BAB II INSTRUMEN HUKUM BAGI PERLINDUNGAN BAGI TENAGA KERJA INDONESIA A. Konvensi-Konvensi Internasional Terkait Dengan Buruh Migran - Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia Ditinjau dari Memorandum of Understanding antara Pemerintah Indones

BAB II INSTRUMEN HUKUM BAGI PERLINDUNGAN BAGI TENAGA KERJA INDONESIA A. Konvensi-Konvensi Internasional Terkait Dengan Buruh Migran Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk

  memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, bermartabat. Tujuan-tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak- hak kerja, memperluas kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja. Organisasi ini memiliki 183 negara anggota dan bersifat unik di antara badan-badan PBB lainnya karena struktur tripartit yang dimilikinya menempatkan pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/ buruh pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan.

  Standar-standar ILO berbentuk konvensi dan rekomendasi ketenagakerjaan internasional. Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional,

  

  tunduk pada ratifikasi negara-negara anggota. Rekomendasi tidak bersifat mengikat kerapkali membahas masalah yang sama dengan Konvensi yang memberikan pola pedoman bagi kebijakan dan tindakan nasional. Hingga akhir 2009, ILO telah mengadopsi 188 Konvensi dan 199 Rekomendasi yang meliputi beragam subyek: kebebasan berserikat dan perundingan bersama, kesetaraan perlakuan dan kesempatan, penghapusan kerja paksa dan pekerja anak, promosi ketenagakerjaan dan pelatihan kerja, jaminan sosial, kondisi kerja, administrasi 9 Konvensi ILO No. 97 Migrasi Tenaga Kerja (Edisi Revisi), 1949 dan pengawasan ketenagakerjaan, pencegahan kecelakaan kerja, perlindungan kehamilan dan perlindungan terhadap pekerja migran serta kategori pekerja lainnya seperti para pelaut, perawat dan pekerja perkebunan. Lebih dari 7.300 ratifikasi Konvensi-konvensi ini telah terdaftar. Standar ketenagakerjaan internasional memainkan peranan penting dalam penyusunan peraturan, kebijakan dan keputusan nasional.

  Khusus untuk mengikat tenaga kerja/buruh migran ILO mengeluarkan Konvensi No. 97b tentang migrasi tenaga kerja (Direvisi tahun 1949).

  Sidang Umum Organisasi Perburuhan Internasional, telah diselenggarakan di Jenewa oleh Dewan Pembina Kantor Perburuhan Internasional, dan telah melaksanakan pertemuan pada acara persidangannya yang ketigapuluh-dua pada tanggal 8 Juni 1949, dan telah mengeluarkan keputusan yang berkenaan dengan penerimaan usulan-usulan tertentu dengan memperhatikan revisi Konvensi Migrasi Tenaga Kerja Tahun 1939 yang telah diterima oleh sidang pada acara persidangannya yang keduapuluhlima, yang tercantum pada butir kesebelas agenda persidangan, dan dengan mempertimbangkan bahwa usulan-usulan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk suatu Konvensi Internasional, maka Sidang Umum Organisasi Perburuhan Internasional menetapkan, pada hari pertama bulan Juli tahun seribu sembilan ratus empatpuluh sembilan, Konvensi berikut, yang selanjutnya dapat disebut sebagai Konvensi Migrasi Tenaga Kerja (Edisi Revisi) tahun 1949.

  Konvensi ILO dalam Pasal 1 menentukan kewajiban negara anggota untuk memberikan informasi-informasi berikut jika diminta :

   a.

  Informasi tentang kebijakan-kebijakan nasional, undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Emigrasi dan Imigrasi; b.

  Informasi tentang ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan migrasi tenaga kerja (perpindahan kenegara lain dengan tujuan untuk bekerja), syarat-syarat kerja dan sumber nafkah tenaga migran; c. Informasi yang berkenaan dengan perjanjian-perjanjian yang bersifat umum maupun khusus tentang masalah-masalah tersebut yang ditetapkan oleh Negara Anggota yang bersangkutan. Kewajiban Negara Anggota untuk mengusahakan dan memastikan diusahakannya, pemberian pelayanan yang memadai dan cuma-Cuma untuk membantu tenaga kerja migran khususnya yang berkaitan dengan pemberian informasi yang dan benar kepada mereka. (Pasal 2 konvensi ILO No. 97).

