PENERAPAN PASAL 112 DAN PASAL 127 DALAM

PENERAPAN PASAL 112 DAN PASAL 127 DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35
TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Diajukan untuk memenuhi penilaian mata kuliah Politik Hukum
Dosen:
Aminoto S.H., M. Si.

Disusun Oleh :
Clinton Abraham Napitupulu
No. Mhs : 16/407419/ PHK/09652

Program Magister Hukum
Universitas Gajah Mada
Jakarta
2017

0

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk

memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan
suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut.
Dalam

dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di

bidang pengobatan

atau pelayanan kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika
apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat
menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat
menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan
sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan


obat

tersebut

secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah
sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena
Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi,
arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan
dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan
masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan
yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian bermacam-macam
jenis narkotika secara illegal. Kekhawatiran ini semakin dipertajam dengan
maraknya peredaran gelap narkotika yang telah ‘meracuni’ semua lapisan
masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan Negara masa mendatang.
Bahaya penyalahgunaan narkotika tidak hanya terbatas pada diri
pecandu, melainkan dapat membawa kepada akibat yang lebih jauh, yaitu

1

kepada tatanan kehidupan bermasyarakat yang dapat berdampak buruk bagi
bangsa dan dunia. Peredaran narkotika yang terjadi di Indonesia sangat
bertentangan

dengan

tujuan

pembangunan

nasional

Indonesia

untuk

mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat

Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus
usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk
ketersediaan narkotika sebagai obat., disamping untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan
menggunakan

modus

operandi

yang

modern

dan

teknologi

canggih.


Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman
yang sangat serius bagi kehidupan manusia.
Perkembangan kejahatan narkotika yang begitu cepat mendorong
legislatif untuk membuat undang-undang guna memberikan rasa keamanan bagi
rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
menjadi ‘senjata’ Negara yang diharapkan dapat memberantas tindak pidana
narkotika di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatur
seluruh tindak pidana narkotika di Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika juga diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para
pengedar ataupun pecandu narkotika. Namun dalam Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika mengkategorikan tindak pidana narkotika di
Indonesia ke dalam kategori pengedar, pembawa, dan pecandu.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
pada hakekatnya merupakan reformasi hukum. Aspek-aspek yang direformasi
dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang dimaksud
adalah:
1. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika dengan
ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan I yang terberat

disusul dengan golongan II dan III,
2. Ketentuan pemberatan selain didasarkan penggolongan, juga
kenyataan

bahwa

dalam

penyalahgunaan

narkotika

banyak
2

dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi), maka
bila penyalahgunaan dilakukan oleh beberapa orang dengan
konspirasi maka hukumannya di perberat,
3. Penanggulangan
dan pemberantasan dilakukan bila pelaku

penyalahgunaan narkotika terorganisasi. Ini menunjukkan bahwa
penyalahgunaan

narkotika

telah

ada

sindikat-sindikat

yang

terorganisasi rapi dalam operasionalnya,
4. Demikian pula apabila penyalahgunaan tersebut dilakukan oleh
pecandu, pembawa, ataupun pengedar hukumannya berbeda.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia dalam lima
tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun 2002
pengguna narkotika di Indonesia baru sebanyak 2,2 juta orang. Empat tahun
kemudian yakni tahun 2006 pengguna narkotika meningkat 2 kali lipat menjadi 4

juta.1
Perkembangan tingkat tindak pidana penyalahgunaan narkotika sudah
sangat memprihatinkan. Jaman dahulu, peredaran narkotika hanya berkisar di
wilayah perkotaan, kini tidak ada lagi desa ataupun kecamatan yang bebas dari
penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Bahkan pesantrenpun tidak lepas dari
sasaran. Kini penyebaran narkotika telah merambah ke segala penjuru strata
sosial ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga
konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga orang
tua.2
Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum)
pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat (social defence). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan
sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social
politic” mencakup di dalamnya “social welfare politic” dan “social defence
politic”.3
1

F.Agsya, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri,
Jakarta, hal 6.

