PEREMPUAN PEMETIK MATAHARI Antologi Cerp
18. Vera Yuana
Alisa, Masih Ada Cahaya ...................................................................................................162
19. Mirza Ghulam Ahmad Si Cabi-Cabian .................................................................................................................171
en 161 vi Anthologi Cerpen
Perempuan Pemetik Matahari
Antologi Cerpen 1
2 Antologi Cerpen
Antologi Cerpen 3
4 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 5
6 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 7
8 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 9
10 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 11
12 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 13
14 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 15
16 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 17
18 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 19
20 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 21
22 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 23
24 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 25
26 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 27
28 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 29
30 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 31
32 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 33
34 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 35
36 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 37
38 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 39
40 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 41
42 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 43
44 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 45
46 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 47
48 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 49
50 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 51
52 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 53
54 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 55
56 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 57
58 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 59
60 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 61
62 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 63
64 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 65
66 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 67
68 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 69
70 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 71
72 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 73
74 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 75
76 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 77
78 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 79
80 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 81
82 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 83
84 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 85
86 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 87
88 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 89
90 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 91
92 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 93
94 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 95
96 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 97
98 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 99
100 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 101
102 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 103
104 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 105
106 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 107
108 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 109
110 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 111
112 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 113
114 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 115
116 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 117
118 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 119
120 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 121
122 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 123
124 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 125
126 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 127
128 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 129
130 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 131
132 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 133
134 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 135
136 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 137
138 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 139
140 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 141
142 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 143
144 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 145
146 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 147
148 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 149
150 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 151
152 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 153
154 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 155
156 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 157
158 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 159
160 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen 161
Vera Yuana
ALISA,
MASIH ADA CAHAYA
en 162 161 Anthologi Cerpen
Alisa terduduk. Air matanya tak lagi membanjiri wajahnya. Perasaannya kebas. Ia tak bisa merasa- kan apa-apa lagi. Sangat sulit dipercaya. Laki-laki ini masih saja mengelak. Ngeles. Seolah berita yang
dibawanya hanya isapan jempol belaka. Kabar kedekatan suaminya dengan seorang perempuan, acap kali singgah ke dasar telinganya. Na-
mun ia tak percaya. Mana mungkin? Toh, mereka telah menikah 22 tahun. Apalagi suaminya tahu, bagaimana perjuangan mereka untuk bisa bersama. Ayah Alisa sempat tidak setuju dengan pilihannya.
Entahlah, kenapa bisa begitu. “Ia bukan pria yang tepat untukmu.” Itu saja alasannya. Ketidaktepatan yang dimaksud Ayah tak pernah dijabarkannya. Apa, kenapa dan bagaimana. Sampai Ayah pergi.
Teringat kala ia memberikan alibi kepada Ayahnya, jodoh itu Allah yang menentukan bukan ma- nusia. Ayah sempat gusar dengan alibinya itu. Sikap Ayah sungguh membuatnya sebal. Alisa tak mau
menyerah. Tetap dalam posisi bertahan. Didikan sang Ayah yang pensiunan militer itu memang turut membentuk kepribadiannya yang keras. Sampai keputusan ekstrem pun ia buat. Ia mulai mengancam tidak akan pernah menikah seumur hidupnya. Ancaman ini memunculkan amarah sang Ayah. Namun
berkat bujuk rayu Ibu, hati Ayah pun luluh. Hanya dengan sebuah mantra sederhana. “Bukankah wajib hukumnya bagi seorang Ayah menikahkan putrinya jika ia sudah berkeinginan?”
Pernikahan Alisa dan Ardhie pun terjadi. Kehidupan pernikahan mereka tidaklah mudah. Penuh
liku dan perjuangan. Dalam berbisnis pun begitu. Pernah ditipu orang, pernah dicari-cari pula akibat
proyek yang gagal. Tapi itulah Alisa, pantang menyerah. Atau mengaku kalah. Ia bertahan. Menjadi penyelamat untuk suaminya.
