NEWS LETTER KPU BANYUMAS BULAN MEI 2015

DERAP

KPU Kabupaten Banyumas

Media Pendidikan Politik Kepada Pemilih

News Letter Nomor #005

Edisi Mei 2015

Reformasi 1998 dan Evolusi Penyelenggara Pemilu
Andi Ali Said Akbar, S.IP, MA :

“Agenda konsolidasi politik
dimasa yang akan datang
tentunya masih sangat banyak..”

Resensi Buku:
“Politik Uang
di Indonesia :
Patronase dan

Klientelisme
pada Pemilu
Legislatif 2014”

Waslam Makhsid:
Melayani hak konstitusional warga sebagai Pemilih
menuju suksesnya Pemilu

KPU Kab. Banyumas di Media Sosial :
kpud-banyumaskab.go.id
[email protected]
kpukabbanyumas.blogspot.com
/kpubanyumas
@KPUBanyumas

Dari Redaksi

KPU ANAK KANDUNG REFORMASI
Tak dapat disangkal, KPU merupakan buah dari bergulirnya reformasi tahun 1998. Hadirnya
KPU memberikan harapan akan penyelenggara Pemilu yang independen untuk mewujudkan Pemilu

yang jujur dan adil. Pasalnya, selama enam kali gelaran Pemilu Orde Baru, praktik Pemilu selalu
menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, salah satunya dengan cara mendesain
penyelenggara Pemilu untuk menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain. Pemilu pada
masa itu tak ubahnya alat untuk meneruskan hegemoni kekuasaan, sebuah pseudo-demokrasi, tampak
seperti demokrasi tetapi sebetulnya bukan. Oleh sebab itu, tekad reformasi 1998 salah satunya adalah
perubahan dalam bidang politik, khususnya penyelenggaraan Pemilu yang bebas, jujur dan adil, maka
pada Pemilu 1999, Pemilu pertama pasca-reformasi, dibentuklah KPU yang anggotanya diisi oleh
perwakilan partai politik peserta Pemilu.
Meski demikian, seiring perjalanan demokratisasi di Indonesia, pembuat UU menghendaki agar
KPU bebas dari pengaruh partai politik. Hal ini tentu dipengaruhi oleh pengalaman hasil Pemilu 1999
dimana para anggota KPU berasal dari unsur parpol ternyata gagal untuk mengambil konsensus.
Akhirnya, melalui dasar amandemen ketiga atas UUD tahun 1945 pasal 22E, dibentuk KPU yang
memiliki sifat nasional, tetap dan mandiri. Konsekuensinya keanggotaan KPU sejak tahun 2001 diisi
oleh para akademisi, pemerhati kepemiluan dan praktisi pemilu. Hingga saat ini penyempurnaan
kelembagaan penyelenggara Pemilu terus dilakukan, misalnya melalui UU Nomor 15 tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu, dibentuklah Bawaslu, sebuah lembaga pengawas Pemilu yang memiliki
sifat permanan untuk tingkat pusat dan provinsi.
Evolusi penyelenggara menyiratkan bahwa kelembagaan penyelenggara Pemilu mengalami
dinamika sejak runtuhnya orde baru lima belas tahun yang lalu. Dinamika tersebut seiring dengan
perkembangan tuntutan untuk menyelenggarakan Pemilu yang demokratis, jujur dan adil sesuai

dengan tuntutan zaman. Misalnya, saat ini penyelenggara Pemilu tidak hanya dituntut harus memiliki
integritas dan independensi tetapi juga dituntut untuk memiliki kecakapan, baik secara individu
maupun kelembagaan, dalam penyelenggaraan Pemilu agar hasil Pemilu dapat diterima semua pihak di
satu sisi dan menjamin keberlangsungan demokrasi di sisi lain. Satu hal yang patut digarisbawahi
adalah bahwa marwah reformasi-untuk menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, seyogyanya
terus-menerus dirawat dengan baik oleh pembuat UU maupun oleh lembaga KPU sendiri.

DERAP

Pengarah: Unggul Warsiadi, Ikhda Aniroh, Imam Arif Setiadi, Waslam Makhsid,
Suharso Agung Basuki I Penanggung Jawab: Hirawan Danan Putra I Ketua:
Kasworo I Pelaksana Teknis: Subhan Purno Aji, Sarikasih, Cenata Noviarto I
Alamat Redaksi: Subbag Teknis dan Hupmas Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Banyumas Jalan H.M. Bachroen Berkoh Purwokerto Selatan, Telpon/Faximile : 02816 4 2 0 7 7 I W E B S I T E : w w w. k p u d - b a n y u m a s k a b . g o . i d I E - M A I L :
[email protected] I BLOG: kpukabbanyumas.blogspot.com I FACEBOOK:
/kpubanyumas I Twitter: @KPUBanyumas
Edisi Mei 2015

2


News Letter Nomor #005

Fokus

Foto: Dok. DetikNews

B

REFORMASI
1998
DAN EVOLUSI
PENYELENGGARA PEMILU
mengintrodusir strategi perjuangan baru untuk
meraih kemerdekaan deng an jalan
mengusahakan perluasan pendidikan kepada
kelompok pribumi, maka gerakan yang
dipelopori oleh mahasiswa 90 tahun kemudian
adalah menggulingkan dan meluruskan
pemerintahan yang dinilai sudah melenceng
dari amanat konstitusi. Perbedaannya gerakan

yang dipelopori oleh BO baru memperoleh
hasil lebih dari tiga dekade kemudian, dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia
pada 1945, sedangkan buah dari demonstrasi
besar-besaran mahasiswa pada 1998 yang
menggulingkan Soeharto setidaknya sampai 15
tahun setelahnya, belum terlihat jelas hasilnya.
Meskipun harus diakui bahwa banyak hal
positif dari buah reformasi, tetapi jika ditilik
secara substansial perjuangan reformasi belum
memiliki “efek menetes ke bawah” untuk
perbaikan “kesejahteraan umum dan keadilan
bagi seluruh tumpah darah Indonesia”.

ulan Mei ini kita warga bangsa dan
negara memperingati dua peristiwa
penting yang secara kebetulan
berurutan, yaitu tanggal 20 dan 21 Mei. Tanggal
yang pertama secara luas diperingati sebagai
hari kebangkitan nasional, momen berdirinya

organisasi pergerakan sosial modern pertama
para priyayi Jawa, Boedi Oetomo (BO) pada
1908. Sementara tanggal yang kedua dicatat
dalam sejarah sebagai hari dimana presiden
kedua Indonesia, Soeharto, mundur setelah
lebih dari tiga dekade berkuasa, sekaligus
dimulainya apa yang belakangan disebut Orde
Reformasi.
Kedua peristiwa ini meskipun terentang
waktu 90 tahun, tetapi memiliki benang merah
yang hampir sama, yaitu adanya kesadaran
untuk melakukan perubahan dari masa
sebelumnya, semangat memutus masa lalu
untuk masa depan yang lebih baik. Jika BO
pergerakan pribumi pertama yang

News Letter Nomor #005

3


Edisi Mei 2015

Fokus
memilih, serta dapat menyelesaikan perselisihan
dengan transparan. Singkatnya Pemilu harus
dilaksanakan secara bebas, jujur dan adil.
Hal yang sama juga kurang lebih terjadi di
Indonesia. Habibie yang didaulat sebagai
pengganti Soeharto mendapati dirinya tidak
memiliki dukungan yang kuat. Apalagi ada
tekanan dari dunia internasional Indonesia harus
segera melaksanakan Pemilu. Alhasil Habibie
dan pimpinan MPR saat itu memutuskan untuk
mempercepat penyelenggaraan Pemilu dari yang
seharusnya dilaksanakan pada 2002 kemudian
dimajukan menjadi Juni 1999, sehingga
pemerintahan yang baru akan terbentuk paling
lambat di awal tahun 2000.
Menurut catatan sejarah Pemilu 1999
seperti yang dikutip dari situs resmi KPU

www.kpu.go.id, sebelum menyelenggarakan
Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan paket RUU politik, yaitu RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan
RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan
oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7,
yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid
(Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan
menjadi UU, Presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) melalui Keppres
Nomor 16 Tahun 1999, anggotanya sebanyak 53
orang berasal dari wakil partai politik dan wakil
dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat
menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan
pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah
Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali
peserta. Ini dimungkinkan karena adanya
kebebasan untuk mendirikan partai politik.

Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
partai yang ada dan terdaftar di Departemen

Secara akademik, peralihan kekuasaan orde
baru yang otoriter itu pada dasarnya Indonesia
sedang memasuki apa yang disebut dengan
“masa transisi”. Transisi adalah awal atau interval
(selang waktu) antara rezim otoritarian dengan
rezim yang lebih demokratis. Transisi dimulai
dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang
kemudian diikuti atau berakhir dengan
pengesahan (instalasi) lembaga-lembaga politik
dan aturan politik baru di bawah payung
demokrasi (Eko, 2003).
Sayangnya, periode ini merupakan periode
yang kritis bagi negara demokrasi baru.
Umumnya pada masa ini dipenuhi banyak
kemungkinan dan ketidakpastian disebabkan
karena belum adanya aturan main (rule of the game)

yang mengikat para aktor di satu sisi, sementara
di sisi lain kekuasaan lama cenderung untuk
merebut kembali hak-hak yang telah dinikmati
sebelumnya. Oleh karena itu, periode transisinya
tidak mesti berakhir manis dengan “konsolidasi
demokrasi”, tetapi pada beberapa kasus justru
akan terjerembab pada kondisi lebih buruk.
Pemilu dan Agenda Reformasi
Disebagian besar negara pasca-otoritarian,
penyelenggaraan Pemilu hampir pasti menjadi
jalan menuju pemerintahan baru. “Instalasi”
untuk membentuk lembaga politik yang baru
tersebut paling mungkin jika dilakukan melalui
mekanisme Pemilu. Menurut Larry Diamond
(2003), pakar ilmu perbandingan politik dari
Stanford University, mengatakan bahwa Pemilu
dilakukan untuk mengisi jabatan-jabatan penting
negara. Menurutnya, Pemilu tersebut harus
dijalankan secara netral melalui sebuah cara yang
d a p a t m e n g h a p u s ke c u r a n g a n d a l a m

pemungutan suara dan penghitungan suara,
menjamin kerahasiaan kotak suara, memberi
kemungkinan bagi semua orang dewasa untuk
Edisi Mei 2015

4

News Letter Nomor #005

Fokus
penyelenggaraan Pemilu yang tidak jujur dan adil
ternyata membutuhkan kondisi-kondisi untuk
menciptakannya. Persoalan tersebut kemudian
mempengaruhi sikap dalam memandang KPU
yang independen. Seperti yang dicatat oleh
Yulianto dkk (2010) dari Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), per ubahan
pandangan tersebut mengemuka dalam Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SUMPR) pada Oktober 1999. Pandangan MPR
yang tertuang dalam Tap MPR Nomor
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) Bab IV tentang Arah
Kebijakan huruf C angka 1.h. menyebutkan
“menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih
berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya
atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, adil, dan beradab yang dilaksanakan oleh
badan penyelenggara independen dan non-partisan
selambat-lambatnya pada tahun 2004.”
Lebih lanjut, ketetapan tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pasal 8
ayat (2) UU No. 4 Tahun 2000 menyebutkan
bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan
oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen
dan non partisan.

Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Hasil Pemilu 1999 dan Momen
Perbaikan
Meskipun masa persiapannya tergolong
singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada
Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal,
yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang
diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak
sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa
terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan
yang berarti. Hanya di beberapa Daerah
Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan
pemungutan suaranya terpaksa diundur satu
pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas
datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan
suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan
suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini
sempat menghadapi hambatan. Pada tahap
penghitungan suara, dari 48 partai politik
sebanyak 27 partai politik menolak
menandatangani berita acara perhitungan suara
dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil).
Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam
sebuah rapat pleno KPU. Sampai harus diambil
alih oleh Presiden Habibie sendiri. Komposisi
keanggotaan KPU yang diisi orang-orang partai
politik sebagaimana ditegaskan Pasal 8 ayat (2)
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, menjadi
bumerang atas pelaksanaan pemilu yang damai.
Anggota KPU yang berasal dari partai politik
gagal menetapkan hasil pemungutan suara tepat
waktu, karena terjebak kepentingan masingmasing.
Peristiwa tersebut membuat banyak pihak
termasuk kalangan MPR saat itu beranggapan
bahwa independensi KPU merupakan hal yang
mutlak. Amanah reformasi untuk memperbaiki

News Letter Nomor #005

“ K e b e r h a s i l a n
penyelenggara Pemilu tidak
hanya diukur dari hasil Pemilu
yaitu terpilihnya para kandidat
terpilih yang memiliki legitimasi
kuat tetapi juga pada proses
penyelenggaraannya.”

5

Edisi Mei 2015

Fokus
Tang gal 9 Nopember 2001, SU-MPR
mengesahkan Perubahan Ketiga UndangUndang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal
22E ayat (5) menyebutkan bahwa pemilihan
umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri. Klausula tentang penyelenggara
pemilu yang bersifat “mandiri” merupakan
jawaban atas trauma Pemilu 1999. Alhasil KPU
kedua dibentuk dengan Kepres Nomor 10
Tahun 2001 pada masa kepresidenan KH
Abdurahman Wahid, anggotanya berjumlah 11
orang berasal dari para akademisi dan aktivis
LSM yang dipandang non-partisan dan
independen.

penyelenggaraan Pemilu. Lantas bagaimana
wujud ideal penyelenggara Pemilu?. Menurut
International Institute for Democracy and Electoral
Assistance/IDEA (2006), setidaknya ada tujuh
prinsip yang berlaku umum untuk menjamin
penyeleng gara Pemilu yang memiliki
kredibilitas dan legitimasi, yaitu independence
(independen), impartiality (berimbang/tidakmemihak), integrity (terpercaya), transparency
(keterbukaan), efficiency (efisiensi), professionalism
(profesional) dan ser vice-mindedness
(mengutamakan pelayanan).
Independen atau “bebas, mandiri atau
merdeka”, artinya penyelenggara pemilu bebas
dari intervensi/tekanan pihak manapun,
seperti pemerintah, partai politik dan pihak lain
dalam pengambilan keputusan. Imparsialitas
dimaknai sebagai perlakuan yang sama, tidak
memihak, dan adil sehingga tidak memberikan
keuntungan pihak lain. Integritas secara
singkat diartikan sebagai kesesuaian antara
perkataan dan perbuatan, antara kata dan laku.
Integritas menentukan penyelenggara Pemilu
mendapatkan kepercayaan atau tidak dari pihak
lain. Integritas mempunyai dua level, yaitu
individu dan institusi. Transparansi atau
keterbukaan secara umum diartikan sebagai
memberikan informasi secara cukup, akurat,
dan tepat waktu perihal kebijakan publik dan

