Sumpah Pocong Bentuk Resolusi Konflik Y

Persidangan Serantau Kearifan Tempatan 2013
“Memperkukuhkan Kearifan Tempatan ke Arah Pengantarabangsaan”
6-7 Oktober 2013
Sutra Beach Resort, Terengganu, Malaysia
“Sumpah Pocong” Bentuk Resolusi Konflik Yang Efektif
Berasaskan Kearifan Tempatan
Oleh;
Budhy Santoso
Azlinda Azman
Mohd Izzuddin Bin Ramli
Pendahuluan
Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan
terbalut kain kafan seperti layaknya orang yang telah meninggal dunia (pocong). Tetapi juga,
sumpah pocong boleh juga dilakukan hanya dengan posisi duduk dan dikerudungi kain kafan.
Sumpah pocong dilakukan dihadapan orang ramai dengan maksud dan tujuan untuk
meyakinkan orang lain bahwa pelaku sumpah pocong tidak bersalah dan tidak seperti yang
didakwa orang terhadapnya. Dengan sumpah pocong, jika pelaku terbukti bersalah dipercayai
akan dihukum atau dilaknat oleh Tuhan sesuai dengan perbuatannya bahkan boleh sampai
meninggal atau kepada tujuh keturunannya
Secara umun, sumpah pocong dilakukan oleh pemeluk agama Islam kerana dalam
Islam-lah kain kafan (kain pocong) dikenal, dan lazim dilakukan di masjid sebagai tempat

ibadah ummat Islam. Para pemuka agama (ustaz) akan memimpin dan menjadi saksi dalam
upacara sumpah pocong yang dilakukan masyarakat.
Dari perspektif ajaran agama Islam, sumpah pocong bukanlah ajaran syariat Islam.
Sumpah pocong hanyalah tradisi masyarakat yang memasukkan ajaran agama ke dalam
norma adat. Sekalipun dalam sumpah pocong ada kain kafan, ada masjid, ada ustaz, ada kyai,
bahkan ada ulama sekalipun, sebagai simbol-simbol Islam, sumpah pocong tetap tidak
diajarkan dalam Islam. Kerana dalam ajaran Islam, untuk mengucapkan sumpah dan
meyakinkan kebenaran sumpahnya, seorang muslim cukup bersumpah atas nama Allah
misalnya kalimat "Demi Allah, saya tidak melakuan perkaru tersebut". Sehingga apabila
seorang muslim bersumpah bukan atas nama selain Allah maka dikategorikan kufur atau
syirik sebagaimana sabda Rasululah SAW, “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah
maka ia telah kufur atau syirik.” (HR Tirmidzi dari Umar ibnu Khattab).

Sumpah pocong dilakukan oleh masyarakat Islam ketika terjadi konflik antara orang
lain. Demikian juga yang berlaku di dalam masyarakat Jember. Pada saat masyarakat
mengalami situasi konflik yang sukar dibuktikan secara undang-undang, misalnya didakwa
sebagai penyebab sakitnya orang lain, didakwa mencuri, atau didakwa melakukan
perselingkuhan dengan orang lain, maka sumpah pocong merupakan alternatif yang boleh
ditawarkan untuk membuktikan bahwa dakwaan tersebut tidak benar.
Kepercayaan masyarakat kepada ritual sumpah pocong tersebut mengakibatkan

aktiviti ini memiliki nilai yang sakral (sacred), kerana menggunakan ayat-ayat suci al-Quran
sebagai bacaan-bacaan yang dilantunkan dalam ritual ini, padahal secara syariat, aktiviti ini
tidak ada dalam tuntunan Islam. Namun keberadaan sumpah pocong boleh berkesan untuk
meyakinkan bahwa pengakuannya adalah benar dan boleh diterima semua pihak yang terlibat
sehingga boleh menyelesaikan pertikaian/konflik antara masyarakat ataupun individu.
Dengan demikian, sumpah pocong masih membawa pengaruh budaya lokal yang
menggunakan norma adat sebagai pemutus suatu perkara.
Adalah tidak dapat dipastikan akan sejarah bermulanya sumpah pocong dipraktikan
oleh pemeluk agama Islam di Indonesia. Informasi yang beredar mengatakan wilayah
Pendalungan di Jember sebagai wilayah yang pertama kali melakukan praktik sumpah
pocong (uniqpost, 2012). Bahkan metode tradisional ini terbukti menekan amuk massa
lantaran tuduhan sepihak yang sulit dibuktikan (Rahardjo, 2001). Pendalungan merupakan
daerah tempat berbaurnya masyarakat Jawa dan Madura di Jember dengan sebahagian
besarnya penduduknya memeluk agama Islam. Di daerah ini terdapat banyak pesantren
sehingga budaya/budaya yang ada di Jember adalah budaya pesantren. Hubungan masyarakat
dengan Kyai sebagai tokoh masyarakat bersifat patron klien yang sangat kuat. Kerana
masyarakat memposisikan dirinya adalah santri kepada kyai, sekalipun masyarakat tersebut
tidak masuk senarai santri dalam pesantren.
Sumpah pocong pada masa dahulu digunakan untuk memutuskan perkara yang
melibatkan kekuatan supernatural yang tak dapat diputuskan oleh hukum resmi seperti sihir

