4887655 Strategi Dual Pengembangan Kemampuan Industri TIK Nasional

Strategi Dual Pengembangan Kemampuan Industri TIK Nasional
Tatang A. Taufik *)
Abstrak
Pendekatan sistem inovasi dalam konteks industri/sektor spesifik sering disebut dengan industrial/sectoral
innovation system. Pendekatan sistemik atas pembangunan industri juga dewasa ini semakin berkembang
dan luas diterapkan dalam kerangka yang dikenal sebagai klaster industri, terutama sejak Michael Porter
mengangkatnya di awal tahun 1990an. Walaupun begitu, bagaimana kedua pendekatan ini “digunakan”
dalam konteks pragmatis belum demikian luas dibahas, terutama di Indonesia. Teknologi Informasi dan
Komunikasi/TIK (Information and Communication Technology/ICT) merupakan salah satu bidang yang
dinilai semakin penting di era sekarang, yang juga merupakan salah satu bidang prioritas iptek nasional.
Makalah ini mengajukan suatu gagasan strategi dual untuk pengembangan kemampuan industri TIK
nasional dalam perspektif sistem inovasi dan klaster industri. Karakteristik potensi dan pasar ekspor dan
domestik yang berbeda menjadi pertimbangan sangat penting bahwa strategi pengembangan industri
perlu dikembangkan sebagai lintasan ganda yang saling komplementatif.

I.

PENDAHULUAN

Teknologi Informasi dan Komunikasi/TIK (Information and Communication Technology/ICT)
merupakan salah satu bidang yang dinilai semakin penting di era sekarang, yang juga merupakan salah

satu bidang prioritas iptek nasional. TIK sebagai salah satu kunci bagi pembangunan ekonomi masa
depan: knowledge economy dan knowledge society. Pesatnya kemajuan TIK, sifat “uniknya” dan perannya
sebagai enabler dan sekaligus sektor produktif potensial menjadikan TIK sebagai bidang yang tidak
mungkin diabaikan dalam pembangunan. Bagi perkembangan TIK itu sendiri, negara seperti Indonesia
yang berpenduduk 220 juta, sangat penting, bukan saja sebagai pasar bagi produk yang semakin sarat
pengetahuan/teknologi atau inovasi, tetapi juga potensi basis pemajuan TIK selanjutnya.
Dalam perjalanan sejarah pembangunan, daya saing dan kohesi sosial semakin luas diyakini
sebagai kunci ukuran keberhasilan dan karenanya menjadi upaya yang makin luas ditelaah banyak pihak.
Perkembangan ini juga penting bagi penentu kebijakan dalam rangka menghasilkan pengaruh kebijakan
yang tepat dan membawa posisi industri dan negara di tengah perkembangan global yang dinamis.
Tulisan ini mengajukan dua konsep yang tengah berkembang, yakni klaster industri dan sistem
inovasi dalam menyoroti industri TIK. Pendekatan sistem terhadap perkembangan dan kompleksitas dari
inovasi dan difusinya, yang semakin disadari tidaklah “linier,” serta proses pembelajaran sosial dan
dinamika perkembangan pengetahuan (penciptaan, penggunaan, dan distribusinya) mendorong
perkembangan paradigma tentang “sistem inovasi.” Pandangan sistem juga berkembang dalam menelaah
aktivitas-aktivitas nilai tambah dalam bisnis/ekonomi secara luas. Walaupun berpangkal dari “akar”
keilmuan yang agak berbeda, pandangan tentang efisiensi kolektif, lingkungan inovatif, path dependence,
dan lainnya mendorong perkembangan pendekatan klaster industri dalam ulasan teoritis/konseptual dan
kajian-kajian empiris. Ibarat suatu mata uang logam yang bersisi ganda, kedua pendekatan tersebut
sebenarnya sama-sama mencermati dari perpsektif kesisteman tentang suatu konteks yang sama dari

konsep yang saling melengkapi. Bahkan dalam konteks kasus yang semakin “terlokalisasi” keduanya
bahkan seakan “berhimpitan.”
Melalui kajian eksploratif mengenai kedua konsep tersebut, penulis memandang bahwa peningkatan
daya saing industri TIK nasional perlu dilakukan dengan mendorong kemajuan sistem inovasi yang
semakin adaptabel, dan klaster industri yang berkembang dinamis dan memiliki keunggulan khas (unique
advantage). Makalah ini mengajukan suatu gagasan strategi dual untuk pengembangan kemampuan
industri TIK nasional dalam perspektif sistem inovasi dan klaster industri. Karakteristik potensi dan pasar
ekspor dan domestik yang berbeda menjadi pertimbangan sangat penting bahwa strategi pengembangan
industri perlu dikembangkan sebagai lintasan ganda yang saling komplementatif.

*)

Dr. Tatang A. Taufik, bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Saat ini
menjabat sebagai Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi – BPPT.

1

II.

PENDEKATAN


Dalam upaya yang tengah dilakukan oleh BPPT berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan
industri TIK nasional, dua “konsep” yang tengah berkembang dikaji sebagai alat pendekatan dalam kajian,
yaitu “klaster industri” dan “sistem inovasi.” Pemetaan (mapping) tentang TIK nasional dilakukan
berdasarkan kompendium beragam kajian terdahulu dan upaya serupa yang relevan. Tinjauan kebijakan
(direncanakan) dilakukan terutama dalam kerangka penguatan sistem inovasi dan/atau peningkatan daya
saing klaster industri TIK. Beberapa hasil indikatif dirangkum sebagai bahan tinjauan strategis dan
pemetarencanaan kolaboratif (collaborative roadmapping).
Dalam kaitan tersebut, makalah ini merupakan kertas kerja yang secara ringkas menyampaikan
hasil sementara kajian eksploratif yang tengah dilaksanakan berkaitan dengan peningkatan kemampuan
industri TIK nasional.

III.

KLASTER INDUSTRI DAN SISTEM INOVASI: KONVERGENSI KONSEP
Klaster industri pada dasarnya merupakan: 1

jaringan dari sehimpunan industri yang saling terkait (industri inti/core industries – yang menjadi “fokus
perhatian,” industri pendukungnya/supporting industries, dan industri terkait/related industries),
pihak/lembaga yang menghasilkan pengetahuan/teknologi (termasuk perguruan tinggi dan lembaga

penelitian,
pengembangan
dan
rekayasa/
litbangyasa),
institusi
yang
berperan
menjembatani/bridging institutions (misalnya broker dan konsultan), serta pembeli, yang
dihubungkan satu dengan lainnya dalam rantai proses peningkatan nilai (value adding production
chain).
Atau secara singkat:
klaster industri sebenarnya merupakan kelompok industri spesifik yang dihubungkan oleh jaringan mata
rantai proses penciptaan/peningkatan nilai tambah, baik melalui hubungan bisnis maupun non
bisnis.

Dalam hal ini aktor beserta peran masing-masing, proses nilai tambah, dinamika keterkaitan untuk
setiap tematik dan konteks tertentu akan mencirikan apa yang dimaksud dengan klaster industri tertentu.
Skema dalam Lampiran menunjukkan beberapa teori/konsep yang relevan dengan perkembangan
pendekatan klaster industri.

