BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Produk (Product) - Studi Preferensi Brand Ibu-Ibu Di Kecamatan Medan Tuntungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Produk ( Product)

  Produk menurut Kotler (2008: 266) adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar agar menarik perhatian, akuisisi, penggunaan, atau konsumsi yang dapat memuaskan suatu keinginan atau kebutuhan. Produk mencakup lebih dari sekedar barang-barang yang berwujud (tangible). Dalam arti luas, produk meliputi objek fisik, jasa, acara, orang, tempat, organisasi, ide, atau bauran entitas.

  Menurut Kotler dan Armstrong (2008: 269) terdapat dua kelompok besar produk dan jasa berdasarkan tipe konsumen yang menggunakannya, yaitu:

1. Produk konsumen

  Produk konsumen (consumer product) adalah produk dan jasa yang dibeli oleh konsumen akhir untuk konsumsi pribadi. Pemasar biasanya menggolongkan produk ini berdasarkan bagaimana cara konsumen membelinya. Produk konsumen meliputi produk kebutuhan sehari-hari, produk belanja, produk khusus dan produk yang tidak dicari. Produk- produk ini mempunyai perbedaan dalam cara pembelian konsumen dan dalam cara pemasarannya.

Tabel 2.1 Pertimbangan Pemasaran untuk Produk Konsumen

  Distribusi eksklusif, hanya di satu gerai per daerah pasar

  Sumber: Kotler dan Armstrong (2008: 269) (diolah oleh peneliti) 2.

  Asuransi jiwa, donor darah

  Barang- barang mewah

  Peralatan rumah tangga utama, televisi, perabot, pakaian

  Contoh Pasta gigi, majalah, detergen

  Iklan agresif dan penjualan pribadi oleh produsen dan penjual perantara

  Promosi yang ditargetkan secara lebih cermat oleh produsen dan penjual perantara

  Iklan dan penjualan pribadi oleh produsen dan penjual perantara

  Beragam Promosi Promosi massal oleh produsen

  Distribusi selektif di sedikit gerai

  Tipe Produk Konsumen Pertimbangan

  Distribusi Distribusi luas, lokasi mudah dijangkau

  Harga Harga murah Harga lebih mahal Harga mahal Beragam

  Kesadaran dan pengetahuan produk kecil sadar, sedikit atau bahkan tidak ada minat)

  Preferensi dan loyalitas merek yang kuat, usaha khusus, sedikit perbandingan merek, sensitivitas harga rendah

  Pembelian jarang, banyak perencanaan dan usaha perbandingan harga, kualitas dan gaya merek

  Pembelian sering, keterlibatan pelanggan

  Perilaku pembelian pelanggan

  Sehari-hari Belanja Khusus Tak dicari

  Pemasaran Kebutuhan

  Produk Industri Produk industri (industrial product) adalah produk yang dibeli untuk

  Ada beberapa tingkatan produk atau jasa yang dapat menambah lebih banyak nilai pelanggan. Tingkat yang paling dasar adalah:

  1. Produk inti Ketika merancang produk, mula-mula pemasar harus mendefinisikan inti, 2.

  Produk aktual Para perencana produk harus mengubah manfaat inti menjadi produk aktual. Produsen harus mengembangkan fitur produk dan jasa, desain, tingkat kualitas, nama merek, dan kemasan.

  3. Produk tambahan Perencanaan produk harus membangun produk tambahan di sekitar produk inti dan produk aktual dengan menawarkan pelayanan dan manfaat konsumen tambahan. Dari tingkatan ini dapat dilihat bahwa konsumen melihat produk sebagai kumpulan manfaat kompleks yang memuaskan kebutuhan mereka.

2.1.2 Merek (Brand) dan Preferensi Merek

2.1.2.1 Pengertian Merek

  Menurut Aaker (1991), merek adalah nama atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau kelompok penjual tertentu, serta membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan para pesaing. Pada konsumen maupun produsen dari para pesaing yang berusaha memberikan produ- produk yang tampak identik (Susanto dan Wijanarko, 2004: 6).

  Merek memegang peranan yang sangat penting. Salah satunya adalah untuk menjembatani harapan konsumen pada saat kita menjanjikan sesuatu kepada tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama (Durianto, 2001).

  Dalam membangun sebuah merek, strategi merek sangat diperlukan. Terdapat empat pilihan, yaitu: 1.

  Merek baru (new brand), yaitu menggunakan merek baru untuk kategori produk baru.

2. Perluasan lini (line extension), yaitu menggunakan merek lama untuk kategori produk lama.

  3. Perluasan merek (brand extension), yaitu menggunakan merek yang sudah ada untuk produk baru, atau strategi menjadikan semua produk memiliki merek yang sama.

