218642702 Merekonstruksi Globalisasi Ekonomi Islam dalam Menghadapi Perdagangan Pasar Bebas

MEREKONSTRUKSI GLOBALISASI:
EKONOMI ISLAM DALAM
MENGHADAPI PERDAGANGAN DAN PASAR BEBAS1
Oleh: Khairunnisa Musari2
1. PENGANTAR
Pemerintah memastikan Indonesia sangat siap menghadapi era perdagangan bebas
Asia Tenggara dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Kesiapan itu
ditunjukkan melalui pembentuan Komite Ekonomi ASEAN yang melibatkan pemerintah
dan dunia usaha. Adapun pilar pembentukan Komite Ekonomi ASEAN meliputi bidang
politik, keamanan, ekonomi, dan budaya. Meski belakangan Indonesia masih mengalami
defisit neraca perdagangan, namun pemerintah menegaskan tak akan mundur dari
komitmen perdagangan bebas di kawasan regional ini.
Sebelumnya, tahun 2010, Indonesia pun telah memasuki kesepakatan perdagangan
bebas antar negara ASEAN dan China (CAFTA). Seperti halnya ketika menghadapi CAFTA,
sejumlah pihak pun banyak yang menyatakan ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA.
Hal ini juga mengingat salah satu dampak CAFTA yang sangat dirasakan dunia usaha saat
ini adalah serbuan produk-produk China ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Hal ini membuat produk lokal sulit untuk meningkatkan pangsa pasarnya, bahkan di pasar
lokal.
Terkait dengan keberadaan ekonomi Islam dalam menyikapi era perdagangan bebas
atau pasar bebas, maka terdapat beberapa hal yang perlu dipahami bersama mengenai

perbedaan fundamental dalam perspektif umum dan ekonomi Islam terhadap globalisasi
yang merupakan hulu dari lahirnya perdagangan bebas atau pasar bebas tersebut.
1.1 Globalisasi dalam Perspektif Umum?3
"... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik mana pun
yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.... Pendek kata,
apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan
keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju
pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." (George Soros, 1998).
Globalisasi adalah sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat menjadi
peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana sebuah
negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Namun demikian,
Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ekonomi Syariah Peran Ekonomi Syariah & Pemerintah dalam
Menghadapi Pasar ‛ebas yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (Himajur) Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, pada 16 April 2014.
1

2

Peneliti Divisi Syariah Risk Management International (RMI) dan Tamkin Institute.


3 Tulisan ini dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di Harian Surabaya Post, 24 April 2009,
berjudul Globalisasi untuk Nasionalisme dan Harian Seputar Indonesia, 11 April 2008, berjudul Akhir LaissezFaire Keempat?.

2

realitas menunjukkan berbagai ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari
globalisasi sebagaimana yang berlangsung saat ini.
Dalam Republik Pasar Bebas (2006), Susan George mengatakan bahwa globalisasi saat
ini merupakan buah pemikiran dari kaum neoliberal. Kaum neoliberal melahirkan ide-ide
globalisasi yang kemudian diwujudkan dengan hal-hal seperti liberalisasi dan privatisasi.
Pemikiran-pemikiran ini lahir dari kebijakan Inggris-Amerika Serikat (AS) pada masa
pemerintahan Margareth Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an. Pemikiran ini dicetuskan
oleh Milton Friedman, penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagen, dan Frederick High,
penasihat ekonomi Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher. Friedman adalah
murid Friederich von Hayek dari Universitas Chicago yang merupakan embrio
neoliberalisme. Paham neoliberalisme nyatanya banyak mengalami kegagalan. Liberalisme
dengan senjata pamungkasnya free-market dan free-trade telah melahirkan banyak
ketimpangan struktur ekonomi pada lapisan masyarakat dunia.
Lebih jauh, menurut Swasono (2005a), paham neoliberalisme sesungguhnya
merupakan anak dari paham neoklasikal yang diusung oleh Adam Smith. Dalam paham

neoklasikal, pasar dinyatakan sebagai mekanisme permintaan dan penawaran yang
diasumsikan mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand.
Namun, pasar sejatinya juga mengandung market failures yang tidak cukup mampu
melayani kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin salah satunya dengan micro-macro rifts,
di mana banyak terjadi ketidaksesuaian ilmu ekonomi mikro dan makro dalam
menstransformasikan kepentingan individu ke arah kepentingan publik. Akibatnya,
efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak sejalan, bahkan kerap
bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.
Di Indonesia, Swasono (2005a) menilai pengajaran ilmu ekonomi masih sangat
tergantung dengan pemikiran neoklasikal. Pelajaran ilmu ekonomi sepenuhnya
mengajarkan neoklasikal dan memperkenalkan akhlak homo economicus yang juga telah
melepaskan hubungan dalam konteks Indonesia dengan kekhususannya. Pemikiran ini
bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai
perilaku homo-economicus. Pemikiran neoklasikal menyandarkan diri pada paham
kompetitivisme yang sangat kuat sehingga membentuk pola pikir self-fulfilling presumption
secara berkepanjangan. Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat saat ini, paham
kompetitivisme mendorong semangat bertarung, sehingga menimbulkan restless society
ataupun stressful society .
Tahun 2008, pasca kasus subprime mortgage di AS yang diikuti dengan berbagai
kejatuhan industri sektor keuangan, miliuner George Soros mengatakan bahwa krisis

keuangan saat itu adalah yang terburuk sejak depresi besar tahun 1929. Krisis yang terjadi
saat itu sedang menuju titik nadir. Soros mengatakan, akar krisis kekacauan di sektor
keuangan, tertanam sejak dekade 1980-an. Saat itu, Ronald Reagen dan Margaret Thatcher
mendamba laissez-faire, yaitu madzhab yang menjunjung pasar liberal atas dasar keyakinan
bahwa pasar akan melakukan koreksi sendiri atas kesalahan. Dikatakan Soros, Reagen dan
Thatcher juga melandaskan ekonomi pada pasar bebas yang disertai pinjaman, yang secara
akumulatif menumpuk hingga sekarang.
Kritik terhadap madzhab berulang kali terjadi. Diceritakan Swasono (2005b), setelah
the end of laissez-faire yang pertama , yaitu dengan munculnya Keynes sebagai reformis
(1926), kemudian muncul kembali Bator, Baran, Dob, Lange, Singer, dan Robinson yang