Sementara itu, sistem inovasi secara umum memiliki pengertian sebagai suatu kesatuan dari
sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah
perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktek baik/terbaik) serta
proses pembelajaran. 2 Dalam konteks bidang/sektor tertentu, beberapa menyebutnya sebagai “sistem
inovasi sektoral.” Malerba (2002b) misalnya mendefinisikan apa yang disebutnya sectoral system of
innovation and production sebagai berikut:
. . . a sectoral system of innovation and production is a set of new and established products
for specific uses and the set of agents carrying out market and non-market interactions for the
creation, production and sale of those products. Sectoral systems have a knowledge base,
technologies, inputs and demand. . . .

1

Lihat beberapa versi pengertian dan bahasan tentang klaster industri antara lain dalam Bergman
dan Feser (1999); Munnich Jr., et al. (1999); Porter (1990); UK DTI (1998b , 2001).

2

Lihat beberapa versi pengertian dan bahasan tentang sistem inovasi antara lain dalam Edquist
(2001, 1999); Freeman (1995); Lundvall (beberapa terbitan); Nelson (1993). Lihat skematik

sederhana tentang sistem inovasi dalam bagian lampiran. Daftar literatur tentang sistem inovasi
selanjutnya dapat dilihat antara lain dalam Taufik (2005).

2

Ragam bahasan dalam literatur tentang klaster industri dan sistem inovasi menunjukkan adanya
“himpitan” dalam cara pandang kedua konsep ini, setidaknya dalam beberapa hal berikut (lihat ringkasan
skematik dalam lampiran):
1.

Pendekatan sistem yang menggunakan telaahan secara holistik tentang konteks telaahan
tertentu;

2.

Peran aktor (dan kelembagaan) dalam proses penciptaan nilai;

3.

Dinamika interaksi antaraktor (termasuk kompetisi dan kooperasi);


4.

Pentingnya pengetahuan dan pembelajaran (inovasi dan difusi) dalam menentukan
kemajuan/keberhasilan individu dan sistem;

5.

Implikasi pergeseran peran dan kebutuhan reformasi kebijakan.

Menurut hemat penulis, dalam konteks tematik (sektor/industri) dan lokasi (geografis) yang semakin
fokus, maka cara pandang klaster industri dan sistem inovasi pada esensinya adalah sama (menunjukkan
“konvergensi” dalam konsep/perspektif, terutama dalam konteks peningkatan daya saing). 3 Hal ini sangat
penting terutama dari perspektif kebijakan publik.
ƒ

ƒ
ƒ
ƒ


IV.

Kebijakan pemerintah yang baik membutuhkan kerangka (policy framework) yang sesuai dan
menjadi “acuan” bagi keterpaduan keseluruhan instrumennya secara konsisten;
Kebijakan pemerintah perlu sesuai dengan “status perkembangan” sistem sehingga dapat
menjadi sistem yang lebih adaptif dengan perkembangan ke depan;
Instrumen kebijakan perlu semakin memenuhi kaidah kebijakan yang baik dalam mengatasi
isu/persoalan kebijakan yang sesuai dengan tantangan dinamika pasar (mengatasi kegagalan
pasar/market failures tertentu), government failures, dan kegagalan sistemik;
Pembelajaran kebijakan menjadi faktor yang semakin penting bagi keberhasilan kebijakan
dari waktu ke waktu dalam menumbuhkembangkan sistem.

PERKEMBANGAN INDUSTRI TIK

Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 memiliki karakteristik “unik” dalam perekonomian (daya saing)
dan pembangunan pada umumnya. Selain sebagai suatu “sektor produktif,” bidang TIK merupakan bidang
yang dinilai sangat penting (termasuk dalam penguatan klaster industri atau sistem inovasi sektoral itu
sendiri) karena karakteristik berikut:
ƒ


ƒ

TIK bersifat pervasive dan cross-cutting

ƒ

TIK mendorong diseminasi informasi dan pengetahuan

ƒ

TIK merupakan enabler yang penting dalam penciptaan jaringan

ƒ

Zero or declining marginal costs untuk produk-produk digital

ƒ

Penting bagi model bisnis inovatif dan keseluruhan industri baru


ƒ
ƒ

Peningkatan efisiensi dalam produksi, distribusi dan pasar
TIK dapat memfasilitasi disintermediation
TIK memiliki cakupan global.

Sifat TIK dan beberapa kemajuan di bidang TIK mempengaruhi bisnis di bidang TIK itu sendiri
(ilustrasi Gambar 1). Selain itu, pesatnya kemajuan di bidang TIK (teknologi maupun industrinya serta
dampaknya dalam berbagai aspek kehidupan manusia) dan konvergensi dalam TIK turut mempengaruhi
3

Ini terutama dari perspektif kebijakan. Prakarsa-prakarsa di berbagai negara maju (terutama
berkaitan dengan konteks sektor dan lokasi-geografis tertentu) sangat mendukung hal ini.

4

Cakupan istilah TIK (Information and Communication Technology/ICT) antara lain dapat dilihat
dalam dokumen WPIIS in 1998; OECD, ISIC Rev.3; World Bank; Gibbs dan Tanner (1997).


3

bagaimana negara memposisikan diri masing-masing untuk dapat memainkan peran strategisnya dalam
percaturan TIK global. Namun tetap saja bahwa kemampuan teknologi negara maju membuat “porsi” yang
dinikmati dari perkembangan ekonomi TIK berada dalam perkeonomian mereka. Sementara negara
lainnya masih merupakan “pasar” bagi teknologi dan produk negara-negara maju tersebut.

market
changes &
competition

Power of internet &
freedom of wireless

Rapid
technology
changes

ICT
business

• Independent
regulatory body
• Certification
authority

Broader business
opportunities &
innovative ideas
Broad
market
applications

Business
environment

Regulatory

• PKI
Sumber : Sudarwo (2002).

Gambar 1. Pendorong Penting Bisnis TIK.

Klaster industri TIK dan sistem inovasi relevannya akan ditentukan oleh, dan interkoneksi antara
basis pengetahuan/teknologi, sistem produksi (industri) dan pasar/aplikasi bentuk “akhir” (end market)
(ilustrasi Gambar 2). Namun seperti ditunjukkan oleh berbagai studi, hal ini pada dasarnya bersifat unik
atau case-specific.

Rantai Nilai Produksi
Barang
modal
Komponen
& modul

Pasar :
• Telekomunikasi
• Produksi
• Sektor
pemanfaatan TIK
• Dll.

Integrasi
sistem
Produk TIK

Infrastruktur TIK
Inovasi,
Difusi &
Pembelajaran

Inovasi,
Difusi &
Pembelajaran

Inovasi,
Difusi &
Pembelajaran

H/W &
SW

Daya Saing &
Kohesi Sosial

Kapasitas
Litbang
Edukasi

Knowledge/Technology
Supply Chain

(Re)Investasi

Gambar 2. Simplifikasi Elemen Dalam Perkembangan Klaster Industri
dan Sistem Inovasi “Sektor” TIK.

4

V.

