Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Ber

Manajemen Pemberitaan Televisi dalam
Berita Terorisme
Fajar Junaedi

dosen Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail fajarjun@gmail.com, twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan
Peran Media di Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada
tanggal 12 Desember 2011 di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Abstract
Terorisme tidak hanya bisa diartikan sebagai rangkaian tindak kekerasan yang diarahkan
untuk kehancuran pihak lain, namun lebih dari sekedar itu. Terorisme adalah bentuk
komunikasi politik yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki akses terbatas pada media
massa dan publik. Keterbatasan akses inilah yang menyebabkan para pelaku terror memilih
teror sebagai media untuk mengartikulasikan suaranya. Kasus terorisme yang terjadi di
Indonesia di berbagai lokasi, sebagaimana yang terjadi pada Gereja Injil Bethel Sepenuh
(GBIS) Solo, juga bisa dirujuk sebagai bagian dari komunikasi politik yang dilakukan oleh
kelompok teroris yang semakin tersudut pasca operasi pihak keamanan secara massif. Dalam
konteks media massa, terutama televisi, ada fenomena menarik mengenai terorisme di
Indonesia. Penyergapan teroris yang dilakukan oleh pihak keamanan diekspos secara massif

oleh stasiun televisi, bahkan dengan siaran langsung (live). Di sisi yang lain pemberitaan
televisi semakin mengarah pada proses menjadikan berita sebagai entertainment,
sebagaimana fenomena infotainment. Sebagai media yang menjangkau khalayak paling
besar, pemberitaan terorisme di stasiun televisi di Indonesia perlu dikaji agar televisi tidak
menjadi kepanjangan tangan teroris dalam mengartikulasikan suaranya. Paper ini akan
mengangkat bagaimana seharusnya manajemen pemberitaan televisi dalam berita
terorisme.
Keywords : news management, televison, terorism
1
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Pendahuluan : Televisi dan Terorisme

Terorisme menjadi kata yang akrab dengan publik di Indonesia terutama pasca
1998. Mencuatnya sentimen kelompok berbasis agama, suku dan daerah dengan diiringi
upaya dengan jalan kekerasan menjadikan terorisme semakin mencuat. Pemberitaan

media massa yang secara massif memberitakan tentang aksi kekerasan yang berhubungan
dengan terorisme semakin meneguhkan terorisme sebagai perbincangan publik.
Terorisme menjadi kian akrab dengan publik di Indonesia terutama setelah aksi
bom bunuh diri di Bali awal dekade 2000 dan kemudian di ranah internasional berlanjut
dengan serangkaian serangan teror yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah yang berafiliasi
kepada Al Qaidah, sebuah kelompok Islam radikal yang dibangun oleh Usamah Bin Ladin.
Al Qaidah sendiri menjadi kelompok teroris paling diburu dunia internasional terutama
setelah serangan menara kembar gedung WTC pada 11 September 2001. Serangan bunuh
diri mematikan ini memantik sikap keras Amerika Serikat dan dunia internasional
terhadap Al Qaida.
Serangan teror, sebagaimana yang dilakukan oleh al Qaidah ini, sebenarnya tidak
bisa dipahami sekedar aksi kekerasan yang ditujukan untuk membunuh pihak lain, namun
terorisme berartikulasi sebagai sebuah bentuk komunikasi politik yang dilakukan di luar
prosedur konstitusional (McNair,1999:172). Dengan kata lain, aksi terorisme dapat
diartikan sebagai simbolisasi yang dirancang untuk mempengaruhi perilaku politik dengan
jalan

yang

tidak


normal

dengan

menggunakan

kekerasan

(Thornton

dalam

McNair,1999:172). Dalam konteks inilah, serangan teror yang dilakukan oleh Al Qaida
dapat diartikulasikan sebagai bentuk komunikasi politik.