  4. Multi-merek (multibrand), yaitu menggunakan merek baru untuk kategori produk lama. Dalam pendekatan ini produknya sama, tetapi mereknya berbeda sehingga sebuah perusahaan bisa memiliki beberapa merek untuk produk yang sama.

  Secara garis besar, merek dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Merek fungsional (Functional Brands)

  Merek fungsional terutama berkaitan dengan manfaat fungsional (functional benefit) sehingga sangat terkait dengan penafsiran yang Pepsodent. Merek fungsional sangat mengutamakan kinerja produk dan nilai ekonominya. Faktor yang menentukan adalah 3P, yaitu product,

  price, dan place, sehingga kualitas produk, harga yang kompetitif, dan

  ketersediaannya pada saluran distribusi sangat menentukan. Ciri khas dalam mengelola merek jenis ini adalah selalu memelihara superioritas.

  2. Merek citra (Image Brands) Merek citra terutama untuk memberikan manfaat ekspresi diri (self

  expression benefit ). Sebagai merek yang bertujuan untuk meningkatkan

  citra pemakainya, merek ini haruslah mempunyai kekuatan untuk membangkitkan keinginan. Kemewahan, kemegahan dan keagungan merupakan ciri khas dalam pengelolaan merek ini.

  3. Merek eksperiensial (Experiential Brands) Merek eksperiensial terutama untuk memberikan manfaat emosional.

  Merek ini sangat mengutamakan kemampuannya dalam memberikan pengalaman yang unik kepada pelanggan, sehingga pelanggan merasa terkesan dan merasakan bedanya dengan pesaing. Faktor yang menentukan Makna merek dalam konteks masa kini bukanlah sekedar nama merek (brand

  

name ) tetapi sudah berkembang lebih jauh. Menurut Knapp dalam Sutanto dan

  Wijanarko (2004: 9) dalam pikiran konsumen terdapat tiga sifat fundamental yang membedakan suatu merek sejati yaitu internalisasi kesan-kesan, posisi khusus Pada akhirnya merek bukanlah apa yang dibuat oleh pabrik, tercetak pada kemasan atau apa yang diiklankan oleh pemasar. Merek adalah apa yang ada di dalam pikiran konsumen.

  Menurut Knapp dalam Simamora (2002: 73) terdapat tiga strategi untuk membentuk merek yang kuat, yaitu :

  1. Melakukan penilaian merek Melakukan penilaian merek kira-kira sama dengan evaluasi posisi merek.

  Merek perlu dipandang sebagai subjek, bukan objek.

  2. Mengembangkan janji merek Mengembangkan janji merek yaitu harapan tentang bagaimana merek bekerja terhadap konsumen. Dengan sendirinya, kalau sudah berjanji, merek akan berusaha menepatinya.

  3. Menciptakan blueprint’ merek Menciptakan blueprint’ merek sama dengan menciptakan identitas merek (brand identity). Blueprint’ merek harus dapat menangkap siapa yang menjadi pasar sasarannya, mengungkapkan keunikan produk/layanan, apa

  Menurut Aaker dalam Simamora (2002: 14), ada tiga nilai yang dijanjikan sebuah merek, yaitu nilai fungsional, nilai emosional dan nilai ekspresi diri.

  1. Nilai Fungsional Nilai yang paling mudah dilihat adalah nilai fungsional, yaitu nilai yang kepada konsumen. Nilai ini berkaitan langsung dengan fungsi yang diberikan oleh produk atau layanan kepada konsumen. Bila memiliki keunggulan secara fungsional, maka sebuah merek dapat mendominasi kategori.

  2. Nilai Emosional Pada intinya nilai emosional berhubungan dengan perasaan, yaitu perasaan positif apa yang akan dialami konsumen pada saat membeli produk. Nilai emosional pada umumnya berkaitan dengan nilai fungsional. Seringkali merek-merek yang bersaing memiliki nilai fungsional yang sama. Akan tetapi, biasanya satu merek lebih unggul dari merek lain karena memiliki nilai emosional. Oleh karena itu, kepuasan emosi perlu diperhatikan.

  3. Nilai Ekspresi Diri Nilai ekspresi diri merupakan bagian dari nilai emosi. Nilai emosional berkaitan dengan perasaan positif (misalnya nyaman, bahagia, dan bangga), sedangkan ekspresi diri berbicara tentang bentuk fisik produk itu di mata orang lain. Jadi, kalau nilai emosional berpusat pada diri sendiri, maka nilai ekspresi diri berpusat pada publik. terhadap penciptaan interaksi yang positif antara merek dengan pelanggannya. Asumsi pokok model ini adalah kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari, dirasakan, dilihat, dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil dari pengalamannya sepanjang waktu.

