Penetapan Kadar Kalium, Kalsium, Natrium Dan Magnesium Pada Buah Sawo (Manilkarazapota L.) Secara Spektrofotometri Serapan Atom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buah Sawo (Manilkara zapota L.)

  Tanaman sawo dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan: Divisio : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji) Sub Divisio : Angiospermae (Berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledoneae (Biji berkeping dua) Ordo : Ebenales Famili : Sapotaceae Genus : Achras atau Manilkara Spesies : Acrhras zapota. L sinonim dengan Manilkara achr.

  (Aso, 2010).

  Tanaman sawo merupakan tanaman endemis di kawasan tropis Benua Amerika, tepatnya di Meksiko hingga Guatemala, salvador, dan Honduras Utara.

  Dewasa ini tanaman sawo sudah menyebar luas di seluruh kawasan tropis (Ashari, 1997). Dibudidayakan di banyak daerah tropis seperti India, Srilangka, Indonesia dan Malaysia. Pohon sawo memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, tahan angin dan tahan panas, sehingga cocok untuk ditanam didaerah kering dengan sedikit hujan (Sunarjono, 1997). Buah sawo pada umumnya disantap dalam bentuk buah segar, jarang yang diawetkan. Buah sawo dipetik sesudah tua benar. Sesudah diperam selama beberapa hari, buah sawo tersebut akan matang dan beraroma.

  Buah sawo yang sudah matang daging buahnya lunak dan rasanya manis sekali, karena mengandung gula yang cukup tinggi, yaitu sebesar 14% (Ashari, 1997).

  Sawo (Manilkara zapota L.) merupakan buah yang berbentuk bulat atau oval, dengan ukuran sekitar 10 cm, dan berat sekitar 150 g. Buah sawo atau zapota adalah buah tropis dan eksotis dengan rasa yang lezat manis. Sawo yang berdaging lembut ketika masak kaya akan kalori, vitamin, mineral dan tanin yang bermanfaat sebagai antioksidan. Sawo matang merupakan sumber mineral penting seperti kalium, tembaga, besi dan sebagainya. Sawo merupakan sumber kalium yang baik yaitu 193 mg/ 100 g. pada buah sawo juga dapat kita temui kadar natrium yang rendah, 12 mg/100 g. selain kaya kalium, sawo juga mengandung sejumlah mineral penting lainnya. Kandungan mineral lainnya per 100 gram buah sawo adalah : kalsium 21 mg; magnesium 12 mg; fosfor 12 mg; selenium 0,6 mg; seng 0,1 mg; tembaga 0,09 mg (Aso, 2010).

2.1.1 Manfaat Buah Sawo Bagi Kesehatan

  Dalam buah sawo terkandung senyawa fosfor dan juga kalsium, sehingga baik bagi kesehatan tulang kita. Karena tulang memang sangat membutuhkan fosfor dan kalsium untuk menjaga kekuatannya. Buah sawo juga bermanfaat untuk berbagai proses produksi enzim dan metabolisme pada tubuh. Karena sawo juga mengandung zat besi, kalium, tembaga, asam folat, niassin serta pentotenan. Selain mineral dalam buah sawo juga mengandung vitamin E yang baik untuk kulit dan vitamin A yang bermanfaat untuk mata (Aso, 2010).

2.2 Mineral

  Mineral merupakan unsur esensial bagi fungsi normal sebagian enzim dan sangat penting dalam pengendalian komposisi cairan tubuh. Tubuh tidak mampu mensintesa mineral sehingga unsur – unsur ini harus disediakan lewat makanan. Mineral adalah zat anorganik yang sama halnya dengan vitamin dalam jumlah kecil bersifat esensial bagi banyak proses metabolisme dalam tubuh (Tan dan Kirana, 2007).

  Mineral yang terdapat dalam tubuh dan makanan terutama terdapat dalam bentuk ion-ion. Kesimbangan ion-ion mineral dalam tubuh mengatur proses metabolism, mengatur keseimbangan asam basa, tekanan osmotik, membantu transport senyawa-senyawa penting pembentuk membran, beberapa diantaranya sebagai konstituen pembentuk jaringan tubuh. Mineral dalam tubuh berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, dan kekurangan atau kelebihan salah satu mineral akan berpengaruh terhadap kerja mineral lainnya (Poedjiadi,1994).