2
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di

Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Sebagai bentuk komunikasi politik, terorisme hanya dapat memiliki nilai
signifikansi sebagai tindakan komunikasi jika tindakan terorisme tersebut ditransmisikan
melalui media massa kepada khalayak luas (McNair,1999:173). Tanpa ada reportase dari
media massa atas aksi terorisme, maka terorisme tidak memiliki makna sosial
Selain makna sosial, tindakan terorisme dilakukan untuk mendapatkan publisitas
yang bertujuan mendapatkan tujuan berupa efek psikologis, yaitu demoralisasi terhadap
pihak yang dianggap sebagai musuh, mempertunjukan kekuatan gerakan mereka,
mendapatkan simpati publik dan menciptakan kekacauan serta ketakutan. Untuk mencapai
hal ini, teroris harus mempublikasikan aksi yang mereka lakukan (McNair,1999:173).
Televisi menjadi bagian utama dari kelompok teroris dalam mendapatkan
publisitas. Berbeda dengan media cetak, media televisi memiliki jangkauan yang lebih luas.
Dalam berita televisi, terorisme memiliki nilai berita dan ini dapat digunakan sebagai cara
untuk melahirkan daya tarik media dan

kemudian menimbulkan perhatian publik.

Perhatian publik inilah yang bisa dirujuk sebagai perilaku politik (McNair,1999:174).

Dalam hal ini, publisitas yang diharapkan oleh kelompok teroris bahkan bisa lebih dari
tujuan politik tertentu, namun bisa lebih problematik.
Berita dari aksi terorisme bisa jadi justru memberi keuntungan bagi kelompok
teroris yang melakukan tindakan teror dan serempak akan menciptakan rasa takut di
masyarakat. Dalam hal ini, televisi akan menjadi pembatas yang menghalangi kebenaran.
Berita televisi adalah genre utama dalam pemberitaan. Beberapa saluran televisi
bahkan mengalokasikan waktu 24 jam setiap hari untuk menayangkan berita. Televisi juga
telah menjadi media utama dalam dari publik dalam mendapatkan akses informasi.
Televisi juga menjadi media yang menggabungkan berbagai teknologi terkini untuk
menyiarkan berita dengan suara dan citra gambar yang disajikannya. Televisi juga telah
menjadi pusat perhatian besar dari publik dalam mendapatkan informasi. Singkatnya
televisi adalah fenomena kultural yang bersifat global. Ini menjadikan berita sebagai
3
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

praktek operasi ideologi, yang menghadirkan pandangan selektif atas politik, ekonomi dan

masyarakat (Burton,2000:119).
Kelompok teroris dalam kaitan dengan manajemen media ini tidak bisa dianggap
sebagai pihak yang abai terhadap pentingnya pemberitaan televisi. Kelompok teroris
menyadari bagaimana media televisi dijalankan dalam praktek manajemen media.
Kelompok teroris, seperti halnya aktor politik yang lain, telah mengembangkan sistem
manajemen media, dan secara bertahap bahkan telah mencapai teknik-teknik utama yang
dijalankan oleh profesional public relations (McNair,1999:174-175).
Untuk membuktikan kemampuan kelompok teroris dalam berinteraksi dengan
media massa ini kita dapat merujuk pada pernyataan pers yang dibuat oleh kelompok
teroris, konferensi pers dan penyebaran video yang berisi pernyataan mereka terhadap
aksi terorisme.
Kelompok IRA di Irlandia bisa dirujuk sebagai salah satu kelompok teroris yang
terorganisir secara baik dalam berhubungan dengan media massa. Kelompok ini
melakukan manajemen media secara rapi dan terorganisir untuk menyuarakan suara
mereka dalam melawan pemerintahan Inggris. Di Timur Tengah, PLO dan organisasi
perlawanan Palestina lainnya di tahun 1970-an sampai dengan 1980-an juga melakukan
tindakan serupa dengan IRA. Serangan teror yang mereka lancarkan terhadap pihak yang
mereka anggap sebagai penindas, selalu disebarluaskan melalui media massa.
Dalam kasus terorisme di Indonesia, kelompok teroris juga menyadari aksi yang
mereka lakukan. Beberapa aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok teroris ditujukan

kepada tempat yang dianggap sebagai representasi Barat. Tragedi bom Bali misalnya,
memperlihatkan upaya kelompok teroris untuk mendapatkan publisitas di tingkat
internasional karena Bali dikenal sebagai destinasi wisata internasional yang banyak
dikunjungi turis asing. Dalam skala aksi yang lebih kecil dari Bom Bali, kelompok teroris
juga selektif dalam memilih obyek sasaran. Tempat ibadah menjadi pilihan yang paling
4
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