  Mitchel dan Olsen dalam Afriansyah (2008: 17) menyebutkan bahwa preferensi merek merupakan kecenderungan terhadap suatu merek yang didasarkan pada kepercayaan pelanggan yang kuat pada saat tertentu.

  Simamora (2003) memberikan ilustrasi tentang preferensi merek sebagai berikut : “Saya lebih menyukai merek ini,” kata Susan sambil menunjuk teh siap minum merek terkenal. Preferensi merek tercermin dari kata: I prefer this

  brand, sebenarnya merupakan hasil proses evaluasi. Bermula dari preferensi

  merek ini, tinggal selangkah lagi menuju keputusan. “Saya lebih menyukai merek ini” adalah preferensi. “Saya putuskan untuk membelinya” adalah keputusan sebelum pembelian. Apakah keputusan pembelian ini benar- benar dilakukan? Belum tentu. Masih ada faktor situasi dan pengaruh orang lain yang memungkinkan keputusan pembelian sebenarnya. Setelah dilakukan pembelian maka akan diketahui apakah pembeli akan melakukan pembelian ulang dan menjadi loyal atau tidak.” Kotler dalam Damanik (2010: 21) menyatakan bahwa konsumen memproses informasi tentang pilihan merek untuk membuat keputusan terakhir.

  Pertama, kita melihat bahwa konsumen mempunyai kebutuhan. Konsumen akan mencari manfaat tertentu dan selanjutnya mengevaluasi atribut produk. Konsumen akan memberi bobot yang berbeda untuk setiap atribut produk sesuai dengan kepentingannya. Kemudian konsumen mungkin akan mengembangkan himpunan alternatif tiap ciri. Akhirnya konsumen membentuk sikap terhadap alternatif- alternatif merek yang tersedia melalui prosedur tertentu.

  Sudibyo (2002: 15) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan preferensi oleh konsumen terbagi menjadi dua yaitu : bersifat ekonomis dan dari pengorbanan serta manfaat yang dapat diraih. Sedangkan preferensi konsumen yang bersifat non ekonomis termasuk didalamnya kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan dari lingkungan.

2.1.3 Ekuitas Merek ( Brand Equity)

  Durianto et. al. (2001: 105) menyebutkan bahwa ekuitas merek (brand

  

equity ) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu

  merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula.

  Ekuitas merek (brand equity) menurut Kotler (2008: 282) adalah pengaruh diferensial positif bahwa jika pelanggan mengenal nama merek, pelanggan akan merespons produk atau jasa. Satu ukuran ekuitas merek adalah sejauh mana pelanggan bersedia membayar lebih untuk merek tersebut. perusahaan. Karena nama merek membawa kredibilitas tinggi, perusahaan bisa lebih mudah meluncurkan lini dan perluasan merek. Merek yang kuat memberikan beberapa pertahanan kepada perusahaan dalam menghadapi persaingan harga yang semakin ketat.

  Ekuitas merek adalah seperangkat aset, atau kewajiban, yang dimiliki nama merek atau simbol, yang dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau layanan.

  Apabila bernilai positif, maka ekuitas merek menjadi aset. Apabila bernilai negatif, maka ekuitas merek menjadi kewajiban (liability).

  Nilai ekuitas merek bisa berpengaruh kepada konsumen dan perusahaan. Ekuitas merek dapat menambah atau mengurangi nilai produk bagi konsumen. Konsumen dibantu dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian (baik itu karena pengalaman masa lalu dalam menggunakannya maupun kedekatan dengan merek dan aneka karakteristiknya).

  Brand Association Perceived Quality Brand Awareness Other Proprietary Assets

  • Interpretasi/proses informasi
  • Rasa percaya diri dalam pembelian
  • Pencapaian kepuasan dari pelanggan Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperk>Efisiensi dan efektivitas program pemasaran
  • Brand loyalty
  • Harga/laba
  • Perluasan merek
  • Peningkatan perdagangan
  • Keuntungan kompetitif

  Sumber:

  Aaker dalam Durianto et. al., (2001, data diolah) Gambar 2.1

  Konsep Brand Equity

  Kesadaran merek adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari

  Brand Equity

  Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat:

2.1.3.1 Kesadaran Merek ( Brand Awareness)

  dan produk – produknya (Gustafson dan Chabot, 2007: 128). Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Lin dan Kao (2004: 82) bahwa kesadaran merek berpengaruh terhadap kemampuan pembeli potensial untuk mengenali dan mengingat bahwa suatu merek merupakan anggota dari suatu kategori produk merek berkaitan dengan kekuatan dari suatu merek yang muncul dalam ingatan konsumen.