GAMBARAN RINGKAS INDUSTRI TIK NASIONAL

Secara umum, strategi pengembangan TIK suatu negara digambarkan oleh Gambar 3 berikut. 5
Beberapa dokumen resmi nasional mengindikasikan bahwa Indonesia lebih memilih strategi TIK yang
bersifat non-mutually exclusive. Selain memang telah dianggap sebagai pasar yang besar bagi industri TIK
global, Indonesia berkeinginan menjadikan TIK sebagai kekuatan bidang industri nasional. 6

PENDEKATAN STRATEGIK
TIK sebagai Enabler
Pembangunan
Sosial-Ekonomi

TIK sebagai
Sektor Produksi

Pilihan Strategi yang bersifat
Non mutually exclusive

Fokus Pasar
Ekspor
(Costa Rica &
India)

Kapasitas
Nasional dan
Fokus Pasar
Domestik
(Brazil)

Fokus
Positioning
Global
(Malaysia)

Fokus Tujuan
Pembangunan
(Afrika Selatan &
Estonia)

Strategi TIK/ICT Nasional
Sumber: Diadopsi dari Digital Opportunity Initiatives (2001).

Gambar 3. Tipologi Strategi TIK Nasional.

Seperti diilustrasikan oleh Gambar 4, industri TIK nasional tidaklah “independen,” tetapi sanagt
dipenagruhi oleh pengaruh perkembangan internasional (terutama dalam bentuk impor, z, dan ekspor, y)
dan pengaruh perkembangan domestik itu sendiri (x). Untuk kasus Indonesia, kemampuan industri TIK
bahkan masih sangat ditentukan (bergantung) pada komponen impor (z1), untuk memenuhi pasar
pemanfaatan akhir domestik (selain juga dipenuhi oleh impor z2).
Beragam kajian (termasuk rangkaian diskusi terkait yang tengah berlangsung) cukup banyak
mengupas tentang perkembangan industri TIK nasional dan prospeknya ke depan. 7 Tanpa maksud
merangkum hasil dari kajian/upaya tersebut secara lengkap, dengan menggunakan Gambar 4, beberapa
hal yang dinilai penting terkait dengan gambaran tentang industri TIK nasional dapat disampaikan sebagai
berikut:

5

Catatan: dalam dua “ekstrim” strategi, maka fokus pertama adalah TIK (ICT) dipandang sebagai
“sektor produksi,” dan strategi e-readiness nasional ditujukan untuk mengembangkan atau
memperkuat industri-industri yang terkait dengan TIK (ICT); sedangkan fokus kedua adalah TIK
(ICT) dipandang sebagai “alat yang memungkinkan pembangunan sosial ekonomi” (enabler of
socio-economic development) dan strategi e-readiness nasional memanfaatkan TIK (ICT) untuk
mendongkrak kebijakan-kebijakan pembangunan.

6

Dokumen resmi nasional, antara lain RPJMN 2004-2009, dokumen-dokumen dari KNRT dan
Deperin menunjukkan hal ini.

7

Beberapa upaya terkait antara lain: pemetaan dan diagnosis klaster industri TIK tengah dilakukan
oleh Deperin, penyempurnaan data statistik dan indikator TIK tengah dilakukan oleh BPPT, agenda
riptek dikoordinasikan oleh KNRT, dan lain sejenisnya.

5

y

x

D

I
z1
z
z1

Gambar 4. Skema Industri TIK.
ƒ

ƒ
ƒ

ƒ
ƒ

ƒ
ƒ

Kebutuhan TIK domestik (D) yang luas dan besar, masih didominasi oleh impor (z1 dan z2,
baik produk dan teknologi) yang sangat tinggi untuk beragam kebutuhan (industri maupun
barang-barang konsumsi). Kebutuhan industri TIK domestik dan aplikasi TIK dalam
perekonomian dan sosial belum dapat dipenuhi oleh kemampuan TIK nasional. Industri TIK
nasional sejauh ini sangat bergantung pada kemampuan asing (kapital, teknologi, dan
beragam “produknya”).
Ekspor (y) yang cukup besar terutama dalam bentuk elektronika konsumsi. Jepang, Amerika
Serikat, Singapura, Korea selatan, dan Malaysia adalah di antara negara tujuan ekspor utama
(“konvensional”) di bidang TIK dari Indonesia selama ini.
Sebenarnya telah mulai berkembang ekspor (umumnya dalam bentuk sotfware) sebagai
bagian dari outsourcing perusahaan internasional (di luar negeri dan/atau MNCs), namun
masih terbatas. Sementara ini, data statistik tentang hal seperti ini belum dapat dihimpun
dengan sistematis.
Beberapa kajian tentang kinerja (dan komparasi tentang kinerja) menyangkut sistem inovasi
menunjukkan beragam kelemahan sistem inovasi nasional (termasuk dalam konteks TIK di
Indonesia).
Walau masih terbatas, kemampuan litbang mulai berkembang namun keterkaitan antara
knowledge pool dengan industri (produksi) dan pemanfaatan akhir masih lemah. Penerimaan
(acceptance) produk litbang TIK oleh industri TIK dalam negeri (ICT-enabling industries)
dinilai masih sangat rendah. Sementara kapasitas absorptif oleh komunitas pengguna akhir
TIK (ICT-enabled industries) masih sangat terbatas. Lingkungan bisnis, dan ekonomi, serta
sosio-kultural dan politik belum kondusif bagi percepatan perkembangan TIK nasional.
Dukungan SDM TIK berkualitas (baik untuk industri TIK maupun sebagai pengguna) masih
relatif terbatas.
Kebutuhan ekstensifikasi bagi pasar TIK domestik dan fokus pada relung pasar ekspor TIK
tertentu perlu menjadi pertimbangan bagi langkah strategis pengembangan industri TIK
nasional.

6

VI.

STRATEGI DUAL DAN PETARENCANA STRATEGIS

Dengan mempertimbangkan karakteristik TIK dan perkembangan industri TIK nasional, strategi dual
dinilai perlu dikembangkan sebagai langkah strategis pengembangan kemampuan industri TIK untuk dua
konteks dinamika “pasar” yang berbeda. Hal tersebut terdiri atas beberapa bagian strategi pengembangan
industri TIK secara generik (untuk dikaji lebih lanjut) sebagai berikut:
a.

Penguatan basis klaster industri domestik sejalan dengan penguatan sistem inovasi yang
relevan. Dari perspektif kebijakan ini berarti bahwa

ƒ
ƒ

ƒ

b.

Kerangka kebijakan (policy framework) yang jelas dan menjadi acuan semua pihak
(terutama para penentu kebijakan sektoral dan lintas tingkatan pemerintahan).
Adopsi sistem terbuka (open system) di bidang TIK (prinsip: interoperable, user-centric,
collaborative, sustainable and flexible) perlu didorong. Walaupun demikian, mengingat
kondisi Indonesia, pengembangan open source software perlu menjadi suatu prioritas
nasional dalam mengembangkan pilihan yang fair dan kompetitif bagi masyarakat.

Orientasi pada pasar dalam negeri ditekankan pada

ƒ

ƒ

ƒ

ƒ
ƒ
ƒ

c.

Kebijakan klaster perlu sejalan dengan kebijakan inovasi TIK (dan sebaliknya).

Pengarustamaan (mainstreaming) TIK dalam pembangunan (kebijakan pembangunan).
Peningkatan penerimaan pasar (market acceptance) bagi produk-produk domestik.
Perluasan kerjasama antara basis pengetahuan dan industri, dan antara keduanya
dengan industri “pengguna” kunci.
Pengembangan pembiayaan berisiko dan kemudahan
pewirausaha dan produk baru TIK yang inovatif.

perijinan

bagi

bisnis,

Program payung nasional bagi dukungan pengembangan inovasi di bidang TIK.
Percepatan penguasaan teknologi bagi kelompok TIK yang menentukan bidang
strategis nasional (misalnya pertahanan, industri telekomunikasi, transportasi,
kesehatan dan pertanian).