rasional dari kelompok teroris yang semakin tersudut oleh operasi aparat keamanan.
Serangan bom bunuh diri terhadap GPIS di Solo bisa menjadi salah satu contoh upaya
serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris. Selain tempat ibadah, aset-aset yang
berhubungan dengan aparat keamanan menjadi sasaran lain dari kelompok teroris.
Serangan bom bunuh diri di Masjid Adz Dzikra yang berada di kompleks Kepolisian Resort
Cirebon bisa menjadi contoh bagaimana kelompok teroris berusaha menunjukan
kekuatannya pada aparat keamanan bahwa mereka masih eksis.
Singkatnya, aksi terorisme di Indonesia juga tidak lepas dari pertimbangan nilai

berita. Publisitas dari aksi terorisme di media massa, terutama televisi adalah tujuan dari
kelompok teroris. Tempat dari aksi terorisme menjadi faktor yang berusaha diangkat
sebagai nilai berita, selain faktor lain. Dalam pemberitaan, faktor utama yang
mempengaruhi pemberitaan yang berkaitan dengan kejadian tertentu adalah orang,
tempat

dan

waktu.

Yang

umumnya

adalah

kombinasi

dari


ketiga

hal

ini

(McQuail,2002:279).
Selain berupaya untuk mendapatkan akses pemberitaan televisi selain dengan aksi
terorisme yang memiliki nilai berita, kelompok teroris bahkan berusaha mempengaruhi
proses produksi berita televisi dengan menjadi bagian dari proses produksi berita. Ini bisa
dilihat dari usaha Pepi Fernando yang berusaha berkolaborasi dengan seorang juru kamera
GlobalTV dengan memberikan informasi mengenai akan adanya serangan teror di Cirebon
awal tahun 2011.

Manajemen Berita dalam Pemberitaan tentang Terorisme

5
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di

Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Pemberitaan di televisi telah menjadi trend utama dalam berbagai jenis
pemberitaan. Jika di masa lalu, stasiun televisi menjadi berita sebagai salah satu program
dalam strategi programming yang mereka lakukan, maka dewasa ini berbagai stasiun
televisi di berbagai belahan dunia menjadikan berita sebagai tayangan utama selama 24
jam. Beberapa stasiun televisi bahkan mengklaim bahwa mereka adalah stasiun televisi
berita, sebagaimana MetroTV dan TvOne di Indonesia.
Perkembangan stasiun televisi berita tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan
sebuah stasiun televisi yang berasal dari Atalanta, Amerika Serikat, Cable News Network
(CNN). Stasiun televisi ini bisa disebut sebagai pelopor dalam perkembangan stasiun
televisi berita yang bersiaran selama 24 jam selama 7 hari sehingga sering disebut sebagai
stasiun televisi berita 24/7.
Kesuksesan CNN dalam mengembangkan pemberitaannya yang kemudian banyak
diadopsi dengan beragam bentuknya di berbagai belahan dunia dikenal sebagai CNNisasi
(CNNization), sebuah paradigma pemberitaan yang melintasi berbagai belahan dunia
(Bennet dan Vlkmer dalam Thussu,2005:117).
Stasiun televisi berita internasional dari Amerika Serikat ini dikembangkan dari
komitmennya untuk selalu menghadirkan berita pertama kali. Komitmen untuk

