MENYOAL REGULASI PENYIARAN DIGITAL Studi

MENYOAL REGULASI PENYIARAN DIGITAL
(Studi terhadap Kepentingan Publik dalam
Regulasi Televisi Digital di Indonesia)
Vinna Waty Sutanto dan Salim Alatas
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Surya
Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRACT
This paper begins with the issue of regulations issued by the government in this case the
Ministry of Communications and Information Technology (Kemenkominfo) with respect to the
plan digitization of broadcasting in Indonesia, through government regulation attempting to
begin the digitization of broadcasting in Indonesia. Indonesia has begun making plans to do the
conversion from analogue to digital broadcasting. This planning started at the beginning of
2009 until the end of 2018. Earlier in 2008 the government has conducted a series of tests
which is the result of cooperation between the government and the Indonesian Consortium for
Digital Television (KTDI) whose members consist of national private Television in Indonesia.
The question posed in this study are: first, what the underlying motives and the context of the
publication of the regulations concerning Digital television in Indonesia ?. Second, whether the
regulation is more representative of the public interest (public-interest), or on the contrary, the
interests of the state and the market take precedence in the regulation ?. By using a qualitative
approach, this study wants to provide a description or picture of the phenomenon of the

digitization of broadcasting in Indonesia from the perspective of the public interest (public
interest). By doing literature searches (library research), this study specifically also want to
describe the history and development of the regulations in Indonesia, including interests that
underlie the publication of these regulations.
This study shows that government tend to favor the interest of capital in determining
multiplexing. Then, this regulation still does not reflect the government’s efforts to put the
public interest above the market.
Keywords : regulation of broadcasting, digital television, the public interest

ABSTRAK
Tulisan ini berawal dari persoalan regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah dalam hal ini
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berkenaan dengan rencana
digitalisasi penyiaran di Indonesia, melalui regulasi ini pemerintah berupaya untuk memulai
digitalisasi penyiaran di Indonesia. Indonesia telah mulai menyusun rencana untuk melakukan
konversi dari penyiaran analog ke digital. Penyusunan rencana ini dimulai sejak awal tahun
2009 sampai dengan akhir tahun 2018. Sebelumnya pada tahun 2008 pemerintah telah
melakukan serangkaian kegiatan uji coba yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah
dengan Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) yang anggotanya terdiri dari televise
swasta nasional yang ada di Indonesia. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
pertama, bagaimanakah motif dan konteks yang melandasi terbitnya regulasi mengenai televisi

Digital di Indonesia?. Kedua, apakah regulasi tersebut lebih mencerminkan kepentingan publik
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

237

(public-interest). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini ingin memberikan
deskripsi atau gambaran tentang fenomena digitalisasi penyiaran di Indonesia dari perspektif
kepentingan publik (public interest). Dengan melakukan penelusuran kepustakaan (library
research), penelitian ini secara spesifik juga ingin mendeskripsikan sejarah dan perkembangan
regulasi di Indonesia, termasuk kepentingan-kepentingan yang melandasi terbitnya regulasi
tersebut.
Kajian ini menunjukkan bahwa pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan kapital
dalam menentukan pengelola multipleksing. Kemudian, dari segi kepentingan publik (public
interest), regulasi ini juga masih belum mencerminkan upaya pemerintah untuk menempatkan
kepentingan publik jauh diatas kepentingan pasar.
Kata kunci : regulasi penyiaran, tv digital, kepentingan publik.

PENDAHULUAN
Kita hidup di tengah-tengah
transisi ke era teknologi digital, dalam

konteks ini dapat dikatakan bahwa
penerapan televisi digital 1 adalah
sebuah keniscayaan. Bagi sebagian
kalangan, perubahan dari analog ke
digital
dalam
industri
televisi
merupakan
sebuah
solusi
dari
keterbatasan spektrum yang ditawarkan
televisi analog. Hal ini dikarenakan
televisi Digital bersifat multicasting
dimana sejumlah sinyal televisi dikirim
dalam satu kanal. Disamping itu,
televisi digital akan memberikan
gambar dan suara yang lebih tajam,
serta kemampuan untuk menyimpan,

memanipulasi dan mendistribusikan
konten yang lebih mudah jika
dibandingkan dengan televisi analog.
Begitu pentingnya transformasi
dari penyiaran analog ke digital,
sebagian
kalangan
menyebutnya
sebagai “digital quantum leap in
television technolog (Given, 2007 :
278). Hernan Galperin (2004 : 3)
bahkan
menyebutkan
bahwa

transformasi dari analog ke digital
dalam penyiaran digembar-gemborkan
sebagai inovasi paling penting dalam
sejarah industri televisi. Karena televisi
digital, dalam pandangan Galperin,

melibatkan rekonfigurasi sektor yang,
di luar kepentingan ekonomi, adalah
pusat mekanisme politik demokratis
dan evolusi budaya populer. Hal ini
terjadi karena perubahan dari analog ke
digital membutuhkan upaya yang
cukup besar dan menyuluruh, dan
dengan demikian, akan memiliki
dampak yang sangat signifikan
terhadap industri televisi; bukan hanya
persoalan regulasi yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk menjaga aturan main
agar kepentingan publik tetap terjaga,
namun juga retooling, yaitu pihak
industri televisi harus memperbarui dan
mengganti seluruh peralatan analog
menjadi digital, mulai dari infrastruktur
produksi video dan distribusi, kamera
studio hingga menara transmisi, belum
lagi perubahan dampak sosial-budaya

yang mungkin muncul berkaitan
dengan berubahnya seluruh infrastrutur
penyiaran analog ke digital.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

