Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Film Dokumenter Sejarah Terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku Menggunakan Teknik Rekonstruksi

  

Perancangan Film Dokumenter Sejarah Terpisahnya

Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku

Menggunakan Teknik Rekonstruksi

  

Artikel Ilmiah

Peneliti :

Chlief Septian Lekahena (692011054)

  

Jasson Prestiliano, S.T.,M.Cs

George Nicholas Huwae, S.Pd.,M.I.Kom

Program Studi Desain Komunikasi Visual

Fakultas Teknologi Informasi

  

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

Januari 2018

  

Perancangan Film Dokumenter Sejarah Terpisahnya

Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku

1) 2)

Menggunakan Teknik Rekonstruksi

Chlief Septian Lekahena, Jasson Prestiliano, S.T.,M.Cs,

3)

George Nicholas Huwae, S.Pd.,M.I.Kom

  

Fakultas Teknologi Informasi

Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50771, Indonesia

1) 2)

  

Email: chlieflekahena@gmail.com, jasprelao@gmail.com,

3)

nicholas.huwae@staff.uksw.edu

Abstract

  The value of pela-gandong culture that exist in Maluku is the grip of life for people in

Maluku who live in religious. The value of pela-gandong culture can be seen in the history of

Nusalaut Island and Ambalau Island which is said to be the siblings and live in harmony

harmoniously. Speech of siblings who are now separated and embraced a different religion.

Until now there is no visual media that contains the historical documentation of the

separation of Nusalaut Island and Ambalau Island. Based on the existing problems,

qualitative research was made using linear strategy method, resulting in the design of the

documentary film of the history of the separation of Nusalaut Island and Ambalau Island in

Maluku using reconstruction technique as a medium of information in preserving pela-

gandong culture which became diversity among religious people.

  Keywords : History, Cultural Values, Documentary Film, Nusalaut, Ambalau

Abstrak

  Nilai budaya pela-gandong yang ada di Maluku merupakan pegangan hidup bagi

masyarakat di Maluku yang hidup dalam keberagamaan. Nilai budaya pela-gandong ini dapat

dilihat pada cerita sejarah Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang kononnya adalah saudara

kandung dan hidup dalam keharmonisan yang rukun. Keduanya merupakan adik-kakak kandung

yang kini telah terpisah dan menganut agama yang berbeda. Hingga saat ini belum adanya media

visual yang memuat dokumentasi sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau.

Berdasarkan masalah yang ada maka dibuatlah penelitian kualitatif menggunakan metode linear

strategi, sehingga menghasilkan perancangan film dokumenter sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut

dan Pulau Ambalau di Maluku menggunakan teknik rekonsruksi sebagai media informasi dalam

melestarikan nilai budaya pela-gandong yang menjadi keberagaman antar umat beragama. 1) Kata Kunci: Sejarah, Nilai Kebudayaan, Film Dokumenter, Nusalaut, Ambalau 2) Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 3) Staff Pengajar Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Staff Pengajar Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

1. Pendahuluan

  Dalam perjalanan kehidupan masyarakat di Maluku pada awalnya, sudah dikenal oleh berbagai bangsa-bangsa seperti dari bangsa Arab, bangsa China dan bangsa-bangsa lain yang mendiami benua Eropa. Dengan perjumpaan itu, maka sejak lama masyarakat Maluku telah membangun hubungan dengan bangsa- bangsa lain dengan beradaban yang berbeda, sehingga Maluku memiliki keunggulan-keunggulan tertentu dalam membangun relasi sosial antar sesama dari berbagai peradaban [1]. Relasi sosial yang dimaksud diperkuat dengan adanya nilai budaya sebagai dasar yang menjadi jati diri yakni nilai budaya cinta damai yang dimiliki sejak leluhur. Dengan demikian, kebudayaan yang dikembangkan adalah kebudayaan yang melambangkan persekutuan, kekeluargaan dan saling menghargai dalam bentuk pela, gandong, basudara Salam dan Sarane sebagai panggilan sehari-hari (bukan orang Islam dan orang Kristen) sebagai lambang perdamaian yang sudah melekat pada jiwa dan semangat anak Maluku.

  Nilai budaya yang sudah ditanamkan ini kemudian dipegang teguh oleh masyarakat di Maluku sampai saat ini yang dikenal dengan sebutan Pela-

  

Gandong . Pela (kerabat) adalah sejarah hidup orang Maluku, yang di dalamnya

  terkandung penghayatan akan nilai-nilai relasi antar manusia, baik yang diawali dengan atau tanpa ketegangan. Dilihat dari sejarah terjadinya pela maka pela dapat dikatakan sebagai solusi dalam menghadapi ketegangan dan persoalan- persoalan hidup dengan menekankan perbaikan relasi antar manusia. Menurut bahasa asli negeri-negeri di Maluku, pela memang bisa diartikan sebagai kerabat (yang dipercaya) atau saudara, karena mereka yang berada di dalam ikatan pela menganggap satu dengan yang lain, tanpa memandang usia dan kedudukan sebagai kerabat, bahkan lebih dari sekedar kerabat yaitu sebagai saudara [2].