Anthologi Cerpen en 163 161
Namun malam ini, ia seperti berada dalam ruang berbeda. Ia sungguh tak mengenali laki-laki ini
lagi. Kepercayaan dirinya jatuh, runtuh sampai ke dasar jurang terdalam. Ia terhempas batu cadas, dihan- tam kerikil tajam. Remuk luar dalam. Manalah mungkin? Suaminya yang setia, baik, tak pernah bicara kasar padanya dan pandai membujuk rayu dirinya sampai klepek-klepek itu, tak ubahnya seperti musang
berbulu domba. Tajam ia memandang mata laki-laki itu.
“Lihat mataku, Mas Jangan menunduk. Katakan sekali lagi padaku! Apa arti semua ini!” teriak Alisa
tak tertahan. Ia menunjuk kiriman pesan itu kepada suaminya.
Hening. Laki-laki yang bernama Ardhie itu, terdiam. Berpikir untuk mencari kata-kata yang tepat.
Dengan wajah lugu dan mata sayu, ia melirik Alisa yang duduk tak jauh darinya.
“Itu berita tak benar, Alisa. Jangan kau percayai. Mana mungkin aku melakukan itu? Aku belum
gila.” Ardhie meraih tangan Alisa namun ditepisnya. Ardhie terpana. Alisa belum pernah melakukan ini
“Aku hanya ingin kau jujur, Mas. Jangan mengelak lagi. Sudah seberapa jauh hubunganmu dengan
perempuan itu? Siapa namanya? O, iya, Yunita.” Alisa mengingatnya.
Ardhie mencoba memperbaiki kaca matanya yang mendadak turun dari hidungnya yang tidak ter-
lalu mancung itu. Ia berkilah.
“Begini, Aku dengan Yunita memang satu kantor. Kami sering ditugaskan bersama-sama untuk
menggelar event-event yang diadakan perusahaan. Kedekatan kami hanya sebatas hubungan kerja. Ha-
en 164 161 Anthologi Cerpen en 164 161 Anthologi Cerpen
dengannya. Kau kenal Yunita kan? Dibandingkan dirimu, ia jelas tak ada apa-apanya.”
Alisa ingin sekali menampar wajah Ardhie. Tindakan yang belum pernah dilakukannya kepada la-
ki-laki ini. Pria munafik!
“Jadi menurutmu, berita itu mengada-ada. Termasuk gambar yang ada di handphonde ini. Begitu?” “Yah apa lagi, Sayang. Ini hanya fitnah. Kita terlalu kuat untuk dihancurkan oleh mereka.”
Mereka? Mereka siapa? Rasa muak Alisa sudah pada puncaknya. Ia hanya menginginkan laki-laki ini jujur. Mengakui kesalahannya. Tapi yang terjadi justru sanggahan demi sanggahan.
“Kau harus tahu, Mas. Aku memang tak mendampingimu hidup di kota ini. Sehingga kau hidup sendirian. Itu bukan berarti aku tak mau bersamamu. Bukankah kau sendiri mengatakan belum mampu
membawaku dan anak-anak ke sini?” Ardhie terdiam. Ia seperti menyadari apa yang pernah ia ucapkan kepada Alisa. “Ketidakmampuanmu itu aku pahami. Meski kadang-kadang aku juga merasa kesepian dan sendiri.
Sendiri dalam mengurus anak-anak. Kala mereka sakit, aku sendiri yang mengurusnya. Ketika mereka agak nakal di sekolah, aku sendiri yang mengatasinya. Dan saat uang yang kau kirimkan tak mencukupi,
aku pula yang harus menutupinya. Aku tak pernah menuntut. Maka jika benar kau melakukan ini pada-
ku, aku rasa kau bukan laki-laki beradab.”
Perkataan itu menyentak Ardhie. Dalam kondisi normal ia akan merasa tersinggung dengan per- kataan itu. Tapi situasi saat ini sangat lain. Ia tak mungkin membantahnya.
Anthologi Cerpen en 165 161
“Aku tahu, Alisa. Makanya aku tak ingin melukai perasaanmu. Aku mencintaimu. Rasa itu tak berubah sampai hari ini.”