3
mengakhiri laissez-faire kedua (1957). The end of laissez-faire ketiga muncul kembali dengan
hadirnya Kuttner (1991) dan tokoh-tokoh lain seperti Sen, Etzioni, Heilbroner, Thurow, dan
Stiglitz4.
Tentang Stiglitz, Indonesia, dan ekonomi Islam dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di
Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni 2009, berjudul Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah. Selain sebagai
pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom kontroversial. Stiglitz kerap membela kepentingan
negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar,
dan sejumlah lembaga internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan

Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan AS untuk menekan negara-negara dunia ketiga melalui
cengkeraman kapitalisme ekonomi.
4

Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah menjadi bagian penting
dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret kebijakan AS dalam mengelola agenda
globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang
berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar. Hampir di semua
bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Stiglitz
berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembang banyak diakibatkan kepatuhan yang
sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus. Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington
Consensus, Stiglitz menulis Washington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus
menyatakan, kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan
penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus tidak dapat begitu saja
diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya sejumlah negara yang mencapai keberhasilan
pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak
dapat diabaikan.
Diskusi Stiglitz tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam Globalization and Its Discontents (2002).
Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena
keprihatinannya pada Indonesia. Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain.

Akibat mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di Asia Timur.
Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF.
Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar
masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz
menekankan peran pemerintah ini juga sebagai kritik atas Washington Consensus yang diadopsi pemerintah
Indonesia. Ia mengingatkan, AS yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi
proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara berkembang
juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.
Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade Keserakahan: Era 90-an dan
Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi
konsekuensi sistem globalisasi, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar
kemunafikan dan standar ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam
paket liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pula keprihatinannya terhadap
korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan berkembang akibat tingginya ketimpangan
sosial.
Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik (2006), Stiglitz
mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits
menjadikan buku ini sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di
dunia. Ia mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia

menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional.
Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya, pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen
tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia.
Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmes mengulas hitungan rinci biaya
ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak. Dengan jargon ekonomi tentang opportunity cost,
biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai perang akan sangat berarti dalam mengatasi berbagai persoalan
pelik terkait kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di

4

Kini, seiring dengan sejumlah kegagalan neoliberalisme dalam menghadirkan sistem
perekonomian dunia yang berkeadilan dan beradab, tampaknya mulai ada tanda-tanda the
end of laissez-faire keempat . Setelah teori mekanisme desain yang memikirkan bagaimana
pemerintah mengelola kekayaan untuk memberi kemakmuran bagi rakyat telah mengantar
Hurwicz, Maskin, dan Myerson meraih Nobel Ekonomi 2007, sejumlah pihak mulai
merenungkan kebenaran dampak laissez-faire.
1.2 Pasar Bebas dan Ketimpangan
Menurut Ackerman (1998), ketimpangan kesejahteraan di dalam dan antar negara
tumbuh dengan cepat dan menjadi isu yang signifikan. Ketimpangan sangat terkait dengan
political economy. Menurutnya, analisis ketimpangan berawal dari tradisi political economy -sebuah disiplin yang berakar dari Adam Smith5. Pada awalnya, political economy

merefleksikan sebuah kepedulian terhadap isu-isu politik dan ekonomi serta institusiinstistusi yang terkait dengannya. Namun, dalam perkembangannya, istilah political economy
menjadi cenderung dikaitkan dengan madhzab-madhzab. Ackerman menggunakan istilah
political economy yang dinilainya sudah tidak populer ini karena ingin menekankan betapa
dekatnya hubungan political dan economy dalam menghadirkan ketimpangan.
Susan George (2006) juga menekankan hal senada. Menurutnya, ketimpangan ini
nyata mengingat jumlah masyarakat miskin di dunia jelas lebih banyak dibandingkan
jumlah masyarakat kaya. Timpangnya ekonomi dunia ditunjukkan oleh hasil studi United
Nations Development Programme (UNDP), yaitu: (1) Satu % dari orang-orang terkaya di
dunia, pendapatannya sama dengan 57 % orang miskin di dunia. (2) Sepuluh % dari
penduduk terkaya di AS memiliki pendapatan yang sama besarnya dengan 43 % penduduk
termiskin dunia. Atau dengan kata lain, pendapatan dari 25 juta penduduk terkaya di AS
sama dengan pendapatan dua miliar penduduk bumi. (3) Pendapatan dari 5 % orang-orang
terkaya di dunia adalah sebesar 114 kali pendapatan 5 % penduduk termiskin dunia. Di AS,
lapisan bawah (10%) juga mencapai titik nadir. Pada 1997, lapisan puncak (1%) memiliki
pendapatan 65 kali lebih besar daripada lapisan miskin, dan 10 tahun kemudian lapisan
puncak (1%) memiliki pendapatan 115 kali lebih besar dari jumlah penduduk miskin AS.
Hal ini tentu menjadi bagi hampir setiap negara di belahan bumi. Mengapa ini terjadi?
Diyakini karena adanya pembenaran teoritis dan ideologis yang dikemas secara rapi oleh
para pendukung neoliberal atas redistribusi kekayaan kearah yang paling baik. Pendapatan
yang meningkat bagi kaum kaya dan keuntungan yang lebih tinggi terhadap modal akan