  Tolok ukur kesadaran suatu merek diukur keterkenalan dan mudahnya konsumen mengingat suatu merek. Kesadaran merek penting untuk membedakan suatu produk dengan produk pesaingnya (Gustafson dan Chabot, 2007: 93). Kesadaran merek merupakan langkah awal untuk membangun merek produk. Aspek paling penting dari kesadaran merek adalah bentuk informasi pertama dalam ingatan. Kesadaran merek penting sebelum asosiasi merek terbentuk (Pitta dan Katsanis, 1995).

  Empat cara yang digunakan perusahaan untuk menciptakan kesadaran merek pada konsumen, yaitu menciptakan suatu pengenalan – pengenalan yang akan mempermudah konsumen mengingat merek, menimbulkan rasa terbiasa tentang keberadaan suatu merek ke dalam pikiran konsumen, memberikan sinyal kepercayaan terhadap merek dan memberikan alasan yang cukup kepada konsumen untuk percaya pada suatu merek (Aaker, 1991: 79). Kesadaran merek dikatakan tinggi jika konsumen dapat mengingat merek, baik sebelum proses

  Aspek-aspek yang terkait dengan peningkatan brand awareness menjadi sangat penting. Misalnya, seberapa jauh merek mudah dikenal dan diingat, seberapa jauh merek tersebut mudah diucapkan. Untuk mengevaluasi seberapa jauh konsumen aware terhadap sebuah merek, Keller (2000) (dalam Soehadi,

  1. Recall, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengingat ketika ditanya merek apa saja yang mereka ingat. Top of mind adalah salah satu cara yang sering digunakan oleh praktisi pemasaran untuk mengukur brand recall.

  2. Recognition, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengenali merek tersebut termasuk dalam kategori tertentu.

  3. Purchase, yaitu seberapa jauh konsumen akan memasukkan suatu merek ke dalam alternatif pilihan ketika mereka akan membeli produk/layanan.

  Indikator ini menunjukkan, jika merek tersebut tidak termasuk dalam alternatif pilihan, terutama untuk merek baru, maka aktivitas below the line menjadi sangat penting.

  4. Consumption, yaitu seberapa jauh konsumen masih mengingat suatu merek ketika mereka sedang menggunakan produk/layanan pesaing.

  Untuk membangun identitas yang kuat, konsistensi menjadi kunci utama yang perlu diperhatikan. Seluruh aktivitas yang terkait dengan merek tersebut harus sejalan dengan identitas yang akan dibangun. Selain itu, merancang dan menyampaikan informasi yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen juga

2.1.3.2 Asosiasi Merek ( Brand Association)

  Asosiasi merek adalah sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Menurut Durianto et. al. (2001) dalam Jamali (2008: 39), asosiasi merek (brand association) adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang dengan merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan suatu merek dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain.

  Suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut

  

brand image . Semakin banyak asosiasi yang berhubungan, semakin kuat brand

image yang dimiliki oleh merek tersebut.

  Suatu merek yang telah mapan akan mempunyai posisi yang menonjol dalam persaingan karena didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Merek akan bernilai tinggi untuk atribut-atribut yang dikehendaki seperti layanan yang bersahabat, atau menduduki posisi yang berbeda dari posisi para pesaingnya (Susanto dan Wijanarko, 2004: 132).

  Menurut Durianto dalam Santoso (2010: 42), Asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut:

  1. Atribut produk Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi semacam ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek.

  2. Atribut tak berwujud Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif.

  3. Manfaat bagi pelanggan Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan maka biasanya terdapat hubungan antara keduanya. Manfaat bagi pelanggan terbagi menjadi dua, yaitu manfaat rasional dan manfaat psikologis. Manfaat rasional erat kaitannya dengan atribut dari produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional. Manfaat psikologis seringkali merupakan konsekuensi ekstrim dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut.

  4. Harga relatif

  5. Penggunaan Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.

  6. Pengguna/pelanggan sebuah tipe pengguna atau pelanggan dari produk tersebut.

  7. Orang terkenal/khalayak Mengkaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal kepada merek tersebut.

  8. Gaya hidup/kepribadian Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama.

  9. Kelas produk Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya.

  10. Para pesaing Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing.

  11. Negara/wilayah geografis Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan

  Di samping beberapa acuan yang telah disebutkan, beberapa merek juga memiliki asosiasi dengan hal lain yang belum disebutkan di atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak semua merek produk memiliki semua asosiasi di atas.