dan pencarian kekayaan. Demikian pula, perkara hutang piutang dan perebutan warisan juga
sering berakhir dengan diadakannya ritual sumpah pocong dengan seorang kyai yang dilantik
menjadi saksi dan pemimpinnya.

Walaupun dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia sumpah boleh menjadi
alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 HIR. Pasal 164 HIR
menyatakan sumpah merupakan alat bukti terakhir selain alat-alat bukti lain seperti saksi,
pengakuan, persangkaan, dan tulisan, namun bukanlah sumpah pocong kerana sistem hukum
Indonesia tidak mengenal sumpah tersebut.
Konflik dalam masyarakat
Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang mahupun
dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa perselisihan ( disagreement),
ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua
pihak atau lebih. Akibat konflik ini akan terjadi sikap penentangan, sampai kepada situasi
pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu
tercapainya keperluan dan tujuan masing-masing. Bahkan masing-masing pihak boleh
memperluas pengaruh konflik ini kepada kelompok yang lebih besar.
Menurut Jhonson dan Dunker, Konflik adalah pertentangan antara banyak
kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan
ada. Kerananya konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan yang boleh bersifat

positif atau bersifat negatif (Mitchell, 2000). Sedangkan menurut Fisher, konflik adalah
hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa
memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001).
Akibat yang demikian, konflik yang terjadi memunculkan kekacauan, saling hasutmenghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, membunuh secara sadis atau penuh
pertentangan batin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan
dokumen-dokumen penting, membakar, dan lain sebagainya yang pada intinya akan
membahayakan keselamatan masyarakat yang lebih luas.
Konflik yang berkepanjangan selalu meninggalkan ironi dan tragedi. Kekerasan yang
terjadi dalam tempoh waktu yang lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar
dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran syaitan (vicious circle) kekerasan
menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Kerana perasaan setiap pihak
adalah mangsa memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan

kekerasan, dan ditambah lagi adanya kerusakan dan kerugian harta benda yang harus di
tanggung.
Dampak terbesar dari konflik yang memerlukan perhatian dan penanganan serius,
justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat, berupa dihinggapi rasa takut dan merasa
selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling
curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat (distrust) dan ini akan terus
terjadi dan berlanjut adanya ekses-ekses sampai pada masa pasca konflik sehingga

menimbulkan trauma yang bersifat komunal. Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan
rasa yang mendalam dan menyakitkan. Dan juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’
dari kedua-dua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang
digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok ideantitas yang
berkonflik
Selama ini yang terjadi di berbagai wilayah, penanganan konflik yang dilakukan oleh
pemerintah/kerajaan selalu berpedoman pada langkah-langkah yang sama, dimana pola
penanganan konflik di tiap wilayah cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari
respon masyarakat yang menyatakan bahwa usaha yang dilakukan pemerintah selain
memberikan bantuan fizikal material, seperti bahan makanan, atau tempat berlindung hanya
berkisar pada fasilitasi, penjagaan oleh anggota keselamatan dan sosialisasi perdamaian.
Usaha-usaha yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi
sebagaimana dikemukakan dalam penanganan konflik, seperti penguatan dasar sosial dan
ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan
seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali terperangkap di dalam
paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.
Menurut hasil penelitian Sugiarto yang bertajuk Konflik Sosial yang terjadi di
Masyarakat dikatakan bahawa dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang
dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris, tanggapan/respon
masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang mereka alami

sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar
responden 73.2% menyatakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di
masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka
dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar
penyelesaian konflik dilakukan di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka

agama. Hanya 7.5% saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di balai polis serta
5.7% saja yang menyatakan agar diselesaikan di mahkamah (Sugiarto, 2010)
Dari huraian ini menunjukkan bahwa konflik dalam masyarakat adalah suatu hal
yang tidak boleh dibiarkan seperti di dalam pemahaman teori struktural fungsional yang
percaya bahwa dalam masa yang lama akan terjadi penyesuaian sehingga konflik dalam
masyarakat akan selesai dengan sendirinya, kerana jika demikian akan berdampak yang lebih
buruk kepada masyarakat. Tetapi konflik dalam masyarakat kenyataannya selalu berterusan,
kerana adanya perbezaan-perbezaan kepentingan berkaitan dengan konflik yang terjadi.
Keadaan inilah yang disadari oleh konsep konflik dialektika, bahawa konflik dalam
masyarakat memang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus dikelola dengan baik agar konflik
tersebut tidak mengarah kepada violence atau hal-hal yang merosak sistem sosial masyarakat.
Sumpah pocong selama ini telah berhasil meredam konflik yang terjadi dengan
mengelola dan membuat trust antara pihak yang berkonflik dalam membuktikan
permasalahan yang menjadi sumber konfliknya. Keberadaan sumpah pocong ternyata juga

diterima dengan baik sebagai alat mengelola konflik di masyarakat kerana sesuai dengan
keyakinan-keyakinan budayaalnya yang selama ini difahami dalam kehidupan sehari-harinya.
Pernyataan masalah
Melihat huraian diatas, bahawa konflik memiliki kesan yang sangat serius kepada
disintegrasi masyarakat kerana akibat adanya peningkatan eskalasi dan intensitas konflik
yang dimaksud, dan sumpah pocong yang berlaku di masyarakat Jember dan Pedhalungan
telah berhasil mengelola secara baik sehingga tidak mengalami peningkatan eskalasi dan
intensitasnya, maka menjadi pentanyaan yang menarik untuk dijadikan rumusan
permasalahan dalam kajian ini. Sehingga pernyataan masalahnya adalah: Mengapakah
sumpah pocong boleh mejadi alat resolusi konflik yang efektif di Jember dan masyarakat
wilayah Pendhalungan?
Sumpah pocong: perilaku masyarakat Pendhalungan hasil perkahwinan antara nilai
tempatan dengan nilai Islam
Masyarakat Jember dan sekitarnya adalah masyarakat Pendhalungan. Secara sosiobudaya Jawa Timur terbagi menjadi tiga wilayah besar, yakni; Mataraman, Arek,
Pendhalungan dan Madura. Masyarakat Mataraman adalah masyarakat yang tinggal di daerah

atau kawasan yang secara budaya lebih dekat dengan budaya Jawa Mataram, iaitu budaya
keraton Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat Arek adalah masyarakat yang tinggal di
kawasan yang memiliki budaya khas Jawa Timur, seperti merek yang tinggal di Malang,
Sidoarjo, Gresik dan Surabaya, sedangkan masyarakat Pendhalungan adalah masyarakat yang

tinggal di daerah yang mengadaptasi budaya Jawa dan Madura sehingga membentuk subbudaya baru. Daerahnya meliputi daerah Tapal Kuda, iaitu Surabaya, Bangil hingga kawasan
Jawa Timur bagian timur, yakni Jember dan Banyuwangi. Dan yang terakhir adalah
masyarakat Madura yang ada di Pulau Madura. Sementara menurut Herusatoto, Jawa Timur
terbagi tiga wilayah budaya, iaitu kawasan yang disebut Mataraman, iaitu kawasan yang
secara budaya lebih dekat dengan budaya Jawa Mataram, iaitu budaya keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Di luar kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan pesisir dan ujung timur Jawa,
iaitu kawasan Madura dan Jawa-Madura (Herusatoto, 1991).
Secara umum, Masyarakat Jawa-Madura memiliki ciri-ciri dan budaya yang sama
dengan Madura. Para ilmuwan ada yang menempatkan dan memperlakukan sama antara
orang Madura dan Jawa-Madura, kerana hubungan genealogis yang tidak boleh dipisahkan
(Chalik, 2013). Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal,
dan stigmatik. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Madura dikenal memegang kuat ajaran
Islam dalam pola kehidupannya.
Penanda menyatunya Islam dengan budaya Madura ialah banyaknya Kyai dan
Pesantren sebagai institusi pendidikan keagamaan dengan Kyai sebagai pimpinannya yang
bagi masyarakat etnik Madura merupakan tokoh yang dihormati dan diteladani dalam aktiviti
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang-bidang di luar masalah agama. Hubungan
masyarakat dengan Kyai dan Pesantren di wilayah ini memiliki ciri khas, iaitu kepatuhan
budayaal orang Madura kepada Guru (Kyai/Ustaz) kerana peranan dan jasa mereka itu
dipandang bermanfaat dan bermakna bagi keberlangsungan etnik Madura. Sehingga selain

