi.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (library

research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan

peran, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan di penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab


(33)

perbab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian tindak pidana korupsi, bentuk / jenis tindak pidana korupsi, pengertian hakim, dan Pengertian/ jenis putusan hakim.

BAB II : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM

MENJATUHKAN PUTUSAN

Bab ini memberikan pemaparan tentang dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pekara pidana, peranan hakim dalam peradilan pidana, kemandirian hakim pengadilan dan jenis-jenis putusan hakim.

BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN


(34)

Bab ini memberikan pembahasan yang berkaitan dengan posisi kasus tindak pidana korupsi oleh terdakwa pada putusan dan analisis kasus pada putusan..

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi yang cenderung meningkat saat ini.


(35)

BAB II

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

A. Peranan Hakim dalam Peradilan Pidana

Korupsi telah menjadi extra ordinary crimes yang telah nyata menggerogoti dan membahayakan keuangan dan perekonomian negara.20 kumpulan karangan buku ke-2 Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa jika bangsa ini tidak segera menyadari korupsi sebagai akar masalah, sampai kapanpun akan sulit bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan, Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal di dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial dan karena itu tidak mungkin disambungkan habis. Perlu ditambahkan bahwa istilah “pemberantasan kejahatan“ adalah kurang tepat karena mengandung pengertian “pemusnahan” dan mungkin istilah yang lebih tepat adalah “pencegah kejahatan”.21

Pendayagunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas       

  20

Emile Durkheim, The Normal and the Pathologi, dalam Marvin E.Wolfgang at.al.(ed), The Sosialogy of Crime and Deliquency, Second Edition, John Wiley & Sons, 1990, dalamMardjono Reksodiputro, Kriminology dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan

BukuKedua pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, (Jakarta:

UniversitasIndonesia, 1997), hal. 2

21


(36)

merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.22

Perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi ini juga perlu diperhatikan. Adapun perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi ini dari masa ke masa yaitu, Perkembangan Pengaturan tentang tindak pidana Korupsi di indonesia ini adalah sebagai berikut :

a. Peraturan penguasa Militer No:Prt/PM-06/1957 tanggal 9 april 1957 b. Peraturan penguasa Perang Pusat Angkatan darat nomor Prt / 013/

Peperpu/01/1958 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Perbuatan Korupsi pidana dan Pemilikan harta benda.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 72 Tahun 1960 )

d. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN.19 Tahun 1971)

Dalam UU No.31 Tahun 1999 jo.UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Telah dirumuskan 30 bentuk atau jenis tindak pidana korupsi dimana kasus yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap pasal 2 dan pasal 3 dari unsur subyektif yang terdapat dalam kedua pasal tersebut, kita dapat melihat bagaimana sebenarnya konsep pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.

       22


(37)

Konsep Kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah sama dengan konsep kebijakan Pidana dalam hukum pidana umum dalam pasal 2 dan pasal 3, kita dapat melihat adanya unsur kesalahan yaitu dalam rumusan pasal 2 memang tidak menyebut secara langsung unsur ”kesengajaan“ tetapi sebenarnya dalam pasal tersebut secara tersirat menyebut “dengan sengaja” tergambar secara jelas dalam rumusan Pasal tersebut yaitu “....dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ..”, dalam bentuk kesengajaan seperti ini dengan kesengajaan sebagai Maksud.

Efektifitas pengaturan tindak pidana korupsi ini juga tidak terlepas dari pihak hakim pengadilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Hakim pengadilan tindak korupsi diharapkan mempelajari secara khusus dan mengikuti perkembangan pengaturan dan kegiatan kejahatan tindak pidana korupsi. Posisi hakim berperan penting dalam menentukan keberhasilan dalam menekan efek jera dan juga pelajaran bagi masyarakat, terutama yang sangat dekat dengan praktik kejahatan korupsi.


(38)

Di dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan, akan tetapi peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.