Perbaikan Demi Perbaikan
Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu
2004 memberikan optimisme publik terhadap
KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Satu
pelajaran kembali dapat dipetik dari
penyelenggaraan Pemilu 2004, yaitu keberhasilan
penyelenggara Pemilu tidak hanya diukur dari
hasil Pemilu yaitu terpilihnya para kandidat
terpilih yang memiliki legitimasi kuat tetapi juga
pada proses penyelenggaraannya. Pemilu 2004
yang menghasilkan DPR, DPD dan DPRD serta
presiden pilihan langsung ternyata dicederai oleh
sebagian anggota KPU yang tersangkut kasus
hukum.
Kondisi di
atas mempengaruhi
pandangan publik
t e n t a n g
penyelenggara
Pemilu, bahwa
faktor independesi
dan non-partisan
saja tidak cukup
untuk mewujudkan Foto: Dok. Jambiekspres
Edisi Mei 2015

6

News Letter Nomor #005

Fokus
proses pembentukannya kepada khalayak.
Efisiensi mempunyai arti menggunakan
sumber daya sekecil mungkin untuk mencapai
tujuan sebanyak-banyaknya. Dalam konteks
penyelenggaraan Pemilu, hendaknya mereka
meng gunakan ang g aran secara bijak.
Profesionalisme adalah Pemilu harus dikelola
oleh kelompok khusus/ orang yang memiliki
keahlian, terlatih dan berdedikasi. Kelompok
yang memiliki keahlian terdiri dari para ahli dan
mampu mengelola serta melaksanakan
penyeleng garaan pemilu. Sedangkan
mengutamakan-pelayanan mengandung
makna untuk memberikan pelayanan kepada
stakeholders, baik masyarakat maupun peserta
pemilu. Penyeleng g ara pemilu har us
mengembangkan dan mempublikasikan
standar pelayanan untuk setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu.
Prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu di
atas sama dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam UU Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu,
tiga tahun setelah penyelenggaraan Pemilu 2004
DPR menginisiasi RUU tentang penyelenggara
Pemilu, yaitu mengatur khusus tentang
penyelenggara Pemilu yang sebelumnya
tercecer dalam beberapa UU, untuk kemudian
disatukan dalam UU tersendiri. UU tersebut
telah mengatur secara detail tentang
penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, Legislatif dan Pemilihan Umum
Kepala Daerah. Hadirnya UU Nomor 22 tahun
2007 mulai mengintrodusir Badan Pengawas
Pemilu sebagai lembaga yang tetap di tingkat
nasional. Meskipun pada awalnya mempunyai
kewenangan yang terbatas dalam hal
pengawasan, akhirnya MK mengabulkan
kewenangan penuh Bawaslu untuk melakukan
pengawasan, termasuk dalam hal perekrutan
News Letter Nomor #005

Panwaslu di tingkat Kabupaten/Kota yang
awalnya masih melekat pada KPU
Kabupaten/Kota. Selain itu, UU tersebut juga
memberikan kewenangan yang tegas kepada
seluruh penyelenggara Pemilu ad hoc seperti
PPK, PPS, KPPS, Panwaslu serta PPL.
Dengan pemberlakuan UU Nomor 11
tahun 2015 terdapat penyempurnaan dengan
hadirnya lembag a bar u yaitu Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
yang memiliki kewenangan untuk memutus
sengketa dugaan pelanggaran kode etik
penyelenggara Pemilu. Lembaga ini hadir
sebagai koreksi UU sebelumnya dan
pengalaman banyaknya pelanggaran kode etik
para penyelenggara Pemilu. Kecuali itu, Bawaslu
juga diperkuat secara kelembagaan sampai
dengan level provinsi sehingga di setiap provinsi
memiliki struktur Bawaslu yang tetap tidak lagi
ad hoc dan memiliki kesekretariatan yang
dipimpin oleh sekretaris jenderal.
Di tengah tuntutan terhadap perbaikan
kualitas demokrasi di Indonesia, KPU pun
dituntut untuk selalu melakukan perbaikan ke
depan. Tantangan yang dihadapi oleh KPU
diantaranya adalah tuntutan untuk
menyelenggarakan yang semakin sederhana dan
efisien, merebaknya praktik politik uang dan
menjaga kepercayaan publik terhadap KPU.
(spa_a)
Sumber:
 Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy:
Toward Consolidation (Terj.). IRE: Yogyakarta
 Eko, Sutoro. 2003. “Pelajaran Konsolidasi
Demokrasi untuk Indonesia”. Pengantar Dalam
Developing Democracy: Toward Consolidation.
 Yulianto, dkk. 2010. Memperkuat Kemandirian
Penyeleng gara Pemilu: Rekomendasi Revisi
Penyelenggara Pemilu. KRHN: Jakarta
 Sumber lain

7

Edisi Mei 2015

News

DUALISME KEPENGURUSAN PARPOL DALAM PENCALONAN PILKADA 2015,
BAGAIMANA SOLUSINYA?

PURWOKERTO, DERAP- Beberapa
isu krusial terkait pencalonan dalam Pilkada
2015 saat ini ramai diberitakan di media massa
antara lain dualisme kepengurusan Partai
Politik, SK Menkumham vs Putusan
Pengadilan. Mengikuti perkembangan
kepemiluan tersebut, Rabu (20/5) KPU
Kabupaten Banyumas melaksanakan kegiatan
Media Gathering dengan tema 'Dualisme
Kepengurusan Parpol dalam Pencalonan
PILKADA Tahun
2015”, bertempat
di Aula KPU
Kabupaten
Banyumas dan
dihadiri oleh Pers
dan Media,
Perwakilan Partai
Politik dan
I n s t a n s i
Pemerintah
Kabupaten
Banyumas,
sekaligus sebagai Foto: Dok. KPU Kab. Banyumas
ajang silaturahmi
dan penyampaian informasi terkait kepemiluan
di Kabupaten Banyumas.

mengingat kepengurusan Parpol di tingkat
p u s a t m e m p u n y a i we we n a n g u n t u k
memberikan rekomendasi dalam pencalonan
Kepala Daerah.
Pada prinsipnya, KPU menggunakan
Keputusan Menkumham yang terakhir sebagai
pedoman dalam penerimaan pasangan calon,
termasuk dalam hal kepengurusan Parpol
tingkat pusat masih dalam proses penyelesaian
sengketa di pengadilan.
Tertuang dalam PKPU
Nomor 9 tahun 2015
pasal 36, apabila terdapat
penetapan pengadilan
mengenai penundaan
pemberlakuan keputusan
Menteri, KPU
menunggu Putusan yang
mempunyai kekuatan
hukum tetap atau telah
inkracht. Namun KPU
juga membuka
kesempatan Partai Politik
yang bersengketa untuk
melakukan kesepakatan perdamaian internal
(islah) dalam pembentukan pengurus Parpol
pusat.