tuntutan keagamaan juga implementasi nilai budaya etnis Madura. Menurut Latief,
masyarakat Madura mengenal ajaran kepatuhan budaya kepada Buppa,’ Babbu, Guru, ban
Rato iaitu Bapak, Ibu, Guru dan Pemimpin Pemerintahan. Bagi masyarakat Madura sesuai

dengan ajaran budayanya, empat tokoh ini harus dihormati dan dipatuhi. Penghormatan
terhadap tokoh ini berdasarkan konteks kesejarahan dan terkait dengan eksistensi etnisitas
masyarakat Madura (Wiyata, 2003). Ajaran nilai budaya Madura ini hingga kini masih
terbawa kepada masyarakat Pendhalungan, sehingga budaya mereka mengalami pengkayaan

dan berbeda dengan budaya aslinya. Inilah yang kemudian menurut Sutarto disebut sebagai
sub-budaya baru yang bernama masyarakat Pendhalungan 1.
Terkait dengan sumpah, dalam masyarakat Jawa sumpah mendapat tempat tersendiri
dalam budi pekerti luhur, dikategorikan sebagai perilaku kesatria, berupa ikrar pribadi yang
diucapkan dihadapan orang ramai dengan menyebut nama Yang Maha Kuasa, diselaraskan
dalam hati, dibuktikan dengan perbuatan. Jika sumpahnya bersifat palsu atau dingkari, maka
selain mendapat hukuman undang-undang, juga akan mendapat balasan sosial yang akan
melekat sepanjang hidupnya, serta dipercayai jika sudah meninggal akan mendapatkan
balasan azab di akhirat kelak.
Sementara, dalam ajaran agama Islam, sumpah atau yang dalam bahasa
Arab disebut:


al-yamín

atau

al-hilf

ialah

kata-kata yang

diucapkan

dengan

menggunakan nama Allah atau sifat-Nya, untuk memperkuat suatu hal. Contohnya: " Wallahi
(Demi Allah) saya sudah belajar" dan " Wa'adhamatillah (Demi Keagungan Allah) saya tidak
mencuri". sehingga kerana sumpah itu menggunakan nama Allah atau sifat-Nya, maka la
tidak boleh dibuat main-main. (Muhammadiyah, 2011).
Menurut Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammdiyah, syarat sumpah agar

menjadi sah adalah: (1) berakal (2) baligh (3) Islam (4) bisa melaksanakannya (5) suka rela
(tidak dipaksa). Rukun sumpah: Lafaz yang dipakai dalam bersumpah iaitu harus
menggunakan nama Allah atau sifat-Nya. Sementara berdasarkan sifatnya, sumpah itu ada
tiga:
a.

Sumpah Laghwi: iaitu sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya:
"Demi Allah kamu harus pandai" . Meskipun kata-kata di atas menggunakan nama Allah,
tetapi tidak dimaksudkan untuk bersumpah, hanya untuk memperkuat saja. Maka hukum
1

Wilayah kebudayaan pandhalungan (pandalungan) merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara
dan bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya Madura.
Secara budaya, yang disebut masyarakat pandalungan adalah masyarakat hibrida, yakni masyarakat
berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan. Dalam konteks kawasan “tapal kuda”
Jawa Timur, budaya pandalungan adalah percampuran antaraa dua budaya dominan, yakni budaya Jawa dan
budaya Madura. Pada umumnya orang-orang pandalungan bertempat tinggal di daerah perkotaan. Secara
administratif, kawasan kebudayaan pandalungan meliputi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo,
Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Dalam konteks geopolitik dan geososio-budayaal, masyarakat
pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda. (lihat makalah Ayu Sutarto, Sekilas Tentang
Masyarakat Pandalungan, yang disampaikan pada disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya
2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 – 10
Agustus 2006)

sumpah tersebut tidak wajib membayar kaffarah dan tidak berdosa. Hal ini berdasarkan
firman Allah yang artinya "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun ." (Al-Baqarah [2]: 225).

b.

Sumpah Mun'agadah: iaitu sumpah yang sengaja diucapkan untuk bersumpah yang
bertujuan melakukan atau meninggalkan sesuatu hal. Contohnya: "Demi Allah
saya akan memberimu wang jika saya kaya" dan "Saya bersumpah demi Allah tidak
akan

menipumu".