“Sudah! Hentikan! Kau pikir aku percaya?!” Suara tinggi Alisa mengagetkan Ardhie. Ia sungguh tak percaya Alisa sanggup melakukan ini padanya. Ini bukan Alisa, istrinya yang terkenal lembut dan pen-
gertian. Hati Alisa sudah utuh terbakar. Ia sudah muak dengan tampang innocent laki-laki ini. Tampang yang membuat ia terpedaya selama 22 tahun.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Alisa menekan nomor telepon tertentu dan menempelkan ke telin-
ga. Ia tak peduli tampang bego suaminya. “Cici, bisa kau bawa barang itu ke sini? Iya. Oke, Aku tunggu.”
Alisa kembali menatap tajam mata Ardhie. Tak ada lagi yang ingin ia bicarakan pada laki-laki ini.
Badannya sendiri sudah mulai berkeringat. Tanpa sengaja ia meremas tangannya. Pertemuan penting ini
akan segera terjadi.
Terdengar bel berbunyi. Alisa mengisyaratkan Ardhie membukanya. Tanpa ada firasat apapun, Ar-
dhie mengikutinya. Seperti petir di siang bolong, Ardhie menatap tak percaya, apa yang ada di hadapan-
nya. Lama ia berdiri di depan pintu dan mematung. Terlihat Cici datang bersama seorang perempuan
yang sangat dikenalnya. Ruangan itu seperti terserap hawa panas. Ardhie tampak tegang. Terdiam tanpa
suara. Otaknya mengerut. Seakan seluruh darah di tubuhnya terserap keluar. Dadanya berat.
”Mbak Alisa?!” Terdengar suara gugup Yunita. Ada nada kaget di sana ketika melihat wanita ini. Wa-
jah penuh tahi lalat itu memucat. Ia tak percaya. Paru-parunya terasa tak berfungsi. Ia seperti kesulitan
bernapas. Kepalanya seakan berkabut. Tak bisa berpikir. Ia pun menatapi Ardhie yang diam tak bicara. Ia harus melakukan apa?
en 166 161 Anthologi Cerpen
Alisa menatap beringas perempuan yang ada di depannya ini. Giginya gemeretak. Rahangnya mengeras. Matanya membulat menahan amarah.
“Kita ketemu lagi untuk yang ketiga kalinya. Kau tahu, aku siapa kan?” Alisa sengaja memberikan
pertanyaan itu meski tak berguna. Suaranya terdengar sedikit mengigil menahan geram. “Iya, Mbak. Mbak Alisa istrinya Mas Ardhie.” Jawaban yang terdengan polos. Munafik! “O, kau tahu aku istrinya? Tapi kenapa kau ingin mengambilnya dariku!” Mencekam. Teriakan Alisa
membelalakkan mata semua orang. Hening. Lama. Namun tiba-tiba, Yunita berlari ke arah Alisa dan merengkuh kakinya. Deraian air mata dan isak tangis mewarnai tragedi ini.
“Maafkan Aku Mbak. Aku tak bermaksud mengambil Mas Ardhie dari tangan Mbak Alisa. Kami memang tak sengaja melakukannya. Aku tak punya pilihan lagi kecuali menikah dengan Mas Ardhie.
Aku... Aku...” “Diam! Aku tak perlu mendengarkan masalahmu!” Alisa meronta, berusaha melepaskan rangkulan tangan Yunita dari kakinya namun tak bisa. Yunita
terlalu erat memeganginya. Ia kembali menatap Ardhie. Tajam. Sangat tajam. Ia benci suasana ini. Benci laki-laki yang sudah menjadi Ayah dari tiga puterinya itu.
“Apa ini yang kau bilang fitnah?!” Alisa kembali berteriak. Menatap garang ke arah Ardhie.
Laki-laki itu mengusap wajah dengan tangannya. Lalu menyisir rambutnya yang berantakan dengan
jari-jari yang mulai gemetar. Ia sungguh tak menduga, Alisa sudah mengetahui semuanya. Apa yang ha- rus ia katakan? Kebohongannya terbongkar sudah. Ia tak punya pilihan selain mengakui perbuatannya
Anthologi Cerpen en 167 161 Anthologi Cerpen en 167 161
“Maafkan aku, Alisa. Aku khilaf.” Hanya itu kata yang diucapkan Ardhie. Tak ada lagi yang bisa
dikatakannya selain kata maaf dan khilaf. Ia seperti ditelanjangi.