Orientasi pasar luar negeri ditekankan pada
ƒ
ƒ
ƒ

Pengembangan kerjasama dan jaringan internasional.
Pengembangan pasar potensial “baru” (non-konvensional).
Pengembangan “produk” kultural dan digital multimedia.

Mengingat langkah pragmatis akan memerlukan konsensus dan tindakan kolaboratif para
stakeholder kunci, maka pengembangan strategi dual tersebut selanjutnya perlu dituangkan antara lain
dalam peta-petarencana yang bersifat kolaboratif (collaborative roadmapping).

VII.

CATATAN PENUTUP

Makalah ini merupakan kertas kerja dari upaya yang tengah berlangsung dalam menelaah
pengembangan kemampuan industri TIK nasional. Disampaikan secara ringkas bagian dari hasil tentatif
kajian pada tahapan yang bersifat eksploratif. Konsep klaster industri dan sistem inovasi dalam
perkembangannya semakin konvergen dan ibarat mata uang bersisi ganda dalam upaya peningkatan
daya saing. Keterkaitan antara keduanya semakin kuat jika konteks dimensi bidang/sektor dan lokasigeografisnya semakin fokus.
Dengan karakteristik TIK dan industri TIK serta peluang pasar yang dihadapi, strategi dual
dipandang perlu digali lebih lanjut sebagai suatu alternatif strategi pengembangan kemampuan industri
TIK nasional ke depan.
Dari sisi politik teknologi, relevansi “nasionalisme” dalam pembangunan industri TIK sangat
memegang kunci bagi keberhasilan peningkatan kemampuan industri TIK nasional. Dari perspektif
7

kebijakan esensinya adalah bahwa peningkatan kemampuan industri TIK nasional sangat membutuhkan
keseimbangan antara kepentingan “kesejahteraan” pengguna akhir (sekedar sebagai pasar pengguna)
dan kepentingan nasional untuk pembangunan basis kemampuan industrinya di bidang yang sangat
strategis di masa depan. Kedua konsep yang disampaikan di sini, klaster industri dan sistem inovasi,
ditawarkan sebagai suatu kesatuan pendekatan (yang saling melangkapi) dalam menggali langkah lebih
lanjut yang lebih pragmatis dalam peningkatan kemampuan industri TIK nasional.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Bergman, E.M. dan Edward J. Feser (1999). Industrial and Regional Clusters: Concepts and
Comparative Applications. http://www.rri.wvu.edu/WebBook/Bergman-Feser/

2.

Edquist, Charles. (2001). The Systems of Innovation Approach and Innovation Policy: An Account of
the State of the Art. Lead paper presented at the DRUID Conference, Aalborg, June 12-15, 2001,
under theme F: ‘National Systems of Innovation, Institutions and Public Policies’ (Invited Paper for
DRUID's Nelson-Winter Conference) Dari http://www.druid.dk/conferences/ nw/paper1/edquist.pdf

3.

Edquist, Charles. (1999). Innovation Policy – A Systemic Approach. Paper for DRUID's Innovation
Systems Conference, June 1999. Dari http://www.druid.dk/conferences/ summer1999/confpapers/edquist.pdf

4.

Freeman, Chris. (1995). The 'National System of Innovation' in Historical Perspective. Cambridge
Journal of Economics. 1995, 19, 5-24.

5.

Lundvall, Bengt-Åke. (2003). National Innovation Systems: History and Theory. Paper to be
presented at the NSTDA-JICA seminar on innovations systems in Asian Economies, Bangkok
September 4-5, 2003.

6.

Malerba, Franco. (2002a). New Challenges for Sectoral Systems of Innovation in Europe. DRUID
Summer Conference 2002 on Industrial Dynamics of the New and Old Economy - who is embracing
whom?.

7.

Malerba, Franco. (2002b). Sectoral Systems of Innovation and Production. Research Policy 31
(2002) 247–264.

8.

Paija, Laura. 2001. The ICT Cluster: The Engine of Knowledge-driven Growth in Finland. Makalah
dalam “Innovative Clusters, Drivers of National Innovation Systems: Enterprise, Industry and
Services.” OECD Proceedings.

9.

Porter, Michael E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. The Free Press. New York.

10.

Sudarwo, Iman. (2002). Sistem Inovasi – Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bahan Presentasi,
Agustus, 2002.

11.

Taufik, Tatang A. (2005). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan.
P2KTPUDPKM-BPPT. 2005.

12.

Taufik, Tatang A. (2004). Penyediaan Teknologi, Komersialisasi Hasil Litbang, dan Aliansi Strategis.
P2KDT – BPPT dan KRT. 2004.

13.

Taufik, Tatang A. (2002). Survei Literasi Komputer 2001. P2KTPUDPKM-BPPT. 2002.

14.

UK DTI (2001). Business Clusters in the UK - A First Assessment. UK Department of Trade and
Industry. February 2001.

15.

UK DETR-DTI (2000). Planning for Clusters: A Research Report. UK Department of the
Environment, Transport and the Regions (DETR) bersama dengan UK Department of Trade and
Industry (DTI). London. June 2000.

16.

UK DTI (1998a). Our Competitive Future: Building the Knowledge Driven Economy. The
Government’s Competitiveness White Paper (Cm 4176). UK Department of Trade and Industry.
December 1998.

17.

UK DTI (1998b). Our Competitive Future: Building the Knowledge Driven Economy. Analytical report
of the Government’s Competitiveness White Paper. UK Department of Trade and Industry.
December 1998.

8

LAMPIRAN
L-1

CATATAN TENTANG KLASTER INDUSTRI DAN SISTEM INOVASI

Industri Terkait
(Related Industry)

Industri Pemasok
(Supplier Industry)

Industri Inti
(Core Industry)

Pembeli
(Buyer)

Industri Pendukung
(Supporting Industry)

Analisis
Berdasarkan The
Four-Diamond
Porter

Institusi Pendukung
(Supporting Institutions)

Gambar L-1. Skematik Pendekatan Klaster Industri.

Industrial District

EKONOMI
EKSTERNAL

TINDAKAN
KOLEKTIF

EFISIENSI
KOLEKTIF

Teori/
Konsep

Potensi Daya Saing
Atas
Perkembangan
Kapasitas inovasi
Manfaat
Bagi
Perkembangan
Inovasi

PATH
DEPENDENCE

Peran dan
Intervensi yang
Lebih Tepat

PERSAINGAN/
RIVALITAS

Manfaat
Bagi
Pelaku Bisnis

MANFAAT
PLATFORM
KLASTER
INDUSTRI

Manfaat
bagi
Pembuat
Kebijakan dan
Stakeholders
lain

Keterkaitan dan
Dukungan bagi
Peningkatan
Rantai Nilai Tambah
Manfaat bagi
Perguruan Tinggi/
Lembaga Litbang

LINGKUNGAN
INOVASI

Kolaborasi Sinergis
Sesuai Kompetensi

KOMPETISI
KOOPERATIF

Gambar L-2. Teori/Konsep yang Relevan dengan Klaster Industri.