Hukum sumpah

ini

ialah

wajib

membayar kaffarah

jika

melanggarnya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya: "Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
kaffarat/tebusan (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
iaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian
kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup
melakukan yang demikian,maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar
kamu bersyukur (kepada-Nya)." (A-Maidah [5]:89). Menurut ayat ini, jika seseorang

bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, lalu la tidak boleh menepati
sumpahnya itu, ia terkena kaffarat. Kaffarat ialah penebus dosa sumpah.
c.

Sumpah Ghamus: ialah sumpah palsu/bohong, iaitu sumpah yang diucapkan untuk
menipu atau mengkhianati orang lain. Sumpah palsu ini adalah salah satu dosa besar
sehingga tidak ada kaffaratnya atau tidak boleh ditebus dengan kaffarat. Pelakunya
wajib bertaubat nasuha . Dinamakan ghamus kerana akan menjerumuskan pelakunya ke
dalam api neraka. Jika sumpah ini menyebabkan hilangnya hak-hak, maka hak-hak
tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini berdasarkan ayat yang artinya
"Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu,
yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan
kemelaratan (di dunia) kerana kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan
bagimu azab yang besar " (An-Nahl [16]: 94). Dan berdasarkan Hadits berikut: Artinya
"Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru ra. Dari Nabi saw.bersabda: "Dosa -dosa besar
ialah: menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh jiwa dan sumpah
palsu"." ( H R al-Bukhari )

Terlihat jelas dari huraian ini bahawa sumpah pocong memang tidak sesuai dengan
kaedah sumpah menurut budaya Jawa mauhupun budaya Islam. Walau demikian ternyata
sumpah pocong memiliki kemampuan yang kuat untuk membuat orang yang menjalani taat
dan patuh kepada sumpah yang diucapkan. Nilai sakral yang muncul dari aktiviti sumpah
pocong ini timbul kerana ayat-ayat Al-Quran yang selalu digunakan dalam upacara sumpah
ini serta penggunaan kain kafan yang selalu mengingatkan kepada kematian.
Dalam pandangan masyarakat Pendhalungan yang merupakan masyarakat yang
masih memegang nilai budaya Madura, Al-Quran merupakan simbolisasi Islam yang sudah
tidak boleh dibantah lagi, ayat-ayat dalam Al-Quran merupakan doktrin yang harus ditaati
sebagai bentuk implementasi jatidiri orang Madura yang ideantik dengan orang Islam.
Menurut Taufiqurrahman Direktur Center for

Madura

Studies

(Cermad),

(Taufiqurrahman, 2006). Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik,
stereotipikal dan stigmatik. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Madura dikenali
memegang kuat ajaran Islam dalam pola kehidupannya walaupun dalam sifat yang terbatas
terdapat “dilema,” untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal
dan substantif) dan pola perilaku sosio-budaya dalam praktik keberagamaan mereka. Penanda
menyatunya Islam dengan budaya Madura adalah banyaknya Kyai dan Pesantren sebagai
institusi pendidikan keagamaan dengan Kyai sebagai pimpinannya yang bagi masyarakat
etnis Madura merupakan tokoh yang dihormati dan diteladani dalam aktiviti kehidupan
sehari-hari, termasuk dalam bidang-bidang di luar masalah agama. Hubungan masyarakat
dengan Kyai dan Pesantren di wilayah ini memiliki ciri khas, iaitu kepatuhan budayaal orang
Madura kepada Guru (Kyai/Ustaz) kerana peranan dan jasa mereka itu dipandang
bermanafaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Sehingga selain tuntutan
keagamaan juga implementasi nilai budaya etnis Madura.
Menurut Latief, masyarakat Madura mengenal ajaran kepatuhan budaya kepada
Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato iaitu Bapak, Ibu, Guru dan Pemimpin Pemerintahan. Bagi
masyarakat Madura sesuai dengan ajaran budayanya, empat tokoh ini harus dihormati dan
dipatuhi. Penghormatan terhadap tokoh ini berdasarkan konteks kesejarahan dan terkait
dengan eksistensi etnisitas masyarakat Madura (Wiyata, 2003).
Dalam situasi budayaal seperti inilah, maka figur kyai dalam pelaksanaan sumpah
pocong memiliki kedudukan yang sangat penting. Kehadirannya selain berfungsi simbolik