  Kewenangan Negara pelaksana penempatan pekerja migran dijamin oleh konvensi ILO No. 97 pada Pasal 4 dengan memberi kewajiban kepada Negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mempermudah pemberangkatan, perjalanan dan menerima tenaga migran.

  Khusus untuk melindungi pekerja migran dalam lapangan kesehatan (medis) konvensi ini menentukan dalam Pasal 5 sebagai berikut : a.

  Memastikan, bilamana perlu, bahwa tenaga kerja migran yang bersangkutan beserta anggota keluarganya yang telah memperoleh izin 10 Konvensi ILO No. 97 Tentang Migrasi Tenaga Kerja (Edisi Revisi), 1949 resmi untuk ikut pindah, berada dalam batas-batas kondisi kesehatan yang wajar; b.

  Memastikan bahwa tenaga kerja migran yang bersangkutan beserta anggota-anggota keluarganya mendapatkan perhatian medis yang memadai dan kondisi yang higienis yang baik pada saat keberangkatan, selama diperjalan dan saat tiba ditempat tujuan Kebebasan berserikat menjadi anggota serikat pekerja diatur dalam Pasal 6 ayat (a) poin 2 yang berisi “keanggotaan serikat buruh dan hak buruh untuk secara kolektif melakukan tawar menawar dengan pihak manajemen (hak tawar kolektif)”

  Terkait jaminan sosial konvensi ini juga mengharuskan adanya peraturan yang berlaku terhadap pekerja migran yang meliputi kecelakaan kerja, kehamilan, sakit, cacat, usia tua, kematian, pengganguran dan kewajiban terhadap keluarga, serta kondisi-kondisi tak terduga lainnya yang, menurut undang-undang atau peraturan nasional, berhak atas jaminan sosial.

  Lalu ada juga konvensi internasional tentang perlindungan hak-hak seluruh pekerja migrant dan anggota keluarganya (Konvensi PBB 1990), yang berkaitan dengan salah satu tujuan ILO sebagaimana dicantumkan dalam konsititusinya, adalah melindungi para pekerja ketika mereka dipekerjakan di Negara-negara yang bukan negaranya sendiri, dan mengingat keahlian dan pengalaman organisasinya tersebut dalam hal-hal yang berkenaan dengan para pekerja migran dan anggota keluarganya, yang meyakini adanya kebutuhan untuk mewujudkan perlindungan internasional terhadap hak-hak seluruh perkerja migran dan anggota keluarganya, menegaskan kembali dan menetapkan norma-norma dasar dalam konvensi yang menyeluruh yang dapat diterapkan secara universal.

  Sebagai dasar dari perlidungan buruh migran tersebut dalam pasal 9 konvensi PBB tahun 1990 jelas disebutkan bahwa hak hidup para pekerja migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum. Di dalam Pasal 11 ayat 1 juga disebutkan bahwa tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh diperbudak atau diperhambakan. Dalam konvensi tersebut juga mengatur tentang kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 12).

  Artinya disini konvensi PBB tahun 1990 jelas melindungi hak asasi manusia bagi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya.

B. Memorandum of Understanding (MOU) dan Perjanjian Antar Negara

  Memorandum adalah suatu peringatan, lembar peringatan, atau juga suatu

  

  lembar catatan. Memorandum juga merupakan suatu nota/ surat peringatan tak resmi yang merupakan suatu bentuk komunikasi yang berisi antara lain mengenai

  

  saran, arahan dan penerangan. Terhadap suatu M.O.U, selain istilah M.O.U yang sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum of Understanding, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya nota kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan. Tetapi, walaupun begitu istilah M.O.U tetap merupakan istilah yang paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya. Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh negara-negara Eropa adalah apa yang disebut 11 12 Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, (CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1977), hal. 594.

  Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986), hal. 319. dengan Head Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung

   oleh istilah M.O.U.

  Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia, istilah M.O.U diterjemahkan ke dalam berbagai istilah yang bervariasi, yang tampak belum begitu baku. Sebut saja misalnya istilah seperti “Nota Kesepakatan atau Nota Kesepahaman”. Sebenarnya M.O.U itu sama saja dengan kesepahaman-kesepahaman lainnya. Bidangnya juga bermacam-macam, bisa mengenai perdagangan, jual-beli, perjanjian antar negara, penanaman modal, ataupun bidang-bidang lainnya.