  Menurut Durianto et. al. (2001: 63), perceived quality didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan.

  

Perceived quality ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu produk di mata

  pelanggan. Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu produk atau jasa dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas mereka terhadap merek.

  Perceived quality yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut. Sebaliknya, jika perceived quality pelanggan negatif, produk tidak akan disukai dan tidak akan bertahan lama di pasar. Karena perceived quality merupakan persepsi dari pelanggan maka

  

perceived quality tidak dapat ditentukan secara objektif. Persepsi pelanggan akan

  melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa .

  Menurut Garvin dalam Durianto et. al. (2001: 48), perceived quality dibagi dalam tujuh dimensi yaitu:

  1. Kinerja : melibatkan berbagai karakteristik operasional utama. Karena faktor kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain, seringkali pelanggan

  2. Pelayanan : mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan dalam produk tersebut.

  3. Ketahanan : mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut.

  4. Keandalan : konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya.

  5. Karakteristik produk : bagian-bagian tambahan dari produk. Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggannya yang sesuai perkembangan.

  6. Kesesuaian dengan spesifikasi : merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.

  7. Hasil : mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir” produk yang baik, maka kemungkinan produk tersebut tidak akan memiliki atribut kualitas lain yang penting.

2.1.3.4 Aset-aset Merek Lainnya ( Other Proprietary Brand Assets)

  Tiga elemen brand equity di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang ke empat secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari tiga elemen utama tersebut. perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya, bila dimensi utama dari brand equity yaitu brand awareness, brand

  

association , dan perceived quality sudah sangat kuat, secara otomatis aset brand

equity lainnya juga akan kuat. Aset-aset merek lainnya yaitu seperti hak paten dan

  cap.

2.1.4 Loyalitas Merek ( Brand Loyalty)

  Menurut Aaker dalam Santoso (2010: 14) loyalitas merek adalah kelekatan konsumen pada nilai yang tinggi dari suatu merek, dengan kelekatan yang dibangun ini maka konsumen akan menolak segala strategi yang dilakukan oleh kompetitor merek. Menurut Giddens dalam Santoso (2010: 17) konsumen akan memberikan loyalitas dan kepercayaannya pada merek selama merek tersebut sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh konsumen, bertindak dalam cara-cara tertentu dan menawarkan nilai-nilai tertentu. Loyalitas pada merek timbul karena konsumen mempersepsikan merek tersebut menghasilkan produk yang memiliki sejumlah manfaat dan kualitas dengan harga yang sesuai. Loyalitas merek juga menjadi indikasi adanya ekuitas merek, karena tanpa loyalitas merek tidak akan pemimpin di pasaran, dapat dipastikan bahwa merek tersebut memiliki pelanggan yang loyal pada merek tersebut.

  Lin dan Kao dalam Santoso (2010: 17) berpendapat bahwa konsumen yang loyal terhadap suatu merek memiliki ciri-ciri memiliki komitmen pada merek merek yang lain, akan merekomendasikan merek tersebut pada orang lain, tidak melakukan pertimbangan dalam melakukan pembelian kembali produk tersebut, selalu mengikuti informasi yang berkaitan dengan merek tersebut dan mereka dapat menjadi semacam juru bicara dari merek dan mereka selalu mengembangkan hubungan dengan merek tersebut.

  Schiffman dan Kanuk (2004: 21) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya/terciptanya loyalitas merek antara lain perceived

  

product superiority (penerimaan keunggulan produk), personal fortitude

  (keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap merek tersebut), bonding with

  

the product or company (keterikatan dengan produk atau perusahaan) dan

kepuasan yang diperoleh konsumen.

  Jenis produk yang dihasilkan suatu merek juga mempengaruhi loyalitas merek. Pada barang-barang konsumsi sehari-hari (consumer goods) seperti makanan, minuman, sabun, pembersih dan lain sebagainya, konsumen memiliki keterlibatan yang rendah dalam proses pembeliannya. Umumnya para konsumen tidak secara luas mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik tahapan coba-coba (trial) yang dipengaruhi oleh iklan yang beredar. Setelah melakukan pembelian dan mengalami kepuasan, bila dibandingkan dengan merek lain, maka pembelian produk tersebut akan dilakukan secara berulang. Pembelian berulang ini akan mengarahkan pada loyalitas merek (Schiffman dan Kanuk,

  Menurut Gommans et al, (2001) keuntungan–keuntungan yang akan diperoleh oleh suatu merek yang memiliki pelanggan yang loyal yaitu dapat mempertahankan harga secara optimal, memiliki posisi tawar menawar yang kuat dalam saluran distribusi, mengurangi biaya penjualan, memiliki penghalang yang kuat terhadap produk-produk baru yang memiliki potensi yang besar untuk masuk dalam kategori produk atau layanan yang dimiliki oleh merek tersebut serta keuntungan sinergis yang diperoleh dari brand extension yang berhubungan dengan kategori produk atau pelayanan dari merek tersebut.