“Ada 269 daerah yang akan
melaksanakan Pilkada serentak pada 9
Desember 2015. Keberhasilan
penyelenggaraan membutuhkan dukungan dari
berbagai pihak termasuk dari peserta Pemilu.
Jika ada satu saja Partai Politik yang tidak ikut
dalam Pilkada ini, tentunya demokrasi menjadi
tidak sehat” kata Unggul Warsiadi, SH, MH,
Ketua KPU Kabupaten Banyumas saat
membuka acara Media Gathering.

Pada akhir diskusi disampaikan
pandangan bersama bahwa satu-satunya jalan
keluar terbaik selain perdamaian atau islah dari
internal Parpol yang bersengketa
adalah
mendorong Mahkamah Agung untuk segera
menyelesaikan per masalahan ini dan
memberikan suatu keputusan yang inkracht
sebelum batas waktu pendaftaran pencalonan
berakhir, sehingga seluruh hak demokrasi bagi
peserta pemilu terakomodasi dan menghasilkan
Pemilu yang lebih demokratis. (sari)

Kepengurusan Parpol merupakan hal
penting dalam persyaratan pencalonan Pilkada,
Edisi Mei 2015

8

News Letter Nomor #005

News

KPU KABUPATEN BANYUMAS
IKUTI RAKOR KESIAPAN
PILKADA SERENTAK 2015
PURWOKERTO, DERAPKomisioner KPU Kabupaten Banyumas
menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor)
Penyelenggaraan Pemerintahan Umum di
Daerah dalam rangka Kesiapan Pelaksanaan
Pilkada Serentak Tahun 2015 yang
diselenggarakan oleh Bakorwil III Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah di Rumah Jabatan Kepala
Bakorwil III Purwokerto, Senin (25/5).

Foto: Dok. KPU Kab. Banyumas

Sedangkan Teguh Purnomo selaku
Koordinator Divisi Peng awasan dan
Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi
Jawa Tengah memaparkan tentang Kesiapan
Bawaslu dalam pengawasan serta tugas dan
wewenang Bawaslu dalam Pilkada 2015. “Pada
Pilkada 2015 ini, Bawaslu memiliki kewenangan
baru yaitu menyelesaikan sengketa Pemilu dan
memegang tanggung jawab akhir atas
pengawasan penyelenggaraan Pemilihan oleh
Bawaslu Provinsi, Panwaskab, Panwascam,
PPL dan Pengawas TPS” ujar Teguh dalam
paparannya. Penerapan strategi pengawasan
dalam rangka pencegahan dan penindakan
pelanggaran diharapkan dapat meminimalisir
pelanggaran dalam Pilkada 2015 ini.

Acara dihadiri oleh Ketua Desk Pilkada,
Kabag Pemerintahan, Kepala DPPKAD,
Ke pala Disdukcapil, Ke pala K antor
Kesbangpolinmas, KPU dan Panwaslu
Kabupaten/Kota di wilayah Bakorwil III
dengan narasumber yaitu Joko Santoso dari
Biro Otonomi Daerah dan Kerjasama Sekda
Provinsi Jawa Tengah, Teguh Purnomo dari
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah serta Wahyu
Setiawan Komisioner KPU Provinsi Jawa
Tengah dan moderator Andi Ali Said Akbar,
Dosen Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas
Jenderal Soedirman.
Dalam kesempatan ini, Wahyu Setiawan
selaku Komisioner KPU Provinsi Jawa Tengah
Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih
mengatakan, “Ada 21 Kabupaten/Kota di
wilayah Provinsi Jawa Teng ah yang
melaksanakan Pilkada 2015 dan di wilayah
Bakorwil III ada 4 Kabupaten/Kota yaitu KPU
K a b u p a t e n P u r b a l i n g g a , Pe m a l a n g ,
Pekalongan dan Kota Pekalongan”.

Narasumber selanjutnya dari Biro
Otonomi Daerah dan Kerjasama Sekda
Provinsi Jawa Tengah, Joko Santoso
menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah siap memberikan bantuan dan
fasilitasi secara maksimal khususnya terkait
sarana, prasarana dan personil sekretariat pada
tahap pelaksanaan Pemilukada sesuai dengan
Pasal 126 UU Nomor 15 Tahun 2011. Joko
menegaskan bahwa, “Netralitas Desk
Pemilukada serta sinkronisasi, koordinasi dan
komunikasi baik secara horisontal dan vertikal
pun sangat diperlukan antara Desk Pemilukada,
KPU dan Panwaslu”.

Hal-hal baru dalam Pilkada Tahun 2015
antara lain perihal pencalonan tidak boleh
turun kasta,
pencalonan terkait dengan
petahana, penetapan calon terpilih dengan
perolehan suara terbanyak, serta sengketa
Pemilu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8
Tahun 2015 menjadi materi paparan Wahyu
dalam rakor ini. Disinggung juga perihal
dualisme kepengurusan Parpol yang terjadi saat
ini dan sedikit banyak berpengaruh dalam
pelaksanaan Pilkada 2015.
News Letter Nomor #005

“Mari kita jaga netralitas PNS tanpa
menghilangkan hak konstitusional kita yaitu
menggunakan hak pilih dalam Pilkada ini” kata
Kepala Bakorwil III Agus Utomo menutup
rapat koordinasi. (sari)

9

Edisi Mei 2015

Wawancara
ANDI ALI SAID AKBAR

PEMILU SARANA SUKSESI
YANG DEMOKRATIS,
KONSTITUSIONAL DAN DAMAI
Evolusi penyelenggara tentu menyiratkan
bahwa kelembagaan penyelenggara pemilu
mengalami dinamika sejak runtuhnya orde
baru. Dinamika tersebut seiiring dengan
perkembangan tuntutan untuk
menyelenggarakan Pemilu yang demokratis,
jujur dan adil.

PURWOKERTO, DERAP - Sejauh mana
perkembangan reformasi demokrasi di tanah
air, apakah penyelenggaraan Pemilu sudah
memenuhi amanat reformasi dan agenda
konsolidasi demokrasi ? Berikut ini petikan
wawancara DERAP KPU KABUPATEN
BANYUMAS dengan ANDI ALI SAID
AKBAR, S.IP, MA, staf pengajar pada
Jurusan Ilmu Politik, FISIP Unsoed.

dari kekuatan lain. Proses ini kelak akan
semakin mendewasakan demokrasi kita.
Peta-nya adalah struktur demokrasi ini
belum banyak diikuti oleh menguatnya kultur
demokrasi. Dimana demokrasi mewujud dalam
berbagai aktivitas yang menjunjung tinggi
norma demokrasi. Demokrasi yang diharapkan
menghasilkan kepemimpinan yang memberi
teladan. Kemudian tata kelola pemerintahan
yang demokratis dan berintegritas.
Demokrasi kita masih setia dihantui
persoalan kuatnya oligarki di partai politik,
kampanye ilegal dalam pemilu (black campaign
dan money politic), tingginya angka korupsi,
kesenjangan ekonomi, miskinnya prestasi dan
inovasi pemimpin politik di daerah dan
sebagainya.
Penyebab gejala ini setidaknya bisa didekati
salahsatunya dengan melihat kualitas
pengelolaan partai politiknya. Penampilan
Partai di Indonesia masih direlungi krisis.
Institusi ini masih dinilai oleh publik sekedar
menjalankan fungsi prosedural demokrasi yaitu
menjadi kendaraan bagi politisi untuk
mencalonkan diri dan mengikuti pemilu.
Lebih memilih mengakar kepada negara
daripada ke publik, Partai belum banyak
berkontribusi bagi fungsi-fungsi partai yang lain
seperti: demokratisasi internal partai,
peningkatan kapasitas kandidat, memberi visi
inovatif bagi jalannya pemerintahan, dan
menjadi mediator atas isu yang meresahkan
publik.