  Gandong (berasal dari kata kandung atau kandungan) dan pela pada

  menggolongkan gandong juga sebagai salah satu bentuk pela. Jika dua (atau lebih) negeri memiliki hubungan gandong hal itu karena mereka merasa memiliki asal usul yang sama, yaitu berasal dari satu keturunan, dari nenek moyang yang sama [3]. Pela-gandong sebagaimana dipahami merupakan ikatan persaudaraan yang sangat kuat. Kekuatan pela-gandong itu terletak pada nilai persaudaraan sejati antara dua atau tiga negeri (desa/kampung). Nilai persaudaarn sejati itu dapat bersifat kultural dan historis. Bersifat genealogis-kultural karena hubungan

  

pela-gandong itu bersumber pada nilai-nilai adat, misalnya secara kultural orang-

  orang berasal dari dua atau tiga negeri yang berbeda itu memiliki satu pertalian genealogis. Orang-orang dari negeri tersebut yang berbeda atau sama agamanya itu berasal atau bersumber dari satu negeri asal dan satu nenek moyang.

  Berbagai bentuk pengkhayatan akan nilai budaya pela-gandong ini dapat dilihat pada aspek kehidupan masyarakat di Maluku, salah satunya sejarah hubungan saudara pela-gandong antara Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku yang memiliki ikatan gandong namun berbeda agama. Hubungan saudara antara Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau berawal dari kisah tentang

  gandong

  dua orang bersaudara yang tinggal bersama dengan rukun dan harmonis sebagai adik-kakak kandung. Pada masa itu keduanya hidup saling berdampingan dengan tidak mengenal agama, sehingga dikatakan “animisme”. Animisme dapat dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan dimana manusia religius, khususnya orang-orang primitif, membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada setiap makhluk dan benda mati [4].

  Dengan demikian adik-kakak ini hidup pada masa primitif dan belum mengenal agama, jauh sebelum masuknya penjajahan saat itu. Akibat perebutan harta warisan yaitu sebatang pohon “sukun” yang tumbuh ditengah-tengah Pulau Nusalaut, maka adik-kakak ini pun bersepakat dengan maksud menghindari konflik antara adik-kakak tersebut. Kesepakatan mereka diawali dengan berpisah pada sebatang pohon “sukun” yang menjadi awal perjalanan Pulau Ambalau, meninggalkan Pulau Nusalaut. Cerita yang ditutur oleh kepala Desa Massawoy- Ambalau, Bapak Abu Tukmuly mengatakan bahwa cerita ini masih memiliki banyak versi yang ditutur oleh masing-masing desa/negeri. Bahkan dari Pulau Nusalaut juga memiliki versi cerita yang berbeda, namun alasan utama tetap sama yakni adik- kakak ini berpisah akibat karena pohon “sukun”. Dari berbagai cerita yang didengar, dapat disimpulkan bahwa pendalaman cerita sejarah kedua pulau ini hanya sebatas penuturan tua-tua adat tanpa adanya media visual yang dapat menggambarkan terpisahnya kedua pulau ini. Kurangnya perhatian pemerintah dalam mengembangkan cerita sejarah bagi generasi muda dalam proses pembelajaran juga menjadi masalah. Cerita yang melatarbelakangi nilai budaya

  

pela-gandong dalam keberagaman ini kiranya dapat dikhayati bagi generasi muda

  dalam meneruskan nilai budaya yang sudah turun-temurun. Berdasarkan masalah yang ada maka dibuatlah sebuah media visual dengan mengangkat kembali cerita sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku, sebagai media informasi bagi generasi muda dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong.

  Sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau dapat di tutur kembali melalui media apapun, salah satunya media visual berupa film dokumenter. Namun seiringnya perkembangan teknologi sampai saat ini, belum adanya media visual yang dapat menceritakan kembali sejarah kedua pulau ini terpisah. Film dokumenter mempunyai 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi dalam proses pembuatannya, yaitu: tidak ada usaha untuk menipu penonton dan peristiwanya tidak bertentangan dengan rekonstruksinya [5]. Film dokumenter berfungsi penting dalam usaha pelestarian budaya. Dengan diimbangi penelitian yang mendalam dan pembuatan konsep penyajian yang menarik, film tersebut dapat menjadi saksi sejarah yang tetap aktual dan terpercaya [6].

2. Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian terdahulu mengenai pembuatan film dokumenter.

  Penelitian pertama yang berjudul “Pembuatan Film Doumenter Drama Rudat

  Dengan Menggunakan Pendekatan Rekonstruksi Sejarah ”. Di pulau Lombok-

  Nusa Tenggara Barat, ada salah satu kesenian daerah yang masih sangat kental nilai budayanya bernama langkah Rudat. Langkah Rudat juga dikenal sebagai langkah penyambutan untuk wisatawan [7]. Namun, perkembangan saat ini Rudat kurang dikenal orang akibat tidak adanya lagi waktu yang disediakan oleh pemerintah setempat saat menyambut tamu dari dalam maupun luar negeri. Kedudukan Rudat sudah digantikan oleh ceramah dan sebagainya. Dengan menyuguhkan pemandangan yang indah dan keramah-tamahan penduduk diharapkan dapat meningkatkan daya tarik wisatawan asing maupun wisatawan lokal berkunjung ke pulau ini untuk menikmati nilai-nilai tradisi yang ada di pulau Lombok, salah satu tradisi yang sampai saat ini masih ada ialah Rudat. Film ini dibuat untuk menceritakan kembali sejarah Rudat dan menjadikannya salah satu warisan budaya yang akan terus dikenang oleh masyarakat. Juga dapat mengemas sejarah Rudat sesuai asal mula, filosofi dan perkembangan yang ada.