  Giddens (2002) juga menambahkan dengan adanya loyalitas merek maka dapat meningkatkan (1) volume penjualan, dengan adanya loyalitas merek maka kehilangan konsumen dapat dikurangi. Dengan adanya pengurangan kehilangan konsumen maka akan meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan penjualan; (2) Kemampuan perusahaan untuk menetapkan harga yang optimal, karena konsumen yang memiliki loyalitas merek kurang sensitif pada perubahan harga; (3) Konsumen dengan loyalitas merek akan selalu mencari merek favoritnya dan kurang sensitif pada promosi yang kompetitif. Dengan adanya loyalitas merek di

2.1.5 Perilaku Konsumen

  2.1.5.1 Pengertian perilaku konsumen

  Perilaku pembelian konsumen (consumer buyer behavior) mengacu pada perilaku pembelian konsumen akhir, baik perorangan maupun rumah tangga yang 158). Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (dalam Setiadi 2003: 3).

  Untuk memahami konsumen dan mengembangkan strategi pemasaran yang tepat, pemasar perlu memahami apa yang mereka pikirkan (kognisi) dan mereka rasakan (pengaruh), apa yang mereka lakukan (perilaku), dan kejadian di sekitar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan konsumen. The American Marketing Association mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku dan lingkungannya dimana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka.

  2.1.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen

  Perilaku merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang dalam reaksi terhadap rangsangan atau stimulus. Rangsangan tersebut bisa datang dari dalam dirinya atau dari luar dirinya. Menurut Kotler dan Armstrong (2008: 159)

  1) Faktor Budaya

  Faktor budaya mempunyai pengaruh yang luas dan mendalam pada perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan oleh budaya, sub-budaya, dan kelas sosial pembeli. Budaya (culture) adalah penyebab keinginan dan perilaku seseorang yang paling dasar. Perilaku manusia dipelajari secara luas. Setiap kelompok atau masyarakat mempunyai budaya, dan pengaruh budaya pada perilaku pembelian bisa sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kegagalan menyesuaikan diri dengan perbedaan ini dapat menghasilkan pemasaran yang tidak efektif atau kesalahan yang memalukan.

  2. Sub-budaya, masing-masing budaya mengandung sub-budaya (subculture) yang lebih kecil, atau kelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan pengalaman hidup dan situasi yang umum. Sub-budaya meliputi kebangsaan, agama, kelompok ras, dan daerah gaeografis. Banyak sub- budaya membentuk segmen pasar yang penting, dan pemasar sering merancang produk dan program pemasaran yang dibuat untuk kebutuhan mereka.

3. Kelas sosial adalah pembagian masyarakat yang relatif permanen dan berjenjang dimana anggotanya berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama.

  Kelas sosial tidak hanya ditentukan oleh satu faktor, seperti pendapatan, tetapi diukur sebagai kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan,

  2) Faktor Sosial

  Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti kelompok kecil, keluarga, serta peran dan status sosial konsumen (Kotler dan Armstrong, 2008: 163).

  Kelompok Perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok. Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung dan tempat dimana seseorang menjadi anggotanya disebut kelompok keanggotaan. Sebaliknya, kelompok referensi bertindak sebagai titik perbandingan atau titik referensi langsung (berhadapan) atau tidak langsung dalam membentuk sikap atau perilaku seseorang.

  2. Keluarga Anggota keluarga bisa sangat mempengaruhi perilaku pembeli. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat, dan telah diteliti secara ekstensif. Keterlibatan suami-istri dalam kategori produk dan tahap pembelian sangat beragam. Peran pembelian berubah sesuai dengan gaya hidup konsumen yang berubah. Biasanya, istri atau ibu merupakan agen pembelian utama bagi keluarga.

  3. Peran dan Status Seseorang menjadi anggota banyak kelompok, keluarga, klub, dan organisasi. Posisi seseorang dalam masing-masing kelompok dapat masyarakat. Orang biasanya memilih produk yang sesuai dengan peran dan status mereka.

  3) Faktor Pribadi

  Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti usia kepribadian dan konsep diri.

  1. Usia dan tahap siklus hidup Selera makanan, pakaian, perabot, dan rekreasi sering berhubungan dengan usia. Pembelian juga dibentuk oleh tahap siklus hidup keluarga yaitu tahap- tahap yang dilalui keluaraga ketika mereka menjadi matang dengan berjalannya waktu.