2
Ibid, hal 61.
3
M. Hamdan. Politik Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa Persada, 1997) hal. 24

3

Upaya penanggulangan tersebut secara garis besar dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu penal dan non penal. Dalam hal menggunakan sarana
penal, tidak lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,
baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan pidana
yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan
tertentu.

Tujuan

tersebut

dalam


jangka

pendek

adalah

resosialisasi

(memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah
untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan
akhir untuk mencapai kesejahteraan sosial.4
Namun faktanya, tidak mungkin ada pecandu ataupun penyalahguna
narkotika menggunakan narkotika tanpa memiliki narkotika tersebut. Tapi pada
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mempunyai Pasal
yang mengatur mengenai pemilik atau pembawa narkotika dan juga mengatur
mengenai penyalahguna narkotika. 5 Hal ini membuat para penegak hukum
bingung dalam menerapkan Pasal dan juga hal ini dapat menjadi ‘kesempatan’
bagi penegak hukum karena adanya multitafsir dan ketidakpastian unsur di
dalam Pasal tersebut.
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
ditemukan beberapa masalah yang akan diteliti, yaitu :
1. Bagaimanakah penerapan Pasal 112 dan Pasal 127 dalam UndangUndang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam tindak
pidana narkotika ?
2. Apa saja yang menjadi hambatan para penegak hukum dalam
penanggulangan tindak pidana narkotika ?

4
5

Ibid
Pasal 112 & Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penerapan Pasal 112 dan 127 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika dalam tindak pidana narkotika
Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan generasi
muda, oleh sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas.

5

Marjono

Reksodiputro

merumuskan

penanggulangan

sebagai

untuk

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan usaha-usaha yang
dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika, serta konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika..
Ideal hukum menurut Donald Black adalah kaidah hukum yang
dirumuskan

dalam

Undang-Undang

atau

keputusan

hakim.

Dengan

memperhatikan Principle of Effectiveness, realitas hukum artinya orang
seharusnya bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau
dengan kata lain realitas hukum adalah hukum dalam tindakan. 6
Hukum sangat tergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan
yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan manusia dari masa ke
masa. Dengan demikian hukum itu selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang ditentukan oleh pergaulan hidup manusia.
Salah satu tokoh dalam aliran sejarah Friedrich Carl Von Savigny, antara lain
mengatakan : “Das Recht Nicht Gemact, est ist and wird mit dem volke” yang
artinya, hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.7
Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
tidak bisa lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan
perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan.
Disisi lain, perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat
khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana
narkotika. Kebijakan yang diambil dalam menanggulangi narkotika bertujuan
untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari bahaya penyalahgunaan narkotika.
6

Amirudding dan Zainal Asikin, 2004 Pengantar Metode Penelitian Hukum PT. Raja Grafindo
Persada Jakarta, hal 137
7
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001.Dasar –dasar Filsafat dan Teori Hukum Citra Aditnya Bakti
Bandung, hal. 65

6

Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai
berikut:
a. Penyalahgunaan/melebihi dosis;
b. Pengedaran narkotika;
c. Jual beli narkotika;
Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat tindak
pidana kejahatan dan pelanggaran adalah merupakan ciri perbedaan hukum
pidana dengan jenis hukum yang lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai
alat pemaksa agar seseorang mentaati norma – norma yang berlaku, dimana
tiap – tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang
diharapkan adalah upaya pembinaan.
Di dalam rancangan KUHP tahun 1982, yang disusun oleh Tim
Pengkajian Bidang Hukum Pidana dapat dijumpai tujuan pembinaan:
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan,
sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
4. Untuk membebaskan rasa bersalah dari terpidana. 8
Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur
mengenai jenis-jenis pidana atau hukuman:
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Sanksi terhadap tindak pidana narkotika yang disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas kejahatan
8

Aruan Sakidjo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, penerbit Ghali a
Indonesia. 1988. hal 70.