238

Sementara itu dari sisi industri,
kita akan melihat begitu banyak
perubahan bisnis industri televisi
sebagai akibat dari dampak konversi
analog ke digital. Perusahaan pengelola
stasiun tv berbasis digital misalkan akan
mengembangkan model bisnis baru
berkaitan dengan penerapan tv digital,
misalkan, sebagaimana Weber dan
Evans,
broadcasters
dapat

mengembangkan layanan baru dalam
aliansi dengan media telekomunikasi
lainnya, seperti telepon nirkabel. Hal ini
dapat dimungkinkan dengan munculnya
kode digital, dan dengan demikian,
menempatkan bahasa yang sama untuk
semua media elektronik. Dengan
demikian, dalam pandangan Weber dan
Evans, pengenalan televisi digital
menimbulkan isu-isu penting mengenai
hubungan antara publik dan industri
televisi (2002 : 437).
Namun
demikian,
yang
seharusnya lebih dipahami adalah
televisi digital merupakan hasil dari
proses panjang inovasi teknologi dan
restrukturisasi industri yang dimulai
sejak pertengahan 1960-an, ketika

penyiaran pertama mulai bereksperimen
dengan cara-cara untuk meningkatkan
kualitas gambar yang ditawarkan oleh
televisi analog (Galperin, 2004 : 21).
Sampai
setidaknya
tahun
2013
sedikitnya
10
negara
telah
menyelesaikan siaran melalaui digital
terrestrial television (DTTV). Sebagian
besarnya adalah negara-negara di Eropa,
Jepang, dan Amerika Serikat, yang telah
menyelesaikan proses mematikan siaran
(turning
off)
analog

terestrial.

Sementara itu, banyak negara yang
memiliki rencana untuk melakukannya
atau sedang dalam proses konversi
menuju digital, misalnya, Australia dan
Afrika Selatan memiliki rencana untuk
beralih setelah tahun 2013, India tahun
2014, Hong Kong dan Filipina pada
tahun 2015. Sesungguhnya kita
menyaksikan
bahwa
gelombang
digitalisasi penyiaran masih terus
berlanjut, termasuk di Indonensia.
Berkaitan dengan digitalisasi
penyiaran, Indonesia telah mulai
menyusun rencana untuk melakukan
konversi dari penyiaran analog ke
digital. Penyusunan rencana ini dimulai

sejak awal tahun 2009 sampai dengan
akhir tahun 2018. Sebelumnya pada
tahun
2008
pemerintah
telah
melakukan serangkaian kegiatan uji
coba yang merupakan hasil kerjasama
antara pemerintah dengan Konsorsium
televisi Digital Indonesia (KTDI) yang
anggotanya terdiri dari televisi swasta
nasional yang ada di Indonesia.
Artikel
ini
berawal
dari
persoalan regulasi yang diterbitkan
oleh pemerintah dalam hal ini
Kementrian
Komunikasi

dan
Informatika
(Kemenkominfo)
berkenaan dengan rencana digitalisasi
penyiaran di Indonesia, melalui
regulasi ini pemerintah berupaya untuk
memulai digitalisasi penyiaran di
Indonesia. Pertanyaan yang diajukan
dalam penelitian ini adalah : pertama,
bagaimanakah motif dan konteks yang
melandasi terbitnya regulasi mengenai
TV Digital di Indonesia?. Kedua,
apakah
regulasi
tersebut
lebih

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

239

mencerminkan kepentingan publik
(public-interest),
atau
malah
sebaliknya, kepentingan negara dan
pasar lebih diutamakan dalam regulasi
tersebut?.
KERANGKA PEMIKIRAN
Teori Regulasi
Penelitian mengenai regulasi
biasanya berpijak pada pendekatan dan
teori regulasi. Dalam penelitian ini teori
regulasi
didefinisikan
sebagai
“seperangkat proposisi atau hipotesis
tentang
alasan
yang
mendasari
munculnya sebuah peraturan, yang
mana para aktor berkontribusi terhadap
kemunculan dan pola interaksi yang
khas diantara aktor yang terlibat dalam
regulasi” (Morgan dan Yeung, 2007 :
16). Untuk menjawab pertanyaan
‘mengapa
munculnya
sebuah
peraturan’,
penelitian
ini
akan
memberikan rentang jawaban yang
lebih luas dari sekadar persoalan
hukum. Karena persoalan regulasi, juga
berkaitan secara luas dengan persoalanpersoalan
politik,
ekonomi
dan
sosiologi.
Guna
memahami
literatur
akademis mengenai topik ini, akan
sangat membantu untuk mengingat dua
ide inti, sebagaimana ditulis oleh
Morgan dan Yeung, yang membantu
untuk membedakan fokus teori regulasi.
Pertama,
beberapa
teori
mengasumsikan garis pemisah yang
relatif jelas antara aktor dan lembaga
publik dan swasta, sementara yang lain
melihat batas yang kabur diantara
keduanya, baik dalam teori maupun