  Penelitian kedua mengenai “Film Dokumenter Sejarah Drama Tari Gambuh Desa Batuan

  ”. Film ini menceritakan seni budaya yang hampir terlupakan oleh generasi muda saat ini. Salah satunya adalah kesenian drama tari Gambuh. Gambuh berbentuk total teater karena di dalamnya terpadu dengan baik dan harmonis elemen-elemen tari, vocal/dialog, musik, drama, sastra dan seni rupa sehingga menjadi inspirator seni pertunjukan yang lahir kemudian. Film dokumenter sejarah drama tari Gambuh Desa Batuan menganut jenis film dokumenter sejarah, namun dalam beberapa bagian akan dimunculkan unsur rekonstruksi berbantuan animasi 2D, di mana film ini nantinya akan menceritakan bagaimana awal mula drama tari Gambuh muncul hingga berkembang sampai sekarang di Desa Batuan. [8].

  Sesuai dengan kedua penelitian tersebut, maka keunggulan dari penelitian ini adalah memperkenalkan nilai budaya pela-gandong sebagai keberagaman dalam kehidupan beragama di Maluku. Dengan mengangkat cerita sejarah Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang memiliki kepercayaan yang berbeda, hingga saat ini kedua pulau ini masih memegang teguh nilai budaya pela-gandong sebagai keberagaman antar umat beragama. Dengan merekonstruksi proses terpisahnya adik-kakak demi menghindari perdebatan diantara keduanya, dapat menjadi media informasi bagi generasi muda dalam melestarikan nilai budaya yang sudah ada sejak leluhur. Secara geografis Pulau Nusalaut berada pada Provinsi Maluku, Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, sedangkan Pulau Ambalau terletak pada Kecamatan Ambalau, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku. Pulau Nusalaut dalam sejarah adalah kakak (Kristen) dan Pulau Ambalau adalah adik (Islam) yang hidup dengan kepercayaan masing-masing. Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau dulunya merupakan sebuah pulau besar yang bernama “Nusahulawano” artinya, pulau yang dikelilingi laut. Kononnya ada dua orang bersaudara kandung yang terlahir dari rahim ibu yang sama.

  

Gambar 1. Peta Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau

  Cerita yang melatarbelakangi kehidupan adik-kakak yang tinggal bersama ini, harus diperhadapkan pada sebuah kesepakatan bersama demi peninggalan warisan orangtua. Kesepakatan dimulai dengan berpisah pada sebatang pohon

  “sukun” yang merupakan warisan orangtua adik-kakak tersebut. Saat malam tiba, terjadi keajaiban alam yang menimpa adik-kakak yang sedang tidur. Pulau

  

“Nusahulawano” terbelah menjadi dua bagian, begitu juga pohon “sukun” yang

  menjadi awal perjalanan Pulau Ambalau, ikut terbelah menjadi dua bagian. Dari ujung pohon sampai ke akar-akar ada bersama pulau yang satunya yang diberi nama Pulau Ambalau artinya,

  “ombak di laut” dan yang setengahnya ikut

  bersama Pulau Nusalaut. Pulau Nusalaut merupakan tujuh negeri yang mayoritasnya beragama Kristen yaitu, negeri Ameth, Akoon, Abubu, Titawaai, Leinitu, Sila dan Nalahia. Sedangkan Pulau Ambalau terdiri dari tujuh desa dengan mayoritas Islam di antaranya, desa Kampung Baru, Ulima, Masawoy, Lumoy, Elara, Selasi dan Siwar. Film dokumenter ini dibuat sebagai media pembelajaran tentang cerita sejarah Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang mengandung nilai budaya pela-gandong dalam keberagaman umat beragama.

  Film adalah salah satu industri kreatif berupa tontonan yang punya peran menghibur, itu adalah fungsi yang paling konkret dan mudah. Film sebagai teknologi layar kini bisa digunakan untuk komunikasi sosial, iklan, kampanye politik, seminar akademis, dan aktifitas pendidikan. Film secara efektif mampu membentuk, mengarahkan, menggugat atau pun merusakkan gambaran dan pengertian tentang realitas. Ini bisa terjadi karena film dapat memainkan persepsi, emosi, imajinasi, pengetahuan dan perasaan penontonnya [9].

  Film dokumenter merupakan film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan, yaitu untuk propaganda, pendidikan atau tujuan lain. Kenyataan-kenyataan dan argumen-argumen yang disampaikan di dalamnya, menguak kembali sejarah atau nilai-nilai luhur budaya yang mulai dilupakan oleh generasi sekarang [10].

  Dokumenter bentuk rekonstruksi dapat ditemui pada dokumenter investigasi sejarah, termasuk pula pada film etnografi dan antropologi visual. Dalam tipe ini, pecahan-pecahan atau bagian-bagian peristiwa masa lampau maupun masa kini disusun atau direkonstruksi berdasarkan fakta sejarah. Pada saat merekonstruksi suatu peristiwa, latar belakang sejarah, periode, serta lingkungan alam dan masyarakatnya menjadi bagian dari konstruksi peristiwa tersebut [11]. Biasanya ada kesulitan tersendiri dalam mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus dibantu dengan rekonstruksi peristiwanya. Rekonstruksi yang dilakukan tidak membutuhkan pemain, lokasi, kostum, make-up dan lighting yang persis dengan kejadiannya, sehingga sangat berbeda doku-drama yang memang membutuhkan keotentikan yang tinggi.

  Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita) [12].