menghadirkan berita yang pertama kali sebelum stasiun televisi lain ini kemudian
diwujudkan dengan menjadikan breaking news sebagai berita yang membedakan CNN
dengan stasiun televisi yang lain (Shermakle,2005:86). Komitmen inilah yang kemudian
banyak diikuti oleh stasiun televisi berita lainya dengan mengadopsi komitmen untuk
menghadirkan berita secara cepat, terutama dengan laporan langsung dari lokasi peristiwa.
Reportase langsung (live) menjadi ikon terdepan bagi stasiun televisi berita untuk meraih
rating.
Dalam berbagai aksi terorisme dan kejadian lain yang berhubungan dengan
terorisme, laporan langsung dari lokasi kejadian menjadi rebutan stasiun televisi.
6
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Perebutan untuk melakukan reportase secara langsung ini bisa dimaknai sebagai
komitmen untuk menjadi yang pertama dalam melakukan reportase.
Dalam konteks Indonesia, laporan langsung yang berkaitan dengan terorisme bisa
dipetakan ke dalam beberapa model reportase. Pertama, laporan langsung yang berisi
berita tentang keadaan di lokasi yang menjadi target serangan teroris. Dalam reportase
seperti ini, reporter stasiun televisi umumnya melaporkan tentang keadaan di lokasi target
serangan teroris. Polisi umumnya telah datang datang lebih awal dan membuat garis polisi,
sehingga reporter tidak bisa melaporkan dari dekat. Kondisi di lokasi yang masih
berantakan akibat serangan teroris menjadi latar belakang (back ground) dari reporter
yang live.
Kedua, reporter stasiun televisi melakukan reportase langsung saat peristiwa
terjadi. Ini umumnya terjadi ketika aparat kepolisian melakukan penggrebekan dan
penyerangan terhadap sasaran yang diduga teroris. Bisa ditebak, stasiun televisi
sebelumnya telah dihubungi oleh pihak keamanan sehingga dapat hadir pada saat kejadian.
Dalam reportase ini umumnya reporter akan memilih aksi kekerasan yang terjadi antara
aparat keamanan dan kelompok teroris sebagai latar saat melakukan reportase. Model
reportase kedua ini sepertinya khas Indonesia. Kita bisa membandingkan dengan
penyergapan yang dilakukan militer Amerika Serikat terhadap rumah persembunyian
Osama Bin Laden. Militer Amerika Serikat memilih untuk tidak mempublikasikan aksi
militer mereka sampai operasi benar-benar selesai. Bandingkan dengan polisi di Indonesia
yang justru berusaha mengekspos pemberitaan yang massif atas aksi penyergapan yang
mereka lakukan terhadap sasaran yang diduga teroris, seperti pada saat penyergapan di
Temanggung dan Malang.
Model reportase di atas memperlihatkan bagaimana reportase secara langsung
diyakini sebagai bentuk reportase yang memiliki eksklusifitas tinggi. Tidak semua
peristiwa layak direportase secara langsung, hanya reportase yang memiliki nilai berita
7
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

tinggi yang dilakukan secara langsung dari lokasi kejadian. Dalam prakteknya reportase
langsung seperti ini membutuhkan persiapan matang. Secara teknis, peralatan yang
dibutuhkan juga mahal. Video dan audio ditransmisikan ke seperangkat peralatan yang
dinamakan Sattelite News Gathering (SNG). SNG ini berada pada sebuah truk sehingga SNG
juga lazim disebut sebagai sat truck. Dari SNG inilah kemudian berita kemudian dikirim ke
satelit menuju studio stasiun televisi untuk dipancarkan ke khalayak.
Peristiwa yang berhubungan terorisme memiliki nilai berita tinggi yang secara
keekonomian layak disiarkan oleh stasiun televisi kepada khalayak, namun di sisi yang lain
reportase langsung dari lokasi peristiwa yang berkaitan dengan terorisme memiliki resiko
lebih tinggi daripada reportase lainnya. Beberapa resiko yang bisa muncul dari reportase
langsung dari lokasi peristiwa adalah sebagai berikut.
Pertama, kejadian yang berkaitan dengan terorisme adalah kejadian yang tidak
direncanakan. Dalam reportase langsung, kejadian yang direportase setidaknya bisa dibagi
dua yaitu peristiwa yang terencana seperti pertandingan olahraga, konferensi pers dan
sejenisnya serta peristiwa yang tidak terencana seperti serangan yang dilakukan kelompok
teroris. Dalam peristiwa yang terencana, stasiun televisi memiliki waktu yang cukup untuk
mempersiapkan tim yang diturunkan ke lokasi peristiwa, sebaliknya dengan peristiwa
yang tidak terencana, stasiun televisi tidak memiliki waktu yang panjang untuk
mempersiapkan diri.
Kedua, dalam reportase langsung, kompetensi reporter saat tampil di depan kamera
menjadi hal yang paling signifikan. Tidak adanya editing saat reportase langsung
mengharuskan reporter memiliki kompetensi yang tinggi dengan menguasai materi
reportase. Dalam reportase yang berkaitan dengan terorisme, reporter harus memiliki
kemampuan pengetahuan tentang informasi yang berkaitan dengan terorisme.
Ketiga, dalam reportase tentang terorisme, teamwork menjadi kian penting.
Walaupun reporter adalah ujung tombak dari reportase langsung, bukan berarti reporter
8
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