penanda budaya Islam yang hadir bersama dengan ayat-ayat Al-Quran yang dilantunkan
sebagai pelengkap ikrar/sumpah yang dibacakan, juga sebagai penanda legalitas sosial
masyarakat, kerana kedudukan sosial yang tinggi status kyai. Disisi lain, ikrar yang
diucapkan juga bermakna sebagai bentuk perilaku kesatria, yang harus diucapkan secara
sungguh-sungguh dihadapan orang banyak dengan menyebut nama Yang Maha Kuasa, dan
nantinya dibuktikan kebenaran ucapannya dihadapan orang banyak pula.
Keadaan ini yang kemudian membuat Sumpah Pocong menjadi terasa sakral, ada
rasa takut dari pihak-pihak yang terlibat untuk tidak melaksanakan dengan serius, sehingga
hasil dari Sumpah Pocong ini adalah trust dari semua pihak yang berkonflik untuk menuju
proses penyelesaian hubungan menjadi lebih baik lagi. Yang menurut Fisher dikategorikan
sebagai penyelesaian konflik, iaitu bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui
suatu persetujuan perdamaian (Fisher, 2001).
Trust yang dihasilkan dalam Sumpah Pocong inilah yang kemudian bermanfaat

untuk menghasilkan situasi yang kondusif dalam menjalankan tahap dalam pengurusan
resolusi konflik selanjutnya. Wirawan menjelaskan bahawa resolusi konflik adalah proses
untuk mencapai keluaran konflik dengan kaedah resolusi konflik, sedangkan kaedah resolusi
konflik adalah proses pengurusan konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran
konflik yang mencakup kaedah pengaturan sendiri (self regulation) mahupun kaedah campur
tangan pihak ketiga (Wirawan, 2010).
Pengurusan konflik iaitu praktik mengideantifikasi konflik, menangani konflik
secara bijaksana, adil, efisien dan mencegah konflik agar tidak lepas kendali. Kaedah
pengaturan sendiri iaitu; win-win sulution, (kolaborasi-kompromi), win and loses solution
(memperkecil posisi lawan), ataupun kaedah menghindar, sedangkan kaedah campur tangan
pihak ketiga iaitu melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan alternatif
iaitu terdiri dari mediasi, arbitrasi dan ombudsmen. Dalam konteks Sumpah Pocong, simbolsimbol budaya dan agama menjadi mediator munculnya trust menuju pengelolaan konflik
selanjutnya.
Ada tiga komponen utama dalam konflik, iaitu: (1) kepentingan (interests), baik
yang bersifat subjektif ataupun obyektif; (2) emosi (emotional), iaitu perasaan seperti
kemarahan, ketakutan dan lain-lain; (3) nilai (values), yang seringkali sulit terukur dan
tertanam pada idea dan perasaan mengenai benar dan salah dalam mengatur perilaku kita.

Dalam Sumpah Pocong, ketiga komponen ini dikemas dalam suasana religius yang menyatu
antara budaya dan keimanannya sehingga akan memunculkan tiga komponen yang bersifat
asli, jujur dan keiklasan. Semua pihak yang teribat mengalami suasana yang demikian
sehingga trust akan tumbuh dalam penyelesaian konflik.
Bagaimana Sumpah Pocong dapat menghasilkan trust untuk menuju resolusi yang lebih
baik?
Meningkatnya ekskalasi konflik antara orang dengan orang mahupun kelompok
dengan kelompok juga tidak boleh dilepaskan dari persoalan contradiction. Terlalu
banyaknya khabar angin yang berkembang sekitar konflik yang dialami dalam masyarakat
pesekitaran menyebabkan arah konflik menjadi serba tidak jelas. Apakah ini konflik pribadi,
atau bersintesis dengan konflik kepentingan lainnya. Dalam pandangan Johan Galtung,
berkembangnya isu yang tidak bertanggungjawab tersebut akan menyebabkan celah
kontradiksi akan semakin melebar, sehingga berbantut dengan semakin mengecilnya ruang
kepercayaan satu sama lain. Antara masyarakat saling tidak percaya, elit tidak dipercaya oleh
massanya, atau bahkan usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak lainpun juga tidak akan
dipercaya sehingga tidak boleh menyelesaikan permasalahan dalam konflik itu. Jika sudah
demikian akutnya kontradiksi maka konflik akan menjadi sebuah benang kusut yang sulit
dihurai.
Masyarakat Jember dan Pendhalungan adalah masyarakat yang berbudaya Madura,
Penduduk budaya Madura majoritinya keagamaan memeluk Islam. Dalam konteks sosio
budaya keagamaannya kaum Madura menempatkan tokoh agama dan kyai pada posisi yang
sangat penting dan tokoh yang dipercaya di tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat
berbudaya Madura, kyai dipandang tidak hanya sebagai subjek yang mengajarkan ilmu-ilmu
agama, tetapi juga sebagai subjek yang mempunyai kekuatan linuwih 2. Itu sebabnya, ia juga
berperanan sebagai tabib, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat
belajar ilmu kanuragan 3. Kyai membangun relasi kuasa melalui proses budayaal, iaitu
melakukan Islamisasi. Beragam media budayaal mereka ciptakan untuk membangun