Disini tampaklah bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen) untuk mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya dapatlah dimaklumi akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Iskandar Kamil memberikan pendapat mengenai tugas hakim itu sebagai berikut:

Tugas hakim adalah sebagai pelaksana Kekuaasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun di dalamnya terkandung pengertian yang sangat


(39)

mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat teknis profesional dan non politis serta non partisan. Peradilan dilakukan sesuai standar profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.23

Dari uraian dan pandangan diatas maka penegakan hukum dan keadilan inilah yang menjadi dasar filosofi dari kemandirian hakim ini. Mengingat dasar filosofi untuk menegakkan hukum dan keadilan inilah, maka kepada hakim perlu diberi kebebasan dari pengaruh kekuasaan ekstra judisial dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuaaan kehakiman. Akan tetapi kebebasan itu harus disadari hanya merupakan kebebasan yang diberikan undang-undang atau hukum (legal right) bukan kebebasan yang bersifat alami (natural right). Oleh karena itu Ketua Mahkamah Agung dalam keynote speech mengatakan, bahwa kebebasan hakim itu hanya terbatas pada:

a. Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya. b. Bebas dari paksaan siapapun.

c. Bebas dari direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial.24

       23

Iskandar Kamil, Kode Etik Profesi Hakim, dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) Code Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 3003, hal. 9.

24

Ketua Mahakamah Agung RI, Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah Menerapkan, Menafsirkan dan Melaksanakan Tegaknya Hukum, keynote speech pada diskusi


(40)

Sebagai landasan filosofi dari kebebasan hakim, keadilan itu sendiri mempunyai makna yang begitu kaya, sehingga selalu menimbulkan perbedaan dan petentangan dalam menafsirkannya. Walaupun demikian kiranya diusahakan suatu pemahaman yang pokok dan mendasar sehingga dapat disepakati oleh banyak pihak bahwa keadilan itu menjadi tujuan yang hendak dicapai dari kemandirian hakim dalam melaksanakan persidangan.

2. Pengertian Putusan Hakim

Perihal putusan hakim atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakiki yang mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.25

Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

       

panel Kebebasan Hakim dalan Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Ditjen Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Depkeh, 1995, hal. 26.

25


(41)

tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.26 Sedangkan dalam Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.27

3. Jenis-Jenis Putusan

Jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

a. Putusan yang bukan putusan akhir

Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.28 Putusan yang bukan putusan akhir antara lain sebagai berikut: 1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.

         26

Op.Cit, EviHartanti, 2006:52

27

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika

28


(42)

Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili inidapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.

Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap. 3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima.

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termsuk kekurangcermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:

(a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada.

(b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan


(43)

b. Putusan Akhir

Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan isyilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP).29 Putusan akhir antara lain sebagai berikut:

1) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:

(a) Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi bukan merupakan tindak pidana

(b) Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain: 30

(1) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).

(2) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP).

(3) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).

(4) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).       

29

Ibid, Lilik Mulyadi, 2007:124

30


(44)

(5) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP). 2) Putusan Bebas (vrijspraak)

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti dalam persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

3) Putusan pemidanaan (veroordeling)

Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya. Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim yang berpendapat bahwa: 31

(a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;

(b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen); dan (c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta persidangan

(Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP)

      

  31


(45)

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Pidana

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan menurut Rusli Muhammad dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara lain:

a. Dakwaan jaksa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

b. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Dalam praktik, keterangan terdakwa dapat dinyatakan dalam bentuk pengakuan ataupun penolakan, baik sebagian ataupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan terdakwa


(46)

sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.

c. Keterangan saksi

Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya.

d. Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi:

1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; 2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan;

3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

4) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.


(47)

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti. Sebab Undang-Undang menetapkan lima macam alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Adanya barang bukti yang terungkap pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa ataupun saksi-saksi.

e. Pasal-pasal dalam peraturan Hukum Pidana

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana tersebut.


(48)

2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain: 32 a. Latar belakang terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pasa diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

b. Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

c. Kondisi diri terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa: mendapat tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat.

      

  32

Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti


(49)

d. Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.

Bila kita mengkaji pada putusan bebas, hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

a. Bentuk-Bentuk Putusan Bebas

Beberapa bentuk putusan bebas (vrijspraak) adalah sebagai berikut:33

1) Pembebasan murni atau de ”zuivere vrijspraak”, dimana sama sekali tidak terbukti tindak pidananya.

      

  33


(50)

2) Pembebasan tidak murni atau de ”onzuivere vrijspraak” dalam hal ”bedekte nietigheid van dagvaarding” (batalnya dakwaan secara terselubung) atau pembebasan yang menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan.

Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut : (a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap

sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

(b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya baik absolut maupun relatif dan sebagainya.

3) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan atau de ”vrijspraak op grond van doelmatigheid overwegingen” bahwa berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.

4) Pembebasan yang terselubung atau de ”bedekte vrispraak” dimana hakim telah mengambil putusan tentang ”feiten” dan menjatuhkan putusan ”pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal menurut putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara murni”.

b. Putusan Bebas Ditinjau dari Asas Pembuktian

Pasal 183 KUHAP mengandung dua asas mengenai pembuktian, yaitu:

1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;


(51)

2) Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa.

Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat hakim bahwa:

1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau

2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.


(52)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS

(VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN

A. Posisi Kasus 1. Kronologi Kasus

Kasus ini terjadi Pada tahun 2004 dan tahun 2005 yaitu Rahudman Harahap selaku Pj. Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Amrin Tambunan Alias Amrin selaku Pemegang Kas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan melakukan atau turut serta melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Terdakwa Rahudman Harahap atau Amri Tambunan Alias Amrin merugikan keuangan sebesar Rp.2.071.440.000,- (dua milyar tujuh puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sebesar Rp.1.590.944.500,- (satu milyar lima ratus sembilan puluh juta sembilan ratus empat puluh empat ribu lima ratus rupiah).

Kronologi kasus ini bermula pada tanggal 14 Desember 2004 Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan mengajukan permintaan pembayaran kekurangan dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Triwulan IV tahun 2004 sebesar Rp.480.870.000,- (empat ratus delapan puluh juta delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah), atas permintaan pembayaran tersebut maka Akhir Hasibuan selaku Bendahara Umum Daerah mencairkan dana tersebut dengan


(53)

menerbitkan cek Bank Sumut Cabang Padang Sidimpuan No.CD 832244 sebesar Rp.480.870.000,- (empat ratus delapan puluh juta delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah) yang bersumber dari rekening kas daerah AC No.230 01.02.000530-0 01102, kemudian dana tersebut disalurkan kepada Bagian Pemerintahan Desa atau Perangkat Desa.

Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan telah mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) tanpa nomor sebesar Rp.3.059.033.050,- (tiga milyar lima puluh sembilan juta tiga puluh tiga ribu lima puluh rupiah) termasuk didalamnya dana TPAPD Triwulan I sebesar Rp.1.035.720.000,- (satu milyar tiga puluh lima juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah), dan atas permintaan dana tersebut, Ali Amri Siregar selaku Plt. Kepala Bagian Keuangan dan Akhir Hasibuan menerbitkan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) No.05 tanggal 06 Januari 2005 lalu kemudian mencairkan dana tersebut dengan cek giro 538312 tanggal 06 Januari 2005.

Pengajuan permintaan pembayaran dana TPAPD Triwulan I tahun 2005 dilakukan sebelum APBD TA. 2005 disahkan, dan permintaan dana tersebut tidak didasarkan pada adanya permohonan dari Bagian Pemerintahan Desa selaku yang membidangi penyaluran dana TPAPD, bahkan dana TPAPD Triwulan I yang telah dicairkan tidak diserahkan kepada Kepala Bagian Pemerintahan Desa atau Perangkat Desa.

Kemudian pada tanggal 13 April 2005 Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) No.28/SPPR/2005 tanggal 13 April 2005 sebesar Rp.3.352.033.050,- (tiga milyar tiga ratus lima


(54)

puluh dua juta tiga puluh tiga ribu lima puluh rupiah) termasuk di dalamnya dana TPAPD Triwulan II sebesar Rp.1.035.720.000,- (satu milyar tiga puluh lima juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah),

Adanya permintaan tersebut maka Muhammad Lutfi Siregar, selaku Plt. Kepala Daerah menerbitkan SPMU No.204/TS/2005 tanggal 04 Mei 2005, dan dana tersebut telah dicairkan dengan cek giro 628650 tanggal 04 Mei 2005. Pengajuan permintaan pembayaran dana TPAPD Triwulan II tahun 2005 dilakukan sebelum APBD TA. 2005 disahkan.

Permintaan dana tersebut tidak didasarkan pada adanya permohonan dari Bagian Pemerintahan Desa selaku yang membidangi penyaluran dana TPAPD, bahkan dana TPAPD Triwulan II yang telah dicairkan juga tidak diserahkan kepada Kepala Bagian Pemerintahan Desa atau Perangkat Desa.

Berdasarkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) tanggal 6 Januari 2005 dan 13 April 2005 yang diajukan terdakwa Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan, maka terdapat dana TPAPD Triwulan I dan II yang tidak disalurkan sebesar Rp.2.071.440.000,- (dua milyar tujuh puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah).