7

seperti yang ada dalam Pasal 112 dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang narkotika.
Di dalam pasal-pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal 10
KUHP, dan itu diatur pula secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika, termasuk didalamnya mengenai hukuman Pidana mati
yang dinyatakan secara tegas dalam PAsal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Untuk membahas mengenai penerapan Pasal dalam Undang-Undang
Narkotika, terlebih dahulu peneliti mencoba menguraikan secara teoritis tentang
teori kausalitas tindak pidana.
Teori kausalitas ini dimaksudkan untuk mencari :
1. Sebab akibat perbuatan pidana;
2. Menentukan pertanggungjawaban pelaku.
Dalam menganalisa sebab akibat dari suatu ti ndak pidana, maka
disini dapat dikemukakan beberapa pendekatan melalui teori sebab-akibat.
A.

Von Buri dengan teori Conditio sine Quanon, bahwa tiap-tiap

perbuatan merupakan sebab yang menimbulkan akibat, dan semua
sebab yang ada mempunyai nilai yang sama.Dengan dasar penilaian
yang sama, teori ini lazim disebut dengant eori Equivalentie.
B.

Van Hamel dengan teori kausalitas absolut yang mendasarkan diri

pada unsur kesalahan (schuld).
C.

Traeger mengajukan teori berikut ini :

1.

Teori Individualisasi, menentukan sebab dengan keadaan nyata, in

concreto. Dengan kata lain,harus dicari suatu perbuatan yang dapat
dijadikan sebab.
2.

Teori Generalisasi, yaitu menentukan sebab dari akibat yang timbul

dengan mencari ukuran dengan perhitungan yang layak.
D.

Von Kries dengan teori Adequat, bahwa

perbuatan yang harus

dianggap sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang
seimbang dengan akibat9
9

Chaerudin, Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Assyafi’iyah, 1996, hal 1

8

Berangkat dari teori-teori diatas, dimaksudkan agar penegak hukum
lebih mudah dalam menyingkap sebuah kasus tindak pidana kejahatan, dalam
hal ini kejahatan narkotika guna mengetahui bahaya dan akibat serta mencari
faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam
Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat 1 huruf a berbunyi:
Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan,menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan
tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah)”
Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
“setiap penyalahguna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun)”
Dalam Pasal tersebut memang masing-masing mempunyai unsur yang
berbeda. Tetapi tidak mungkin seseorang menyalahgunakan narkotika tanpa
menguasai narkotika tersebut. Hal ini tentu kerap menjadi perdebatan antara
penegak hukum dan juga akademisi tentang bagaiman seharusnya unsur-unsur
dalam Pasal tersebut diubah agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Sehingga solusi yang paling tepat untuk memperbaiki multi tafsir
tersebut adalah seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat, yang dalam hal ini
Komisi III harus merubah unsur-unsur yang ada di dalam Pasal tersebut agar
tidak menimbulkan multi tafsir dan memudahkan penegak hukum dalam
menerapkan Pasal tersebut.
B. Upaya Penanggulangan Dalam Tindak Pidana Narkotika
Kebijakan penanggulangan tindak pidana narkotika tidak bisa lepas dari
tujuan Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
9

Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian
pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain,
perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya
yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana narkotika.
Kebijakan yang diambil dalam menanggulangi narkotika bertujuan untuk
melindungi masyarakat itu sendiri dari bahaya penyalahgunaan narkotika.
Upaya penanggulangan tindak pidana atau yang biasa dikenal dengan
‘politik kriminal’ dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas yakni penerapan
hukum pidana, pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kesejahteraan dan kepidanaan lewat media masa. Dalam
hal tersebut dapat dipahami upaya untuk mencapai kesejahteraan melalui aspek
penanggulangan secara garis besarnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu :
lewat jalur ‘penal’ (hukum pidana) dan lewat jalur ‘non penal’ (bukan / di luar
hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur ‘penal’ lebih
menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejadian terjadi. Sedangkan jalur
‘non penal’ lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi.
Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada
hakikatnya Undang-Undang dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti
luas.10
Penyalahgunaan narkotika merupakan permasalahan yang cukup rumit
dilihat dari faktor penyebab maupun akibatnya. Termasuk faktor fisik dan
kejiwaan pelaku serta faktor lingkungan mikro maupun mikro. Akibatnya pun
sangat rumit dan luas, tidak hanya terhadap pelakunya tetapi juga menimbulkan
beban psikologis, sosial, dan ekonomis, bagi orang tua dan keluarganya serta
menimbulkan dampak yang merugikan terhadap berbagai aspek kehidupan
masyarakat, bangsa dan umat manusia.
Pencegahan adalah upaya untuk membantu individu menghindari
memulai atau mencoba menyalahgunakan narkotika dan psikotropika dengan
menjalani cara dan gaya hidup sehat, serta mengubah kondisi kehidupan yang
membuat individu mudah terjangkit penyalahgunaan narkotika.
Kebijakan non penal dalam menanggulangi dan memberantas tindak
pidana narkotika juga perlu dilakukan terhadap anak. Hal ini didasarkan pada
10

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 118.

10

pemikiran bahwa anak seringkali dijadikan sebagai target bagi jaringan narkotika
untuk menggunakan atau mengedarkan narkotika, apalagi dengan jiwa muda
mereka yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Terkait dengan kebijakan
non penal ini ada beberapa alternative untuk menangani masalah anak yakni:
a. Merumuskan program aksi nasional untuk perlindungan anak dan
penegakan hak-hak anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga
konsern lainnya.
b. Melakukan kampanye nasional perlindungan anak sebagai upaya
membangkitkan penyadaran masyarakat terhadap masalah yang
melanda anak anak.
c. Membentuk lembaga khusus yang bekerja untuk memberikan
perlindungan anak-anak.
d. Melakukan kajian dan pengembangan masalah anak, hukum anak
dan perangkat pendukung penegakan hak-hak anak.\
e. Melakukan pengembangan sumber daya manusia dan penguatan
lembaga khususnya lembaga swadaya masyarakat yang konsern
dengan masalah anak dan hak hak anak.
f. Membangun jaringan kerja nasional dan internasional dengan
lembaga dan organisasi yang menangani masalah anak-anak. 11
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah
sosial sekaligus menjadi masalah hukum dalam masyarakat. Penanggulangan
terhadap penyalahgunaan narkotika dilakukan melalui kebijakan yang terarah.
Carl Friedrich merinci yang menjadi pokok dalam suatu kebijakan yaitu adanya
tujuan, sasaran, dan kehendak.12
Masalah kebijakan pidana merupakan salah satu bidang yang
seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai
studi yang bertujuan mencari dan menentukan faktor –faktor yang membawa
timbulnya kejahatan – kejahatan dan penjahat.
Kebijakan penal selain mengatur mengenai perbuatan yang tergolong
tindak pidana juga mengatur mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
11

Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan anak dalam
Perspektif Kovensi Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4-5.
12
Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, hal. 20-21.

11

pelaku. Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara,
pidana penjara seumur hidup, kurungan dan denda. Apabila pelaku adalah
korporasi, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.
Kebijakan penal dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak
pidana narkotika dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum melalui
penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Penegakan hukum pada
hakikatnya adalah penegakan norma-norma hukum, baik yang berfungsi suruhan
atau berfungsi lain seperti memberi kuasa, membolehkan, menyimpangi. 13
Kebijakan penal dalam penanggulangan dan pemberantasan narkotika dimulai
dengan penegakan hukum oleh instansi kepolisian.
Penggunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan
apabila penggunanya tidak dibawah pengawasan dan petunjuk tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak
saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi,
dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan
bangsa dan Negara. Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya tindak
pidana

narkotika,

sedangkan

peredaran

gelap

dimaksud

disini

adalah

merupakan peredaran narkotika, sedangkan peredaran gelap dimaksud disini
adalah merupakan peredaran narkotika di Indonesia tanpa didukung oleh
dokumen-dokumen serta persyaratan sebagaimana ditentukan oleh UndangUndang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hukum bisa
dikatakan sebagai pro of conduct men behavior in a society serta merupakan the
normative of the the state and its citizen sebagai sebuah sistem hukum dapat
berfungsi seebagai control social (as a tool of social control), sebagai sarana
penyelesaian

konflik

dan

untuk

memperbaharui

masyarakat.