menimbulkan investasi lebih besar, serta alokasi sumber daya, akibatnya akan lebih banyak
tersedia pekerjaan dan kesejahteraan bagi setiap orang. Dengan demikian, uang dari orang
kaya dianggap memiliki multiplier effect yang lebih besar dari pada uang orang miskin.
Namun dalam kenyataannya, orang-orang yang berada pada puncak skala rata-rata sudah
memiliki sebagian besar barang yang mereka butuhkan. Sehingga mereka hanya akan
belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang dirasakan masyarakat
sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk menciptakan kedamaian dunia, maka hal
itu akan jauh lebih berarti.
Ide-ide Adam Smith menjadi pencetus lahirnya Institut Adam Smith di Inggris yang merupakan salah
satu aktor intelektual dalam penciptaan ideologi neoliberal yang melahirkan legitimasi atas privatisasi,
liberalisasi, globalisasi, dan pasar-bebas. Mitra strategisnya adalah lembaga keuangan dan moneter dunia yang
turut serta dalam penyebaran ideologi tersebut. Ideologi ini mengubah banyak status kepemilikan pabrik, badan
usaha, dan perusahaan di dunia, dari kepemilikan negara menjadi kepemilikan individu. Banyak aset dan
perekonomian negara yang tersentralisasi pada segelintir individu atau perusahaan tertentu.
5

5

memberikan kontribusi yang relatif lebih sedikit bagi perekonomian lokal atau nasional.
Sementara bagian terbesar kekayaan mereka langsung menuju ke pasar keuangan, yang

kebanyakan ditempatkan dalam instrumen keuangan yang benar-benar spekulatif.
Kritik terhadap ketimpangan juga dinyatakan Hurrel dan Wood (1999). Menurut
mereka, ketimpangan telah lama menjadi bagian penting politik dunia. Liberalisasi
perekonomian memperjelas jurang kaya dan miskin di negara-negara berkembang. Untuk
suatu kelompok negara, globalisasi meruntuhkan persatuan dan ketahanan negara. Saat ini,
globalisasi telah membawa tantangan baru yang membuat kita perlu memikirkan ulang
topik ketimpangan.
2. EKONOMI ISLAM MENGHADAPI PASAR BEBAS
Setelah sejumlah akademisi Barat, mantan praktisi World Bank dan International
Monetary Fund (IMF), konsultan yang menjadi economic hit man6, serta pemenang Nobel
Ekonomi meneriakkan keadilan global dan mengecam perilaku predatori dan eksploitatori
dari negara-negara maju, barulah ekonom mainstream berkenan merenungkan dampak
globalisasi dan pasar-bebas bagi kedaulatan rakyat. Hal ini menunjukkan, mulai munculnya
paradigma baru dalam ekonomi dunia bahwa setiap negara, bahkan negara maju sekalipun,
perlu mewaspadai ancaman globalisasi dan pasar-bebas. Hanya dengan kemandirian yang
mampu memberikan pondasi perekonomian yang kokoh agar tegar menghadapi badai
krisis ekonomi dunia yang merupakan efek domino dari globalisasi dan pasar-bebas.
Jika disimak, terdapat perbedaan mendasar terkait dengan pemahaman globalisasi
dan pasar bebas antara perspektif umum dengan ekonomi Islam. Islam tidak memisahkan
agama dengan kegiatan ekonomi. Menurut Chapra (2000), ilmu ekonomi sebagai ilmu moral

menyentuh pula nilai-nilai agama. Dalam ekonomi Islam, segala usaha harus diarahkan
pada realisasi dan tujuan-tujuan kemanusiaan. Paradigma inilah yang harus digunakan
dalam mendefinisikan efficiency dan equity yang ada dalam ilmu ekonomi.
Economic hit man adalah julukan John Perkins yang menguak tabir rahasia rekayasa politik ekonomi
serta strategi korporatokrasi melalui buku Confessions of an Economic Hit Man (San Francisco: Berrett-Koehler
Publishers, Inc., 2004) dan The Secret History of The American Empire (edisi Bahasa Indonesia dalam Pengakuan
Bandit Ekonomi, Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga (Jakarta: Ufuk Press,
2007)).
6

Kedua buku ini menceritakan pengalaman penulis pada tahun 1970-1980-an yang bekerja sebagai
konsultan ekonomi di bawah pengawasan National Security Agency (NSA), salah satu lembaga keamanan dan
intelijen terkemuka di Amerika Serikat (AS). Sebagai konsultan, Perkins memiliki posisi yang tidak sekadar
menggolkan kesepakatan bisnis negara-negara berkembang atau dunia ketiga dengan AS, tapi juga membangun
kerajaan imperium AS di dunia. Perkins berusaha menciptakan situasi, dimana semakin banyak sumber
penghasilan mengalir ke AS atau ke perusahaan-perusahaan milik AS.
Perkins menceritakan, imperium AS dibangun bukan melalui persaingan yang sehat dan jujur, tapi
dengan cara-cara yang kotor. Mereka melakukannya melalui manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, seks,
merayu orang untuk mengikuti kemauan AS. Tugas utama Perkins adalah membuat kesepakatan untuk
memberi pinjaman ke negara lain, jauh lebih besar dari yang negara itu sanggup bayar. Diakui Perkins, ia
pernah menjalankan kebijakan ini di sejumlah negara dunia, termasuk Indonesia.
Dalam buku tersebut, Perkins menceritakan bagaimana AS memeras negara sampai tak bisa
membayarnya. Dengan alasan itu, barulah AS akan mendesak negara bersangkutan untuk menyerahkan sumber
kekayaan alamnya, seperti minyak, gas, kayu, tembaga dan lainnya ke AS. Jika negara itu menolak, Perkins
menyatakan bahwa mereka bisa dibunuh.