  Mineral digolongkan dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan dalam tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Mineral makro antara lain : natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan yang termasuk mineral mikro antara lain : mangan dan zink (Tan dan Kirana, 2007).

2.2.1 Kalium

  Kalium merupakan merupakan kation penting dalam cairan intraselular yang berperan dalam keseimbangan pH dan osmolasitas. Tubuh manusia mengandung 2.6 mg kalium per kg berat badan bebas lemak, sel-sel syaraf dan otot mengandung banyak kalium. Dalam jumlah kecil mineral ini dijumpai dalam cairan ekstraseluler. Kadar kalium serum adalah 14-22 mg/100 ml (Suhardjo, 1992).

  Kekurangan kalium umumnya disebabkan oleh karena ekskresi yang berlebihan melalui ginjal, muntah-muntah yang berlebihan dan diare yang berat.

  Pengaruh kekurangan kalium terutama pada otot yaitu lemah urat dan dapat mengakibatkan kelumpuhan (Suhardjo, 1992).

  Peningkatan asupan kalium dalam diet telah dihubungkan dengan penurunan tekanan darah, karena kalium memicu natriuresis (kehilangan natrium melalui urin). Diduga bahwa peningkatan asupan kalium untuk mengimbangi natrium dalam diet bermanfaat bagi kesehatan jantung. Dosis sehari kalium adalah 3500 mg (Barasi, 2007).

2.2.2 Kalsium

  Kalsium terdapat sebanyak 99% dalam tulang kerangka dan sisanya dalam cairan antarsel dan plasma. Dalam bahan makanan terutama terdapat dalam susu dan telur, juga gandum dan sayur – mayur, antara lain bayam. Reabsorbsinya dari usus memerlukan adanya vitamin D dalam bentuk aktifnya, yaitu kalsitriol.

  Fungsinya selain sebagai bahan bangun bagi kerangka, juga sebagai pemeran penting pada regulasi daya rangsang dan kontraksi otot serta penerusan impuls saraf. Lagi pula Ca mengatur permeabilitas membran sel bagi K dan Na dan mengaktivasi banyak reaksi enzim, seperti pembekuan darah (Tan dan Kirana, 2007).

  Kebutuhan kalsium pada orang dewasa normal diperkirakan 1000 mg/hari. Kekurangan kalsium menimbulkan antara lain melunaknya tulang (osteomalacia) serta mudah terangsangnya saraf dan otot, dengan akibat serangan kejang (tetania). Dalam kebanyakan kasus kekurangannya disebabkan oleh defisiensi vitamin D dan terhambatnya resorpsi Ca, atau karena penyakit hipoparatirosis dan insufisiensi ginjal (Tan dan Kirana, 2007).

  2.2.3 Natrium

  Seperti halnya kalium, natrium juga termasuk dalam larutan elektrolit tubuh dalam bentuk ion positif. Di dalam tubuh, natrium terkonsentrasi di luar sel (Devi, 2010). Natrium memainkan peranan penting dalam mempertahankan konsentrasi dan volume cairan ekstraseluler (CES). Ini adalah kation utama dari CES dan determinan utama dari osmolalitas CES. Natrium penting dalam mempertahankan kepekaan konduksi dari syaraf dan jaringan otot dan membantu dalam pengaturan asam-basa (Horne, 2000).

  Perubahan kadar natrium dapat mempengaruhi tekanan darah tetapi tidak dengan sendirinya menyebabkan tekanan darah tinggi. Meskipun demikian, terdapat cukup banyak bukti yang mendukung anggapan bahwa mengurangi asupan natrium dapat menurunkan tekanan drah. Kadar natrium yang dibutuhkan tubuh sehari 1600 mg (Barasi, 2007).