praktek. Kedua, beberapa teori berfokus
terutama pada tujuan yang ditetapkan
secara ekonomi, faktor dan pengaruh,
sementara yang lain melengkapi fokus
ini dengan memperhatikan secara lebih
luas faktor. Pengaruh dan tujuan politik.
Teori regulasi dapat dibagi ke
dalam tiga kategori utama: publicinterest
theories,
private-interest
theories and institutionalist theories
(Morgan dan Yeung, 2007:16). Ketiga
kategori tersebut memiliki kesamaan
perhatian untuk mengungkap proses
yang ada dibalik penerapan peraturan
tertentu. Regulasi dipahami pada
dasarnya sebagai intervensi negara ke
dalam perekonomian dengan membuat
dan menerapkan aturan-aturan hukum,
dengan demikian, teori regulasi dapat
dilihat sebagai penjelasan tentang
bagaimana dan mengapa terjadinya
standar legislasi tersebut.
Sementara
itu,
saat
ini
perdebatan yang sedang berlangsung
dalam penelitian mengenai regulasi
media, saat ini terfokus pada teori-teori
yang terpolarisasi ke dalam dua kutub,
yaitu teori kepentingan publik (publicinterest) berhadapan dengan teori
kepentingan swasta (private-interest).
Para akademisi yang menggeluti
penelitian mengenai regulasi dan
kebijakan publik, menyebutkan bahwa
selama dua dekade penelitian soal
regulasi dan kebijakan publik selalu
terfokus pada dua hal (Ginosar, 2014 :
301–317).
Pertama, perdebatan mengenai
asal-usul dan konsekuensi dari sebuah
regulasi. Kedua pendekatan ini, teori

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

240

public-interest mendefinisikan asal-usul
serta konsekuensi dari sebuah regulasi
dengan perspektif yang berbeda dengan
teori private-interest. Dalam konteks
ini, sebagaimana di katakan oleh
Avshalon Ginosar (2014 : 302 ), bahwa
kepentingan bisnis, birokrasi, dan
kelompok-kelompok
terorganisir
menentukan – baik bentuk dan isi – dari
sebuah regulasi serta konsekuensinya.
Kedua,
berkaitan
dengan
regulasi
sebagai
sebuah
proses
kebijakan serta sejauh mana teori-teori
yang berpusat kebijakan publik yang
paling baik yang dapat menjelaskan
asal-usul dan konsekuensi dari sebuah
regulasi. Dalam konteks ini kita dapat
melihat bahwa teori kepentingan publik
(public-interest) dan teori kepentingan
swasta (private-interest), melihat secara
berbeda faktor utama dalam upaya
untuk menyelidiki dan memahami
proses regulasi.
Regulasi akan digunakan oleh
para aktor yang terlibat untuk
memaksimalkan
tercapainya
kepentingan mereka. pernyataan ini
menegaskan bahwa masing-masing
aktor akan menggunakan kekuatan nya
untuk
memaksimalkan
preferensi.
Sementara itu, teori private-interest
mengasumsikan bahwa tujuan dari
regulasi adalah pelestarian kepentingan
kelompok dominan dan regulator
ditangkap oleh kelompok ini karena
prospek untuk keuntungan pribadi di
masa depan. Berdasarkan asumsi
tersebut, regulasi dijelaskan sebagai
hasil dari kepentingan bersama aktor
paling kuat atau gabungan pelaku di