Apa yang telah dilakukan Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan yang mengajukan panjar kerja atau permintaan dana mendahului APBD, namun tidak dapat dipertanggungjawabkan karena tidak dipergunakan sesuai peruntukannya, melainkan dipergunakan untuk kepentingan pribadi, oleh karena itu untuk mengganti pembayaran dana TPAPD Triwulan I dan II yang telah dicairkan oleh Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan, maka pada tanggal 21 Juni 2005


(55)

Leonardy Pane selaku Plt. Sekretaris Daerah Kab Tapanuli Selatan mengajukan pembayaran dana TPAPD sebesar Rp.2.737.262.500,- (dua milyar tujuh ratus tiga puluh tujuh juta dua ratus enam puluh dua ribu lima ratus rupiah) kepada Bendahara Umum Daerah.

Haplan Tambunan selaku Bendahara Umum pada tanggal 28 Juni 2005 melakukan pembayaran dengan cek giro 629953, dana TPAPD tersebut disalurkan kepada Rustam Efendi Hasibuan selaku Kepala Bagian Pemerintahan Desa sebesar Rp.2.737.262.500,- (dua milyar tujuh ratus tiga puluh tujuh juta dua ratus enam puluh dua ribu lima ratus rupiah).

Bentuk pertanggungjawaban pengeluaran dana tersebut, maka Plt. Kepala Bagian Keuangan yakni Husni Afghani Hutasuhut dan Bendahara Umum Daerah Haplan Tambunan mengeluarkan SPMU No.489/TS/2005 tanggal 29 Juli 2005 dan dibukukan pada tanggal 20 September.

Kronologi ini berlanjut pada tanggal 19 Agustus 2005 Leonardy Pane selaku Plt. Sekretaris Daerah dan Amrin Tambunan selaku Pemegang Kas mengajukan SPP No. 33/SPPR/2005 untuk pencairan dana TPAPD Triwulan III sebesar Rp.2.737.622.500,- (dua milyar tujuh ratus tiga puluh tujuh juta enam ratus dua puluh dua ribu lima ratus rupiah) termasuk didalamnya dana TPAPD sebesar Rp.1.488.847.500,- (satu milyar empat ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Permintaan dana TPAPD tersebut maka Plt. Kepala Bagian Keuangan yakni Husni Afghani Hutasuhutdan Bendahara Umum Daerah Haplan Tambunan mengeluarkan SPMU No.671/TS/2005 tanggal 19 Agustus 2005, namun dananya


(56)

tidak diberikan lagi kepada sekretariat daerah karena telah diberikan sebelum APBD disahkan yang telah dipergunakan untuk kepentingan terdakwa Rahudman Harahap dan Amrin Tambunan.

Adanya permintaan dari Kepala Bagian Pemerintahan Desa pada tanggal 07 Oktober 2005 agar dilakukan pembayaran dana Triwulan III dan IV, maka pada tanggal 31 Oktober 2005 Leonardy Pane dan Amrin Tambunan melakukan pengajuan SSP No.51/SPPR/2005 sebesar Rp.2.737.622.500,- (dua milyar tujuh ratus tiga puluh tujuh juta enam ratus dua puluh dua ribu lima ratus rupiah), termasuk didalamnya dana TPAPD sebesar Rp.1.488.847.500,- (satu milyar empat ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus empat puluh tujuh lima ratus rupiah).

Atas permintaan tersebut maka Plt. Kepala Bagian Keuangan yakni Husni Afghani Hutasuhutdan Bendahara Umum Daerah Haplan Tambunan menerbitkan SPMU No.973/TS/2005 tanggal 31 Oktober 2005, dan dana tersebut telah dicairkan sesuai dengan cek giro 748505 tanggal 01 November 2005 senilai Rp.1.488.847.500,- (satu milyar empat ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah), kemudian dari dana tersebut telah disalurkan sebagai dana TPAPD sebesar Rp.1.147.183.000,- (satu milyar seratus empat puluh tujuh juta seratus delapan puluh tiga ribu rupiah) kepada Kepala Bagian Pemerintahan Desa.


(1)

permohonan pencairan dana TPAPD TA 2005 Triwulan I dan II yang dipalsukan oleh Terdakwa.

Berdasarkan rangkaian pertimbangan hakim tersebut, Hakim menyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan pada dakwaan Primair, Subsidair, dan Subsidair Lebih oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.