6

2.1 Globalisasi dalam Perspektif Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, globalisasi yang berwujud pasar bebas sesungguhnya sudah
sejak lama terjadi. Sejarah membuktikan bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah
terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari proses itulah kita bisa
menyaksikan bagaimana Islam menyebar ke berbagai belahan dunia.
Jika kita membaca kisah Rasulullah SAW, perdagangan merupakan pekerjaan yang
digeluti Rasulullah sejak kecil. Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian Beliau oleh seorang
Pendeta juga terjadi kala Rasulullah sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini, kita
bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum
Rasulullah diangkat menjadi Nabi. Setelah Rasulullah diangkat menjadi Nabi, barulah nilainilai etik-religius dari Islam masuk ke dalam ranah perdagangan dan bidang lainnya.
Dalam konteks kekinian, praktek globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau berbeda
dengan praktek globalisasi dan pasar-bebas saat ini. Globalisasi dan pasar-bebas di masa
lampau tercipta karena mekanisme alamiah penawaran dan permintaan. Sedangkan
paradigma globalisasi dan pasar-bebas sebagaimana yang kita pahami saat ini adalah buah
dari pemikiran kaum Neoklasikal untuk melegitimasi berbagai kepentingannya. Paham
globalisasi dan pasar-bebas dalam konteks kekinian sesungguhnya dicipta sebagai
pembenaran terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari paham mereka yang kerap tidak
berkeadilan.
Di masa lalu, di antara banyak suku di Arab, terdapat suku Quraisy yang memiliki
kemampuan dagang cukup tinggi. Karena suku ini juga dikenal memiliki otoritas sebagai
penjaga Ka bah, menurut Perwataatmadja & ‛yarwati
8 , posisi ini membuat suku
Quraisy sangat leluasa dan aman untuk melakukan perjalanan dagang ke seluruh kawasan
Arab. Hampir seluruh suku dalam rute perdagangan menuju Syria, Yaman, dan Bahrain
menghormati dan menghargai kafilah-kafilah Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy melakukan
perjalanan dagang pada musim dingin dan panas digambarkan dalam firman Allah:

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan
panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini Ka bah yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (QS.
Quraisy [106]: 1-4).
Tidak bisa dipungkiri, sebagai kaum yang memiliki hubungan dagang lintas negara,
kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik. Hal ini kian didukung
oleh keberadaan mereka sebagai penjaga Ka bah yang menyebabkan sejumlah negara
seperti Syria, Irak, Yaman, dan Ethiopia memberi izin dan jaminan keamanan berdagang.
Usaha perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi usaha pun

7

telah mereka dirikan. Sistem upah dan syirkah dalam berbagai tipe juga telah dijalankan
antara pemilik modal dengan pelaku dagang, termasuk pula dengan kerjasama jenis
mudharabah.
Sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya, perdagangan antar negara di
Semenanjung Arab telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Karena kondisi geografi yang tidak memungkinkan bagi penduduk
setempat untuk bertani, mereka kemudian menjadikan perdagangan sebagai mata
pencaharian utama.
Awal abad ke-6M menjadi tonggak awal dimulainya peran wilayah Semenanjung
Arab bagian tengah sebagai sentra perdagangan lintas benua. Bermula dari adanya
ketegangan antara penguasa Byzantium dengan penguasa Persia. Teluk Persia yang
sebelumnya adalah jalur perdagangan barat-timur menjadi berkurang tingkat
keamanannya. Alhasil, para pedagang dari timur lebih memilih jalur baru yaitu pelabuhan
di pesisir selatan Semenanjung Arab. Lalu dilanjutkan dengan jalur barat menembus
wilayah Semenanjung Arab bagian tengah guna menuju wilayah utara, yaitu negeri Syam.
Demikian pula dengan jalur perdagangan dari barat yang berpindah melewati Syam, Arab
bagian tengah, lalu pelabuhan pesisir selatan Semenanjung Arab. Terakhir, melalui
perjalanan laut tanpa melewati Teluk Persia.
Perubahan jalur perdagangan ini menyebabkan sejumlah wilayah di Semenanjung
Arab bagian tengah, seperti Mekkah dan Madinah, menjadi ramai. Jika sebelumnya jalur ini
hanya diramaikan oleh lalu lintas komoditas perdangan lokal Semenanjung Arab, wilayah
ini kemudian berkembang menjadi jalur utama perdagangan dari wilayah timur dan barat.
Wilayah timur banyak didominasi oleh pedagang yang berasal dari India dan Cina.
Sedangkan wilayah barat didominasi oleh pedagang yang berasal dari Afrika dan Eropa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perdagangan merupakan pekerjaan
yang digeluti Nabi Muhammad SAW sejak kecil bersama dengan pamannya, Abi Thalib.
Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian yang dituturkan oleh seorang Pendeta juga terjadi
kala Nabi Muhammad SAW sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini kita bisa
melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum
Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi.
Tabel 1 menunjukkan sejumlah pasar di Semenanjung Arab pra-Islam yang selain
menjadi pusat perdagangan, juga menjadi pusat sastra dan kegiatan spiritual.
TABEL 1
PASAR-PASAR TERKENAL
DI SEMENANJUNG ARAB PRA-ISLAM
NAMA PASAR
1. Pasar Ukazh7

KOTA/
NEGARA

KETERANGAN

Al-Athdia8,
antara Mekkah

Masyarakat Arab biasa berkumpul di pasar ini untuk saling
membanggakan diri. Pasar ini berlangsung 20 hari dari tanggal 1

Suyanto (2008a) menjelaskan, pasar Ukazh adalah pasar kuno yang paling terkenal di Semenanjung
Arabia. Pasar tersebut tercatat untuk pertama kalinya pada tahun 500 Sebelum Masehi (SM). Pasar ini dikenal
dalam hal kemegahan, hubungan dagang, manifestasi syair, kesukuan, dan selalu dikunjungi oleh suku Quraisy,
Hawazin, Ghatafan, Aslam, Ahabish, Adl, ad-Dish, al-Haya dan al-Mustaliq.
7

8
dan Tha if

2. Pasar Majinnah

Mekkah

3. Pasar Dzu AlMajaz

Mina,
Mekkah
Arafah

4. Pasar Daumatul
Jandal

Al-Jauf.