bekerja sendiri. Reporter adalah bagian dari tim, dimana posisi tertinggi adalah produser
yang memberi keputusan kemana liputan dilakukan, berapa lama liputan dilakukan dan
dalam format apa berita disajikan. Pekerjaan ini disusun dalam running orders, yaitu
sebuah daftar peristiwa yang diputuskan untuk diliput (Dash,2007:49).
Keempat, dalam pemberitaan live yang berkaitan dengan terorisme, kelompok
teroris berusaha mencari celah untuk mendapatkan publisitas. Bagi kelompok teroris,
salah satu format berita yang ideal untuk menyuarakan suara politiknya adalah wawancara
langsung di stasiun televisi. Wawancara yang dilakukan secara langsung memperkecil
kemungkinan editing sebagaimana jika wawancara dilakukan secara rekaman (tapping).
Melalui wawancara inilah, kelompok teroris dengan mudah mendapatkan porsi
pemberitaan yang besar, walau wawancara hanya dilakukan melalui jaringan telepon.
Sebuah wawancara yang dilakukan CNN secara langsung dengan Osama Bin Ladin di tahun
1997 melalui telepon telah mendatangkan perhatian besar dari penonton televisi berita
tersebut (Junaedi,2010:24).
Resiko dari berita seperti ini adalah tidak adanya proses gatekeeping. Istilah
gatekeeping digunakan sebagai metafor untuk merujuk pada proses dimana seleksi
dilakukan dalam kerja media, khususnya berkaitan dengan keputusan tentang layak atau
tidaknya berita tertentu diberitakan kepada khalayak (McQuail,2002:277).
Kelima, reportase yang berkaitan dengan terorisme dapat disamakan dengan
sebagai reportase di wilayah konflik. Reportase seperti ini memiliki tekanan yang tinggi.
Para reporter yang bertugas bekerja dalam tekanan deadline yang berlangsung setiap detik.
Tekanan ini memunculkan kompetisi untuk menjadi yang pertama dalam mereportase apa
yang terjadi di lokasi peristiwa. Reporter yang pertama kali memberitakan apa yang terjadi
di ranah konflik akan menaikan reputasi stasiun televisinya dalam usaha meraih perhatian
khalayak. Namun sayangnya, tekanan dalam usaha menjadi yang pertama dalam
melakukan reportase ini melahirkan dilema baru. Dengan menjadikan reportase langsung
9
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

yang eksklusif sebagai nilai berita utama, akurasi dan kedalaman berita akan hilang
(MacGregor dalam Thussu,2005:120).

Akurasi Berita dan Gejala Infotainment

Dalam reportase akurasi adalah hal yang penting. Sekali informasi yang tidak akurat
disampaikan kepada khalayak maka reputasi stasiun televisi akan jatuh. Berkaitan dengan
akurasi, hal lain yang harus diberi perhatian lebih adalah kejujuran (fairness). Dalam
pemberitaan tentang terorisme, reporter di lapangan dihadapkan pada situasi yang sulit
untuk mendapatkan berita yang mencukupi mengenai aksi terorisme. Kesulitan ini
terutama akan dihadapi oleh reporter yang bekerja untuk stasiun televisi berita yang
bersiaran selama 24 jam setiap hari, dimana reporter akan mengalami kesulitan dalam
mendapatkan nara sumber (Thussu, 2005:121).
Persoalan lain yang dalam reportase adalah atribusi dan identifikasi terhadap
sumber berita. Identifikasi terhadap sumber dari fakta dan sudut pandang haruslah
bersifat akurat dan memperhatikan etika. Kebanyakan fakta dari peristiwa yang
diberitakan diberikan atribusi beripa nama dari orang yang terlibat dan kemudian juga jika
diperlukan adalah perannya adalah peristiwa. Yang harus benar-benar diperhatikan adalah
jangan sampai terjadi atribusi yang salah terhadap orang yang menjadi bagian dari
peristiwa (Irby,2007:74).
Dilema lain yang mengemuka dalam reportase yang berkaitan dengan kekerasan,
seperti perang dan juga terorisme adalah adanya fakta bahwa reporter yang berada di
lokasi kejadian berada dalam tekanan yang besar dari deadine yang terjadi setiap menit.
Tekanan ini menyebabkan reporter hanya memiliki waktu terbatas dalam melakukan
investigas dan riset serta refleksi atas peristiwa yang akan disiarkan kepada publik.
10
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Sebaliknya, di ruang redaksi, redaksi selalu menginginkan agar reporter membuat berita
yng tepat waktu agar tidak ketinggalam dengan stasiun televisi yang lain. Redaksi juga
menuntut agar reporter beserta tim liputan yang berada di lokasi peristiwa mampu
menghasilkan reportase yang dilengkapi dengan gambar yang dramatis. Dalam dilema
seperti ini, bias informasi menjadi semakin mungkin terjadi, padahal tugas reporter
sebagai jurnalis adalah menyajikan informasi secara benar (Thussu,2005:120-121).
Penyajian informasi yang tidak akurat akan menyebabkan berita yang disajikan
menjadi bias dan justru menyebabkan khalayak kehilangan simpati pada media. Namun
harus juga disadari bahwa berita adalah genre dimana didalamnya terjadi pengulangan dan
penguatan ide, yang memberi antisipasi dan harapan pada khalayak. Berita di televisi
memperkuat ide dari berita yang diulang secara terus menerus. Berita di televisi dapat
didefinisikan sebagai tentang elit individu atau elit masyarakat tertentu. Jika berita televisi
menghadirkan tentang kelompok sosial lain di luar elit, berita televisi akan mengkonstruksi
bagaimana kita memahami kelompok tersebut (Burton,2000:121). Dalam konteks ini,
berita televisi tentang terorisme dan kelompok sosial yang terlibat dalam terorisme, akan
memberikan konstruksinya tentang bagaimana publik seharusnya memahami tentang
terorisme.
Dari sudut pandang ini, televisi memegang peranan penting dalam pemberitaan
mengenai terorisme. Melalui berita di televisi, publik memaknai tentang terorisme.
Sayangnya dalam lingkungan dunia penyiaran yang berorientasi pada konsumen ini terjadi
persaingan ketat antarstasiun televisi untuk memperebutkan pangsa pasar penonton
berita televisi. Persaingan ketat ini kemudian justru mengarahkan pemberitaan di stasiun
televisi ke dalam jurnalisme pemberitaan dalam corak infotainment . Kata infotainment
ini mulai populer pada akhir dekade 1980-an yang merujuk pada gabungan dari genre