satu sisi, dan regulator kepentingan di
sisi lain (Ginosar, 2014 : 307).
Mendasari
hal
tersebut,
bagaimanapun akan terjadi ketegangan
dalam penyusunan sebuah regulasi,
yaitu perjuangan antara nilai pasar dan
pelayanan publik didalam penyiaran.
Dalam perspektif pelayanan publik,
berbagai upaya harus dilakukan untuk
melindungi media sebagian dari apa
yang dianggap sebagai ekses-ekses
terburuk dari kekuatan pasar. Maka
dengan demikian, upaya terbaik untuk
memahami regulasi dalam penyiaran
digital ini adalah dengan cara
mengidentifikasi kepentingan pasar dan
pelayanan publik yang terwakili dalam
regulasi tersebut.
Sejarah Perkembangan Regulasi
Penyiaran di Indonesia
Siaran televisi pertama di
Indonesia pada 17 Agustus 1962,
bertepatan dengan peringatan ke-17
HUT
kemerdekaan
RI
dan
berlangsungnya rangkaian kegiatan
olah raga Asian Games yang disiarkan
secara langsung melalui siaran televisi.
Siaran pertama ini dapat terwujud
berkat dukungan penuh dari Presiden
Soekarno, yang memimpikan Indonesia
dapat membangun siaran televisi.
Menteri Informasi Indonesia, Maladi,
bahkan menyatakan bahwa ia telah
menerima instruksi dari Presiden sejak
1952
berkaitan
dengan
ini
penyelenggaraan
penyiaran
di
Indonesia (Kitlley, 2000:21).
TVRI adalah bagian dari proyek
mercusuar pemerintahan Soekarno.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

241

Sebuah proyek yang menempatkan
gengsi bangsa di mata dunia luar
sebagai prioritas utama, melebihi
kebutuhan-kebutuhan riil bagi bangsa
lain. Bagi Soekarno, televisi adalah
medium
yang
tepat
untuk
memperkenalkan bangsa Indonesia ke
dunia luar, sekaligus simbol untuk
mengangkat citra bangsa Indonesia,
sejajar dengan negara-negara lain.
Soekarno terutama berambisi untuk
menandingi
Jepang
yang
telah
menguasai teknologi televisi sejak
1950-an.
TVRI
lahir
untuk
menegakkan
eksistensi
Indonesia
sebagai bangsa, dan event Asian Games
1962 adalah momentumnya (Sudibyo,
2004:280).
Pemerintahan
Soeharto
kemudian melanjutkan sejarah TVRI
dengan visi yang sama sekali berbeda
dengan Soekarno. Jika Soekarno
menjadikan TVRI sebagai alat revolusi
dan alat pembentukan manusia
Indonesia,
Soeharto
kemudia
merubahnya menjadi sebuah media
untuk
menjamin
tercapainya
pembangunan nasional. Dalam era ini,
media televisi juga memiliki fungsi
untuk
membangkitkan
semangat
pengabdian dan perjuangan bangsa,
mengonsolidasikan
kesatuan
dan
persatuan bangsa, memperkuat jati diri
dan budaya nasional serta mendorong
terciptanya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. (lihat Sudibyo,
2004:281)
Dengan fungsi yang dilekatkan
kepada televisi, bisa dibayangkan
bahwa
kedua
rezim
tersebut

menerapkan regulasi yang sangat ketat
untuk menjamin terciptanya fungsifungsi tersebut Namun demikian, alihalih menjalankan fungsi dan tugastugasnya, TVRI malah dijadikan
sebagai alat propaganda pemerintah.
Secara lebih jelas, TVRI hanya menjadi
“corong”
pemerintah
yang
menyuarakan aspirasi pemerintah.
Sejak tahun-tahun pertama,
TVRI terus memonopoli siaran TV di
Indonesia, hal ini terjadi karena rezim
orde baru tidak membuat regulasi yang
sangat ketat dan cenderung tertutup,
sehingga tidak memungkinkan ada
“pesaing”
bagi
TVRI.
Namun
demikian, sejak 1987 pemerintah mulai
melakukan
deregulasi
terhadap
penyiaran di Indonesia dengan
membuka peluang untuk masuknya TV
swasta sebagai pemain. Alasan regulasi
ini karena pemerintah merasa tidak
mampu sendirian untuk menghadapi
terpaan pengaruh budaya asing.
Dengan demikian, dibukanya kran bagi
masuknya televisi swasta, salah
satunya untuk memerangi infiltrasi
artefak-artefak budaya asing yang
begitu gencar pada tahun-tahun
tersebut (Sudibyo, 2004 : 293)
Yang menarik dicermati dari
regulasi penyiaran di Indonesia adalah,
bahwa meskipun kita tidak punya
regulasi
berupa
undang-undang,
setidaknya setelah 35 tahun beroperasi
televisi di Indonesia. Undang-undang
penyiaran baru dibuat pada tahun 1997,
yaitu Undang-undang RI Nomor 24
tahun 1997 tentang Penyiaran. Namun
demikian, sebagaimana dikatakan oleh

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

242

Ade
Armando
dalam
bukunya
“Televisi Jakarta di atas Indonesia”
(2004), bahwa undang-undang tersebut
merupakan
bagian
(jika
tidak
seluruhnya) kepentingan stasiun tv
swasta yang telah beroperasi sejak
1989. Melalui undang-undang tersebut
terlihat sangat jelas bagaimana
kekuatan pemilik modal bermain
dengan sangat kuat dalam pengesahan
undang-undang tersebut.
Pada tahun 2002 muncul
undang-undang penyiaran baru, yaitu
undang-undang Nomor 32 tahun 202
tentang penyiaran. Beberapa pengamat
media menyebut undang undang ini
secara substantif membuka jalan bagi
demokratisasi penyiaran yang akan
menjadikan televisi dan radio di
Indonesia dapat menjadi sebuah public
sphere; yaitu sarana penumbuhan
keberagaman, sarana kontrol sosial
yang efektif, yang tak lagi dikuasai
hanya
segelintir
pemodal
dan
pemerintah. (Armando, 2011:174-175).

METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah
Kualitatif dan tipe penelitian ini bersifat
deskriptif, karena tidak berupaya
mencari hubungan sebab akibat
(causality).
Tidak
ada
status
(independen, dependen, antecedent dan
variabel lainnya) dalam variabelvariabel yang digunakan. Penelitian ini
hanya ingin memberikan deskripsi atau
gambaran tentang fenomena digitalisasi
penyiaran di Indonesia dari perspektif
kepentingan publik (public interest).

Dengan melakukan penelusuran
kepustakaan
(library
research),
penelitian ini secara spesifik juga ingin
mendeskripsikan
sejarah
dan
perkembangan regulasi di Indonesia,
termasuk kepentingan-kepentingan yang
melandasi terbitnya regulasi tersebut.
Studi kepustakaan adalah segala
usaha yang dilakukan peneliti untuk
menghimpun informasi dengan topik
atau masalah yang diteliti. Dalam
menyusun penelitian ini, penulis
melakukan
penelusuran
berbagai
macam literatur baik yang berbentuk
buku, makalah, jurnal, maupun artikelartikel yang terkait dengan tulisan yang
dibahas pada penelitian ini. Data-data
tersebut kemudian dipelajari dan
dianalisis untuk menjawab pertanyaan
yang dirumuskan dalam penelitian ini.
Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah data-data resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang
berkaitan dengan regulasi digital di
Indonesia. Sementara sumber data
sekunder adalah data-data yang ditulis
oleh para penulis ataupun peneliti yang
berkaitan dengan regulasi digital.
HASIL PENELITIAN
Indonesia telah mulai menyusun
rencana untuk melakukan konversi dari
penyiaran
analog
ke
digital.
Penyusunan rencana ini dimulai sejak
awal tahun 2009 sampai dengan akhir
tahun 2018. Sebelumnya pada tahun
2008 pemerintah telah melakukan
serangkaian kegiatan uji coba yang
merupakan hasil kerjasama antara
pemerintah dengan Konsorsium TV

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

243

Digital Indonesia (KTDI) yang
anggotanya terdiri dari televisi swasta
nasional yang ada di Indonesia. Ini
merupakan bagian dari rangkaian
kegiatan yang telah dilaksanakan dalam
rangka migrasi siaran analog ke digital
diantaranya adalah soft launching uji
coba siaran televisi digital di wilayah
Jabodetabek oleh Wakil Presiden Jusuf
Kalla pada tanggal 13 Agustus 2008 di
TVRI. Kemudian secara resmi Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono
melakukan Grand Launching uji coba
siaran televisi digital pada tanggal 20
Mei 2009 bertepatan dengan Hari
Kebangkitan
Nasional
yang
pelaksanaannya dipusatkan di Studio
SCTV Jakarta.
Pada awal tahun 2010, Menteri
Komunikasi dan Informatika, Tifatul
Sembiring meresmikan uji coba
lapangan penyiaran televisi digital
untuk wilayah Bandung dan sekitarnya.
Dan sebagai bentuk sosialisasi dan
dukungan
pemerintah
dalam
mensukseskan migrasi dari penyiaran
televisi analog ke televisi digital Pada
kegiatan yang dilaksanakan di Sasana
Budaya Ganesha tersebut, sebanyak
kurang lebih 1000 set top box diberikan
kepada masyarakat Bandung.
Pemerintah juga telah membuat
roadmap infrastruktur televisi digital
yang disusun sebagai peta jalan bagi
implementasi migrasi dari sistem
penyiaran televisi analog ke digital di
Indonesia. Dalam roadmap tersebut
pemerintah
telah
menetapkan
dimulainya migrasi ke televisi Digital
antara tahun 2012-2018, diantaranya:

mulai dari Pelaksanaan seleksi
penyelenggaraan
penyiaran
multipleksing
(Juni-Juli
2012),
Penetapan regulasi perizinan televisi
digital,
penggelaran
jaringan
infrastruktur multipleksing televisi
digital di setiap zona layanan hingga
pelaksanaan periode simulcast (masa
dimana layanan siaran televisi analog
dan
digital
dilakukan
secara
bersamaan)
dan analog
switchoff (mematikan siaran analog dan
menggantikannya
dengan
siaran
digital) pada tahun 2018. Untuk
program digitalisasi penyiaran ini,
pemerintah memiliki target capaian
penetrasi siaran televisi digital terhadap
populasi sebanyak 35% pada tahun
2014 sebagaimana tertuang dalam
RPJMN
2010-2014.
Sementara
itu, analog
switch-off direncanakan
akan dilakukan secara bertahap diawali
dari
wilayah
yang
telah
tercover layanan siaran televisi digital
dan secara nasional analog switchoff akan dilakukan pada awal tahun
2018.
Sebagai
dukungan
regulasi
terhadap
implementasi
penyiaran
televisi digital, pada tahun 2009
pemerintah menetapkan Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika
No. 39 tahun 2009 tentang Kerangka
Dasar Penyelenggaraan Penyiaran
televisi Digital Terestrial Penerimaan
Tetap Tidak Berbayar (free- to-air).
Peraturan ini merupakan kerangka
dasar atau kerangka pemikiran awal
bagaimana melaksanakan implementasi
penyiaran televisi digital. Pada bulan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

