TANTANGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NTT GUD (3)

TANTNGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN “NTT SEBAGAI
PROVINSI TERNAK”

Elkana Goro Leba

Berdasarkan sebuah hasil analisis yang dilakukan Dinas Peternakan NTT dengan
mencermati pengembangan usaha peternakan sapi di NTT dari aspek produksi, pelaku
pemeliharaan ternak (produsen) sebagian besar didominasi oleh peternak kecil dengan
keterampilan yang masih rendah (penguasaan tehnologi dan informasi peternakan yang
kurang). Sistem pemeliharaan didominasi oleh nonintensif maupun semi intensif dan hanya
sebagian kecil yang intensif, menyebabkan produktivitas menjadi tidak optimal serta
tingginya pemotongan ternak besar betina produktif dan sistem pelayanan kesehatan hewan
belum optimal. Beberapa aspek yang menyumbang sulitnya program itu dapat dilaksanakan
dengan baik antara lain:

1) Aspek konsumsi
Dinas Peternakan NTT mencatat bahwa konsumsi protein hewani masyarakat NTT
masih berada di bawah norma gizi nasional atau masih terdapat kesenjangan antara
tingkat konsumsi masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan, sedangkan produsen
utama adalah masyarakat pedesaan.
2) Aspek pengembangan dan penggunaan sarana produksi

Lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan belum dapat dimanfaatkan seluruhnya
akibat penyebaran sumber air yang tidak merata. Sementara itu, skspansi gulma
“chromolena odorata” atau tanaman penggangu pakan semakin luas, sehingga padang
penggembalaan semakin menyempit, menyebabkan usaha peningkatan produksi ternak di
NTT menjadi terhambat.
3) Aspek Pembibitan ternak
Di sisi lain, kualitas bibit ternak juga menunjukkan gejala penurunan, karena sistem
seleksi dan penyingkiran ternak belum dilaksanakan secara efektif. Petani peternak lebih
memilih menjual ternak yang berkualitas terbaik karena harganya lebih tinggi.
4) Kualitas atau kondisi ternak
Aspek pembibitan yang kurang bagus tentu berpengaruh langsung pada kualitas ternak.
Kualitas atau kondisi ternak yang dipasarkan pun kurang memuaskan, fasilitas

transportasi yang kurang memadai sehingga menyebabkan penyusutan bobot badan dan
kecelakaan atau kematian ternak selama dalam proses pengangkutan, serta belum
terintegrasinya usaha peternakan dari hulu sampai hilir yang mengakibatkan kurang
efisiennya mata rantai tata niaga ternak.
5) Aspek ekonomi dan pemasaran
Masyarakat NTT pada umumnya memelihara ternak hanya sebagai usaha sambilan dan
dipelihara secara nonintensif atau semiintensif sehingga tidak memberikan pendapatan

“cash” yang optimal. Selain itu, petani peternak tidak memiliki perencanaan pemasaran
yang jelas untuk menjual hasilnya secara periodik. Hasil penjualan ternak lebih bersifat
untuk mengatasi kebutuhan mendesak dalam keluarga.
6) Aspek perilaku petani
Dari aspek perilaku petani, sebagian besar masyarakat di pedesaan yang berkaitan
dengan usaha tani menunjukkan masih kuatnya orientasi “food security” atau menjaga
keamanan pangan. Pada keadaan seperti ini ternak ditempatkan pada posisi sebagai
tabungan dalam menghadapi risiko kegagalan usaha tani utama.
7) Aspek kelembagaan peternakan,
Dari Aspek kelembagaan peternakan, NTT pun tampaknya belum kuat jika dihadapkan
pada tuntutan perkembangan pembangunan peternakan. Kelompok tani yang tercatat
cukup banyak, namun belum berperan nyata sebagai lembaga kerja sama dalam bidang
produksi atau budidaya, pengolahan maupun pemasaran hasil ternak.
8) Aspek permodalan
Sementara dari aspek permodalan, rendahnya peran investor dalam usaha pembibitan
ternak, lamanya perputaran modal dan tingginya bunga kredit bank, selain masalah
kepemilikan lahan dan prasarana umum yang menjadi salah satu kendala dalam
penanaman modal di bidang usaha peternakan. Dengan demikian pembangunan
peternakan di NTT masih didominasi oleh dana pemerintah, sedangkan dana swasta dan
masyarakat belum begitu berperan.

Oleh Sebab Itu, Maka Upaya pemprov NTT untuk menjadikan NTT sebagai provinsi ternak
sebagai langkah nyata untuk mengembalikan kejayaan NTT sebagai gudang ternak nasional,
juga tak semudah membalikkan telapan tangan.