information dan entertainment dalam pemberitaan televisi. Bagi kalangan eksekutif stasiun

11
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

televisi, pemberitaan bergaya infotainment ini digunakan untuk menarik penonton muda
yang telah terpengaruh oleh estetika visual posmodern (Thussu,2005:122).
Dalam pemberitaan televisi, gejala infotainment ini bisa dilacak dari penggunaan
visualisasi yang menarik, animasi komputer, pergantian gambar yang cepat dan headline
yang retorik (Thussu,2005:123). Dalam berita tentang terorisme, gejala infotainment
dalam pemberitaan bisa dilihat dari bagaimana stasiun televisi memberitakan terorisme
dengan headline yang retorik untuk menarik minat publik melihat berita yang disajikan. Ini
terutama dalam berita-berita awal dari peristiwa teror dimana stasiun televisi memiliki
gambar terbatas mengenai apa yang terjadi di lapangan sehingga untuk mensiasatinya
dengan menggunakan headline berita yang retorik.
Dalam konteks inilah, berita menjadi tontonan atau lebih tepatnya pertunjukan
(entertainment). Televisi lebih berada di ranah bisnis di mana para pebisnis
memperebutkan pangsa pasar penonton dengan saling berusaha memberikan tayangan
yang paling menarik (Thussu,2007:14).
Jika dikaitkan dengan format berita, gejala infotainment dalam pemberitaan tentang
terorisme ini bisa dilacak sebagai berikut. Dalam format berita reader, dimana dalam
format berita ini hanya berbentuk lead in yang dibaca oleh presenter dan tidak adanya
gambar dan juga grafik, headline yang menarik agar khalayak tertarik mengikuti berita
secara keseluruhan lebih mungkin digunakan. Penggunaan grafik komputer yang menarik
mata (eye-catching) dapat ditemui dalam format berita voice over – grafik mengenai aksi
terorisme. Dalam format berita ini, lead in dan tubuh berita dibaca secara keseluruhan oleh

presenter secara keseluruhan tanpa ada gambar dari yang berasal dari lokasi kejadian yang
diberitakan. Visual yang ditampilkan berupa grafik atau tulisan yang berkaitan tentang
kejadian yang diberitakan. Kemajuan teknologi telah memungkinkan pembuatan grafik dan
animasi yang menarik agar khalayak tertarik mengikuti pemberitaan tentang aksi
terorisme, di saat stasiun televisi belum memiliki gambar sesungguhnya tentang apa yang
12
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

terjadi di lapangan. Kita bisa melihat bagaimana persaingan stasiun televisi di Indonesia
saat memberitakan aksi terorisme dalam format berita ini dari grafik dan animasi yang
mereka buat untuk menggambarkan peristiwa terorisme yang terjadi sekaligus menarik
minat penonton.