3. Metode Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yang membantu penulis mendekatkan diri dengan subjek yang diteliti. Dengan didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian bermaksud membuat keadaan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerah tersebut [13]. Untuk strategi penelitian menggunakan

  

linear strategy yakni menetapkan urutan logis pada tahapan perancangan

  sederhana yang sudah dipahami komponennya, dan telah berulangkali dilaksanakan [14]. Tahap perancangan yang menggunakan linear strategy dapat dilihat pada Gambar 2.

  

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

Identifikasi Pengumpulan Perancangan Pengujian

dan Evaluasi

  Masalah Data Film

Gambar 2. Perancangan linear strategy

  Tahap pertama dalam perancangan film dokumenter ini adalah identifikasi masalah. Data yang diperoleh dari wawancara bersama Bapak Ali Loilatu berperan sebagai tua-tua adat Desa Elara-Pulau Ambalau, menyatakan bahwa cerita terpisahnya kedua pulau ini pada umumnya sama, yaitu terpisah akibat sebatang pohon “sukun”. Namun masalah yang ditemukan dalam penelitian ini adalah belum adanya media visual yang dapat menceritakan kembali sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau, seiring berkembangnya teknologi sekarang ini. Selain itu kurangnya pendalaman cerita sejarah dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong sebagai keberagaman antar umat beragama yang ada di Maluku. Tahap kedua yaitu pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data primer dan sekunder.

  Data primer adalah proses wawancara (interview) yang dilakukan dengan komunikasi secara lisan kepada narasumber yang terkait atau dianggap cukup memiliki informasi untuk mendapatkan sejumlah data yang relevan dengan masalah yang dibahas [15]. Selain itu data sekunder dilakukan untuk memperkuat data primer yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Proses ini dilakukan dengan membaca buku dan sumber-sumber kepustakaan lainnya yang mendukung penelitian tersebut. Kajian informasi dari internet juga akan membantu mendapatkan informasi data tambahan mengenai masalah yang bersangkutan. Tahap terakhir untuk memperoleh data adalah dengan observasi langsung ke lapangan dengan tujuan untuk mengetahui suasana dan atmosfer serta kehidupan masyarakat di kawasan Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau.

  Tahap ketiga dalam perancangan linear strategy adalah perancangan film dokumenter. Perancangan desain dalam film dokumenter ini meliputi: pra produksi, produksi dan pasca produksi, yang dapat dilihat pada Gambar 3.

  Script Pra Produksi

  Video Storyline

  Audio Produksi Treatment

  Editing Storyboard Pasca Produksi

  Rendering Mastering

Gambar 3. Perancangan Desain Dalam tahapan pra produksi perancangan rekonstruksi film dokumenter sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku, terdiri dari beberapa proses yang harus dikerjakan, seperti Script, Storyline, Treatment dan

  

Storyboard. Proses ini sangat diperlukan dalam pembuatan film dokumenter

  maupun pembuatan video lainnya. Ide dari film ini adalah menyajikan informasi kepada masyarakat di Maluku bagaimana cerita sejarah Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau terpisah dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong yang terkandung didalam cerita sejarah kedua pulau ini.

  Script sebenarnya merupakan suatu manuskrip atau naskah yang berisi

  spesifikasi suatu penyajian dalam setiap medium [16]. Script pada perancangan film dokumenter ini telah dilampirkan kedalam footage video sebagai subtitle atau teks bersama narasumber, maupun pada rekonstruksi adik-kakak saat bersepakat dibawah pohon

  “sukun” yang menjadi awal perjalanan Pulau Ambalau, meninggalkan Pulau Nusalaut.

  Storyline adalah keseluruhan cerita dari awal sampai akhir dalam berbagai

  bentuk tulisan, script, screenplay, copyplay, stageplay dan berbagai coretan teks sementara lainnya nanti bisa digabung-gabungkan menjadi satu cerita utuh [17]. Berikut adalah storyline dari film dokumenter sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau d Maluku.

  “Pela-gandong sebagai salah satu nilai budaya orang Maluku yang hingga saat ini masih menjadi pegangan hidup masyarakat di Maluku. Begitu pula di Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang masih memegang teguh nilai kebudayaan ini. Keberedaan Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau ini memberi nilai positif dimana kedua pulau ini merupakan saudara kandung, tetapi keduanya menganut agama yang berbeda. Kononnya adik-kakak ini tinggal bersama dan hidup saling membantu satu dengan yang lainnya. Berpisahnya adik-kakak ini mereka. Perpisahan adik-kakak ini pun berdampak hingga saat ini yang ditandai dengan bekas perjalanan Pulau Ambalau saat terpisah dari Pulau Nusalaut. Kemudian koordinasi yang dilakukan kedua pulau untuk pendidikan yang merata antar kedua pulau. Nilai keagamaan yang terkandung dalam cerita sejarah ini juga yang menjadi penting, dimana Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang masih memegang teguh nilai kebudayaan pela-gandong ini akan menambah informasi bagi generasi muda saat ini dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong yang sudah ada sejak leluhur”.

  Treatment adalah sebuah dokumen pendek yang menjabarkan inti dari ide

  cerita tersebut. Suatu ide cerita terkadang dibuatkan banyak treatment untuk mencari perbandingan [18]. dalam pembuatan film dokumenter ini dapat dilihat pada Tabel 1.

  Treatment

Tabel 1. Treatment

1.