  2.2.4 Magnesium

  Tubuh manusia mengandung kurang lebih 25 gram magnesium, 50% - 60% dari padanya dalam kerangka, sedangkan sisanya terdapat dalam cairan intraseluler, juga sebagai kofaktor enzim yang menghasilkan energi. Fungsi magnesium adalah memegang peranan penting pada releksasi otot, mungkin juga untuk myocard, pada otot jantung orang yang meninggal akibat infark ditemukan kadar magnesium dan kalium yang rendah. Oleh karena itu magnesium digunakan untuk terapi infark jantung. Kebutuhan seharinya diperkirakan 450 – 500 mg. kekurangannya dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan darah, kejang pembuluh koroner dan aritmia jantung (Tan dan Kirana, 2007).

2.3 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

  2.3.1 Emisi dan Absorbsi

  Metode spektoskopi serapan atom (SSA) mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Sebagai contoh, natrium menyerap pada 589 nm, uranium pada 358,5 nm, sementara kalium menyerap pada panjang gelombang 766,5 nm, Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Keberhasilan analisis dengan SSA ini tergantung pada proses eksitasi dan memperoleh resonansi yang tepat (Rohman dan Gandjar, 2009).

  2.3.2 Instrumentasi SSA A.

  Sumber Sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow

  

cathode lamp ). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung

  suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10 - 15 torr). Neon biasanya lebih rendah. Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih tagangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi.

  Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalananya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang diisikan tadi (Rohman dan Gandjar, 2009).

  Akibat dari tabrakan–tabrakan ini membuat unsur–unsur gas mulia akan kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion–ion gas mulia yang bermuata positif ini selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energi yang tinggi pula. Sebagaimana disebutkan di atas, pada katoda terdapat unsur–unsur yang sesuai dengan unsur yang dianalisis. Unsur–unsur ini akan ditabrak oleh ion–ion positif gas mulia. Akibat tabrakan ini unsur–unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi–energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis (Rohman dan Gandjar, 2009).

  B.

  Tempat Sampel Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom – atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom – atom yaitu: dengan nyala (flame) dan dengan tanpa nyala (flameless) (Rohman dan Gandjar, 2009).

  a) Nyala (flame)

  Nyala digunakn untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjaadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri emisi atom, nyala ini berfungsi untuk mengeksitasikan atom dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas–gas yang digunakan, misalkan untuk gas batubara–udara, suhunya kira–kira sebesar 1800 C; gas alam-udara: 1700 C; asetilen-udara: 2200 C; dan gas asetilen-dinitrogen oksida (N

  2 O) sebesar 3000 C (Rohman dan Gandjar, 2009). Sumber nyala yang digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi. Propana-udara dipilih untuk logam- logam alkali karena suhu nyala yang lebih rendah akan mengurangi banyaknya ionisasi. Nyala hidrogen–udara lebih jernih dari pada nyala asetilen-udara dalam daerah UV (dibawah 220 nm), dan juga karena sifatnya yang mereduksi maka nyala ini sesuai untuk penetapan arsenik dan selenium (Rohman dan Gandjar, 2009).

  b) Tanpa Nyala

  Teknik atomisai dengan nyala dinilai kurang peka karena: atom gagal mencapai nyala, tetesan sampel yang masuk kedalam nyala terlalu besar, dan proses atomosasi kurang sempurna. Oleh karena itu, muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Pengotoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit seperti tungku yang dikembangkan oleh Masmann (Rohman dan Gandjar, 2009).

  Sejumlah sampel diambil sedikit (untuk sampel cair diambil hanya beberapa µL, sementara sedikit sampel padat diambil beberapa mg), lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan di analisis berubah menjadi atom – atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif (Rohman dan Gandjar, 2009). C.

  Monokromator Pada SSA, monokromotor dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Di samping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan chopper (Rohman dan Gandjar, 2009).

  D.

  Detektor Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggadaan foton

  (photomultiplier tube). Ada 2 cara yang dapat digunakan dalam sisitem deteksi yaitu: (a) yang dapat memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan kontinyu; dan (b) yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi. Pada cara pertama, output yang dihasilkan dari radiasi resonan dan radiasi kontinyu disalurka pada sistem glavanometer dan setiap perubahan yang disebabkan oleh radiasi resonan akan menyebabkan perubahan output. Pada cara kedua, output berasal dari radiasi resonan dan radiasi kontinyu yang dipisahkan. Dalam hal ini, sisitem penguat harus cukup selektif untuk dapat membedakan radiasi. Cara terbaik adalah dengan menggunakan detektor yang hanya peka terhadap radiasi resonan yang termodulasi (Rohman dan Gandjar, 2009).