Friedman

menyatakan bahwa legal systems are of course not static.14 Sistem hukum selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
13

A. Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 42.
14
Lawrence Friedmann, 1975,The Legal System A Social Science Persperctive, Russel Sage
Foundations, New York, hal. 269.

12

Usaha penanggulangan tindak pidana narkotika secara represif, juga
merupakan usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana yang pada
hakikatnya merupakan bagian dari usaha pencegahan hukum oleh karena itu
sering pula dikatakan, bahwa politik dan kebijakan hukum pidana juga yang
merupakan bagian dari penegakan hukum.
Marc ancel sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, dikemukakan
kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat Undang-Undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan.15 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat
dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto
‘politik hukum’ adalah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan dan situasi pada suatu saat. 16
2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan

peraturan-peraturan

yang

dikehendaki

yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang di citacitakan.17
Dilihat sebagai bagian politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik. Kebijakan atau politik hukum
pidana erat kaitannya dengan kebijakan kriminal, menurut Salman Luthan
sebagaimana dikutip Soedjono Dirdjosisworo “kebijakan kriminalisasi dalam
reformasi hukum pidana". Beliau mengemukakan bahwa kebijakan kriminal
dalam reformasi hukum pidana meliputi dua bersalah, yaitu pidana, dan apakah
kriteria yang digunakan dalam melakukan kriminalisasi. 18
15

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 21.
16
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 20.
17
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hal. 20.
18
Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkoba dan Peradilan di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana
Melalui Perundang-undangan dan peradilan, Jakarta, hal. 22.

13

Ketentuan rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
Tentang

Narkotika

menyebutkan,

“Pecandu

narkotika

wajib

menjalani

pengobatan dan / atau perawatan”. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami,
Undang-Undang Tersebut mengatur rehabilitasi di samping kebijakan penal
berupa penghukuman terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Barda
Nawawi Arief mengatakan bahwa berkaitan dengan pendekatan humanistic,
patut kiranya dikemukakan konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence
menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang
bersifat pribadi. Hal ini dianggap perlu dikemukakan karena istilah perlindungan
masyarakat atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan
resosialisasi sudah sering digunakan di Indonesia. 19

19

Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 38.

14

BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisa terhadap masalah hukum yang telah
ditetapkan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Aparat hukum belum paham secara menyeluruh dan tuntas
mengenai penerapan Pasal Pidana beserta unsur-unsurnya dalam
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
2. Pemerintah dan aparat penegak hukum lebih terfokus dalam
penegakan serta kebijakan hukum pidana sehingga kurang terfokus
kepada langkah-langkah preventif dalam penanggulangan tindak
pidana narkotika.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas peneliti mengajukan beberapa saran,
yaitu:
1. Aparat penegak hukum seharusnya diberikan pendidikan secara
mendalam mengenai cara penerapan Pasal dalam Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengenai unsur-unsur yang
ada dalam kebijakan penal dalam Undang-Undang Narkotika
tersebut serta Komisi III DPR juga seharusnya melakukan revisi
terhadap Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
mengenai penguasaan narkotika tersebut.
2. Pemerintah dan aparat penegak hukum seharusnya melakukan
sosialisasi secara rutin kepada masyarakat mengenai dampak dan
15

bahayanya narkotika sehingga masyarakat menjadi lebih teredukasi
untuk bersama-sama dengan Pemerintah serta penegak hukum
dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika

16