(2)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan tindak pidana korupsi mengalami perkembangan dari masa ke masa. Efektifitas pengaturan tindak pidana korupsi ini ditentukan oleh peran hakim baik dalam kemandirian hakim, kebijakan pertimbangan hakim, sampai pada putusan hakim. Seorang hakim tindak pidana korupsi dituntut memiliki pengetahuan tentang segala hal yang mendukung kebijakan keputusannya. Pada sisi lain pengetahuan hakim tersebut juga diharapkan memiliki nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat disetiap putusan yang telah ditetapkan kepada para terdakwa tindak pidana korupsi. Dasar inilah yang menentukan apakah kebijakan seorang hakim khususnya dalam praktik tindak pidana korupsi dapat mumpuni untuk melahirkan putusan-putusan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.Terdakwa Rahudman Harahap pada masa selaku Pj. Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dituntut oleh jaksa penuntut umum karena diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan pada tanggl 25 April 2013. Hakim memberikan putusan bebas kepada terdakwa setelah melakukan pertimbangan berdasarkan bukti dan saksi yang hadir pada persidangan itu. Analisis yuridis penulis terhadap putusan yang diberikan hakim kepada terdakwa berdasarkan fakta-fakta dalam


(3)

kemanfaatan kepada masyarakat. Hakim dinilai memberikan putusan tidak berdasarkan peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, bahwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Secara yuridis terdakwa sebenarnya telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah membiarkan Amrin Tambunan selaku Bendahara melakukan tindakan pidana tersebut. Walaupun para saksi yang dihadirkan kebanyakan tidak memberikan kesaksian bahwa terdakwa Rahudman Harahap telah melakukan kejahatan korupsi, banyak barang bukti sudah menunjukkan terdakwa telah melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu Amrin Tambunan telah melakukan kejahatan korupsi. Hakim pun telah menjatuhkan hukuman pidana terhadap Amrin Tambunan yang tidak lain adalah seorang bawahan dari terdakwa. Hakim dinilai kurang cermat dalam memberikan putusan terhadap terdakwa serta memberikan pertanyaan besar kepada masyarakat karena tidak memberikan kepuasan dari nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, khususnya masyarakat Kota Medan dan Kabupaten Padang Sidempuan.


(4)

B.Saran

Adapun saran yang dapat Penulis Sampaikan sehubungan dengan permasalahan di dalam skripsi ini adalah :

1. Penegak Hukum, yang dalam Hal ini adalah Hakim diharapkan agar dapat lebih cermat lagi dalam menguraikan dan menganalisa setiap unsur yang terdapat dalam rumusan delik setiap kasus korupsi, sehingga pada akhirnya vonis yang dijatuhkan dapat lebih memberikan rasa keadilan serta efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu hal ini dapat membantu pemerintah dalam rangka menekan terjadinya tindak pidana korupsi.

2. Pemerintah Pusat harus aktif melakukan Pengawasan atau Kontrol terhadap segala Hal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, khususnya dalam Hal Penggunaan Uang Negara. Hal ini bukan merupakan suatu Pembatasan terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Daerah, akan tetapi hanya merupakan sarana untuk menekan angka korupsi.

3. Pemerintah Daerah merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat, yang membantu pemerintah Pusat dalam Menjalankan kewenangannya didaerah untuk dapat mensejahterahkan masyarakat. Oleh karena itu sebaiknya orang-orang yang duduk di kelembagaan daerah hatus seorang yang ber-kompeten di bidang nya ,berintegritas serta harus Jujur dalam pekerjaannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A.BUKU

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi berikut Studi Kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik,

dan Masalahnya, Bandung, 2007

Leden Marpaung. . Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar

Grafika, 1992

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Penerbit Pustaka Amani Jakarta, 2008

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001

Moch. Faisal Salam.. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. 2001 Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002 Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT Citra Aditya

Bakti , Bandung, 2002

Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta, 2006

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007

S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, penerbit: Hasta, Bandung, 2008

Saleh, Roeslan, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1987


(6)

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai

Pustaka, 1976

Wiyono, R, Pembahasan Undang –undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar grafika, Jakarta, 2006

B.UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

C.JURNAL JURNAL

H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2008

Iskandar Kamil, Kode Etik Profesi Hakim, dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) Code Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986 D.INTERNET

http://www.kpk.go.id/modules/edito/doc/strategiplan2008to2011id.pdf, Rencana Strategi Komisi Pembaratsan Korupsi, 2008-2011.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt506646c7ea6bf/kewenangan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

2 139 75

Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

0 65 109

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Konsistensi Hakim Menjatuhkan Putusan Dalam Hal Terjadi Perbarengan Tindak Pidana (Concursus Realis) (Studi di Pengadilan Negeri Malang)

1 9 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

0 0 23