   Bahkan paling tidak secara teoritis, M.O.U dapat dibuat dalam bidang apapun.

  Ada beberapa alasan mengapa dibuat M.O.U terhadap suatu transaksi

  

  bisnis, yaitu : a.

  Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti atau tidak.

  b.

  Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, dibuatlah M.O.U yang akan berlaku untuk sementara waktu.

  c.

  Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga untuk pedoman awal dibuatlah M.O.U.

  d.

  M.O.U dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (direktur) dari suatu perusahaan tanpa memperhatikan hal detail terlebih dahulu dan tidak dirancang dan dinegoisasi khusus oleh staf-stafnya yang lebih rendah tetapi lebih menguasai teknis.

  13 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, (PT. Citra Aditya Bakti Bandung 2002), Selanjutnya disebut Munir Fuadi III, hal. 90 14 15 Ibid

  Ibid Adapun yang merupakan ciri-ciri dari suatu M.O.U adalah sebagai berikut:

   a.

  Isinya ringkas, bahkan sering satu halaman saja b. Berisikan hal yang pokok saja c. Hanya berisikan pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.

  d.

  Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya 1 bulan, 6 bulan atau setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka M.O.U tersebut akan batal, kecuali diperpanjang dengan para pihak.

  e.

  Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan saja tanpa adanya materai.

  f.

  Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian yang lebih detil setelah penandatanganan M.O.U Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian M.O.U secara umum merupakan suatu nota dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan M.O.U sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara mereka. M.O.U sengaja dibuat dan tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah tangan saja. M.O.U sengaja dibuat ringkas karena pihak yang menandatangani M.O.U tersebut merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi awal, akan tetapi daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah M.O.U.

  M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional kita, sehingga banyak yang mempertanyakan bagaimana sesungguhnya kedudukan dari M.O.U itu sendiri, apakah itu merupakan suatu kontrak atau hanya suatu dokumen sederhana mengenai kesepahaman-kesepahaman yang terjadi antar pihak.

  Berdasarkan Pasal 1313 BW yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 16 Ibid satu orang atau lebih. Dengan demikian para pihak yang telah sepakat dengan MoU telah mengikatkan dirinya terhadap pihak lain, dan harus menjalankan isi dari MoU. Kesepakatan tersebut mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing.

  Asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW menjadi dasar untuk membuat MoU, mengadakan perjanjian pendahuluan dengan pihak mana pun, menentukan isi MoU, pelaksanaan MoU, persyaratan MoU dan menentukan bentuk dari MoU yaitu secara tertulis. Pasal 1338 ayat (1) BW, menyebutkan setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya. Para pihak dalam MoU harus mempunyai kecakapan maksudnya kecakapan hukum, yaitu para pihak yang melakukan kesepakatan dalam MoU harus telah dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu perbuatan perundang-undang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Suatu MoU yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh sesuai dengan asas pacta sunt servanda (janji itu mengikat para pihak).

  Bila bertitik tolak pada pendapat para ahli mengenai pengertian perjanjian internasional, kita menemukan keanekaragaman pengertian. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena para ahli tersebut mendefinisikan perjanjian internasional berdasarkan sudut pandang masing-masing. Untuk lebih jelasnya, akan

  

  dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional, antara lain a.

  Pengertian yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja, SH, yaitu “Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.

  b.

  Pengertian yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger yaitu “Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara- negara” c. Pengertian yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht yaitu

  “Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut” d.

  Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu “perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.

  Berdasarkan 4 pengertian di atas, terdapat sedikit perbedaan namun pada prinsipnya mengandung dan memiliki tujuan yang sama.

  Berkenaan dengan hal diatas tersebut, maka setiap bangsa dan negara yang ikut dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa ”Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt servanda.

  Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak mentaati aturan-aturan yang telah 17

  

diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut C.