   INT– RUANG TAMU–SIANG HARI

Latarbelakang konflik yang terjadi di Maluku pada Wawancara bersama narasumber dari Desa Masawoy

tahun 1999 sampai 2004 Pulau Ambalau yang menceritakan kesamaan dari (Long Shot, Medium Shot) Pulau Nusalaut dengan Pulau Ambalau (Medium Close Up)

  2. EXT–AMBON–SIANG HARI

  3.

   INT–DEPAN MASJID–SORE HARI

  4. INT–DEPAN GEREJA–SORE HARI Papan nama salah satu Gereja di Negeri Ameth Pulau Nusalaut memberi gambaran tujuh (7) negeri Kristen di pulau Nusalaut - (Medium Shot, Panning Right) Salah satu Masjid di Desa Ulima Pulau Ambalau dengan simbolis tujuh (7) desa mayoritas Islam (Long Shot, Tilting Up) 5.

   INT–LAPANGAN UPACARA–SIANG HARI Patung pahlawan Indonesia Christina M. Tijahahu yang berada ditengah-tengah lapangan Desa Abubu Pulau Nusalaut - (Panning Right, Long Shot) 6.

   EXT–RUANG TAMU–SORE HARI Wawancara dengan narasumber serta closing segment yang menjadi pesan bagi masyarakat di Maluku - (Medium Close Up)

  01 : 25 Wawancara kepada narasumber cerita Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau.

  2 Medium Close Up

  Backsound : Sounds Of War - Petteri Sainio

  0:29-0:58 Latar belakang konflik yang terjadi di Maluku pada tahun 1999-2004.

  1 Long Shot, Medium Shot

  No Gambar Jenis shoot Durasi Keterangan

  alur sebuah cerita. Langkah ini nantinya bertujuan untuk memudahkan dalam mengaplikasikan pengambilan gambar menggunakan kamera [19]. Untuk perancangan storyboard film dokumenter ini dapat dilihat pada Tabel 2.

  Storyboard merupakan rangkaian gambar sketsa yang merepresentasikan

   INT–DEPAN RUMAH–SIANG HARI Anak-anak di Pulau Nusalau yang baru pulang sekolah dan melakukan perjalanan menuju rumah mereka masing-masing - (Long Shot, Low Angle) 16.

   INT–JALANAN DESA–SIANG HARI Suasana aktivitas masyarakat Desa Ulima Pulau Ambalau yang saling menegur satu sama lain (Long Shot, Still) 7.

   INT –RUANG TAMU–SIANG HARI Wawancara dengan narasumber mengenai kerjasama yang dilakukan kedua generasi Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau - (Medium Close Up) 15.

   INT–SAMPING RUMAH–SORE HARI Anak-anak Desa Masawoy Pulau Ambalau yang sedang bermain bersama-sama (Medium Shot) 14.

   INT–DALAM SPEED BOAT–SIANG HARI Lokasi beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni dan menjadi bekas atau saksi nyata perjalanan Pulau Ambalau terpisah dengan Pulau Nusalaut (Long Shot, High Angle) 13.

   INT–KAMAR TIDUR–MALAM HARI Rekonstruksi adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang sedang tidur malam, saat sebelum mereka berpisah (Low Angle, Medium Shot) 12.

   INT–RUANG TAMU–SORE HARI Wawancara bersama narasumber yang menjelaskan alasan adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau ini berpisah (Medium Close Up) 11.

   INT–DALAM HUTAN–SORE HARI Rekostruksi adik-kakak saat melakukan kesepakatn untuk berpisah tepat dibawah pohon sukun yang menjadi awal perjalanan Pulau Ambalau (Still, Medium Close Up) 10.

   INT–DALAM HUTAN–SIANG HARI Rekonstruksi penggambaran adik-kakak kandung yang tinggal bersama dan hidup saling membantu (Low Angle, Panning Left) 9.

   INT–RUANG TAMU–SIANG HARI Wawancara kepada narasumber kedua mengenai sebab akibat adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau terpisah - (Medium Close Up) 8.

  Backsound : lagu Maluku

  Panning 01 : 34 Salah satu Gereja di negeri Right, Long Ameth-Nusalaut. Shot Backsound : lagu Maluku dan

  3 suara narasumber yang sedang bercerita

  Long Shot, 01 : 43 Salah satu Masjid di desa Tilt Up Ulima-Ambalau Backsound : lagu Maluku dan

  4 suara narasumber yang sedang bercerita

  Long Shoot 01 : 52 Pemandangan negeri Abubu- Nusalaut Backsound : lagu Maluku dan

  5 suara narasumber

  Long Shot 01 : 57 Pemandangan desa Ulima- Ambalau Backsound : lagu Maluku dan

  6 suara narasumber

  Medium 02 : 21 Wawancara dengan narasumber Close Up yang menceritakan berpisahnya adik-kakak ini

  7 Backsound : lagu Maluku dan suara narasumber Medium 02 : 46 Ilustrasi/rekonstruksi adik- Close Up, kakak Nusalaut dan Ambalau Panning Left, Backsound : lagu Maluku dan Low Angle

  8 suara VO sebagai pengantar cerita

  Medium 03 : 06 Ilustrasi/rekonstruksi adik- Close Up kakak saat bersepakat untuk berpisah di pohon sukun

  9

  10 Medium Close Up

  04 : 13 Narasumber yang menjelaskan proses berpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau Backsound : lagu daerah Maluku bapa ceda