Sungguh semua itu melukai hati Alisa. Ia meraba dadanya. Menekannya erat seakan takut banyak darah yang akan keluar dari sana. Ia tidak boleh menangis. Air matanya sudah tertuang habis sejak
beberapa hari lalu ketika ia menerima gambar foto “undangan pernikahan” itu. Jelas nama Ardhie Gu-
nawan dengan Yunita Ayubi di sana. Dua insan yang dimabuk cinta itu akan segera menikah. Namun
seluruh rasa ditahannya demi anak-anak. Ia tidak ingin ketiga buah hatinya tahu tentang pernikahan
Ayahnya yang tinggal menghitung hari.
“Aku tak tahu, apa yang kalian berdua pikirkan. Kenapa kalian tega melakukan ini padaku. Aku
sudah melakukan kesalahan apa pada kalian!” Alisa terhenti, menghela nafas panjang dan mengem-
buskannya berlahan.
“Kau, Yunita, mengatakan kepadaku, tanpa sengaja melakukannya? Aku tak percaya. Kau sadar, la-
ki-laki yang kau ajak bercumbu itu adalah suamiku dan Ayah dari tiga puteriku. Jika kau memang per-
empuan baik-baik, mana mau kau melakukannya. Kau ingin memilikinya dengan cara itu. Kau mencin-
tai suamiku! Itu alasannya!” Yunita menggugu tanpa arah. Ia seperti tersudut dengan perkataan itu. Apa
yang dituduhkan Alisa, benar adanya. Ia mencintai suami perempuan itu.
“Dan kau, Mas. Tega kau mengkhianati pernikahan kita. Tega kau menyakiti perasaan anak-anak. Apa yang harus aku katakan kepada mereka?!” Tanpa sadar dua permata bening meluncur juga dari bola
en 168 161 Anthologi Cerpen en 168 161 Anthologi Cerpen
Kau tahu, aku juga harus bekerja keras untuk bisa meringankan bebanmu. Bukan kau saja yang mem- banting tulang, aku juga. Inikah penghargaanmu atas kerelaanku?” “Aku minta maaf, Alisa, “kata Ardhie tak kalah mengiba. Alisa memicingkan matanya sesaat. Perih
rasanya. Lalu melanjutkan perkataanya. “Pernikahanmu dengan perempuan ini, tinggal dua hari lagi. Pernikahan dengan perayaan be- sar-besaran. Apa kau sanggup membatalkannya dan mengatakan kepada keluarganya bahwa kau sudah menikah, memiliki istri dan tiga orang anak? Aku rasa tidak. Karena sesungguhnya kau pun menging- inkannya. Separuh jiwamu sudah menjadi miliknya! Kau juga suka pada perempuan ini!”
Alisa tercekat. Sakit rasanya. Namun ia puas, berhasil membongkar topeng mereka berdua. Manusia munafik penuh tipu daya. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal. Matanya membesar. Namun
Alisa masih memiliki kekuatan sebelum meninggalkan penginapan dan kembali ke kotanya. Ia tak ingin
bermalam di kota ini walau hanya untuk satu hari.
“Menikahlah...” Hanya kata itu yang terlintas di pikirannya. Ia sendiri kaget dengan ucapannya. Tidak hanya Alisa. Ardhie, Yunita bahkan Cici tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Tapi maaf, aku tak bisa lagi bersamamu untuk alasan apapun. Semua harus berakhir di sini. Aku juga tidak percaya, keputusan ini bisa aku ambil hari ini. Padahal yang ada di benakku kemaren dan kemarennya lagi, aku harus merebutmu kembali dari tangan perempuan ini. Membawamu pulang ke
rumah kita. Karena sesungguhnya, sampai hari ini, aku masih istri sahmu di hadapan Allah. Namun Anthologi Cerpen en 169 161 rumah kita. Karena sesungguhnya, sampai hari ini, aku masih istri sahmu di hadapan Allah. Namun Anthologi Cerpen en 169 161
Ardhie mendadak berdiri. Ia begitu tegang. Ia merasa Alisa akan pergi. Suasana kritis. Ia ingin ber- buat sesuatu. Tapi terlambat. Tanpa berkata apa-apa lagi dan tanpa melirik Ardhie, Alisa mendorong
kursi yang didudukinya ke belakang, berdiri dan melangkah keluar. Ardhie seperti orang bego yang hanya bisa menatap Alisa pergi. Bodoh. Ia mengumpat dirinya. Keputusan Alisa itu sudah final. Ia ke-
nal karakter istrinya. Keinginannya untuk berpoligami tak terwujud. Tak kan mampu lagi ia membujuk
rayu. Bagaimana anak-anaknya? Ia tidak ingin dipisahkan? Tapi apa ia masih punya muka bertemu
mereka? Ardhie terduduk di lantai. Terjerembab. Nafasnya terasa sesak.