Foto: Dok. KPU Kab. Banyumas

Mei 2015 ini kita memperingati 17 tahun
reformasi. Menurut bapak apakah
amanat-amanat reformasi tahun 1998
sudah terpenuhi?
Belum sepenuhnya tercapai cita-cita
reformasi tersebut. Secara umum, dalam
perkembangan demokratisasi pasca Orba,
negara kita telah berhasil membangun dasar
bekerjanya struktur demokrasi sebagai aturan
main bersama dalam berpolitik, berbangsa dan
bernegara.
Struktur demokrasi ditandai adanya
penguatan presidensialisme, pemilu yang Luber
Jurdil, sistem multipartai, kebebasan pers,
supremasi hukum, penghormatan atas HAM
dan giatnya desentralisasi tingkat daerah dan
otonomi desa. Setidaknya struktur demokrasi
ini memiliki fungsi penting karena memberi
landasan operasional dan kesempatan bagi
bekerjanya proses check and balances berbagai
kekuatan politik di Indonesia.
Berbagai peristiwa dan isu yang membawa
demokrasi kita kearah yang salah akan
mendapatkan wacana dan kekuatan tandingan
Edisi Mei 2015

12
10

News Letter Nomor #005

Wawancara
Pertama, integritas peserta pemilu. sikap
partai menghadapi gejala tersebut diatas tidak
semuanya mencoba cara yang lebih terhormat
dan mencerdaskan. Kuatnya praktek oligarki
dalam kandidasi, money politik, kampanye
hitam, gagal memenuhi quota 30 % perempuan
di dapil masih menjangkiti partai hingga kini.
Dari pemilu 2009 hingga 2014, praktek
money politic dan kampanye hitam semakin
massif, sengketa hasil pemilu juga meningkat
drastis. Ini sisi negatif yang harus dihadapi
penyelenggara pemilu dan pemilih.
Kedua, integritas penyelenggara pemilu.
KPU dan Bawaslu bekerja semakin baik.
Terlihat dari minimnya kesalahan tehnis dalam
tiap tahap dan proses pemilu. Pada pemilu
nasional 2014 kemarin, penyelenggara pemilu
juga berhasil membuat berbagai kiat-kiat
memajukan integritas pemilu.
Kiat berupa daftar pemilih tambahan
khusus, larangan membawa HP ke bilik suara,
zonasi APK, lembar C1 yg dikirim on line,
merupakan daftar kebijakan yang berupaya
meningkatkan kedaulatan pemilih menunaikan
hak pilihnya dan kemudahan dalam melakukan
pengawasan proses pemungutan suara.
Ketiga, integritas pemilih. kita masih
butuh kerja keras meningkatkan partisipasi
pemilih yang cenderung menurun. Disaat yang
sama gerakan penyadaran dan pencerdasan
pemilih masih sangat penting ditengah ketatnya
spektrum kompetisi partai dan kandidat.
Berbagai metode instan dan tidak mendidik
memperoleh suara pemilih hanya bisa diatasi
oleh penguatan kesadaran pemilih.

Namun demikian, optimisme tetap ada
mengingat terdapatnya eksperimen terbatas
dari partai politik yang mulai membuka diri
terhadap urgensi reformasi partai dan
menyimak animo publik.
Sikap jenuh dan skeptis publik terhadap
partai mulai dijawab dengan menghadirkan
calon-calon pemimpin muda yang visioner dan
b e r i n t e g r i t a s. M u l a i m e l o n g g a r k a n
personalisasi dan oligarki elit. Mudah-mudahan
semangat ini terus terpupuk dimasa yang akan
datang.
Salah satu agenda reformasi 1998 adalah
demokratisasi kehidupan politik dengan
penyelenggaraan Pemilu yang jurdil.
Menurut bapak apakah dengan empat kali
penyelenggaraan Pemilu (1999, 2004, 2009
dan 2014) sudah memenuhi yang menjadi
amanat reformasi tersebut?
Pemilu sangat penting bagi demokrasi
karena menjadi sarana suksesi yang demokratis,
konstitusional dan damai. Pemilu juga sebagai
sarana evaluasi dan protes rakyat kepada partai
politik dan pemerintahnya.
Sebagaimana dialami berbagai negara yang
menjadikan pemilu sebagai jalan mengakhiri
Foto: di
Dok.
KPU Kab.
Banyumas
rezim otoriter terjadi
Brazil,
India,
Peru,
Uruguay, Argentina, Turki, Korea, Pakistan,
Cile, Soviet, Polandia, Nikaragua, Myanmar dan
Aljazair (Sigit Pamungkas Dalam Huntington,
2009).
Pemilu berkualitas memiliki 3 syarat:
p e s e r t a p e m i l u y a n g b e r i n t e g r i t a s,
penyelenggara pemilu yang berintegritas serta
pemilih yang juga berintegritas.
Banyak pihak menilai Pemilu di Indonesia
telah berjalan stabil dan lancar tapi kurang
berkualitas. Menurut Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Machfud MD, di Indonesia terdapat
fenomena bertolak belakang: Negara
Demokratis, Politisi Oligarkis, Rakyat Apatis.
Dari pemilu ke Pemilu di Indonesia
semakin mendorong partai meningkatkan daya
saing dan loyalitas pemilihnya. Adanya aturan
Peningkatan electoral threshold, penerapan
proporsional daftar terbuka, pemurnian
presidensialisme, tingginya angka swing voters,
fluktuasi partisipasi pemilih merupakan daftar
gejala politik yang harus segera dikelola oleh
partai politik.

News Letter Nomor #005

Demokratisasi memang telah berjalan
cukup jauh dari apa yang dibayangkan
sebelumnya, misalnya ditandai dengan
Pemilihan langsung kepala daerah sejak
2005. Apakah hal itu dapat menjadi
parameter dari apa yang disebut
“konsolidasi demokrasi”?
Konsolidasi politik berbicara mengenai
berbagai macam peraturan dan bentuk
organisasi yang dapat menjamin
pertanggungjawaban penguasa terhadap warga
negara, serta memenuhi kriteria kesepakatan
bersama di antara para politisi dan juga
memperoleh persetujuan dari rakyat. Dalam
prakteknya terdapat masalah utama yakni