  2. Pekerjaan Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang mereka beli.

  Pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata pada produk dan jasa mereka.

  3. Situasi ekonomi Situasi ekonomi seseorang akan mempengaruhi pilihan produk. Pemasar barang-barang yang sensitif terhadap pendapatan mengamati gejala pendapatan pribadi, tabungan, dan suku bunga. Jika indikator ekonomi menunjukkan resesi, pemasar dapat mengambil langkah-langkah untuk merancang ulang, mereposisi, dan menetapkan harga kembali untuk produk

  4. Gaya hidup Gaya hidup (lifestyle) adalah pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam keadaan psikografisnya. Gaya hidup melibatkan pengukuran dimensi AIO utama pelanggan. Activities/kegiatan (pekerjaan, hobi, belanja, keluarga, rekreasi), opinion/pendapat (tentang diri mereka, masalah sosial, bisnis, produk). Gaya hidup menangkap sesuatu yang lebih dari sekedar kelas sosial atau kepribadian seseorang.

  5. Kepribadian dan konsep diri Kepribadian (personality) mengacu pada karakteristik psikologi unik yang menyebabkan respons yang relative konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungan orang itu sendiri. Kepribadian biasanya digambarkan dalam karakteistik perilaku seperti kepercayaan diri, dominasi, kemampuan bersosialisasi, otonomi, cara mempertahankan diri, kemampuan beradaptasi, dan sifat agresif. Kepribadian dapat digunakan untuk menganalisis perilaku konsumen untuk produk atau pilihan merek tertentu. 4)

  Faktor psikologis Keputusan pembelian dipengaruhi oleh empat psikologis utama yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, serta kepercayaan dan pendirian.

  1. Motivasi Seseorang mempunyai banyak kebutuhan pada setiap waktu tertentu.

  Kebutuhan yang lain bersifat psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa kepemilikan.

  2. Persepsi Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu, untuk informasi guna menciptakan dunia yang memiliki arti.

  3. Pembelajaran Pembelajaran meliputi perubahan perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Sebagian besar perilaku manusia adalah hasil dari belajar.

  Pembelajaran dihasilkan melalui perpaduan kerja antara dorongan, rangsangan, petunjuk bertindak, tanggapan, dan penguatan.

  4. Keyakinan dan sikap Keyakinan adalah pemikiran deskriptif yang dimiliki seseorang tentang tertentu. Keyakinan bisa didasarkan pada pengetahuan nyata, pendapat atau iman dan bisa membawa emosi maupun tidak. Sedangkan sikap menggambarkan evaluasi, perasaan, dan tendensi yang relative konsisten dari seseorang terhadap suatu objek atau ide. Sikap menempatkan orang ke dalam suatu kerangka pikiran untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu, untuk bergerak menuju atau meninggalkan sesuatu.

2.1.6 Proses Keputusan Pembelian

  Konsumen membuat keputusan pembelian berdasarkan lima tahap, yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan perilaku pasca pembelian. Tahap-tahap keputusan pembelian 1.

  Pengenalan kebutuhan Proses pembelian dimulai dengan pengenalan kebutuhan (need recognition) pembeli menyadari suatu masalah atau kebutuhan. Kebutuhan dapat dipicu oleh rangsangan internal ketika salah satu kebutuhan normal seseorang, rasa lapar, haus, seks yang timbul pada tingkat yang cukup tinggi sehingga menjadi dorongan. Dan kebutuhan juga bisa dipicu oleh rangsangan dari eksternal. Seperti iklan atau diskusi dengan teman.

2. Pencarian informasi

  Konsumen yang tertarik mungkin mencari lebih banyak informasi atau mungkin tidak. Jika dorongan konsumen itu kuat dan produk yang memuaskan ada di dekat komponen itu, konsumen mungkin akan membelinya kemudian. Jika tidak, konsumen bisa menyimpan kebutuhan itu dalam ingatannya atau melakukan pencarian informasi (information search) yang berhubungan dengan kebutuhan. Konsumen dapat memperoleh informasi dari beberapa sumber. Sumber-sumber ini meliputi sumber pribadi terdiri dari keluarga, teman, tetangga, rekan; sumber komersial terdiri dari iklan, wiraniaga, situs informasi yang diperoleh, kesadaran konsumen dan pengetahuan akan merek dan fitur yang tersedia meningkat.

  3. Evaluasi alternatif Evaluasi alternatif yaitu bagaimana konsumen memproses informasi untuk evaluasi yang sederhana dan tunggal dalam semua situasi pembelian. Adapun cara konsumen mengevaluasi alternatif bergantung pada konsumen pribadi dan situasi pembelian tertentu.