9

Permintaan (Demand)
Konsumen (permintaan akhir)
Produsen (permintaan antara)

Sistem Politik
Pemerintah
Penadbiran
(Governance)

Sistem Pendidikan
dan Litbang

Sistem Industri

Pendidikan dan
Pelatihan Profesi

Perusahaan Besar
Intermediaries
Lembaga Riset
Brokers

Pendidikan Tinggi
dan Litbang

UKM “Matang/
Mapan”

Litbang Pemerintah

PPBT

Kebijakan RPT
Supra- dan Infrastruktur Khusus
Dukungan Inovasi
HKI dan
dan Bisnis
Informasi

Standar dan
Norma

Perbankan
Modal Ventura

Framework Conditions

Kondisi Umum dan Lingkungan Kebijakan pada Tataran Internasional, Pemerintah Nasional, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota








Kebijakan Ekonomi
Kebijakan ekonomi makro
Kebijakan moneter
Kebijakan fiskal
Kebijakan pajak
Kebijakan perdagangan
Kebijakan persaingan

Kebijakan Industri/
Sektoral

Kebijakan Keuangan

Kebijakan Promosi &
Investasi

Infrastruktur Umum/
Dasar

Budaya
• Sikap dan nilai
• Keterbukaan terhadap
pembelajaran dan
perubahan
• Kecenderungan terhadap
Inovasi dan kewirausahaan
• Mobilitas

Alamiah
SDA (Natural Endowment)

Catatan : RPT = Riset dan Pengembangan Teknologi (Research and Technology Development)
PPBT = Perusahaan Pemula (Baru) Berbasis Teknologi.

SID

SID

Daerah
A

Daerah
C

Klaster Industri 1

Sistem Inovasi Nasional

Klaster Industri 3

Gambar L-3. Skematik Sistem Inovasi.

Sektor I

Klaster Industri:

Sektor II

Klaster Industri 1-Z
Klaster Industri 3-B
Klaster Industri 2-C

Sektor III

Klaster Industri 1-A

SID : Sistem Inovasi Daerah.

Gambar L-4. Salah Satu Perspektif tentang Pengertian Klaster Industri dan Sistem Inovasi.

10

Cara Pandang

Era

Sebagai residual (faktor
”marjinal”) pertumbuhan/
kemajuan (model-model
pertumbuhan neo-klasik
dan sebelumnya).

Era di mana inovasi belum
memperoleh perhatian
khusus (terutama masa
sebelum 1960an).

Inovasi sebagai proses
sekuensial linier (pineline
linear model).

Era Technology push
(tahun 1960an – tahun
1970an).

Era Demand pull (1970an
– 1980an).

Inovasi dalam kerangka
pendekatan sistem proses
interaktif-rekursif (feedback
loop/chain link model) dari
kompleksitas dan dinamika
pengembangan (discovery,
invensi, litbang maupun
non litbang), pemanfaatan,
dan difusi serta
pembelajaran secara
holistik.

Era Sistem Inovasi
(1980an – sekarang).

Implikasi Kebijakan
Tidak/belum ada upaya khusus intervensi.

ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ

ƒ
ƒ

ƒ

Tekanan kebijakan pada sisi penawaran
sangat dominan (supply driven).
Kebijakan sains/riset sangat dominan.
Kebijakan teknologi/iptek mulai
berkembang.
Tekanan kebijakan pada sisi permintaan
sangat dominan (demand driven).
Kebijakan teknologi dan/atau kebijakan
iptek berkembang, namun yang bersifat
satu arah/sisi (one-side policy) masih
dominan.
Kebijakan inovasi, dengan kerangka
pendekatan sistem.
Kebijakan inovasi merupakan proses
pembelajaran yang perlu diarahkan pada
pengembangan sistem inovasi yang
semakin mampu beradaptasi.
Kebijakan inovasi tak lagi hanya menjadi
ranah monopoli Pemerintah ”Pusat,” tetapi
juga Pemerintah ”Daerah.”

Gambar L-5. Pergeseran Pandangan dan Implikasi Kebijakan.

From Line a r t o Se que nt ia l...

5th Generation Theories of Innovation

Main characteristic:
Systems integration and networking
theory (SIN)
Parallel processes, collaborating
companies, collaborative innovation
networks

4th

Main characteristic:
Integrated theory of innovation
Parallel development with integrated
development teams

Generation Theories of Innovation

3rd Generation Theories of Innovation

Main characteristic:
Sequential Interactive Process

2nd Generation Theories of Innovation

Main characteristic:
Demand-pull (linear)

1st Generation Theories of Innovation

Main characteristic:
Technology-push (linear)

Sumber : HUT Dipoli – Roadmap, Tapio Koskinen, Markku Markkula – 2005
(Bahan Presentasi - www.dipoli.tkk.fi)

Gambar L-6. Salah Satu Versi tentang Pergeseran Pandangan tentang Sistem Inovasi.

11

SISTEM INOVASI: Model Skematik Triple Helix

TriTri-literal network
dan Organisasi
Hybrid

Hubungan/interaksi
antar kelembagaan
dalam “pusaran
spiral” sebagai
“proses transisi
tanpa akhir dan
dinamis”

Akademia

Pemerintah

Industri

Sumber : Disesuaikan seperlunya dari Etzkowitz dan Leydesdorff (2000).

Gambar L-7. Salah Satu Versi tentang Perkembangan Konsep dalam Pendekatan Sistem Inovasi.

L-2

CATATAN TENTANG TIK (ICT)

Perlu dipahami bahwa pendekatan klaster industri umumnya bersifat unik atau case specific.
Karenanya, memang klaster industri “X” di suatu negara atau daerah tak selalu persis serupa dengan
klaster industri “X” di negara atau daerah lain. Pendefinisian klaster industri ICT atau telematika
khususnya, juga dapat berbeda dari suatu negara ke negara lainnya. Sebagai ilustrasi, Paija (2001),
Pentikainen (2001), dan Luukkainen (2001) misalnya mengungkapkan bagaimana klaster ICT berperan
dalam perekonomian Finlandia; Charles dan Benneworth (2001) untuk industri ICT di UK; Chamide (2001)
yang menganalisis industri ICT di Spanyol.
Untuk ukuran yang lebih universal, OECD (2000) melakukan beberapa studi penting. Pada
pertemuan Working Party on Indicators for the Information Society (WPIIS), April 1998, telah diangkat
definisi yang berlaku umum secara internasional dan telah disetujui oleh the OECD Committee for
Information, Computer and Communications Policy (ICCP) pada bulan September 1998. Definisi dan
indikator yang disusun ini memang lebih untuk tujuan perbandingan internasional. Prinsip dasar definisi
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Untuk industri manufaktur, produk dari industri
;

;

Harus dimaksudkan untuk memenuhi fungsi pengolahan informasi dan komunikasi
termasuk transmisi dan display;
Harus menggunakan pengolahan elektronik untuk mendeteksi, mengukur dan/atau
mencatat fenomena fisik atau mengendalikan suatu proses fisik.

b) Untuk industri jasa, produk dari industri
;

Harus dimaksudkan untuk memungkinkan fungsi pengolahan informasi dan komunikasi
dengan cara elektronik.