11

Edisi Mei 2015

Wawancara
bagaimana menciptakan aturan main dalam
persaingan dan kerjasama yang dapat ditaati
secara aktif oleh para politikus, dan diterima
secara pasif (dan perlahan-lahan) oleh rakyat,
meskipun dengan solusi-solusi yang mungkin
sangat beragam.
Sebagaimana dalam uraian sebelumnya
bahwa demokrasi kita termasuk lancar dan
stabil dari sisi prosedur namun masih rendah
dalam kualitas kepemimpinan dan tata kelola
pemerintahanya.
Mari kita simak temuan Riset DEMOS
(2005) menunjukkan kehadiran elit oligarkhis
yang menyesuaikan diri dengan metode
demokrasi. Strateginya:
A. Beradaptasi (75% menggunakan dan
menyalahgunakannya;
14% mempromosikan demokrasi) ;
B. Memonopoli jabatan
(Jalur legislative 61%);
C. Memanipulasi proses demokrasi
(mendayagunakan sumberdaya publik 10
%; Membeli dukungan suara (13%);
Penggunaan cara otoritarian (15%);
Mengerahkan massa (8%) dan
memanipulasi sentimen etnik/agama
Foto: Dok. KPU Kab. Banyumas
(12%) .
Nampaknya temuan ini tercermin dari
buruknya kinerja kader partai politik di
pemerintahan. Sejak reformasi terdapat sekitar
70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat
kasus korupsi. Kementerian Dalam Negeri
mencatat sejak 2004 hingga Februari 2013.
sedikitnya 291 kepala daerah baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/ kota terlibat
dalam kasus korupsi. (Info Korupsi.com.
Diakses Senin, 3 Juni 2013).
Oleh karena itu, agenda konsolidasi politik
dimasa yang akan datang tentunya masih sangat
banyak. Diantaranya mendorong negara, partai
politik dan masyarakat mengambil bagian
menciptakan demokrasi yang berkualitas
dengan ukuran tata kelola pemerintahan yang
bersih dan berpihak kepada rakyat.
Negara melalui hubungan pusat dan
daerah membuat kontrol yang ketat atas
pelaksanaan pemerintahan dan otonomi
daerah. Partai politik harus berani mereformasi
diri jika tidak ingin terlupakan dalam benak
publik atau terpenjara dalam siklus politik
Edisi Mei 2015

kotor. Penyelenggara pemilu membangun kiatkiat yang semakin melindungi kedaulatan
pemilih dan kredibitas hokum hasil pemilu.
Terakhir masyarakat agar semakin menyadari
pentingnya menjadi pemilih aktif dan cerdas
sebagai jalan terbaik daripada golput.
Kemudian menjadi pemilih yang aktif menagih
janji politisi.
Dari sisi penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia selama ini apa yang masih perlu
diperbaiki agar amanat reformasi dapat
terpenuhi?
Terdapat beberapa hal yang masih perlu
diperbaiki. Seperti dari sisi peserta pemilu, pada
tahap verifikasi parpol masih ada parpol yang
belum siap infrastruktur sekretariat partai
terutama di tingkat kabupaten dan kecamatan.
Kemudian sulitnya memenuhi quota 30%
perempuan di tiap dapil. Masih adanya caleg
yang belum memahami aturan tekhnis
kampanye.
Dari sisi penyelenggara terdapat beberapa
hal juga seperti masih rumitnya pengintegrasian
dan pemutakhiran data pemilih, sumberdaya
PPS dan KPPS yang masih terdapat kesalahan
dalam membuat dokumen C1, logistik pemilu
yang masih tertukar, lamban dan sulitnya
penanganan kasus dugaan pelanggaran pemilu.
Sementara dari sisi pemerintah masalah
klasik yang masih terjadi adalah minim dan
lambannya dukungan dana dan fasilitas bagi
kelancaran kerja penyelenggara pemilu. Desk
Pilkada belum terlihat memainkan peran
penting dalam menjembatani pemerintah dan
penyelenggara pemilu dalam menyukseskan
jalannya tahapan-tahapan pemilu.

“Oleh karena itu, agenda konsolidasi
politik dimasa yang akan datang
tentunya masih sangat banyak.
Diantaranya mendorong negara,
partai politik dan masyarakat
mengambil bagian menciptakan
demokrasi yang berkualitas dengan
ukuran tata kelola pemerintahan
yang bersih dan berpihak kepada
rakyat.”

12

News Letter Nomor #005

Sosok
WASLAM MAKHSID, SH, MH
Anggota KPU Kabupaten Banyumas

Melayani hak konstitusional warga
negara dalam menggunakan hak pilih
serta meningkatkan partisipasi pemilih
merupakan salah satu tugas dari
penyelenggara Pemilu. Kecenderungan
penurunan partisipasi pemilih dalam
penyelenggaraan pemilu dari tahun ke
tahun merupakan perhatian utama dan
tantangan tersendiri bagi Waslam
Makhsid selaku komisioner KPU
Kabupaten Banyumas periode 20132018.

MELAYANI HAK KONSTITUSIONAL WARGA
SEBAGAI PEMILIH MENUJU SUKSESNYA PEMILU
administrasi serta tata usaha Negara khususnya
pendampingan terhadap masyarakat miskin
dan korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak.

Di Kabupaten Banyumas, karier
kepemiluan Waslam Makhsid yang lahir di
Banyumas, 13 Juni 1975 bermula dari Panitia
Pemilihan Kecamatan. Berbekal pengalaman
sebagai ketua PPK Somagede dua periode
(2009-2014) juga membuat Pria yang berprofesi
sebagai advokat sejak November 2002 ini
dipercaya membawahi divisi yang membidangi
hubungan partisipasi masyarakat, data dan
informasi serta hubungan antar-lembaga.

Dalam organisasi. Waslam, begitu ia sering
disapa, pernah berkecimpung aktif sebagai
pengurus dari tingkat Komisariat sampai
menjadi Pengurus Cabang HMI Cabang Bulak
Sumur, Sleman Yogyakarta dan menjadi salah
satu pendiri dan Pimpinan LBH Perisai
Kebenaran Purwokerto yang bergerak di
bidang pemberdayaan dan advokasi serta jasa
hukum bagi masyarakat luas.

Pelayanan kepada masyarakat luas bagi
suami Induntias Rizqiana Putri dan ayah dari
dua anak ini pun sudah terasah dalam
aktivitasnya sebagai advokat/pengacara yang
memberikan layanan jasa hukum bagi
masyarakat yang menghadapi permasalahan
hukum baik di bidang perdata, pidana, maupun

News Letter Nomor #005

Menurut Waslam, demokrasi yang
diwujudkan dalam bentuk Pemilu, hendaknya
benar-benar terwujud karena partisipasi bukan

13

Edisi Mei 2015

Sosok
Waslam yang berdomisili di Desa Piasa Kulon,
Kecamatan Somag ede dalam banyak
kesempatan.

sekedar mobilisasi sehingga menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Partisipasi
m a s y a r a k a t d a l a m b e n t u k ke a k t i f a n
mencermati dan memastikan terdaftar dalam
daftar pemilih serta kesadaran sebagai warga
negara yang memiliki hak konstitusional yaitu
hak menggunakan hak pilih merupakan kunci
awal kesuksesan pesta demokrasi. Begitu pula
partisipasi aktif dari penyelenggara pemilu PPS
beserta Pantarlih yang merupakan ujung
tombak dalam pemutakhiran data pemilih.
Disini menuntut penyelenggara pemilu
mempunyai kemampuan yang mumpuni
khususnya bagaimana menyajikan data pemilih
yang valid dan termutakhir.

Dalam rangka menumbuhkan peran
partisipasi aktif dari pemilih terutama para
pemilih pemula, diperlukan strategi
penyelenggaraan pemilu dalam bentuk
sosialisasi tentang pemilu yang lebih variatif.
Sasaran sosialisasi ditekankan pada munculnya
kesadaran pemilih atas hak konstitusinya,
terdaftarnya pemilih dalam pemilihan sera
kepastian pemilih menggunakan hak pilihnya
pada saat proses pemilihan. Pada akhirnya
diharapkan tingkat partisipasi pemilih dalam
setiap pemilihan menunjukkan angka
partisipasi yang meninggi dari pemilu ke
pemilu.