  E.

  Readout

  Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai

  sisitem pencacatan hasil. Pencacatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Rohman dan Gandjar, 2009).

  2.3.3 Analisis Kuantitatif dengan SSA

  Untuk keperluan analisis kuantitatif dengan SSA, maka sampel harus dalam bentuk larutan. Untuk menyiapkan larutan, sampel harus diperlakukan sedemikian rupa yang pelaksanaanya tergantung dari macam dan jenis sampel. Yang penting untuk diingat adalah bahwa larutan yang akan dianalisis haruslah sangat encer. Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel, yaitu:

  Lansung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai

   Sampel dilarutkan dalam suatu asam

   Sampel dilarutkan dalam suatu basa atau dileburkan dahulu dengan basa

   kemudian hasil leburan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Metode pelarutan apapun yang akan dipilih untuk dilakukan analisis dengan SSA, yang terpenting adalah bahwa larutan yang dihasilkan harus: jernih, stabil, dan tidak menganggu zat–zat yang akan dianalisis. Ada beberapa metode kuantifikasi hasil analisis dengan metode SSA yaitu dengan menggunakan kurva kalibrasi; dengan perbandingan langsung; dengan menggunakan dua baku; dan dengan menggunakan metode standar adisi (metode penambahan baku) (Rohman dan Gandjar, 2009).

  2.3.4 Gangguan–Gangguan pada SSA

  Yang dimaksud dengan gangguan–gangguan (interference) pada SSA adalah peristiwa – peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel. Gangguan–gangguan yang dapat terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut:

  1. Gangguan yang berasal dari matriks sampel yang mana dapat mempengaruhi banyaknya sampel yang mencapai nyala

  2. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah / banyaknya atom yang terjadi di dalam nyala.

  3. Gangguan oleh absorbansi yang disebabkan bukan oleh absorbansi atom yang diananlisis; yakni absorbansi oleh molekul – molekul yang tidak terdisosiasi di dalam nyala.

  4. Gangguan oleh penyerapan non–atomik (non atomic absorption) (Rohman dan Gandjar, 2009).

  Cara mengatasi gangguan ini adalah dengan bekerja pada panjang gelombangyang lebih besar atau pada suhu yang lebih tinggi. Jika kedua cara ini masih belum bias membantu menghilangkan gangguan ini, maka satu-satunya cara adalah dengan mengukur besarnya penyerapan non-atomik menggunakan sumber sinar yang memberikan spoektrum kontinyu (Rohman, 2009).

2.4 Validasi Metoda Analisis

  Validasi metoda analisis adalah suatu penilaian yang terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

2.4.1 Kecermatan (Accuracy)

  Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Persen perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel placebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% samapai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel placebo karena matriksnya tidak diketahui seoperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen misalnya metabolit sekunder pada kultur kalus, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembaliditentukan dengan menentukan berapa analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).

2.4.2 Keseksamaan

  Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui pernyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Presisi harus dilakukan pada tiga tingkatan yang berbeda yaitu : keterulangan (repeatibilility), presisi antara (intermediate precision) dan ketertiruan (reproducibility) (Rohman, 2009).

  Pengujian presisi pada saat awal validasi metode seringkali hanya menggunakan dua parameter yang pertama, yaitu: keterulangan dan presisi antara.

  Reprodusibilitas biasanya dilakukan ketika akan melakukan uji banding antar laboratorium. Presisi sering kali diekspresikan dengan SD atau Standar Deviasi Relatif (RSD) dari serangkaian data. RSD dirumuskan dengan:

  = 100%

  ̅ Keterangan: : Kadar rata-rata sampel ̅ SD : Standar Deviasi RSD : Relative Standard Deviation

2.4.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi

  Batas Deteksi (limit of detection, LOD) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Batas Kuantifikasi (limit of quantification, LOQ) didefinsikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman, 2009).