12

Adopsi dari prinsip dasar ini mengantar kepada definisi berdasarkan revisi ketiga klasifikasi industri
dari the International Standard Industrial Classification (ISIC), seperti ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel L-1. Industri ICT Menurut OECD.
Kode ISIC

Keterangan

Manufaktur ICT
3000

Mesin/peralatan kantor, akuntansi, dan kumputasi

3130

Insulated wire and cable

3210

Electronic valves and tubes dan komponen elektronik lain

3220

Pemancar televisi dan radio dan perlengkapan untuk telepon dan
telegraf

3230

Penerima televisi dan radio, perekaman suara atau video atau
perlengkapan reproduksi dan barang-barang terkaitnya

3312

Instrumen dan appliances untuk mengukur, mengecek, menguji,
menavigasi dan maksud lain, kecuali peralatan proses industri

3313

Peralatan kontrol proses industri

Jasa ICT:
5150

Perdagangan besar (wholesaling) mesin, peralatan supplies*

7123

Penyewaan mesin dan peralatan perkantoran (termasuk komputer)

6420

Telekomunikasi

72

Komputer dan aktivitas terkait

Sumber: OECD (2000).

Indikator yang disusun oleh BPPT dan BPS (2001) dalam analisisnya mengunakan gabungan ISIC
dan SITC (Standard International Trade Classification) dan mengadopsi revisi ketiga ISIC. Kelompokkelompok yang diperkirakan memenuhi kriteria barang indikator teknologi informasi ini menurut ISIC revisi
3 adalah seperti ditunjukkan pada tabel berikut pengelompokan ini lebih merupakan penajaman kelompok
aktivitas bisnis ICT.

Tabel L-2. Industri ICT dalam Indikator yang Disusun BPS dan BPPT.
Kode

Keterangan

22130

Industri penerbitan dalam media rekaman

22301
22302

Industri reproduksi rekaman
Industri reproduksi film dan video

25203

Industri media rekam dari plastik

30003

Industri mesin kantor, komputasi, dan akuntansi elektronik

32100

Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik

32200

Industri alat komunikasi

32300

Industri radio, TV, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya

33123

Industri pengukuran, pengatur, dan pengujian elektronik

13

L-3

CATATAN TENTANG INDUSTRI TIK NASIONAL

Sejauh ini diperkirakan memang Indonesia lebih bertumpu pada elektronika konsumsi (consumer
electronics). Analisis data tahun 2000 dengan menggunakan ISIC Revisi 2 indikator industri manufaktur
komoditi teknologi informasi, periode tahun 1992 – 1997 menunjukan prospek pengembangan industri ini
(BPPT dan BPS). Beberapa hasil analisis diantaranya menggambarkan biaya input, biaya output dan nilai
tambah untuk industri manufaktur teknologi informasi.
Secara keseluruhan, pada periode 1992 – 1997 biaya input untuk industri manufaktur teknologi
informasi mengalami kenaikan, terutama terjadi pada tahun 1997 dengan total input hampir mencapai Rp.
11, 7 triliun. Nilai input terbesar dikonsumsi oleh industri radio, televisi, dan peralatan komunikasi.
Sedangkan untuk nilai output mengalami pertumbuhan positif selama periode tahun 1992 – 1997, dan
pada akhir tahun 1997 mencapai lebih dari Rp. 17 triliun dengan kontribusi terbesar dari industri radio,
televisi, dan peralatan komunikasi. Nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur teknologi informasi
secara keseluruhan mengalami kenaikan pada periode tahun 1992 – 1997 ini, dengan rata-rata
pertumbuhan hampir mencapai 60%. Nilai tambah terbesar diperoleh dari industri radio, televisi, dan
peralatan komunikasi. Nilai tambah industri ini terhadap nilai tambah total industri manufaktur juga
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Dalam hal nomenklatur statistik industri, apa yang diadopsi di Indonesia pada dasarnya tak jauh
berbeda dengan yang diungkap di atas, mengingat BPS telah mengadopsi revisi ketiga ISIC dalam KBLI.
Dokumen Kerangka Teknologi Informasi Nasional/KTIN (2001) merupakan salah satu rujukan formal
terutama bagi strategi dan kebijakan pembangunan telematika/ICT di Indonesia. Merujuk kepada KTIN
(2001), maka prioritas pengembangan bidang teknologi informasi nasional adalah seperti diilustrasikan
pada Gambar L-1. Kelompok produk jasa (A dan C) untuk pasar domestik dan ekspor, serta kelompok
produk paket untuk pasar ekspor (D) merupakan prioritas bagi pengembangan industri teknologi informasi
(TI) lokal, dengan fokus A.

Jenis Produk

Cakupan Pasar

Jasa

Ekspor

Paket

A

B

E
Domestik

C

D

Sumber: KTIN (2001)
Gambar L-8. Prioritas Pengembangan Industri TI Lokal: A, C & D, Dengan Fokus A.

Sebagai salah satu dokumen acuan, dokumen Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN,
2005) mengungkapkan bahwa industri telematika terdiri atas kelompok barang dan jasa, meliputi industri
perangkat (devices), infrastruktur/jaringan (access, nodes, transport, support) dan software (piranti lunak),
termasuk aplikasi (content). Bagi negara berkembang, piranti lunak dan jasa pada umumnya memiliki
peluang yang lebih besar karena relatif tidak memerlukan investasi besar dalam riset dan peralatan

14

pendukung produksi, hal ini disebabkan terutama karena piranti lunak lebih berbasis pada tenaga kerja
berpengetahuan.
Dalam dokumen KPIN (2005), dilakukan pengelompokan pelaku klaster industri telematika menurut
perannya sebagai berikut:
A.

Kelompok “Industri Inti” adalah:

1.
2.
3.
B.

Jaringan
Aplikasi (Content).

Kelompok “Industri Pendukung” adalah:

1.
2.
3.
C.

Industri Perangkat (Devices)

Software Aplikasi
Peralatan Telekomunikasi
Komponen TI.

Kelompok “Industri Terkait” adalah:
Jasa Layanan Nilai Tambah (Broadband Internet, Multimedia).

Secara umum, sebaran perusahaan di bidang telematika adalah seperti ditunjukkan pada tabel
berikut. Jumlah perusahaan di lokasi studi merupakan mayoritas industri di bidang telematika di Indonesia,
mencakup sekitar 96,4% dari perusahaan elektronika dan 95,3% dari perusahaan teknologi informasi
keseluruhan.
Tabel L-3. Gambaran Sebaran Perusahaan di Bidang Telematika.
WILAYAH

JUMLAH PERUSAHAAN
Elektronika

Teknologi Informasi

1. Banten

70

8

2. DKI Jaya

86

55

3. Jawa Barat

150

50

4. Jawa Tengah & DIY

5

10

5. Jawa Timur

25

15

6. Bali

2

5

7. Batam

33

21

374

164

8. Sumatera Utara

13

5

9. Irian Jaya

1

3

14

8

388

172

WILAYAH STUDI:

Jumlah
WILAYAH LAINNYA:

Jumlah
JUMLAH KESELURUHAN

Sumber : Diadopsi dari Bahan Paparan Deperin (2005), Raker Mastel 2004.