Sedangkan yang tersisa dari Alisa adalah kepedihan. Dari tadi ia menekan telapak tangannya di dada
berusaha menutupi luka yang menganga di sana. Tak membantu. Sulit baginya menutupi luka di hatinya
itu secara utuh. Tubuhnya melemah. Tangannya dingin. Bahunya menegang. Pernyataan terakhirnya
jelas, tak kan dicabutnya lagi. Dipandanginya luar jendela. Hanya ada kegelapan. Lama Alisa menatap
bayang tanpa rona dari balik kaca gerbong kereta api yang membawanya pulang. Sulit menerka apa yang
tersembunyi dibaliknya. Semua terlihat bias. Misterius. Hanya ada cahaya kecil terlihat di kejauhan.
Entah apa itu. Tampak sama persis dengan kehidupannya. Kabur dalam arsiran abu-abu. Apakah cahaya
kecil itu seperti masa depannya? Alisa menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Semoga
masih ada cahaya untuknya.
en 170 161 Anthologi Cerpen
Mirza Ghulam Ahmad SI CABI-CABIAN
Anthologi Cerpen en 171 161
Memang sangat jarang, aku merasa cocok dengan seorang wanita. Mungkin karena itulah sampai saat ini aku belum memiliki pacar sekalipun. Bukan karena sok ganteng, kekerenan atau malah sebali-
knya, tapi aku rasa terlalu banyak wanita membedaki mukanya terlalu tebal. Bukan dengan wardah atau mustika ratu. Tetapi, dengan sikap dan perilaku palsu. Walau aku sadar terkadang memang aku seperti
banci yang sesekali memerah-merahi bibirku dengan kata-kata manis serta menggoda. Tapi, itu semua aku lakukan sekedar mencairkan suasana yang terlalu padat dengan ‘aturan’.
Setidaknya kemarin aku dapat tersenyum setelah berjumpa dengannya. Wajahnya tak berbedak,
bibirnya pun tak merah tapi keanggungannya telah berhasil membuatku resah. Ini bermula dari sebuah
kegiatan di kampusku.
Malam telah selimuti mentari, tak satupun cahayanya berkeliaran di hutan ini. Untunglah perkema-
han sastra malam ini, tidak mengundang hujan sebagai narasumbernya, hanya Jangkrik dan Kodok yang
mengisi jeda antara materi puisi dengan materi prosa.
Aku duduk paling depan mendengarkan pemberi materi berkolaborasi dengan Kunang-Kunang
yang menari. Sampai tiba saatnya sesi tanya-jawab. Di sanalah aku menemukan sastra yang sesungg-
“Sastra adalah keindahan dengan bahasa sebagai mediumnya”.
Sebuah teori yang kuanggap keliru. Aku menemukan keindahan. Namun, bukan bahasa yg menjadi
mediumnya tetapi cahaya. Yah cahaya. Cahaya mataku, ketika terperana melihat bulatnya pipi yang ter-
en 172 161 Anthologi Cerpen en 172 161 Anthologi Cerpen
“Apa syarat utama, untuk menjadi sastrawan?”
Suaranya melebihi merdu teriakan goal komentator ketika Cristiano Ronaldo membobol gawang
Barcalona. inikah sastra....? inikah keindahan...? inikah.....
“Mudah, sering-seringlah putus cinta, atau paling tidak sakit hati. Itu syarat utama menjadi sastrawan”
Jawab narasumber dengan entengnya, disambut riuh ketawa para peserta.