Linuwih (bahasa Jawa), bererti “lebih”. Istilah ini biasa dipakai untuk menjelaskan kelebihan yang dimiliki
oleh seseorang terkait dengan ilmu. Dalam konteks ini kekuatan linuwih dapat diartikan memiliki kesaktian,
iaitu kelebihan dalam bidang ilmu beladiri mahupun ilmu mistik/magic.
3
Ilmu Kanuragan: adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup
kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang
luar biasa.
2

kesedaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar 4, pondok pesantren, dan sekolah
agama. Di sini awalnya kyai melakukan transfer/pemindahan pengetahuan keagamaan, tetapi
pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemoni dalam membina bangunan
kognitif dan tindakan sosial masyarakat.
Suatu yang khas mengenai budaya Madura adalah pengakuan bahawa Islam sebagai
ajaran formal yang diyakini dan diteladani dalam kehidupan individual etnik Madura itu,
ternyata tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka.
Kekhususan budayaal itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan
mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam
praksis keberagamaan. Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato (Ayah, Ibu,
Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis
orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya mereka
(Wiyata, 2003).
Bagi etnik Madura, demikian juga yang berlaku di Jember dan masyarakat
Pendhalungan umumnya, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi keniscayaan untuk
diaktualisasikan dalam praktik keseharian sebagai “aturan normatif” yang mengikat. Oleh
kerananya, pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara disengaja atas aturan itu
menyebabkan pelakunya dikenakan sekatan sosial mahupun budayaal. Pemaknaan etnografis
demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk
mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan
bahawa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang
tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada
keempat figur tersebut. Termasuk ketaatan dan kepercayaan atas kepemimpinannya dalam
kegiatan Sumpah Pocong sebagai usaha untuk membuktikan kebenaran atas dasar keyakinan
atau keimanan yang dimilikinya.
Public trust terhadap Sumpah Pocong sebagai alat resolusi konflik merupakan kunci

utama keberhasilan resolusi konflik pada masyarkat Jember dan Pendhalungan.

4

Langgar: bangunan tempat sholat dan kegiatan keagamaan lain yang ukurannya lebih besar daripada
musholla dan lebih kecil daripada masjid. Dalam lingkungan masyarakat etnik Madura yang pola
bermukimnya berkumpul dengan keluarga besarnya, biasanya ditengah-tengah perumahan terdapat langgar
yang digunakan untuk sholat berjamaah. Langgar biasanya tidak digunakan untuk sholat jum’at. Untuk
sholat jum’at mereka memakai masjid.

Dari bingkai konflik tersebut tampak bahwa ekskalasi konflik lebih disebabkan oleh
timbulnya ketidakpercayaan satu sama lain dari pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik
dalam masyarakat selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada
pendekatan komunikasi antara budaya, antara kepentingan dan antara individu yang berwatak
persuasif. Birokrasi pemerintah yang terlibat dalam proses menciptakan tertib sivil selama ini
lebih mengedepankan pada pendekatan keamanan dan hukum.
Pendekatan penyelesaian konflik yang bersifat general yang berlangsung selama ini
jelas menjadi salah satu aspek yang harus dibenahi. Kesan yang dirasakan masyarakat adalah
hukum dan birokrasi sudah tidak memperoleh kepercayaan masyarakat dalam menyelesaikan
persoalan, keadilan boleh dibeli dengan wang. Public trust terhadap lembaga peradilan sudah
mengalami degradasi yang cukup besar. Public trust ini akan terciptanya jika proses
penyelesaian konflik mengedepankan aspek human security.
Sumpah Pocong merupakan institusi resolusi konflik yang telah mendapatkan public
trust dari masyarakat Pendhalungan kerana menggunakan nilai-nilai agama yang menjadi