Seperti ditegaskan dalam dokumen KPIN (2005), industri telematika adalah pilar industri andalan
masa depan yang dipilih untuk menjadi fokus pengembangan ke depan. Pemilihan ini dilatar-belakangi
bahwa besarnya bentang wilayah dan dengan jumlah pulau yang banyak akan memerlukan sistem
telekomunikasi yang besar. Kondisi geografis Indonesia yang unik ini saja dapat menjadi satu sumber
inspirasi yang tak putus-putus untuk menciptakan sistem telekomunikasi “indigeneous”. Indonesia tercatat
sebagai salah satu negara yang menerapkan sistem komunikasi satelit yang terdahulu dibanding dengan

15

negara-negara tetangga. Pengalaman yang telah terpupuk sejak lama, kondisi geografis yang unik harus
dijadikan satu modal dasar bagi pengembangan teknologi telekomunikasi yang biasa ditawarkan sebagai
solusi tersendiri pada dunia telekomunikasi di dunia.
Populasi penduduk terbesar keempat di dunia, dengan talenta dan kreativitas yang tinggi
merupakan salah satu modal dasar Indonesia untuk mengembangkan industri perangkat lunak komputer
dan multi-media. Kebutuhan dan telah adanya kemampuan di bidang telekomunikasi, ditambah dengan
peluang di industri multimedia, menjadikan industri telematika dipilih menjadi salah satu industri masa
depan. Industri prioritas andalan masa depan tersebut akan bercirikan padat teknologi dan ilmu
pengetahuan, didukung oleh sumber daya manusia berbasiskan ilmu pengetahuan, serta di dukung
sumber daya alam terbarukan. Faktor-faktor ini diharapkan akan membawa industri Indonesia masa depan
tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable), serta ramah lingkungan.
Industri telematika (Information and Comunication Technology-ICT) muncul sebagai konvergensi
antara industri telekomunikasi, multimedia dan informatika. Industri ini merupakan salah satu industri yang
sedang berkembang dengan pesat di dunia. ICT di dunia tumbuh 6,9% per tahun, dimana pada tahun
2004 besarnya pasar tercatat mencapai US$ 533 miliar. Dari pasar sebesar ini pasar Asia tercatat sebesar
US$ 42 miliar dengan pertumbuhan 23% per-tahun. Di Indonesia sendiri pasar sektor ini tercatat baru
sekitar US$ 1,3 miliar dengan pertumbuhan tahun 2004 dan 2005 masingmasing sebesar 9,8% dan
22,1%. Dari total penjualan ICT diperkirakan sebesar US$ 0,5 s/d 0,75 miliar diserap oleh sektor
perbankan.
Industri telematika terdiri atas kelompok barang dan jasa, meliputi industri perangkat (devices),
infrastruktur/jaringan (access, nodes, transport, support) dan software (piranti lunak) termasuk aplikasi
(content). Bagi negara berkembang piranti lunak dan jasa pada umumnya memiliki peluang yang lebih
besar karena relatif tidak memerlukan investasi besar dalam riset dan peralatan pendukung produksi, hal
ini disebabkan terutama karena piranti lunak lebih berbasis pada tenaga kerja berpengetahuan.
Mengacu kepada KPIN (2005), lokasi prioritas pengembangan klaster industri telematika adalah
(Gambar L-9): Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.

Gambar L-9. Lokasi Pengembangan Industri Telematika (KPIN, 2005).

16

Sementara itu, lokasi prioritas pengembangan klaster industri elektronika konsumsi adalah (Gambar
L-10): Sumatera Utara (Medan), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Timur
(Surabaya). Sementara sentranya adalah: Sumatera Barat (1), DKI (1), Jawa Barat (3), dan Sulawesi
Selatan (3).

Gambar L-10. Lokasi Pengembangan Industri Elektronika Konsumsi (KPIN, 2005).
Potensi wilayah pengembangan telematika di wilayah Banten, DKI, dan Jawa Barat adalah seperti
berikut.

Pamanukan

Koridor JKT-CLG
Cilegon

Jakarta

Kor
idor

Cikande

Pusat Pem

JKT
-CK
P
Cikampek

Bogor

Potensi Pengembangan strategis
• Perluasan fungsi pelabuhan Pamanukan (30 km dr CKP)
• Pendalaman dan perluasan investasi Waduk Jatiluhur
Cirata dan PLTA Saguling
• Penetapan dan pengembangan Bandung sbg Pusat R&D
• Pengembangan Purwakarta sbg Dormitory Town dan
kota antara (interface city)
• Pengembangan “mixed land use” industri, pemukiman,
agro industri pada koridor Cipularang
• Perencanaan pro-aktif memperbaiki jaringan pelayanan
dan jalan sekunder antar kawasan industri sepanjang
koridor JKT-CKP dan koridor JKT-CLG

Purwakarta
Sumber air dan
Tenaga Listrik

ana
Renc LARANG
U
or CIP
Korid

Rangkasbitung

Padalarang

Pusat R&D

Bandung

Sumber : Bahan Paparan Deperin (2004).

Gambar L-11. Salah Satu Potensi Wilayah Pengembangan
Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi.

17

L-4

CATATAN TENTANG CONTOH KLASTER INDUSTRI TIK

Paija (2001) mengidentifikasi struktur klaster industri ICT tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar
2.8 dan Tabel 2.2 berikut. Definisi klaster ICT ini juga serupa dengan yang digunakan oleh Pentikainen
(2001).

RELATED INDUSTRIES
Traditional
media

Booking
services

Entertainment

Public
services

Banking

Consumer
electronics

Education
Advertising

Healthcare

KEY INDUSTRIES
NETWORK OPERATION
ICT EQUIPMENT
Fixed and Mobile
network systems
Terminals
Hardware and
software

Fixed and Mobile
network systems
Data networks

NETWORK SER VICES
AND DIGITAL CONTENT
PROVISION
Basic voice and
data services

Internet
Cable-TV

Content (value
added services)

C
U
S
T
O
M
E
R
S

Digital-TV

SUPPORTING INDUSTRIES
Parts and component
manufacturing
Contract manufacturing
Education and R&D

ASSOCIATED SERVICES
Consultancy
Venture capital
Distribution
channels

Sumber : Paija (2001).

Gambar L-12. Contoh Skema Klaster Industri ICT di Finlandia.

Sementara itu, Luukkainen (2001) mendefinisikan klaster ICT seperti pada Tabel L-4 dan
Gambar 2.9 yang diperoleh atas dasar keterkaitan dalam analisis IO (input-output).

18

Tabel L-4. Klaster Industri ICT Finlandia.
Kode NACE

Keterangan

Manufaktur ICT
30020

Komputer, dsb.

31300

Insulated wire and cable

32100

Komponen elektronik

32200

Radio transmitter, dsb.

32300

Radio receiver, dsb.

Jasa ICT: Jasa Telekomunikasi
64201

Komunikasi telepon

64202

Telekomunikasi lainnya

64203

Jasa transmisi data

Jasa ICT: Software dan Jasa Teknologi Informasi
72100

Konsultansi hardware

72200

Konsultansi dan pemasokan software

72300

Pengolahan data

72500

Pemeliharaan mesin perkantoran, dsb.

Sumber: Paija (2001).