244

November
2011,
pemerintah
menerbitkan
Peraturan
Menteri
Komunikasi dan Informatika No. 22
tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Terestrial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar
(free- to-air) sebagai pengganti Permen
Kominfo No. 39/2009. Peraturan ini
mengatur tentang model bisnis
penyelenggaraan penyiaran TV digital,
zona layanan penyiaran multipleksing,
TKDN set top box dan pelaksanaan
penyiaran TV digital.
Masalah kemudian muncul
bukan berkaitan dengan kebijakan
digitalisasi penyiaran, namun berkaitan
dengan terbitnya regulasi mengenai tv
digital
yang
dikeluarkan
oleh
pemerintah
melalui
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
(menkominfo). Pro-kontra mengenai
Permen tersebut bahkan hingga kini
masih berlangsung hangat dengan
melibatkan pemerintah (Kominfo),
penyelenggara
penyiaran
televisi
nasional berjaringan, televisi lokal,
televisi publik dan komunitas, serta
organisasi masyarakat sipil.
Salah satu hal yang dipersoalkan
oleh banyak pihak berkaitan dengan
terbitnya regulasi mengenai televisi
Digital tersebut adalah bahwa regulasi
tersebut
dibuat
seakan
untuk
melanggengkan status quo, alih-alih
meningkatkan diversity of content dan
ownership. Sebagaimana diungkapkan
oleh Rahayu (2013 : 146), pemerintah
cenderung berpihak pada kapital (yaitu
pemilik televisi swasta di Jakarta yang
saat ini telah established) dalam

menentukan pengelola multipleksing.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5
ayat (1) Permen 22/2011, lembaga
penyelenggara mutipleksing adalah
lembaga penyiaran publik TVRI dan
lembaga penyiaran swasta.
Ini berarti bahwa hanya lembaga
penyiaran yang sudah mempunyai izin
penyelenggaraan penyiaran tetap yang
berhak mengikuti tender untuk
mengelola multipleksing. Ketentuan
ini, dengan demikian, justru akan
memperkuat status quo, karena tidak
memberikan peluang bagi munculnya
lembaga-lembaga penyiaran yang baru
untuk mengelola multipleksing. Di
samping itu, sebagaimana diungkapkan
Rahayu, tidak ada ketentuan bagaimana
pengaturan multipleksing memberikan
jaminan bagi keberlangsungan hidup
penyiaran lokal dan komunitas yang
memiliki kemampuan finansial yang
terbatas. Dengan demikian, regulasi ini
akan
menjadikan
konsentrasi
kepemilikan dalam industri penyiaran
di Indonesia akan semakin menguat.
Disisi lain, penolakan terhadap
kebijakan mengenai televisi digital ini
terjadi karena sebagian pihak menuding
bahwa pemerintah membuat keputusan
sepihak tentang peralihan dari sistem
penyiaran analog ke digital. Ketika
pemerintah mengeluarkan Peraturan
Menteri 22 tahun 2011, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sedang
mendiskusikan mengenai perubahan
undang-undang penyiaran No. 32 tahun
2002. Dengan demikian, melalui
Permen
tersebut,
pemerintah

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

245

menunjukkan dominasi dan sifat
otoriternya.
Fakta tentang persoalan ini dapat
dengan jelas dilihat dalam Permen
22/2011 pasal 9 ayat (1) dan (2)
tentang
izin
penyelenggaraan
penyiaran, pasal 10 ayat (1) dan (2)
tentang
izin
penyelenggaraan
multipleksing, pasal 19 tentang
evaluasi pengawasan, dan pasal 20
tentang sanksi-sanksi. Pemerintah
berusaha untuk menjadi satu-satunya
Regulator menempatkan pemerintah
sebagai satu-satunya regulator yang
berwenang
mengatur
digitalisasi
penyiaran di Indonesia (Lihat Rahayu,
2013:146).
Ini jelas bertentang dengan UU
32/2002. yang pada prinsipnya
menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) adalah lembaga yang
wewenangnya diatur dalam Undangundang ini sebagai wujud peran serta
masyarakat di bidang penyiaran.
Sebelumnya
pada
tahun
2005
pemerintah
melalui
Menkominfo
mengeluarkan empat PP Penyiaran
tahun 2005. Peran KPI melalui PP
tersebut dibatasi hanya sebagai
regulator
isi
siaran,
sementara
persoalan perizinan dan sistem siaran
dikembalikan kepada pemerintah.
Berkaitan dengan hal ini,
sepertinya ada indikasi pemerintah
ingin
mengambil
kembali
kewenangannya dalam mengatur ranah
penyiaran, sesuatu hal yang jelas-jelas
menghianati UU Penyiaran No.
32/2002. Karena awalnya diskursus
mengenai UU Penyiaran, sebagaimana