dasar keimanan masyarakat serta perilaku keyakinan berdasarkan budaya yang berlaku di
wilayah setempat. Selanjutnya, dengan public trust yang telah dimiliki, maka usaha
menciptakan saling percaya antara kedua-dua belah pihak yang berkonflik (trust building)
lebih mudah dilakukan. Trust building merupakan kegiatan menuju negosiasi yang sangat
menentukan proses selanjutnya, kerana konflik yang sudah berlangsung (apalagi sudah
lama) akan membuat kedua belah pihak untuk saling mencurigai satu sama lain, atau bahkan
tidak jarang sudah saling membenci dan menyerang, dengan adanya trust building, keadaan
yang demikian dapat dihindarkan
Menurut Dominkus Dalu, akar persoalan mengapa tidak ada penyelesaian dalam
konflik adalah faktor kepercayaan atau trust. Berbagai konflik tersebut berlarut-larut tidak
ada penyelesaian, yang hujungnya menjadi serius sampai pada pertumpahan darah kerana
tidak ada trust yang dibangun pihak yang seharusnya menjadi mediator penyelesaian masalah
(Dalu, 2012). Institusi penyelesai masalah yang dibentuk oleh masyarakat Jember dan
Pendhalungan yang dikenal dengan nama “Sumpah Pocong” telah mampu menciptakan trust
masyarakat dalam menjalani proses resolusi konflik.

Kesimpulan

Keberadaan Sumpah Pocong yang berfungsi efektif sebagai salah satu bentuk
pengurusan konflik dalam sebuah resolusi konflik dimasyarakat Jember dan Pendalungan
kerana terdapat beberapa perkara:
1) Adanya penerimaan dari masyarakat ataupun pihak-pihak yang berkonflik terhadap
semua elemen dalam pelaksanaan Sumpah Pocong, iaitu:
a. Kyai sebagai tokoh utama yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.
b. Simbol-simbol Islam berupa ayat-ayat al-Quran, kafan, masjid dan lain sebagainya
yang diterima keberadaannya sesuai dengan keimanan yang diyakini oleh masyarakat
c. Anggapan bahwa bersumpah dengan benar dan dilakukan dihadapan orang ramai
merupakan salah satu pembuktian dari tindakan kesatria yang merupakan tuntutan
budaya nilai-nilai budaya Jawa
2) Sumpah Pocong merupakan produk budaya setempat, sehingga mendapatkan penerimaan
secara budaya.
3) Adanya trust dari hasil pelaksanaan Sumpah Pocong kerana dalam pandangan masyarakat
hasilnya telah memenuhi harapan dan keyakinan agama mahupun budaya. Sehingga
memudahkan usaha penyelesaian konflik.

BIBLIOGRAFI

Chalik, A. (2013). Integrasi Budaya Madura dan Jawa dan Implikasinya Terhadap Budaya
Politik Masyarakat Pendalungan

Retrieved 5 September 2013, 2013, from

http://www.sagafgresik.com/2013/02/integrasi-budaya-madura-dan-jawa-dan.html
Dalu, D. (2012). Negara tanpa Resolusi Konflik Retrieved 7 September, 2013, from
http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/01/05/negara-tanpa-resolusi-konflik/
Fisher, S. (2001). Working with Conflict: Skills and Strategies for Action . United Kingdom:
Zed Books Ltd.
Herusatoto, B. (1991). Simbolisme dalam Budaya Jawa . Yogyakarta: PT. Hanindita.
Mitchell. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan . Yoyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Muhammadiyah, D. F. M. T. d. T. (2011). Nazdzar dan sumpah; Tanya Jawab Al Islam
Retrieved 5 September, 2013, from http://www.muhammadiyah.or.id/15-content-188det-tanya-jawab-alislam.html
Rahardjo, H. S. d. C. (2001). Sumpah Pocong Efektif Menekan Amuk Masa Jember. News.
Retrieved from liputan6.com website: http://news.liputan6.com/read/13125/sumpahpocong-efektif-menekan-amuk-massa-jember
Sugiarto. (2010). Konflik Sosial Yang Terjadi di Masyarakat.

Retrieved from

http://sugiartoagribisnis.wordpress.com/2010/05/08/konflik-sosial-yang-terjadi-dimasyarakat/
Taufiqurrahman. (2006). Islam Dan Budaya Madura . Paper presented at the Annual
Conference on Contemporary Islamic Studies, Grand Hotel Lembang Bandung.
uniqpost. (2012). Riwayat Praktik Sumpah Pocong di Idonesia. Nasional. Retrieved from
Uniqpost website: http://uniqpost.com/35260/sumpah-pocong-di-indonesia/
Wirawan. (2010). Konflik dan Pengurusan Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian . Jakarta:
Salemba Humanika.
Wiyata, A. L. (2003). Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya madura .
Jakarta: CERIC-FISIP UI.