Tabel L-5. Satu Versi Lain Klaster Industri ICT Finlandia.
Sektor Produksi
(Stat. Finlandia)

Klasifikasi
NACE

Keterangan

22

22

Publikasi dan percetakan

27

252

Manufaktur produk plastik

32

28

Manufaktur produk logam pabrikasi

33

29

Manufaktur permesinan dan peralatan

34

30

Manufaktur mesin perkantoran dan komputer

35

31

Manufaktur mesin dan peralatan listrik

36

32

Manufaktur radio, tv, peralatan dan perlengkapan komunikasi

37

33

Manufaktur produk kesehatan dan presisi

47

4502

Teknik Sipil

48

50, 51, 52

Perdagangan besar dan eceran

50

60

Transportasi darat; transportasi melalui pipa

56

641, 642

Pos dan telekomunikasi

57

65, 66, 67

Intermediasi keuangan dan asuransi

61

71-74

Aktivitas bisnis

62

75

Administrasi publik dan pertahanan; compulsory social security

63

80

Pendidikan

67

92

Aktivitas rekreasi, budaya dan olah raga

Sumber: Luukkainen (2001).

19

33

37

27

35

22

50
61

57

47
32

36

56

62

63

34

48

67

Keterkaitan ke depan atau ke belakang (forward or backward link) deliveries /
pemasokan > 20%
14% < Keterkaitan ke depan atau ke belakang (forward or backward link) deliveries /
pemasokan < 20%
8% < Keterkaitan ke depan atau ke belakang (forward or backward link) deliveries /
pemasokan < 14%
Sumber : Luukkainen (2001).

Gambar L-13. Skematik Keterkaitan dalam Klaster Industri ICT di Finlandia
Berdasarkan Analisis IO.

Sementara itu untuk the United Kingdom, menurut Charles dan Benneworth (2001), industri ICT di
UK secara konvensional didefinisikan sebagai sektor
;
;
;
;

Hardware IT,
Komponen elektronik dan sistem,
Telekomunikasi, dan
Jasa IT.

Secara nasional menurut mereka belum ada definisi klaster ICT yang dihasilkan dan disepakati di
UK. Dalam studinya, mereka melakukan perhitungan/analisis kuantitatif didasarkan atas kelompok
sektoral/industri: Domestic electrical; Capital goods (termasuk komputer), Electrical apparatus and
components; Computer consultancy; Subcontract and other computer services. Selain itu, mereka
mencermati bahwa aktivitas litbang (R&D) sangat penting bagi perkembangn industri ICT di UK. Ini
mencakup kegiatan R&D yang terkait dengan sektor industri yang termasuk: Office machinery and
computer; Electrical machines; Radio, TV, communication equipment; Precision instruments; Aerospace;
Post and telecommunications; Computer services and related activities.
Chamide (2001) dalam studinya menganalisis industri ICT di Spanyol. Ia menelaah apakah ada
klaster aktivitas inovatif dalam industri ICT atau hanya sekedar sehimpunan perusahaan yang tidak saling
terkait satu dengan lainnya. Ia melakukannya dengan menganalisis keterkaitan industri berdasarkan
aktivitas litbang. Hasilnya menunjukkan adanya klaster ICT yang terdiri atas: elektronika konsumsi
(consumer electronics) dan peralatan telekomunikasi, komponen elektronik, peralatan IT (komputer), jasa
telekomunikasi, jasa IT dan software (Gambar L-14).

20

Electrical
Material
Mechanical
Machinery

Trade

Component

Instruments
Consumer
& Telecom
Equip

IT Equip
(Computer)

Component

Banking
Insurance

Software
IT Services

Business
Services

Public
Administration

R&D
Service

Sumber : Chamide (2001).

Gambar L-14. Klaster Inovatif ICT di Spanyol (1997).
Perkembangan teknologi dan industri sangat mempengaruhi perubahan dan penyesuaian dalam
pengklasifikasian industri. Hingga sementara ini, tercatat bahwa kelompok “sektor” informasi dalam sistem
NAICS meliputi 34 industri. Untuk Amerika Serikat, pendekatan klaster industri dewasa ini pada dasarnya
lebih merupakan platform bagi pembangunan daerah (negara bagian dan/atau wilayah yang lebih luas
atau lebih kecil).
Sebagai contoh, suatu analisis peta daya saing klaster “komunikasi” di Negara Bagian North
Carolina mengidentifikasi himpunan aktivitas yang saling terkait dan membentuk klaster tersebut (Gambar
L-15). Contoh-contoh tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa “klasterisasi” pada dasarnya bersifat
kontekstual.

Metal Processing

Communication
Services

Software
and
Computer
Services

Related Equipment
Anaytical Instruments, Measuring
Devices

Specialized Inputs
Specialized Services
Banking, Accounting, Legal

Electronics and
Optical Components

Communication
Equipment

Computer
Equipment
Specialized Risk capital

Related Serviced

VC Firms, Angel Network

Electronic Parts

Office Machines

Research Institutions
MCNC, North Carolina State
University, Center for Advandced
Computing and Communication

Distribution

Among National Leaders (1-5)

Traning Institutions

Cluster Organizations

University of North Carolina Chappel Hill, North Carolina State
University

North Carolina Electronics and
Information Technology
Association

Competitive (6-20)
Position Established (21-40)
Less Developed (41+)

Sumber : Porter (2001).

Gambar L-15. Posisi Daya Saing Klaster Komunikasi di Wilayah Research Triangle
Negara Bagian North Carolina – Amerika Serikat.
21

L-5

CATATAN TENTANG BEBERAPA KINERJA SISTEM INOVASI DAN INDUSTRI TIK

Malaysia

S ingapura

Thailand

Indonesia

% PMA (FD I) dari PDB
Rasio pendaftaran sains & enjinering
Pengeluaran swasta untuk litbang
(% dari mahasiswa pendidikan
tinggi)
Ekspor high-tech sbg % dari ekspor
Jml peneliti dalam litbang / 1 juta
manufaktur
penduduk
10

9
8
7

6
5
4

3

Paten yang diberi oleh USPTO / 1
juta penduduk

Total pengeluaran litbang sbg %
PNB

2
1
0

Ketersediaan modal ventura

Perdag. Manuf. sbg % PDB

Kolaborasi riset universitasperusahaan

Beban Administratif Perusahaan
Pemula
Artikel jurnal ilmiah dan teknis / 1 juta
penduduk

K ewirausahaan di antara Manajer

Sumber : Berdasarkan Data KAM Bank Dunia.

Gambar L-16. Perbandingan Beberapa Variabel Sistem Inovasi Indonesia
dan Beberapa Negara ASEAN Lain Menurut KAM Bank Dunia.

Indonesia

10
8
Vietnam

6

Singapore

4
2
0

China

Malaysia

Thailand
KEI
Innovation
ICT

Econ. Incentive Regime
Education

Gambar L-17. Komparasi Kinerja Menurut Indikator Ekonomi Pengetahuan (KAM Bank Dunia).

22

Telephones per 1,000 people

8
ICT Expenditure as %of GDP

Main Telephone Lines per 1000 People

6
Extent of Business Internet Use

Mobile Phones per 1,000 People

4
2
E-Government Services

Computers per 1,000 people

0

International Telecommunications, Cost of Call

TV Sets per 1,000 People

Internet Users per 10,000 People

Radios per 1,000 People

Internet Hosts per 10,000 People

Malaysia

Daily Newspapers per 1,000 Peo