5. Pasar alMusyaqqar
6. Pasar Hajar

Kota Hajir
Bahrain.
Bahrain

7. Pasar Oman
(Dibba)

Oman

8. Pasar Hubasyah

Tihamah

9. Pasar Shuhar

Oman

10. Pesar Asy-Syihr

Antara
Aden
dan Oman

11. Pasar Aden

Aden

12. Pasar Sana a

Sana a

13. Pasar
Hadramaut

Shihr
Rabiyah

14. Pasar Hijr
15. Pasar Mirbad

Yamamah
Bashrah

antara
dan

di

dan

sampai
Dzul Qa dah. Pasar ini merupakan pusat perdagangan
paling besar di Jazirah Arab selain juga menjadi pusat sastra dan
tempat bagi orang-orang yang membawa misi perbaikan.
Setelah pasar Ukazh selesai, orang-orang mengunjungi pasar ini.
Mereka tinggal selama
hari sejak akhir Dzul Qa dah sampai
melihat hilal bulan Dzulhijjah. Pasar ini milik kabilah Kinanah.
Pasar ini menempati satu peringkat di bawah pasar Ukazh yang
memiliki peran penting di Jazirah Arab. Pasar ini berlangsung sejak
hilal bulan Dzulhijjah dan dikunjungi oleh orang-orang yang
menunaikan ibadah haji dari seluruh negeri Arab. Orang-orang
meninggalkan pasar Majinnah menuju pasar ini dan bermukim
sampai hari ke-8 bulan Dzul Hijjah yang merupakan hari
Tarwiyah9.
Pasar ini menjadi pertemuan jalan penting perdagangan antara
Irak, Syam, dan Jazirah Arab. Musim pasar ini berlangsung dari
awal hingga pertengahan bulan Rabiul Awwal.
Pasar ini berlangsung pada bulan Jumadats Tsaniah.
Pasar ini menjual buah kurma dan hanya dilangsungkan pada
bulan Rabiul Akhir.
Pasar ini banyak dikunjungi oleh bangsa Arab selepas dari aktivitas
pasar Hajar. Mereka bermukim di sana sampai akhir Jumadal Ula.
Di pasar ini pula terjalin kerja sama antara pedagang dari India,
Indus (Sindh), Persia, dan Ethiopia dengan para pedagang Arab.
Pasar ini termasuk pasar Tihamah kuo dan bukan pasar haji. Pasar
ini diadakan pada bulan Rajab. Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Rasulullah pernah sekali masuk ke pasar tersebut dengan
membawa dagangan Siti Khadidjah.
Pasar ini merupakan kota paling ramai yang terletak di atas laut.
Pasar ini diadakan di bulan Rajab.
Pasar ini berada di tepi pantai selatan antara Aden dan Oman.
Pasar ini merupakan tujuan para pedagang laut dan darat. Pasar ini
diadakan pada pertengahan bulan Sya ban.
Masyarakat Aden mengunjungi pasar ini setelah pasar Asy-Syihr
selesai. Pasar ini diadakan pada 10 hari pertama bulan Ramadhan.
Pasar ini berlangsung dari pertengahan sampai akhir bulan
Ramadhan.
Pasar ini diadakan pada pertengahan bulan Dzul Qa dah.
Terkadang pasar ini diadakan pada hari yang sama dengan pasar
Ukazh. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Arab ada yang
berangkat ke pasar ini dan sebagian lainnya ke pasar Ukazh.
Pasar ini diadakan sepanjang bulan Muharram.
Pasar ini adalah pasar paling terkenal di Arab setelah kedatangan
Islam. Mirbad berarti kandang unta.

Sumber: Al-Maghluts (2008a; 2008b), dimodifikasi.
Suyanto (2008a) juga menjelaskan, penentuan kota Al-Athdia sebagai lokasi yang tepat dari Pasar Ukazh
dilakukan oleh Raja Faisal bin Abdul Aziz. Raja Faizal meminta para ahli dan ilmuwan untuk mengidentifikasi
lokasi dari Ukazh dengan mencari kembali catatan kuno dan dokumen sejarah. Setelah 1300 tahun, pasar
tersebut dioperasikan kembali dan diresmikan oleh Gubernur Mekah, Pangeran Khalid Al-Faisal, putra Raja
Faisal. Pasar tersebut berlangsung selama 7 hari dengan menjual bermacam-macam barang dan bahan, baik
tradisional maupun modern. Di tempat tersebut juga terdapat tulisan syair Arab kuno dalam emas dan
diperuntukkan bagi pengunjung untuk melihatnya.
8

Dinamakan Tarwiyah karena mereka meminum air sampai kenyang dan mengisi bejana mereka untuk
bekal melanjutkan perjalanan mereka ke Arafah karena di Arafah tidak ada air.
9