Penutup

Televisi dan terorisme adalah dua ranah yang memiliki relasi erat. Bagi stasiun
televisi, berita tentang terorisme adalah berita yang layak dijual kepada khalayak.
Sebaliknya, terorisme memerlukan televisi untuk mendapatkan publisitas atas aksi
terorisme yang mereka lakukan. Tanpa ada publisitas, terorisme hanya berhenti pada
tindakan kekerasan, bukan sebuah tindakan politik.
Dari relasi inilah stasiun televisi seharusnya mampu memberikan informasi yang
berpihak kepada kepentingan publik, bukan menjadi bagian dari agen yang menyebarkan
terorisme. Untuk ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan stasiun televisi dalam

pemberitaan tentang terorisme. Pertama, gejala infotainment dalam pemberitaan termasuk
di dalamnya pemberitaan terorisme adalah gejala yang harus diwaspadai. Stasiun televisi
harus mampu menjaga kualitas pemberitaannya agar tidak terjebak pada gejala ini. Ini bisa
dilakukan dengan menghindari penggunaan headline yang bombastis serta grafis yang
hiperbolis.
Kedua, laporan langsung dari lokasi kejadian saat pemberitaan tentang terorisme
harus dilakukan dalam manajemen penyiaran yang profesional. Reporter yang turun ke
lokasi peristiwa harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai terorisme dan
sebaiknya menulis naskah liputannnya agar tidak terjadi kesalahan saat reportase
(Silcock,2007:149).
13
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Di masa sekarang dan masa depan, televisi masih akan menjadi media utama yang
akses oleh khalayak. Di ranah lain yang berkaitan, terorisme masih menjadi ancaman bagi
peradaban. Adalah tantangan dalam pemberitaan televisi untuk menghadirkan informasi
yang aktual dan akurat dalam pemberitaan tentang terorisme untuk memenuhi kewajiban
media televisi dalam memenuhi kebutuhan informasi khalayak.
Daftar Pustaka

Burton, Graeme (2000). Talking Television : An Introduction to The Study of Television.
London, Arnold
Dash, Ajay (2007). Broadcasting Journalism. New Delhi, Discover Publising House
Irby, John dkk (2007). Reporting That Matters : Public Affairs Coverage. Boston, Pearson
Education
Junaedi, Fajar (2010). Relasi Media dan Terorisme, dalam Jurnal Aspikom Volume 1, Nomor
1, Juli 2010
McQuail, Dennis (2002). McQuail’s Mass Communication Theory 4th Edition. London, Sage
Publications
Miladi, Noureddine (2005). Mapping Al Jazeera Phenomenon. dalam Thussu, Daya Krisnan
dan Freedman, Des (ed) (2005). War and The Media. London, Sage Publication
Reardon, Nancy (2009). On Camera : Menjadi Jurnalis TV Andal dan Profesional. Jakarta,
Penerbit Erlangga
Silcock, William (2007). Managing Televison News : A Handbook for Ethical dan Effective
Producing. New Jersey, Lawrence Erlbraum
Thussu, Daya Krisnan (2005). Live TV and Bloodness Death : War, Infotainmnet and 24/7
News dalam Thussu, Daya Krisnan dan Freedman, Des (ed) (2005). War and The
Media. London, Sage Publication

14
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Thussu, Daya Krisnan (2007). News as Entertainment : The Rise of Global Infotainment.
California, Sage Publications

Biodata
Fajar Junaedi lahir di Madiun pada tanggal 20 Mei 1979. Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), juga menjadi dosen tamu di UMS, UII, UAJY,
UIN Sunan Kalijaga, UMBY dan UKSW. Menulis beberapa buku di ranah komunikasi. Buku
terbarunya adalah Komunikasi Politik : Teori, Aplikasi dan Strategi di Indonesia (2013),
Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi (2013), Komunikasi Multikultur : Melihat
Multikulturalisme dalam Genggaman Media (2014). Bukunya yang akan terbit pada
pertengahan tahun 2014 berkaitan tentang Manajemen Media.
e-mail
fajarjun@gmail.com, twitter @fajarjun

15
Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Berita Terorisme / Fajar Junaedi / E-mail
fajarjun@gmail.com / twitter @fajarjun
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan Peran Media di
Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.