Dalam usaha peningkatan partisipasi
pemilih dalam Pemilu, KPU Kabupaten
Banyumas lebih menggencarkan sosialisasi
tentang arti penting pemilu, pelaksanaan
tahapan pemilu, memperhatikan tehnik
pemasangan pengumuman daftar pemilih serta
mendorong agar petugas pendaftaran pemilih
lebih aktif lagi. “Sesuaikan data dengan fakta
yang ada di lapangan, kita cermati benar-benar,
sehingga tidak ada pemilih yang belum terdaftar
atau masih ada pemilih yang belum dicoret
karena pindah atau meninggal dunia” kata

“Pada intinya dalam penyelenggaraan
pemilu, sinergitas dan partisipasi yang tinggi
antara penyelenggara pemilu dan masyarakat
umum dalam setiap tahapan pemilu sangat
diperlukan demi suksesnya penyelenggaraan
Pemilu”, ujar alumni Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta dan Magister Hukum di Unsoed
Purwokerto.

“Pada intinya dalam penyelenggaraan pemilu, sinergitas
dan partisipasi yang tinggi antara penyelenggara pemilu
dan masyarakat umum dalam setiap tahapan pemilu
sangat diperlukan demi suksesnya penyelenggaraan
Pemilu”
Edisi Mei 2015

14

News Letter Nomor #005

News

“GATOT: PNS KPU JANGAN MENGHINDARI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH”
jika ditunjuk dalam proses tersebut. “Sebagai
manusia modern kita tidak mungkin menghindari
aturan hukum. Hanya masyarakat tradisional saja
yang akan menghindari aturan hukum, termasuk
dalam proses peng adaan barang/jasa
pemerintah. Jadi menjadi pejabat pengadaan,
pembuat komitmen jangan dihindari. Jangan
takut untuk menjadi penanggung jawab
pengadaan asalkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku”, katanya ketika memberikan motivasi
pada peserta Diklat.
Kegiatan diklat pengadaan barang/jasa
pemerintah sendiri dilaksanakan dilaksanakan
sampai dengan Jumat (29/5) diikuti oleh
perwakilan PNS sekretariat KPU Provinsi Jawa
Tengah dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota
se-Jawa Tengah. Narasumber diklat berasal dari
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (LKPP) Jakarta, Setda Pemprov Jawa
Tengah dan Setda Pemkab Semarang. Materi
yang disampaikan diantaranya adalah prinsip
etika, kebijakan, metode pemilihan penyedia dan
para pihak yang terlibat pengadaan barang/jasa
pemerintah seperti yang diatur dalam Perpres
54/2010 beserta perubahannya. Adapun ujian
teknis pengadaan barang/jasa pemerintah
dilaksanakan pada hari terakhir diklat dengan
dipandu oleh perwakilan LKPP Jakarta.
Pada sambutan penutupan diklat, Ketua
KPU Provinsi Jawa Tengah Drs. Joko Purnomo
mengapresiasi pelaksanaan kegiatan diklat
pengadaan barang/jasa. Menurutnya, langkah
tersebut diperlukan agar semakin banyak PNS di
sekretariat KPU yang memiliki keahlian
pengadaan barang/jasa agar lembaga KPU
semakin mandiri dan independen. (spa_a)

SEMARANG, DERAP Proses
pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan
keniscayaan pada setiap lembaga/institusi
pemerintah. Pasalnya, setiap pengeluaran negara
untuk pembangunan pada dasarnya tidak lepas
dari proses pengadaan seperti yang diatur dalam
Perpres Nomor 54/2010 beserta perubahannya.
Oleh karenanya, PNS di lingkungan sekretariat
KPU diharapkan memiliki keahlian teknis dalam
proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Demikian salah satu pesan Sekretaris KPU
Foto: Dok.
Kab. Bambang
Banyumas
Provinsi Jawa Tengah,
Drs.KPU
Gatot
Hastowo, M.Pd, pada sambutan pembukaan
Diklat Teknis Peng adaan Barang/Jasa
Pemerintah bagi PNS di lingkungan Sekretariat
KPU se-Jawa Tengah di Balai Diklat Koperasi
dan UMKM Provinsi Jawa Tengah Semarang,
Selasa (26/5). Lebih lanjut Gatot menjelaskan
bahwa pihaknya mengusulkan kepada KPU RI
agar sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa
pemerintah untuk menjadi salah satu persyaratan
bagi PNS yang akan menduduki jabatan
struktural. Hal ini diharapkan akan ada motivasi
untuk lulus dan mendapatkan sertifikat
pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pada kesempatan tersebut Gatot juga
menuturkan bahwa selama ini proses pengadaan
barang/jasa sering dihindari oleh PNS. Sebab,
menurutnya, proses pengadaan barang/jasa
pemerintah rentan terhadap permasalahan
hukum. Akibatnya presentase kelulusan pada
setiap penyelenggaraan Diklat cenderung
menurun sejak KPU Provinsi Jawa Tengah
pertama kali menyelenggarakan pada 2012 silam.
Menurutnya, PNS cenderung untuk menghindari
News Letter Nomor #005

15

Edisi Mei 2015

Resensi Buku

LIBERALISASI SUARA:
POLITIK UANG PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014
Oleh: Subhan Purno Aji

“Siraman uang ke para pemilih lebih efektif daripada siraman rohani...”
Pernyataan bernada satir itu disampaikan oleh seorang Caleg PKS di Kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 lalu (hlm. 171).
Banyak pihak yang beranggapan bahwa Pileg 2014 sarat dengan praktik jual-beli suara,
bahkan politik uang pada Pileg 2014 dikatakan yang paling massif (Prof. Jimly
Asshidiqy/DKPP), praktik politik uang yang paling brutal (Akbar Faisal/NasDem),
dan terjadi lebih masif, vulgar, dan brutal dibandingkan pemilu terdahulu' (Kemitraan).
PURWOKERTO, DERAPMeski
praktik-praktik politik uang tersebut sangat
terasa sepanjang perhelatan
bangsa lima tahunan itu,
tetapi bukan perkara mudah
untuk menjelaskannya,
apalagi sampai menindak
para pelakunya.
Buku “Politik Uang di
Indonesia: Patronase dan
Dok. KPU Kab. Banyumas
Klientelisme padaFoto:
Pemilu
Legislatif 2014” berusaha
untuk menjawab pertanyaan
bagaimana para
c a l e g / k a n d i d a t
m e m e n a n g k a n Pe m i l u ,
mengapa ada caleg yang
berhasil meraih kursi yang
lain gagal? Strategi apa yang digunakan? Lalu
lebih jauh, bagaimana para kandidat
menggunakan uang, materi atau jaringan?
Seberapa efektif cara-cara itu? Lantas
bagaimana para pemilih memaknai?. Jawabanjawaban atas pertanyaan itu terpapar sepanjang
lebih dari 500 halaman, oleh karenanya buku ini
dapat dikatakan memberikan deskripsi tebal
(thick description) tentang Pemilu sebagai
“praktik” demokrasi di Indonesia, khususnya
tentang patronase, klientelisme dan politik uang
pada Pileg lalu. Buku yang dieditori oleh
Edward Aspinall, Profesor Ilmu Politik
Australian National University, Australia, dan
Mada Sukmajati, pengajar pasca-sarjana Ilmu