9

Demikianlah, dapat kita lihat bahwa sejarah membuktikan praktek globalisasi dan
perdagangan bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari praktek
itulah, bangsa Arab yang menempati Semenanjung Arab bagian tengah pada masa praIslam membangun kesejahteraan bangsanya. Dan dari praktek itulah, kaum Quraisy
menjadi kaum yang ternama. Kaum Quraisy dihormati selain karena sebagai penjaga
Ka bah, juga karena kemampuannya menjaga stabilitas keamanan kota. Hal ini
menyebabkan para pedagang dari negara lain menyukai Mekkah sebagai kota
perdagangan.
Perdagangan memang identik sebagai ikon kaum Quraisy. Kaum Quraisy dikenal jeli
menangkap peluang pasar produk antar negara. Pada musim dingin, mereka pergi ke
Yaman dengan membeli produk berupa kain sutera, barang pecah-belah, rempah, dan
bahan kapur barus untuk kemudian dikirim ke Syiria pada musim panas. Demikian pula
sebaliknya, ketika musim panas, mereka mengambil barang dagangan gandum dan buahbuahan dari Syiria yang kemudian dijual pada musim dingin di Yaman. Kemampuan dan
kejelian menangkap pasar inilah yang menunjukkan kemampuan kaum Quraisy dalam
melakukan ekspor impor produk-produk lintas negara.
Suyanto (2008b) menjelaskan, produk-produk yang banyak diimpor bangsa Arab
sebelum Islam diantaranya adalah bahan makanan, minyak zaitun, padi-padian, anggur,
pakaian, dan senjata dari Syiria dan Irak. Dari Persia, banyak diimpor produk dari besi,
sutra, musk, abergris, dan perhiasan. Dari Yaman dan Oman, banyak diimpor kemenyan,
gaharu, ud, pakaian, myrrh, dan parfum. Sedangkan dari Etiopia, banak diimpor gading,
emas, dan budak. Sementara itu, produk-produk yang banyak dihasilkan bangsa Arab
untuk kemudian diekspor adalah produk-produk pertanian dan industri. Suyanto (2008b)
menceritakan, di bidang pertanian, yang banyak dihasilkan adalah padi-padian berupa
gandum, barley, sorghum, alfalfa. Lalu juga sayur-sayuran, pohon jeruk, dan buah-buahan
seperti anggur, zaitun, kurma, dan delima. Di bidang industri, banyak bermunculan
industri perhiasan, industri pandai besi, industri pembuatan dan penyamakan kulit,
industri tekstil dan tenun, serta industri parfum.
Tidak bisa dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi menjadi
alasan utama terjadinya perdagangan internasional. Pada masa pra-Islam, komoditi yang
diperdagangkan saat itu selain berbagai kebutuhan pokok, diantaranya juga adalah patungpatung berhala yang menjadi sesembahan bagi masyarakat jahiliah yang menganut paham
paganisme. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa hadirnya Islam yang
mengajak menyembah Allah SWT mengalami penolakan. Sebab, hal tersebut dipandang
sebagai ancaman bagi kelanggengan usaha mereka. Dalam konteks ini, pasar-pasar
memegang posisi kunci sebagai pusat perdagangan, pusat sastra, dan pusat kesalehan
spiritual.
2.2 Ekonomi Islam, New Intitutional Economics?10
Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka
di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi Islam merupakan
Dikutip dari artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance,
Durham University, UK, (saat ini menjadi Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan
dimuat di Harian Republika, 24 Januari 2009.
10

10

solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi Islam akan menjadi paradigma baru yang
menggantikan sistem ekonomi kapitalis. Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah
terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus
menjadi momentum kebangkitan ekonomi Islam. Fenomena ini jika dikaji dengan
pendekatan konsep new institutional economics (NIE), maka pandangan tersebut mendekati
kebenaran.
4 Elemen NIE
Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk
membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri dari empat
elemen.
Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan,
kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru,
maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.
Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan
pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di
tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dikaitkan dengan pengembangan ekonomi Islam
di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan Syariah pada April 2008 lalu
merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam ekonomi syariah. Hal ini kian
menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain seperti sistem peradilan untuk
perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan ekonomi/perbankan syariah,
legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak biru pengembangan perbankan
syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan syariah, dan lainnya.
Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok
masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah
berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan
pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan
bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu
bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya
yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka
jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.
Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi,
termasuk unsur-unsur penunjangnya seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar
keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap
pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu,
ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktifitas
pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing
financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun
demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu
keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.

11

Menuju Paradigma Ekonomi Baru
Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru
atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka pendekatan NIE menunjukkan
arah yang demikian.
Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung
meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk
membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based,
merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.
Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan
restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan
kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah.
Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang
berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan
cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan
keuangan syariah.
Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga
menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya
yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan
kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan
institusi perbankan dan keuangan syariah baru.
Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah terus menunjukkan
peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini
semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan
pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi
masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan
keuangan syariah di tanah air.
Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan
konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita
meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan
pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung,
tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa,
ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan
kebaikan dari sistem ini.
2.3 Merekonstruksi Politik Ekonomi
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut Ackerman (1998), ketimpangan
kesejahteraan sangat terkait dengan politik ekonomi (political economy). Jika disimak, politik
ekonomi mengacu pada interaksi antara aspek politik dan ekonomi, yaitu bagaimana
pengaruh aspek politik terhadap kebijakan ekonomi suatu negara. Secara sederhana, politik
ekonomi dapat diterjemahkan sebagai hubungan antara kekuasaan dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dimungkinkan memiliki sejumlah cara
untuk mempengaruhi secara langsung kegiatan ekonomi masyarakat.