  4. Keputusan pembelian Dalam tahap evaluasi, konsumen menentukan peringkat merek dan membentuk niat pembelian. Pada umumnya, keputusan pembelian konsumen adalah membeli merek yang paling disukai, tetapi dua faktor bisa berada antara niat pembelian dan keputusan pembelian. Faktor pertama adalah sikap orang lain.

  Faktor kedua adalah faktor situasional yang tidak diharapkan. Konsumen mungkin membentuk niat pembelian berdasarkan faktor-faktor seperti pendapatan, harga, dan manfaat produk yang diharapkan. Oleh karena itu, preferensi dan niat pembelian tidak selalu menghasilkan pilihan pembelian yang aktual.

  5. Perilaku pasca pembelian Setelah membeli produk, konsumen akan merasa puas atau tidak puas dan terlibat dalam perilaku pasca pembelian (postpurchase behavior) yang harus maka konsumen puas, dan jika melebihi ekspektasi, maka konsumen sangat puas.

2.2 Penelitian Terdahulu

  Penelitian sebelumnya telah dilakukan Hutagalung (2012), dengan judul Dharma Wanita Universitas Sumatera Utara)”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi perpindahan merek dengan produk tertentu ke merek lain di lingkungan Dharma Wanita Universitas Sumatera Utara (USU). Data diolah secara deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan dan menafsirkan data yang ada sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai pengumpulan data, penyusunan dan analisis data, sehingga dapat diketahui gambaran umum yang diteliti.

  Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa tidak semua produk dengan merek top of mind dapat menjamin konsumen akan tetap loyal dan memberi kesan memuaskan. Melalui hasil analisis yang dilakukan peneliti terdahulu diperoleh hasil bahwa semakin tinggi loyalitas konsumen maka tidak akan terjadi perpindahan merek, dan begitu juga sebaliknya. Penelitian Hutagalung (2012) menunjukkan bahwa ibu-ibu Dharma Wanita Universitas Sumatera Utara melakukan pembelian suatu produk dengan merek tertentu berdasarkan keperluan pada saat itu dan bukan dikarenakan terkenal atau tidaknya suatu produk. Indomie Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara”. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda, dengan SPSS versi

  15.0. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Perceived Quality dan Brand

  Association berpengaruh positif dan simultan terhadap Brand Loyalty mie instan

  Kesamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada beberapa variabel yang diteliti, dimana Damanik (2010) juga meneliti dengan menggunakan variabel perceived quality, brand association dan brand loyalty dan meneliti produk yang sama yaitu mie instan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada produk dan lokasi penelitian, dimana Hutagalung (2012) meneliti produk kebutuhan sehari-hari ibu-ibu di lingkungan dharma wanita USU.

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual dan kerangka berpikir merupakan gambaran tentang hubungan antara variabel yang diteliti, yang tersusun dari teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono, 2006: 49). Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hasil riset mengenai beberapa komponen ekuitas merek produk mie instant di mata konsumennya, terutama ibu-ibu sebagai pengambil keputusan di dalam rumah tangga. Seperti telah diketahui, bahwa semakin banyak produk-produk mie instant dengan berbagai merek yang memperketat persaingan.

  Merek merupakan aset penting bagi perusahaan yang dalam beberapa komponen ekuitas merek (brand equity). Beberapa komponen brand

  

equity yang dibahas adalah kesadaran merek (brand awareness), yaitu

  kesanggupan seorang pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori atau produk tertentu. Asosiasi merek kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan gaya hidup, manfaat, atribut, produk, geografis, harga, pesaing, selebritis, dan lain-lain. Persepsi kualitas (perceived quality) mencerminkan perasaan pelanggan secara menyeluruh mengenai suatu merek. Loyalitas merek (brand loyalty) yaitu ketika pelanggan percaya akan suatu merek, dan memperlihatkan keinginan untuk bersandar pada merek tersebut. Hasil penelitian tentang ekuitas merek ini diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar produk-produk mie instant.

  Dengan demikian hubungan brand equity terhadap loyalitas pelanggan dapat digambarkan dalam kerangka berfikir sebagai berikut:

  Brand Awareness (X ) 1 Brand Association (X ) 2 BRAND LOYALTY

  Perceived Quality (Y)

  (X 3 ) Other Proprietary Brand Assets

  (X ) 4

2.4 Hipotesis

  Hipotesis merupakan jawaban sementara yang hendak diuji kebenarannya melalui penelitian (Suliyanto, 2006: 53). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ekuitas merek berpengaruh