Edisi Mei 2015

Politik UGM, Yogyakarta, sejauh pengetahuan
Saya mer upakan per tama-dan paling
komprehensif- yang mengulas
praktik politik sepanjang
Pemilu 2014. Buku tidak hanya
mengisi ruang kosong dalam
kajian politik dan demokrasi di
Indonesia yang selama ini
lebih banyak menyoroti pola,
tren dan kinerja partai politik
tetapi buku ini juga
memberikan perspektif yang
tidak tunggal tentang
fenomena politik uang yang
selama ini lebih banyak
didekati dalam perspektif
yuridis-formal. Oleh karena
itu, tak dapat disangkal buku
ini menawarkan cara pandang “dari bawah”
bagaimana politik uang dirancang, diorganisir
dan dioperasikan oleh para caleg dan tim sukses
para kandidat di lapangan menjelang
pemungutan suara 9 April 2014.
Cara pandang tersebut dihasilkan dari
penelitian intensif dari para peneliti yang
tersebar di 22 tempat di seluruh Indonesia,
sehingga membuatnya kaya akan data empiris
dan faktual. Buku yang diterbitkan oleh
Research Center of Politics and Government
(PolGov) UGM ini sebagian besar dilakukan
pada masa kampanye, periode tahapan pemilu
yang memberikan kesempatan para kandidat
untuk berinteraksi dengan para pemilih mereka.

16

News Letter Nomor #005

Resensi Buku
kandidat. Selain itu ... bagaimana mekanisme
jaringan, dan teknik yang digunakan para
kandidat” (h.7).

Pengambilan data dilakukan melalui metode
wawancara mendalam (indepth interview) dan
pembayangan (shadowing), yang
memungkinkan para peneliti melihat dan
mendengar langsung interaksi para kandidat
dan timnya dengan para pemilih di lapangan di
hari-hari paling krusial dalam penyelenggaraan
Pileg 2014 lalu. Maka tak mengherankan di
sepanjang buku ini tersaji istilah-istilah yang
khas untuk menggambarkan dalam dan
masifnya fenomana politik uang, seperti “wani
piro”, “sabetan”, “uang sangu”, “uang
transport” dan beragam istilah lainnya.
Untuk menghindari banyaknya
pemaknaan atas politik uang, Editor buku buku
ini menggunakan istilah patronase dan
klientelisme, seperti yang termuat dalam subjudulnya, tujuannya agar tujuan dari buku ini
tidak terjebak pada suatu tindakan tertentu.
Istilah ini dipilih untuk mewakili metode yang
digunakan oleh hampir semua kandidat untuk
meraih dukungan pemilih sebanyak-banyaknya.
Kedua istilah ini lazim digunakan oleh para
pengamat politik dalam studi komparatif di
belahan dunia lain, umumnya dinegara yang
Foto:
Dok.seperti
KPU Kab.
Banyumas
demokrasinya masih
muda,
Asia
Timur,
Afrika dan Amerika Latin. Adapun patronase
merujuk pada materi atau keuntungan lain yang
didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau
pendukung (h.32). Pembelian suara (vote
buying), pemberian barang-barang kepada
kelompok-kelompok tertentu (club goods),
penyediaan beragam pelayanan sosial sampai
dengan pemanfaat dana publik untuk
kepentingan mendapatkan dukungan pemilih
atau politik gentong babi (pork barrel)
merupakan bentuk-bentuk dari patronase.
Sedangkan klientelisme adalah relasi kekuasaan
yang personalistik dan keuntungan material
ditukar dengan dukungan politik (h. 32).
Operasionalisasi dari klientalisme yang
diuraikan dalam buku ini adalah penggunaan
jaringan perantara (broker) untuk
menjembatani para kandidat dengan pemilih
mereka, atau banyak yang menyebut dengan
“tim sukses”. Oleh karenanya, tujuan buku ini
adalah “untuk melihat bentuk-bentuk
patronase yang didistribusikan oleh para
News Letter Nomor #005

Contoh dari Cirebon: Dari Personalistik ke
Materialistik
Seperti dikebanyakan tempat lain, wilayah
Kabupaten Cirebon merupakan “tempat
pertarungan” yang keras dan cenderung kasar
dalam perhelatan Pileg lalu (hlm. 294-328).
Bagaimana tidak, dalam penelitian yang
dilakukan salah satu kontributor buku ini,
Marzuki Wahid, dilaporkan bahwa seorang
kandidat anggota DPRD Kabupaten terkejut
ketika mendapati perolehan suaranya di TPS
terdekat ternyata jauh dari yang diharapkan,
bahkan kalah jauh dari perolehan suara
kandidat lain yang berdomisili di luar desa dan
kecamatannya. Yang menyentak, menurut
kandidat itu, pemilih di sekitar TPS-nya adalah
kebanyakan saudara dan tetangganya, hasilnya
tak sebanding dengan jerih payahnya menyapa
dari rumah ke rumah pada masa kampanye
sebelumnya. Ia kecewa mengapa para saudara
dan tetangganya itu tidak memilihnya, padahal
ia lahir, tumbuh dan besar di kampungnya.
Menurut pengamatannya suaranya digembosi
oleh kandidat lain dikarenakan praktik
“serangan fajar” (vote buying) menjelang
pemungutan suara. Diungkapkannya juga
kandidat lain berani membayar pemilih dengan
harga 75 ribu per kepala.
Fenomena di Kabupaten Cirebon
menjelaskan betapa patronase dan klientaslitik
yang bersifat materialistik (pemberian uang,
layanan kesehatan, bantuan barang mie instan,
kue bolu, sarung dll) lebih dapat menarik
perhatian pemilih dari pada patronase dan
klientalisme personal (hubungan keluarga,
tetangga dan pesona personal calon). Maka tak
heran muncul frase-frase yang unik, misalnya
NPWP (Nomer Pira, Wani Pira), uang es
(nominal kecil sekan hanya untuk membeli es)
dan “ana duit, ya milih” (ada uang, ya akan
memilih) untuk menggambarkan betapa
berkuasanya kekuatan finansial dalam
pemenangan seorang kandidat.

17

Edisi Mei 2015

Resensi Buku
pemerintahan para maling. Pasalnya, jika
demokrasi hanya digerakan oleh “mesin uang”
saja tanpa kesadaran adi luhung, baik pemilih
maupun yang dipilih, untuk merawat demokrasi
itu sendiri, maka tak ayal akan berlaku adagium
“the survival of the fittest”, yang bertahan
adalah mereka yang paling kuat, ya.. mereka
yang punya uang, seperti frasa penting dari
Cirebon “Nomer Pira, Wani Pira”.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
fenomena politik uang pada Pemilu 2014 lalu
tak ubahnya “pasar bebas” yang menempatkan
para pemilih seperti penjual suara (vote seller)
dan berusaha menawar harga setinggi mungkin.
Sedangkan para kandidat ditempatkan seperti
para pembeli (vote buyer) yang berusaha
menarik pembeli dengan harga tanpa batas:
Liberalisasi Suara.
Membaca keseluruhan buku ini rasanya
kita akan mengerinyitkan dahi, sebab apa yang
disampaikan oleh para kontributor di masingmasing wilayah penelitian menggambar fakta
yang selama ini sering menjadi bahan yang
sedikit “tabu” untuk diungkapkan. Melalui
buku ini kita seolah disadarkan betapa
bahayanya politik uang dengan berbagai macam
jenis yang menggerogoti hak paling dasar dalam
sistem demokrasi mode