12

Menghadapi komitmen perdagangan bebas atau pasar bebas sebagaimana yang
dimaknai dan digaungkan oleh kelompok masyarakat ekonomi mainstream, maka
dibutuhkan rekonstruksi politik ekonomi jika pelaku ekonomi Islam ingin
memenangkannya. Merunut berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia, hal ini ini tidak
jauh berbeda dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara Islam lainnya yang
notabene kebanyakan adalah negara berkembang atau bahkan negara miskin. Kompleksnya
persoalan ekonomi di negara muslim tercermin dari lemahnya bargaining power terhadap
produk nonmuslim yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai ekspor negara-negara muslim
terhadap negara muslim ataupun nonmuslim. Tingginya ketergantungan negara muslim
terhadap negara nonmuslim juga ditunjukkan dengan besarnya utang. Rendahnya
kepedulian pemerintah terhadap ekonomi rakyat kecil, terlihat dari besarnya ketimpangan
pendapatan di antara rakyat yang kaya dan miskin. Situasi ini tentu bukanlah praktek
sistem ekonomi Islam. Sebab, sistem ekonomi Islam pasti mengarahkan perbaikan
kehidupan negara di berbagai aspek kehidupan.
Besarnya kekuasaan pemerintahan negara muslim terkadang menjadikan potensi
ekonomi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat kurang bisa diolah dengan optimal.
Coba saja kita lihat negara-negara muslim di kawasan kaya mineral yang kerap
memanfaatkan kekayaannya bukan untuk mendukung terjadinya akselerasi ekonomi di
berbagai sektor ataupun melakukan distribusi pendapatan pada negara muslim yang
miskin, namun justru banyak digunakan untuk mempertinggi sektor konsumsi. Padahal,
negara-negara muslim di kawasan Afrika dan Asia yang memiliki banyak sumber daya
alam (SDA) yang belum mampu terolah secara optimal akibat minimnya modal dan
teknologi serta rendahnya kemampuan untuk melakukan inovasi di bidang pertanian,
perkebunan, kehutanan dan perikanan sehingga mempengaruhi rendahnya pemasukan
negara di sektor–sektor tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, rendahnya kemampuan negara muslim dalam mengelola
sumber daya ekonomi juga banyak disebabkan karakter pemerintahan yang kaku dan lebih
berorientasi pada bidang politik. Bidang politik lazim menjadi pijakan bagi negara muslim
untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di negara tersebut. Hal inilah yang menjadikan
rendahnya kemampuan rakyat dalam mengelola sumber ekonomi yang ada. Iklim
demokratisasi yang kurang mendukung ini akhirnya menimbulkan kerawanan ekonomi,
sosial, dan hukum. Sen (2001) berpendapat, persoalan kekurangan pangan, pendidikan, dan
kesehatan seharusnya tidak terdapat pada negara-negara yang memiliki SDA yang
melimpah. Hal ini terjadi karena tidak lain sistem pemerintahan yang kurang demokratis.
Kebanyakan fenomena yang terekam di negara muslim lebih menunjukkan kondisi
negara berkembang pada umumnya yang memiliki pengaruh politik lebih besar dibanding
pengaruh ekonomi. Engineer (2000) menyatakan, konsep keterbukaan dalam syariah
sebenarnya memfasilitasi realisasi pertumbuhan ekonomi tanpa menafikkan persoalan
politik. Namun kenyataan menunjukkan politik selalu mendominasi ekonomi.
Menurut Metwally (1995), prinsip dasar dalam kegiatan perdagangan yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW adalah menghindari price intervention. Perubahan harga harus
terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Pasar harus sarat moralitas dengan mengusung
persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy), dan
keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak
harga pasar.

13

Dengan demikian, perdagangan bebas atau pasar-bebas yang gencar diperjuangkan
oleh masyarakat ekonomi mainstream dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi
ancaman bagi Indonesia. Itu semua tergantung pada bagaimana pemerintah dan
masyarakat melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Merujuk pada
reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, maka
setidaknya beberapa hal mendasar yang perlu ditekankan kepada pemerintah adalah
sebagai berikut.
2.3.1 Kebijakan Fiskal
Nilai-nilai yang diusung Nabi Muhammad SAW dalam kebijakan fiskal meliputi
diantaranya: Pertama, distribusi kekayaan. Allah menciptakan kekayaan alam untuk
digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat yang diperoleh dari sumber dayasumber daya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau kelompok. Keuntungan finansial
yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya dapat menjadi sumber penerimaan negara.
Negara berkewajiban untuk mendistribusikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui keuntungan yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya tersebut. Dalam QS AlHasyr: 7 diterangkan,

‚pa saja harta rampasan fa i yang diberikan ‚llah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya ‚llah amat keras hukumannya .
Kedua, kejujuran dalam mengelola keuangan negara. Diriwayatkan dari Al Hasan
yang mengatakan: Ubaidilah bin Ziyad menjenguk Ma ql bin Yasar ‚l-Mazani ketika ia
sakit menjelang ajalnya. Ma qil mengatakan: Sesungguhnya aku ingin menyampaikan
kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah S‚W. Ya Rasulullah! Tolonglah
aku! Maka aku akan menjawab bahwa aku tidak mempunyai kekuasaan apapun untukmu,
karena aku telah menyampaikannya padamu. Seandainya aku masih mempunyai sisa
hidup, aku tidak akan menceritakan padamu. Aku mendengar Rasulullah bersabda: Tidak
seorang hamba pun yang ditakdirkan Allah memegang kekuasaan atas rakyat, yang meninggal pada
hari ia meninggal, sedangkan ia bertindak curang pada rakyatnya, kecuali Allah akan
mengharamkannya masuk surga.
Ketiga, rasionalitas penggunaan kekayaan negara. Diriwayatkan dari Abu Al-Walid
yang mengatakan: Aku mendengar Khulah binti Qais, istri Hamzah bin Abdul Muthalib,