   Undang-Undang Nasional Terkait Masalah Tenaga Kerja Indonesia

  Di dalam Pasal 9 Huruf d Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bahwa setiap calon TKI/TKI diwajibkan untuk melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Kewajiban untuk melaporkan kedatangan bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan dilakukan oleh PPTKIS. Pasal 58 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002 menyebutkan bahwa PJTKI wajib bertanggung jawab atas perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Dalam pelaksanaan perlindungan dan pembelaan TKI, PJTKI baik sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib menunjuk atau bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan TKI yang terdiri dari Konsultan Hukum dan atau Lembaga Asuransi di negara penempatan TKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

  Ketentuan tentang masa penempatan TKI dari kedua peraturan perundangan di atas memperlihatkan, bahwa ketentuan sebagaiana diatur dalam UU PPTKI hanya bersifat administratif semata, sedangkan ketentuan yang ada dalam Kep- 104 A/MEN/2002 memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Hal ini mengingat justru masa penempatan inilah, TKI banyak mengalami masalah, baik permasalahan antara TKI dengan majikan/pengguna, maupun dengan PPTKIS yang tidak memenuhi kewajibannya seperti yang tercantum dalam perjanjian penempatan

  Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri disebutkan bahwa Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Kepulangan TKI dapat terjadi : a.

  Berakhirnya perjanjian kerja; b. Pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir; c. Terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di Negara tujuan; d. Mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisanya menjalankan pekerjaan lagi; e.

  Meninggal dunia di negara tujuan; f. Cuti g.

  Dideportasi oleh pemerintah setempat Menurut Pasal 75 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar

  Negeri, Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI dalam hal : a.

  Pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI; b. Pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; c.

  Pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak betanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan. Menurut Pasal 63 Ayat (1), (2), (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

  Trasnmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002, PJTKI bekerjasama dengan Mitra Usaha dan Perwalu wajib mengurus kepulangan TKI sampai di Bandara di Indonesia, dalam hal : a.

  Perjanjian kerja telah berakhir dan tidak memperpanjang perjanjian kerja; b. TKI bermasalah, sakit atau meninggal dunia selama masa perjanjian kerja sehingga tidak dapat menyelesaikan perjanjian kerja; c.

  PJTKI harus memberitahukan jadwal kepulangan TKI kepada Perwakilan RI di negara setempat dan Direktur Jenderal selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum tanggal kepulangan; d.

  Dalam mengurus kepulangan TKI, PJTKI bertanggung jawab membantu menyelesaikan permasalahan TKI dan mengurus serta menanggung kekurangan biaya perawatan TKI yang sakit atau meninggal dunia. Salah satu masalah yang terjadi berkaitan dengan kepulangan TKI itu adalah persoalan keamanan dalam negeri sampai di Bandara Tanah Air. Karena itu ketentuan UU PPTKI mengatur pemberian upaya perlindungan bagi TKI terhadap kemungkinan adanya pihakpihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

  D.

  

Perjanjian Kerja antara Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan

Perusahaan /Majikan

  Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan ini kemudian menjadikan adanya hubungan kerja antara keduanya. Menurut Undang- undang ini perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila

  

  perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut: (1) Hubungan kerja antara Pengguna dan TKI terjadi setelah perjanjian kerja disepakati dan ditandatangi oleh para pihak.

  (2) Setiap TKI wajib menandatangani perjanjian kerja sebelum TKI yang bersangkutan diberangkatkan ke luar negeri.

  (3) Perjanjian kerja ditanda tangani di hadapan pejabat instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.

  (4) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disiapkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

  Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian kerja ini, berlaku ketentuan isi KKB dan/atau peraturan perusahaan (jika perusahaan belum memiliki KKB atau peraturan perusahaan, perjanjian kerja ini dibuat lebih rinci lagi dengan mengacu pada pedoman pembuatan peraturan perusahaan) Dalam suatu perjanjian kerja memuat sekurang-kurangnya mengenai : a. nama dan alamat pengguna; b. nama dan alamat TKI; c. jabatan dan jenis pekerjaan TKI; 18 Agusmidah, Prosedur Penempatan Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri,

  http://www.google.co.id/search?q=prosedur+penempatan+tki&ie=utf-8&oe=utf- 8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a, diakses 30 November 2012 d. hak dan kewajiban para pihak; e. kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah, dan tata cara pembayaran, baik cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial; dan f. jangka waktu perpanjangan kerja.

  Dalam perjanjian kerja antara tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan perusahaan kedua pihak menyetujui hal-hal sebagai berikut :

  1. Masa Perjanjian Kerja a.

  Majikan akan mempekerjakan TKI sesuai dengan ketentuan dan kondisi yang berlaku dalam kontrak ini dengan mengacu kepada hukum, peraturan dan ketentuan yang berlaku di Malaysia.

  b.