dikatakan Agus Sudibyo, merupakan
upaya untuk “meminimalisir intervensi
negara ke ruang publik, dan
mengembalikan urusan ruang publik
kepada
masyarakat”
(Sudibyo,
2009:14). Dalam konteks inilah,
sepertinya kita melihat ada upaya untuk
mengembalikan
kontrol
ranah
penyiaran kembali ke tangan sistem
birokrasi setelah beberapa saat ada
dalam tangan representasi publik. UU
Penyiaran dalam konteks ini hadir
dengan
spirit
mengembalikan
“kekuasaan” kepada publik untuk
mengelola frekuensi agar dimanfaatkan
sepenuhnya bagi kepentingan publik.
UU Penyiaran adalah upaya transisi
dari kekuasaan negara (state based
powers) menuju kekuasaan publik
(public-based
power).
Intervensi
pemerintah terhadap ranah penyiaran
diminimalisasi, kepemilikan media
monopolitik dibatasi, dan prinsip
diversitas isi dilembagakan (Sudibyo,
2014:15).
Apa
yang
terjadi
dalam
munculnya regulasi televisi Digital di
Indonesia sangat bertolak belakang
dengan pengalaman Eropa dalam
merancang regulasi televisi Digital,
setidaknya dalam tiga hal. Pertama,
regulasi televisi Digital di Eropa tidak
dirumuskan sebagai kebijakan (policy)
yang terpisah, namun saling terkait dan
dalam interaksi dengan regulasi dan
kebijakan di berbagai bidang lainnya.
Dalam konteks ini, lingkungan media
yang
terkonvergensi,
kebijakan
audiovisual, kebijakan telekomunikasi,
kebijakan masyarakat informasi, serta

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

246

kebijakan mengenai kompetisi dan
standarisasi
sangat
memengaruhi
munculnya mengenai regulasi televisi
Digital di Eropa. Kedua, selain
pemerintah ada beberapa pembuat
kebijakan yang terlibat dalam regulasi
televisi
Digital
Eropa.
Ketiga,
meskipun gelombang privatisasi terus
tumbuh dalam beberapa dekade
terakhir, namun lembaga penyiaran
publik tetap menjadi kekuatan utama
dalam lanskap media di Eropa, hal ini
merupakan upaya untuk tetap menjaga
ranah publik dalam “kekuasaan” publik
(Naranen, 2005:37).
Menjadi hal yang sangat penting
untuk mengaitkan perdebatan mengenai
lahirnya regulasi soal televisi digital ini
dengan
konsentrasi
kepemilikan
(ownership concentration) media di
Indonesia yang sudah sampai taraf
yang mengkhawatirkan karena akan
mengucilkan kepentingan publik dalam
memperoleh akses informasi, dan lebih
jauh
akan
mengganggu
proses
demokratisasi
yang
sedang
berlangsung. Kepemilikan media di
Indonesia dikontrol oleh hanya
beberapa perusahaan media yang
benar-benar memiliki dan menentukan
perkembangan industri media. Dengan
demikian,
secara
umum,
dapat
dikatakan bahwa struktur pasar untuk
industri
televisi
di
Indonesia
terkonsentrasi. Konsentrasi ini terjadi
karena dua faktor, yaitu : keterbatasan
spektrum frekuensi siaran; dan adanya
afiliasi antara lembaga penyiaran
dengan kelompok tertentu.

Dalam pandangan Edwin Baker,
konsentrasi kepemilikan (ownership
concentration) dapat menimbulkan
ancaman (Baker, 2007:1-2). Sejak abad
kedua puluh, sebagaimana dikatakan
Baker, hampir semua negara demokrasi
Barat melihat pertumbuhan konsentrasi
media sebagai ancaman terhadap
kebebasan pers dan demokrasi.
Sementara itu, kebanyakan negara
demokrasi mengadopsi kebijakan yang
dirancang untuk mendukung press
diversity,
baik
melalui
hukum
persaingan maupun pengaturan atau
subsidi, yang sering kali ditujukan
untuk mendukung media yang lemah
bersaing dengan pemain dominan.
Dengan demikian, secara ideal
seharusnya regulasi yang diterbitkan
pemerintah
berkenaan
dengan
kebijakan digitalisasi televisi harus
berorientasi kepada kepentingan publik
(public interest), regulasi ini juga harus
mencerminkan upaya pemerintah untuk
menempatkan kepentingan publik jauh
diatas kepentingan pasar. Belajar dari
apa yang terjadi di Amerika Serikat dan
Eropa, bahwa menurut undang-undang,
yang berhak mendapatkan ijin lisensi
dalam penyiaran komersial dipilih
berdasarkan kemampuan mereka untuk
melayani kepentingan publik. Dengan
demikian, kita harus memastikan
bahwa otoritas publik mengambil peran
penting dalam pengembangan televisi
Digital untuk kepentingan publik
secara keseluruhan.
KESIMPULAN