14
mengatakan Aku mendengar Rasulullah bersabda: Harta ini sungguh hijau dan manis. Siapa
yang mendapatkannya dengan cara yang sah, ia mendapat keberkahan di dalamnya. Tapi banyak
orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dan Rasul-Nya dengan sesuka hati mereka. Orangorang ini tidak akan mendapat apapun pada hari kiamat selain api neraka. Dalam hal ini, peran
pemerintah sebagai pembeli besar menjadi dasar yang rasional dan konsisten bagi Nabi
Muhammad SAW untuk mengatur belanja negara. Belanja negara disesuaikan dengan
seberapa besar penerimaan yang diperoleh. Jika terjadi penurunan penerimaan, Nabi
Muhammad SAW melakukan realokasi sesuai dengan prioritas-prioritas yang ada dengan
mengurangi pengeluaran pada bidang-bidang tertentu. Ini dimaksudkan untuk menjaga
atau mengkompromikan pengeluaran agar tidak melampaui sumber daya-sumber daya
yang tersedia dan memperburuk ketidakseimbangan makroekonomi dan eksternal. Dalam
perspektif Islam, efektivitas dan efisiensi merupakan dasar dalam pengambilan keputusan
belanja pemerintah. Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta sesuai kaidah-kaidah
syariah dengan memperhatikan skala prioritas.
2.3.2 Kebijakan Moneter
Terdapat 3 hal yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW dalam bidang
moneterisasi. Pertama, larangan melakukan ihtinaz. Ihtinaz adalah kegiatan menimbun mata
uang dan berbagai bentuk harta kekayaan lainnya seperti emas dan perak. Ada juga yang
menyebut kegiatan ini dengan kanz. Dampak dari kegiatan ini adalah berkurangnya
persediaan uang di pasar sehingga permintaan uang akan meningkat karena perputaran
uang menurun. Dengan adanya larangan ini diharapkan nilai uang lebih stabil dan daya
beli masyarakat dapat dipertahankan.
Kedua, melarang segala bentuk riba. Secara bertahap, Nabi Muhammad SAW
menghapus riba dari kegiatan ekonomi. Bagi pemilik modal, tidak ada jalan lain lagi untuk
memperoleh keuntungan selain melalui kerjasama. Larangan ini menimbulkan begitu
banyak perubahan. Ditambah lagi dengan adanya sejumlah kebijakan nonmoneter yang
ditetapkan Nabi Muhammad SAW menyebabkan motivasi yang semakin besar untuk
meningkatkan partisipasi dalam bekerja sama. Perubahan ini secara keseluruhan
meningkatkan permintaan akan investasi dan menciptakan koordinasi dan keseimbangan
antara perputaran uang dan produksi barang.
Ketiga, larangan melakukan transaksi kali bi kali. Yaitu, transaksi tidak tunai yang
tidak mensyaratkan adanya barang atau pertukaran uang dan barang selang beberapa
waktu setelah kontrak ditandatangani. Kegiatan ini dilarang karena dapat menimbulkan
tindak spekulasi. Larangan ini dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan
penggunaan dana untuk hal-hal selain produksi barang dan jasa.
3. KESIMPULAN
Globalisasi sejatinya bukan dimaknai dengan terbukanya pasar tanpa batas sehingga
seluruh komoditi ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi seharusnya dipahami sebagai
kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling
menguntungkan. Jika terdapat praktek transaksi ekonomi yang merugikan, salah satu pihak
seyogyanya diberi kebebasan untuk melindungi kepentingan domestiknya.
Untuk bisa melindungi kepentingan domestik, pembangunan ekonomi Indonesia
hendaknya melakukan pemihakan. Untuk itulah dibutuhkan rekonstruksi politik ekonomi

15

(political economy). Terlebih dalam perspektif ekonomi Islam, maka kebijakan ekonomi
mainstream perlu disikapi dengan kehati-hatian karena terdapat perbedaan mendasar secara
filosofi dalam memaknai globalisasi, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Untuk itu,
komitmen perdagangan bebas yang dilakukan pemerintah Indonesia seharusnya
mengusung pula reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang sejalan dengan nilai-nilai
Islam.
Ke depan, pembangunan perekonomian rakyat mempunyai peran sebagai sebuah
strategi pembangunan. Membangun fundamental ekonomi dalam negeri adalah sebuah
keharusan. Hanya dengan demikian, perekonomian Indonesia lebih mampu mandiri, tidak
rapuh, dan tidak tergantung pada perekonomian luar negeri. Dengan dasar pemihakan dan
peran strategi tersebut, arah kebijakan ekonomi nasional harus ditujukan kepada sektorsektor yang sarat dengan kepentingan rakyat, terkait dengan potensi dan kapasitas rakyat,
serta sesuai dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan SDA nasional. Sektor
yang menjadi pilihan strategis hendaknya dipilih yang berbasis SDM dan SDA dalam negeri
(domestic resource-based), bertitik sentral pada rakyat (people-centered), dan mengutamakan
kepentingan rakyat (putting people first). Hal ini secara prinsip sejalan pula dengan nilai-nilai
yang diusung oleh ekonomi konstutisi maupun ekonomi Islam.

==============================

Daftar Pustaka
Ackerman, Frank, et al., 1998. The Political Economy of Inequality. Washington DC:
Island Press.
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008a. Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhammad.
Cetakan 1. Jakarta: Almahira. November.
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008b. Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul. Terjemahan
dari Athlas Târîkh al-‚nbiyâ wa ar-Rusul. Cetakan 1. Jakarta: Almahira. Desember.
Chapra, M. Umer, 2000. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic
Economics Series: 21. United Kingdom: The Islamic Foundation.
Engineer, Asghar Ali, 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
George, Susan, 2006. Republik Pasar Bebas: Menjual kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil
Society kepada Kapitalisme Global. Jakarta: INFID.
Hurrel, Andrew & Ngaire Woods, 1999. Inequality, Globalization, and World Politics.
New York: Oxford University Press.
Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2009. New Istitutonal Economics?. Harian Republika,
24 Januari.
Metwally, MM., 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT Bangkit Daya Insana.
Musari, Khairunnisa, 2008. Akhir Laissez-Faire Keempat?. Harian Seputar Indonesia, 11
April.

16

Musari, Khairunnisa, 2009. Globalisasi untuk Nasionalisme. Harian Surabaya Post, 24
April.
Musari, Khairunnisa,