  Perjanjian kerja ini mulai berlaku sejak kedatangan TKI di rumah majikan.

  c.

  TKI harus bekerja dibawah kondisi Perjanjian Kerja ini untuk jangka waktu 2 (dua) tahun atau sampai Perjanjian Kerja ini dibatalkan sesuai dengan ketentuan dan Kondisi Perjanjian Kerja ini.

  d.

  Setiap ada perubahan Hak dan Kewajiban TKI, Perjanjian kerja ini wajib di endorsement oleh Indonesia Embassy.

  2. Tempat kerja / Tinggal TKI.

  TKI hanya diperbolehkan bekerja dan tinggal di selama berlakunya Perjanjian Kerja ini.

  3. Tugas dan tanggung jawab TKI.

  TKI hanya diperbolehkan bekerja pada majikan dan dilarang mencari pekerjaan lain atau dipekerjakan di tempat lain; TKI harus mematuhi arahan dari majikan dalam mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari, meliputi : Cooking,

  House keeping, Dress Washing dan Ironing. TKI harus menunjukkan mutu kerja

  yang baik, rajin, setia dan berbudi bahasa dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh majikan yang tidak menyangkut kegiatan komersial Perwakilan RI di Malaysia. TKI dilarang menggunakan atau mengambil kesempatan menggunakan barang-barang milik majikan tanpa izin. TKI diharapkan selalu berpakaian rapi, sopan, berbudi bahasa dan hormat kepada majikan dan anggota keluarga majikan. TKI harus patuh kepada hukum dan peraturan Kerajaan Malaysia dan menghormati kebudayaan dan adat I stiadat Malaysia. Apabila TKI menikah di Malaysia dalam waktu perjanjian kerja masih berlangsung, Kerajaan Malaysia berhak membatalkan permit kerja TKI. Tidak ada anggota keluarga atau orang lain diperbolehkan untuk tinggal dengan TKI ditempat bekerja tanpa izin dari majikan.

4. Tugas dan Tanggung Jawab Majikan

  Majikan harus memberi tempat tinggal yang layak dan menyediakan keperluan sehari-hari. Majikan diwajibkan menyediakan makan yang cukup dan memadai. Majikan tidak dibenarkan memberi kegiatan atau pekerjaan lain di luar tugas-tugas yang berhubungan dengan kegiatan rumah tangga; Majikan wajib mengansuransikan TKI dengan Skim Pampasan Pekerja Asing untuk mengantisipasi biaya pengobatan sekiranya TKI mengalami kecederaan semasa bekerja dan Asuransi dibawah SKIPPA/SKHPPA untuk menjamin kesihatan TKI. Majikan pada setiap saat harus menghormati kepekaan kepercayaan keagamaan TKI termasuk memberi kesempatan TKI untuk melakukan Ibadah dan melarang TKI memegang/mengolah dan makan makanan yang tidak halal; Majikan tidak dibenarkan menyuruh TKI mencuci kereta (Mobil/kendaraan roda 2), memandikan binatang piaraan, Kerja Kebun, Membetulkan Pagar, Mengecat rumah, membetulkan Atap, Menjaga Kedai, merawat Baby/Child dan merawat Orang lanjut usia/Eldery, tidak mempekerjakan TKI di dua tempat atau lebih.

  Majikan mengijinkan TKI untuk berkomunikasi kepada pihak keluarga minimal minggu pertama sejak kedatangan TKI ke Malaysia dan setiap 1 bulan sekali.

5. Pembayaran Gaji/Pasport TKI

  Majikan diwajibkan membayar gaji bulanan melalui Bank atas nama TKI saja dan pembayaran gaji harus disesuaikan dengan Undang-undang Buruh

19 Malaysia. Bila TKI tidak mengambil hak libur, maka TKI berhak mendapatkan

  upah lembur, sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu sebesar gaji perbulan : 26 hari (Sesuai dengan Undang-undang Buruh di Malaysia). Gaji dibayarkan setiap bulan melalui Bank atas nama TKI tersebut. Passport wajib berada dalam tangan TKI. Passport dapat dipegang oleh Majikan dengan alasan keamanan, dan harus dikembalikan pada saat diminta oleh TKI.