Aku pikir memang pendapat ini ada benarnya. Jika seseorang putus cinta biasanya tutur katanya sok bijak dan sok puitis. Ahahaha. Tapi, bukankah seseorang yang sedang tenggelam di lautan asmarapun
akan berubah menjadi pujangga kelas wahid? Tengoklah kisah Qais yang tergila-gila kecantikan Laila,
hingga ia dipanggil Majnun. Atau kisah kakak kedua, yang menyerupai Babi. Rengkarnasi dari seorang
Jendral khayangan yang terkenal. Jendral Tiangfeng, yang jatuh cinta pada dewi bulan Chang-e. Ahhh... sudahlah, mungkin pemberi materi hanya berkelakar dengan terpelajar.
Anthologi Cerpen en 173 161
Kembali lagi pada ia yang memiliki pesona di pipi tadi. Aku terus menatapnya yang sedang menulis jawab dari tanyanya tadi. Kau tau kawan? Kini seolah rembulan di puncak Halimun ada dua. Yang bersi-
nar di langit dan yang satu lagi bersinar di sini.
Ia tampak serius dengan kelakar pembicara, terbukti dari senyum kecil dan tangan yg mengukir ka- ta-kata sang guru. Tanganya pun diacungkan dengan segera, kembali ia keluarkan tanya di kepala.
“Saya banyak baca novel-novel, ataupun cerita pendek, dan puisi. Banyak diantara mereka bukan
dari akademisi. Sekalinya ada, jarang lulusan bahasa atau sastra. Tapi, mereka berhasil mencetak karya. Kemana orang bahasa atau lulusan sastra?”
“Wah, wah, wah.. siapa nama kamu neng?”
tanya narasumber padanya. “Cabianisa Fitri, pak”
“Panggilanya apa neng?”
“Cabi, Nisa atau Fitri pak”
“Yaudah saya panggil Cabi-Cabian yah?”
Tawa pun pecah seketika. Cabi-Cabian pun merah merona, seperti ‘cabi’ itu sudah matang di pohonnya.
en 174 161 Anthologi Cerpen
“Cabianisa Fitri, orang bahasa itu terlalu berhati-hati dalam menyusun kalimat. Mereka tahu mana kalimat yang baik dan benar, sehingga untuk menyusun kata-kata hingga akhir karangan terasa sulit. Sedangkan mereka yang bukan orang bahasa terasa lebih bebas. Nahh.. tugas kamu dan kawan-kawan
di kemah sastra inilah untuk mendobrak paradigma, bahwa orang bahasa itu tidak bisa berkarya” Dia menatap tanpa kedip, akupun menatapnya tak berkedip.... “Siapa lagi yang ingin bertanya?” tanya nara sumber.
Kuacungkan tangan dengan cepat lalu bertanya “Pak bagaimana cara untuk ‘berani’ berkarya?” “Apa di sini kamu melihat pemandangan atau sesuatu yang kamu rasa indah?” “Ada pak, bahkan saya baru pertama lihat ada sesuatu yang indah melebihi indahnya si Indah”
Nara sumber itupun tersenyum dan mengatakan bahwa aku memiliki bakat menjadi sastrawan, kare-
na ia melihat permainan makna dalam kata-kataku. Tak lama ia memintaku ke depan dan menunjukkan
padanya keindahan yang ku maksud.
“Mana yang melebihi indanya si Indah?, buatlah puisi atau ungkapan untuk keindahanmu”
Akupun menarik napas dalam.. dan memejamkan mata. Setelah aku mengumpulkan keberanian, Anthologi Cerpen en 175 161 Akupun menarik napas dalam.. dan memejamkan mata. Setelah aku mengumpulkan keberanian, Anthologi Cerpen en 175 161
Tanganku bergetar waktu itu, bibirku berat, jantungku berdetak dan Kodok yang bersembunyi di ila-
lang tertawakan kebodohanku. Tapi, aku marah jika dibilang ini kebodohan, ini ‘keberanian’, yah berani.
Berani berbuat bodoh.
“Mana keberanianmu wahai pujangga?” Ejek beberapa teman kemah sastra waktu itu. Sekali lagi kutarik napas begitu dalam, dengan memejamkan mata, aku mencari dalam gelap ka-
ta-kata untuk kurangkai dan kupersembahkan pada si Cabi-Cabian di depanku
“Awalnya, aku tak percaya pada cinta pandangan pertama.