  11 High Angle, Medium Close Up

  04 : 28 Ilutrasi/rekonstuksi saat adik- kakak sedang tidur malam dan akan terpisah hingga fajar Backsound : lagu daerah Maluku bapa ceda dan suara narasumber

  12 Long Shot 04 : 55 Pemandangan Pulau Molana- Maluku Tengah, bekas perjalanan Pulau Ambalau terpisah Backsound : lagu daerah Maluku tanah pusaka dan suara narasumber

  13 Medium Close Up 05 : 55 Anak-anak di desa Masawoy- Ambalau yang sedang bermain Backsound : lagu daerah Maluku-Gandong e dan suara narasumber

  14 Medium Shot 06 : 09 Narasumber yang menjelaskan koordinasi Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau Backsound : lagu daerah Maluku-Gandong e dan suara narasumber

  Long Shot 06 : 19 Anak-anak yang baru pulang sekolah di Pulau Nusalaut

  Backsound : lagu daerah Maluku-Gandong e dan suara narasumber

15 Low Angle,

  Medium 06 : 56 Narasumber yang memberi Close Up penjelasan tentang persaudaraan Pulau Nusalaut dan Ambalau bukan sekedar

  16 “pela” Backsound : lagu daerah Maluku-Gandong e

  Kegiatan yang dilakukan dalam tahap produksi film dokumenter ini adalah melakukan pengambilan gambar sesuai dengan storyboard, serta wawancara bersama

  “tua-tua adat” maupun kepala desa yang masih mengetahui cerita adik- kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau. Pada tahap pasca produksi dilakukan proses editing yang memuat pencahayaan/color grading serta perancangan audio, sesuai dengan pengambilan gambar yang sudah dilakukan pada tahap produksi. Pada proses editing digunakan aplikasi editing yang sering digunakan untuk menggabungkan penggalan- penggalan video menjadi satu cerita. Proses ini dilakukan untuk menggabungkan tiap video footage. pada perancangan film dokumenter ini adalah salah satu proses

  Editing

  dimana file video saat produksi, diseleksi satu per satu untuk kemudian dipotong

  

(cut to cut) dan digabungkan menjadi satu footage video. Untuk Timeline footage

video editing dapat dilihat pada Gambar 4.

  

Gambar 4. Editing Video

Color Grading atau yang sering disebut dengan pencahayaan ini merupakan

  proses mengatur tata cahaya pada setiap scene agar terlihat lebih menarik. Pada tahap ini dilakukan koreksi warna untuk mendapatkan kesan cerita sejarah yang sudah turun temurun. Dengan menggunakan RGB curve untuk mengatur cahaya dengan warna dingin agar terlihat lebih santai dan menarik, sehingga dapat menampilkan warna pemandangan yang ada pada tiap scene. Dapat dilihat pada Gambar 5.

  

Sebelum Grading Setelah Grading

Gambar 5. Color Grading

Audio sendiri merupakan proses penempatan audio untuk scene video

  perancangan film dokumenter ini. Namun suara narasumber yang menceritakan sejarah Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau dibawakan bersamaan dengan audio yang mendukung jalannya cerita. Beberapa audio yang digunakan adalah audio dengan ciri khas Maluku, dengan berbagai jenis genre yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.

  

Gambar 6. Audio Editing

  Proses terakhir dari perancangan film dokumenter ini adalah rendering dan

  

mastering. Rendering merupakan tahap penggabungan berkas editing menjadi

  sebuah file video. Seperti pada proses editing, yang dilakukan adalah mengatur settingan rendering seperti resolusi dan format video. Setelah selesai rendering, maka tahap selanjutnya adalah Export Media. Berkas file akan diproses melalui

  

Encoder Media menjadi sebuah format video agar dapat ditayangkan dalam

sebuah file video dengan format MPEG 2 (Moving Pictucres Expers Group).

  Mastering merupakan proses akhir dari perancangan film dokumenter

  sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku. Setelah proses

  

burning selesai maka pembuatan film dokumenter ini telah selesai, sesuai dengan

tahapan pra produksi sampai pasca produksi.

  

Gambar 7. Rendering dan Export Media

4. Hasil dan Pembahasan

  Hasil dari perancangan rekonstruksi film dokumenter sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku. Berikut adalah hasil dari perancangan rekonstruksi film dokumenter ini.

  

Gambar 8. Scene 1 latarbelakang konflik yang terjadi di Maluku

  Gambar 8 adalah scene pertama dengan latarbelakang konflik yang terjadi di Maluku. Pada bagian ini hanya menjadi tegasan bahwa film dokumenter ini dibuat sebagai media pembelajaran bagi henerasi muda dalam melestarikan nilai budaya

  pela-gandong tanpa harus ada konflik yang terjadi.

  

Gambar 9. Scene 2 wawancara kepada kepala Desa Masawoy Pulau Ambalau

  Pada gambar 9 menunjukkan proses wawancara bersama narasumber yang masih mengetahui sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau. Shot yang digunakan adalah Medium Shot sehingga dapat menampilkan ekspresi dari narasumber yang sedang bercerita.

  

Gambar 10. Scene 3 Gereja di Negeri Ameth Pulau Nusalaut Gambar 10 menunjukan depan gereja di Negeri Ameth Pulau Nusalaut.

  

Scene ini hanya memberi informasi bahwa di Pulau Nusalaut adalah murni tujuh

  negeri Kristen. Shot yang digunakan adalah Panning Right untuk menampilkan sebagian dari sisi Gereja, kearah depan Gereja.