6. Waktu Istirahat dan Cuti TKI

  Jam kerja TKI ialah 8 jam, maksimal 10 jam dalam 1 harinya. TKI diberikan hak libur sekali dalam seminggu. TKI dapat bekerja pada hari liburnya dan mendapatkan upah yang proporsional sebagai kompensasi hari libur dengan

  19 perhitungan sesuai dengan undang-undang buruh di Malaysia dan akan di cantumkan dalam perjanjian kerja.

  7. Pembatalan Perjanjian Kerja oleh Majikan

  Majikan dapat membatalkan perjanjian kerja tanpa pemberitahuan apabila TKI melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugas sehari-hari atau TKI melanggar ketentuan dan kondisi perjanjian kerja ini. Pelanggaran yang di maksud dalam klausal ini adalah sebagai berikut; Bekerja dengan majikan lain, tidak mematuhi arahan yang diberikan oleh majikan, mengabaikan pekerjaan rumah tangga dan sering terlambat melakukan pekerjaannya, didapati bersalah karena menipu dan tidak jujur, mengikuti kegiatan yang dilarang atau bertentangan dengan Undang-undang, membenarkan orang luar memasuki kediaman atau menggunakan barang milik majikan tanpa sepengetahuan/izin majikan. menggunakan barang milik majikan tanpa izin dari majikan, majikan berhak membatalkan perjanjian kerja dibawah pasal ini dengan menunjukkan bukti yang cukup apabila diminta oleh TKI.

  8. Pembatalan perjanjian Kerja oleh TKI.

  TKI dapat membatalkan perjanjian kerja tanpa pemberitahuan apabila : TKI mempunyai alasan yang wajar bahwa jiwanya terancam atau hidupnya diancam penderaan atau penyakit. TKI didera atau mendapat perlakuan tidak layak oleh majikan atau majikan tidak dapat memenuhi kewajiban seperti tertera dalam klausul perjanjian ini. TKI berhak membatalkan perjanjian kerja dibawah pasal ini dengan menunjukkan bukti yang cukup apabila diminta oleh majikan.

  9. Ketentuan Umum

  Biaya perjalanan TKI dari tempat asal pekerjja dari tempat asal TKI sampai ketempat majikan ditanggung sepenuhnya oleh majikan. Dalam hal perjanjian kerja ini dibatalkan oleh majikan atas dasar kesalahan TKI, biaya perjalanan di tanggung sepenuhnya oleh TKI. Biaya pemulangan TKI dari tempat majikan sampai ketempat asalnya di Indonesia di tanggung oleh majikan dalam kondisi perjanjian kerja berakhir, pembatalan perjanjian kerja oleh majikan, perdebatan yang timbul antara majikan dan TKI dalam hal pembatalan perjanjian kerja diselesaikan sesuai hukum yang berlaku di Malaysia. Bilamana TKI pulang karena sebab apapun, majikan wajib memberitahukan kepada agensi yang menempatkan.

  10. Perpanjangan Perjanjian Kerja

  Masa berlaku perjanjian kerja ini dapat diperpanjang dengan persetujuan dari kedua belah pihak dengan dasar dan kondisi yang sama. Majikan diwajibkan membawa TKI yang akan memperpanjang kontrak ke KBRI untuk membuat perjanjian kerja perpanjangan dan harus di endorsement oleh pihak KBRI/KJRI di Malaysia. bilamana perjanjian kerja ini diperpanjang, TKI wajib memperpanjang asuransi TKI dari Indonesia yang dapat dilakukan di Malaysia. Perjanjian kerja terbaru yang dipakai untuk memperpanjang Permit Kerja di Jabatan Imigrasi Malaysia.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia Ditinjau dari Memorandum of Understanding antara Pemerintah Indonesia dengan Malaysia

11 124 130

Kedudukan Dan Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Ditinjau Dari Segi Hukum Perikatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3 96 73

Perlindungan HAM Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Malaysia Ditinjau Dari Kovensi ILO Tentang Buruh Migran

13 206 104

A. Pendahuluan - BENTUK-BENTUK JAMINAN SOSIAL DAN MANFAATNYA BAGI TENAGA KERJA DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA

0 0 15

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

0 2 5

BAB II PENGATURAN ANAK SEBAGAI PEKERJA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL A. Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Internasional - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 20

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen Di Indonesia - Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomo

0 0 34

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasi

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional

0 0 21

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggunga

0 0 44