Tapi, setelah melihatmu aku percaya itu”
Riuh suara dan tepuk tangan menyambut kata-kataku, bahkan ada yang teriak, ahyde, cuit-cuit, so
sweet dan lainnya.
Cabi benar-benar merah. Semerah purnama di Halimun. Ia tertunduk seolah mencari tulisan yang
kuucap di bawah bumi.
Riuh suasana masih terasa, semua orang berbicara bahkan ada yang berteriak. Sedang aku dengan
napas yang memburu menampilkan muka puas, bangga sekaligus kagum akan keberanian yang bodoh
ini. en 176 161 Anthologi Cerpen
“Cabi, ada yang ingin kau sampaikan pada orang ini?” suara narasumber menghentikan suara-suara lainnya.
“Suaramu umpama nyanyian di antara bunyi seruling dan dawai kecapi. Jikalah Kumbang telah be-
rani hinggap pada kuncup bunga, sesungguhnya bunga telah rela merekah karenanya”. Tak lama iapun langsung kembali ke tempatnya duduk dan berkumpul bersama teman-temannya.
Tepuk tangan mengiringi langkahnya. Kini, aku merasa menjadi kumbang perkasa. Lengkap sudah syaratku menjadi laki-laki sejati. Langkah hidupku benar-benar indah, seolah puncak Halimun menjadi
milikku. “Hebat, hebat sekali. Keberanian dan keindahan merupakan pasangan yang serasi. Buat apa berani tapi tidak indah. Seperti berani para Babi-Babi hutan. Buat apa indah tapi tak berani, seperti burung
Jalak Udang yang dimangsa Elang” *** Itulah kisah tentang kemah sastraku kemarin di Gunung Halimun. Kini aku telah sampai di rumah
dan ingin beristrahat. Tetapi wajah si Cabi-Cabian tak mau hilang dalam pikiran. Sudahlah mungkin
dalam mimpi nanti ia datang kembali.
Akupun menyegerakan sholat isya kemudian beranjak ke peraduan. Beberapa menit aku mulai me-
mejamkan mata, lalu terdengar senandung hpku. Tanda merpati elektrik hingga di jendela LCD.
“Termakasih, kemah sastra menarik karnamu. Tpi, maf aku hanya mnyambut senyum, bukan
mengikat janji” Celoteh burung merpati tadi.
Anthologi Cerpen en 177 161
BIODATA
PENGARANG
en 178 161 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen en 179 161
en 180 161 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen en 181 161
en 182 161 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen en 183 161
en 184 161 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen en 185 161
en 186 161 Anthologi Cerpen
VERA YUANA adalah seorang Pengarang yang telah melahirkan novel sastra ber- tajuk SENANDUNG SABAI, diluncurkan pada tanggal 14 Desember 2015. Selain menulis novel, wanita yang juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial ini juga menulis dalam berbagai hal di berbagai media di antaranya adalah pada Harian Umum Mimbar Padang tempat di mana ia pernah bekerja sebagai Kepala Personalia merangkap Sek- retaris Direksi. Selain itu, Penulis yang selalu berusaha berbagi ilmu kepenulisan baik
secara online maupun offline ini juga aktif di berbagai kegiatan di antaranya sebagai salah satu anggota
Penggiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, juga di berbagai kegiatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas Angkatan 1990. Tak hanya itu, Vera Yuana, pemilik sanggar tari ini, juga tercatat
sebagai salah satu Pengurus Ikatan Alumni (IKA) Fakultas Hukum Universitas Andalas se Jabodetabek. E-mail : ive.yuana@yahoo.com Facebook: Vera Yuana Amir Nomor HP: 0813-8025-2120
Anthologi Cerpen en 187 161
MIRZA GHULAM AHMAD, M.Pd., putra Betawi tulen yang mengabdikan diri
pada dunia pendidikan ini, lahir pada tanggal 4 April 1987. Ketua Forum Silatu-
rahmi Alumni Pondok Pesantren Al-Hamid Jakarta (FORISLAH). Menamatkan S1 dan S2 di Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, bekerja sebagai dosen Sastra
di almamaternya serta dosen Pancasila dan Bahasa Indonesia di Horison School of
en 188 161 Anthologi Cerpen
Anthologi Cerpen en 189 161