  

Gambar 11. Scene 4 Masjid di Desa Ulima Pulau Ambalau

  Pada scene ini hampir sama dengan scene sebelumnya, bahwa bagian ini hanya ingin menyampaikan di Pulau Ambalau juga memiliki tujuh desa dengan mayoritas beragama Islam. Gambar 11 menggunakan jenis shot Tilting Up dimana kamera bergerak dari bawah keatas untuk menampilkan bangunan Masjid secara keseluruhan.

  

Gambar 12. Scene 5 pemandangan Negeri Abubu Pulau Nusalaut

  Gambar 12 menampilkan salah satu negeri yang ada di Pulau Nusalaut, tepatnya di Negeri Abubu yang merupakan tanah kelahiran pahlawan Indonesia Christina Martha Tijahahu. Jenis shot pada scene ini adalah Panning Right untuk menampilkan pemandangan laut yang mirip dengan pulau Ambalau.

  

Gambar 13. Scene 6 pemandangan Desa Ulima Pulau Ambalau Gambar diatas menunjukan kehidupan yang terjadi di Pulau Ambalau dengan masyarakat yang majemuk. Jenis shot yang digunakan adalah Still, Long

  Shot sehingga terlihat aktivitas yang terjadi di desa tersebut.

  

Gambar 14. Scene 7 wawancara bersama narasumber

  Gambar 14 adalah scene wawancara dengan narasumber yang menjelaskan penyebab adik-kakak ini terpisah Dengan jenis shot yang digunakan Medium

  Close Up untuk memperlihatkan ekspresi narasumber yang sedang bercerita.

  

Gambar 15. Scene 8 rekonstruksi adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau

  Gambar 15 menunjukan scene rekonstruksi adik-kakak yang tinggal bersama dan saling membantu satu dengan yang lainnya.. Rekonstruksi dibuat untuk memperkuat pesan nilai budaya pela-gandong tentang hubungan persaudaraan. Jenis shot yang diguakan adalah Low Angle, Panning Left mengikuti adik-kakak yang sedang berjalan menuju ke pohon sukun.

  

Gambar 16. Scene 9 rekonstruksi adik-kakak yang melakukan kesepakatan

Scene 9 adalah bagian adik-kakak saat melakukan kesepakatan untuk

  berpisah di pohon “sukun” yang menjadi saksi sejarah Pulau Nusalaut dan Pulau

  Ambalau. Jenis shot yang digunakan adalah Medium Close Up dengan posisi kamera sejajar dengan objek batang pohon.

  

Gambar 17. Scene 10 wawancara kepada narasumber

  Gambar 17 scene 10 kembali menampilkan ekspresi narasumber yang sedang menceritakan dampak yang terjadi setelah adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau ini terpisah. Jenis shot pada scene ini adalah Medium Close Up.

  

Gambar 18. Scene 11 rekonstruksi adik-kakak

  Pada scene ini hanya rekonstruksi adik-kakak yang terpisah dan dampak setelah mereka terpisah. Peristiwa yang terjadi saat malam hari, hingga menjelang pagi dan posisi Pulau Ambalau sudah terlepas dari Pulau Nusalaut. Jenis shot yang digunakan adalah Low Angel dimana posisi kamera sejajar kebawah untuk memperjelas posisi adik-kakak saat sedang tidur.

  

Gambar 19. Scene 12 bekas peninggalan perjalanan Pulau Ambalau

  Ketiga gambar tersebut merupakan bekas peninggalan sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau. Pulau-pulau ini tidak berpenghuni sehingga menjadi tempat wisatawan berkunjung. Jenis shot yang digunakan adalah Long Shot, High Angle untuk menampilkan pemandangan pulau-pulau tersebut.

  

Gambar 20. Scene 13 anak-anak di desa Massawoy-Ambalau

  Pada scene ini menampilkan beberapa anak yang sedang bermain. Scene ini menceritakan ketika dibentuknya koordinasi antara generasi Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau untuk bagaimana anak-anak di Pulau Ambalau mendapatkan pendidikan. Jenis shot yang digunakan adalah Medium Close Up sehingga terlihat beberapa anak di belakang sedang bermain bersama.

  

Gambar 21. Scene 14 wawancara bersama narasumber

Scene 14 menampilkan narasumber yang sedang menceritakan koordinasi

  yang dilakukan antara Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau dalam menjalin hubungan yang lebih harmonis sebagai adik-kakak kandung. Jenis shoot yang digunakan Medium Close Up.

  

Gambar 22. Scene 15 anak-anak di Nusalaut saat pulang sekolah

  Gambar 23 menceritakan bangunan sekolah dan Gereja yang ada di Pulau Nusalaut, merupakan pembangunan yang dilakukan oleh generasi Pulau Ambalau. Ini merupakan usaha menjalin kerjasama antara adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang telah terpisah itu. Jenis pengambilan gambar Long Shot dengan kamera sejajar anak-anak saat mereka pulang sekolah.

  

Gambar 23. Scene 16 wawancara narsumber cerita Nusalaut dan Ambalau

  Gambar 23 dengan scene 17 merupakan scene terakhir dimana narasumber memberi penjelasan bahwa Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau memiliki hubungan bukan sekedar

  “pela” (kerabat) namun mereka terlahir dari rahim Ibu

  yang sama dan merupakan satu darah, adik-kakak kandung. Jenis shot Medum Close Up.