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

247

Banyak
pihak
yang
masih
mempersoalkan mengenai terbitnya
regulasi soal televisi digital di
Indonesia. Salah satu hal yang
dipersoalkan oleh banyak pihak
berkaitan dengan terbitnya regulasi
mengenai televisi Digital tersebut
adalah bahwa regulasi tersebut dibuat
seakan untuk melanggengkan status
quo, alih-alih meningkatkan diversity of
content dan ownership. Pemerintah
cenderung berpihak pada kapital (yaitu
pemilik televisi swasta di Jakarta yang

saat ini telah established) dalam
menentukan pengelola multipleksing.
Dengan demikian, regulasi ini akan
menjadikan konsentrasi kepemilikan
dalam industri penyiaran di Indonesia
akan semakin menguat. Kemudian, dari
segi kepentingan publik (public
interest),
regulasi
ini
belum
mencerminkan upaya pemerintah untuk
menempatkan kepentingan publik jauh
diatas kepentingan pasar.

DAFTAR PUSTAKA
Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta
Diatas
Indonesia;
Kisah
Kegagalan
Sistem
Televisi
Berjaringan
di
Indonesia.
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Armando, Nina Mutmainnah. 2013.
Beberapa
Catatan
Penting
Tentang UU Penyiaran. Makalah,
dimuat dalam Prosiding Seminar
Besar Nasional Komunikasi,
Komunikasi
@
2014;
Komunikasi
dan
Pemilihan
Umum
2014:
Persiapan,
Pelaksanaan, dan Masa Depan.
Padang: ISKI, November 2013.
C.

Edwin Baker. 2007. Media
Concentration and Democracy:
Why
Ownership
Matters.
Cambridge:
Cambridge
University Press

Feintuck, Mike dan Mike Varney. 2006.
Media Regulation, Public Interest
and
the
Law.
Edinburgh
University Press.
Galperin,
Hernan.
2004.
New
Television, Old Politics; The
Transition to Digital TV in the
United States and Britain.
Cambridge:
Cambridge
University
Gerbarg, Darcy. 2008. Television Goes
Digital. New York: Springer
Ginosar, Avshalom. 2014 PublicInterest
Institutionalism:
A
Positive
Perspective
on
Regulation. Administration &
Society. Vol. 46(3) 301–317
Given, Jock. 2007. Switching Off
Analogue TV. Dalam Andrew T
Kenyon (editor). TV Futures;
Digital Television Policy in

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

248

Australia. Melbourne University
press.
Kitley, Philip. 2000. Television, Nation,
Culture in Indonesia. The Ohio
University
Research
in
International Studies.
Bronwen, Morgan dan Karen Yeung.
2007. An Introduction to Law and
Regulation; Text and Materials.
New York: Cambridge University
Press.
Naranen, Pertti. 2005. European
Regulation of Digital Television,
dalam Allan Brown dan Robert G.
Picard (editor). Digital Terrestrial
Television in Europe. London:
LEA Publisher.
Rahayu. 2013. Digitalisasi Penyiaran di
Indonesia @2014: Persoalan
Sekarang dan Masa Depan.
Makalah, dimuat dalam Prosiding
Seminar
Besar
Nasional
Komunikasi, Komunikasi @
2014; Komunikasi dan Pemilihan
Umum
2014:
Persiapan,
Pelaksanaan, dan Masa Depan.
Padang: ISKI, November 2013.

(IJMPICT) Vol. 4, No. 2, June
2013
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu:
Penjajahan Baru di Jagad Media.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
-------------, 2004. Ekonomi Politik
Media Penyiaran. Yogyakarta:
LkiS
Weber, Ian dan Vanessa Evans. 2002.
Constructing the Meaning of
Digital Television in Britain, the
United States and Australia. New
Media & Society, Vol 4(4):435–
456

Lain-lain:
https://tvdigital.kominfo.go.id/?page_id
=17, diakses 16 Oktober 2014
UU No. 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran
PP Penyiaran tahun 2005
Kepeutusan Mentri Penerangan No.
34/1966

Satitsamitpong, Manit dan Hitoshi
Mitomo. 2013. An Analysis of
Factors Affecting the Adoption of
Digital Terrestrial Television
Services in Thailand. International
Journal of Managing Public
Sector
Information
and
Communication
Technologies
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |

249