5. Pengujian Evaluasi film dokumenter ini dilakukan kepada seorang Pdt.Wesly Johanes.

  Sesuai penuturannya, dikatakan bahwa secara sosio-historis Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau adalah sebuah kesadaran yang utuh bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang pernah menetap pada suatu wilayah teritorial yang sama.

  Oleh karena itu media informasi dalam bentuk film dokumenter ini, sudah dapat menegaskan bahwa orang Maluku khususnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau bukanlah dua, melainkan satu keutuhan yang sejati dalam

  “hidop orang

basudara”. Kedepannya, audio visual ini dapat dikhayati oleh masyarakat di

  Maluku pada umumnya dan lebih khusus untuk generasi muda Pulau Nusaluat dan Pulau Ambalau, agar dapat dikembangkan lagi untuk meningkatkan kreativitas. Akhirnya dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kualifikasi sebagai suatu karya ilmiah yang dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan.

  Kemudian evaluasi berikutnya dilakukan kepada masyarakat di Negeri Abubu-Nusalaut, bernama Bapak Athang Tanamal. Dikatakan bahwa dari segi cerita sudah merakyat dan masyarakat lebih paham lagi yang dibarengi dengan film dokumenter, lebih memperkuat cerita rakyat warisan leluhur. Bagi generasi muda, film dokumenter ini sangat bermanfaat serta menambah pemahaman dan wawasan bagaimana hidup orang basudara adik dan kakak, walapun beda agama Kristen dan Islam. Film dokumenter ini juga merupakan media informasi bagi umumnya, terutama bagi masyarakat Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau. Semoga film dokumenter ini menjadi contoh, sarana berkaca bagi masyarakat di Maluku yang baru terlepas dari konflik, bagaimana hidup orang basudara Kristen dan Islam.

  Evaluasi juga dilakukan kepada seorang praktisi Bonardo Aritonang sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi, Program Studi Broadcast UKSW-Salatiga. Dari sudut pandang multimedia, Beliau menyampaikan bahwa pengambilan cinematography dan audio yang dihasilkan sudah cukup bagus. Namun beberapa scene dalam wawancara bersama narasumber belum maksimal seperti kurangnya pencahayaan menyebabkan gambar yang dihasilkan kurang maksimal. Kemudian pada akhir film belum memberikan pesan moral yang dapat ditegaskan melalui cerita tersebut. Namun secara keseluruhan dalam pembuatan film ini dapat menjadi media informasi yang baik bagi masyarakat di Maluku dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong, khususnya adik-kakak Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau yang memeluk kepercayaannya masing-masing.

  6. Kesimpulan

  Dari penelitian yang dilakukan telah menghasilkan sebuah media visual berupa perancangan film dokumenter sejarah terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku menggunakan teknik rekonstruksi, sebagai media informasi bagi masyarakat umum yang ada di Maluku, serta sebagai media pembelajaran bagi generasi muda dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong dalam suatu keberagaman antar umat beragama. Proses perancangan yang mencakup tahap pra produksi samapi pasca produksi telah diakukan sesuai dengan tahap pengerjaan. Kemudian hasil perancangan film dokumenter ini akan direkomendasikan bagi pemerintah daerah di Maluku agar dapat mengembangkan cerita sejarah dalam melestarikan nilai budaya pela-gandong yang terkandung didalamnya. Karena sebagai orang Maluku yang lahir di Maluku, besar di Maluku dan punya tanggungjawab dalam membangun Maluku kedepannya menjadi daerah yang rukun antar umat beragama melalui nilai budaya pela-gandong.

  Adapun saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya dimana narasumber yang dihadirkan lebih diperhatikan untuk settingan lokasi wawancara. Narasumber yang dihadirkan dalam sebuah film dokumenter merupakan saksi kunci yang mengetahui dan sosok yang menghidupkan cerita dalam sebuah film dokumenter.

  7. Pustaka

  [1] Waileruny, S. 2011. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

  [2] Ruhulessin, J. Chr. 2005. Etika Publik. Menggali dari Tradisi Pela di

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penilaian Kinerja Tata Kelola Teknologi Informasi pada DISKOMINFO Kota Salatiga Menggunakan Framework COBIT 5

0 0 21

2.1Kajian Teori 2.1.1Pengertian Media Pembelajaran - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Permainan Ular Tangga Berdasar Teori Dienes pada Mata Pelajaran Matematika Kelas 4 SD

0 2 16

3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Permainan Ular Tangga Berdasar Teori Dienes pada Mata Pelajaran Matematika Kelas 4 SD

0 0 14

4.1 Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Permainan Ular Tangga Berdasar Teori Dienes pada Mata Pelajaran Matematika Kelas 4 SD

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Permainan Ular Tangga Berdasar Teori Dienes pada Mata Pelajaran Matematika Kelas 4 SD

0 0 119

1 PEMANFAATAN INTERNET OLEH SISWA DI SMP NEGERI 1 BULU TEMANGGUNG Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemanfaatan Internet oleh Siswa di SMP Negeri 1 Bulu Temanggung

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Buku Nirmana dalam Fotografi Flatlay Menggunakan Teori Nirmana

3 5 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Division) untuk Meningkatkan Keterampilan Bekerjasama Siswa dalam Pelajaran TIK

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Kesiapan Siswa dalam Menghadapi Ujian Nasional Berbasis Komputer: Studi Kasus di SMK N 3 Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Media Informasi Sosialisasi Pemeriksaan Ibu Hamil di Kota Salatiga

0 0 20