REDD sebagai Strategi strategi Kepengatu

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
ISSN 1410-1298 | Nomor 30, Tahun XV, 2013 | Halaman 71-97
Diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST)
http://www.insist.or.id/ | http://blog.insist.or.id/insistpress/ | http://jurnalwacana.com/

REDD+ sebagai Strategi-Strategi
Kepengaturan dalam Tata Kelola
Hutan di Indonesia:
Sebuah Perspektif Foucauldian
Rini Astuti
Victoria University of Wellington, Selandia Baru
riniastuti1@gmail.com

ABSTRACT | his article explores how REDD+ as a new paradigm in forest
governance is being implemented in Indonesia. his article is particularly
focused on the strategies used by REDD+ stakeholders to implement REDD+.
Michel Foucault’s theory on power/knowledge, especially his notions of
governmentality, is used as the main conceptual framework. Foucault’s
theory enables a wider analysis of how assemblages of practices, actors,
knowledge and techniques combined to govern forests in Indonesia. his
theory will allow an understanding of the strategies adopted by various actors

involved in mainstreaming, shaping, negotiating and contesting REDD+,
and of what they are seeking to achieve. A governmentality approach that
combines discourse analysis and ethnographic inquiries is used to render
visible REDD+ governmental interventions in Indonesia and unravels the
complexity of its implementation, negotiation, and contestation.

Kajian

T

ujuh tahun sejak masuknya gagasan mengenai Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia,
beragam strategi baru telah diinisiasi dan diuji coba. Ragam strategi
baru ini berkelindan dengan praktik-praktik lama pengelolaan hutan
beserta seluruh warisan persoalan tata ekonomi politik dan proses-proses
lainnya sehingga membentuk sebuah konjungtur baru. Konjungtur baru
ini merupakan wadah berbagai macam inisiatif digodok, rupa-rupa aktor
dan motivasi mereka dilibatkan, serta bidang-bidang pengetahuan baru
dilahirkan untuk memperbaiki silang sengkarut tata kelola kehutanan di
Indonesia. Perbaikan kerumitan ini dipercaya banyak ahli sebagai prasyarat

agar REDD+ dapat dilaksanakan di Indonesia (Luttrell et al. 2012). Donor
internasional dan negara-negara maju seperti Norwegia, Jerman, Australia,
dan Amerika Serikat berbondong-bondong menawarkan paket bantuan.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) berlomba-lomba melahirkan proposal
kegiatan yang dinyatakan dapat mengklariikasi beberapa persoalan
mendasar, seperti konlik tenurial, perlindungan hak masyarakat adat,
dan korupsi kehutanan. Presiden Yudhoyono bahkan membentuk satuan
tugas khusus yang diberi mandat untuk membangun infrastruktur legal
dan institusional bagi penerapan REDD+.

Dalam artikel ini, saya tertarik untuk menganalisis strategi-strategi
baru yang dilahirkan oleh REDD+ guna menjernihkan keruhnya sektor
kehutanan Indonesia. Menggunakan teori kepengaturan (governmentality)
sebagai kerangka analisis utama, artikel ini dimaksudkan untuk memahami
maksud, tujuan, dan penalaran di balik strategi-strategi persiapan REDD+.
Lebih lanjut, artikel ini akan menggambarkan kontestasi ragam motivasi
dan keinginan para aktor yang terlibat, pengetahuan, dan diskursus baru
yang digunakan untuk memperkuat kedudukan REDD+ di Indonesia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah tata kelola kehutanan di Indonesia,
diskursus mengenai kehutanan ramai diperbincangkan di luar sekat

sektoral kementerian terkait. Banyak ahli berpendapat bahwa REDD+ telah
mendorong reformasi tata kelola kehutanan di Indonesia (Murdiyarso et
al. 2011; Indrarto et al. 2012). Reformasi ini dilakukan setelah diadopsinya
Peta Jalan Bali (Bali Road Map) di Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Perubahan Iklim di Bali pada 2007. Bersama kesepakatan-kesepakatan
konferensi sebelumnya, Peta Jalan Bali telah membuka ruang bagi munculnya
rasionalitas baru yang mendeinisikan relasi ideal antara manusia dan hutan.
Rasionalitas baru ini menggunakan tingkat emisi karbon sebagai salah satu
tolok ukur utama idealitas. Dalam konteks rasionalitas karbon inilah artikel
ini memandang REDD+ sebagai sebuah upaya kepengaturan yang akan
mengonsep ulang, bahkan mengomodiikasi, tata kelola dan relasi antara
manusia dan hutan. Bidang-bidang pengetahuan baru dilahirkan untuk
mengalkulasi relasi ini dan menerjemahkannya dalam satuan ekonomi.
REDD+ telah berevolusi dari proposal awal sebagai mekanisme mitigasi
perubahan iklim menjadi strategi beragam rupa untuk mengatur relasi
antara manusia dan alam (hompson, Baruah, dan Carr 2011).

Kepengaturan, Kekuasaan Mutlak,
dan Pendisiplinan
Melalui kerangka teori governmentality, REDD+ dapat dipahami

sebagai sebuah rezim tata kelola yang dibentuk dan dipengaruhi oleh
beragam aktor, motivasi, kepentingan, dan pengetahuan. Penerapan REDD+
menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan yang dibuat dengan dasar
ilmu pengetahuan saintiik tertentu dapat menjustiikasi bentuk-bentuk
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

73

74

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

baru strategi sosial politik di sektor kehutanan. Strategi sosial politik ini
membentuk ruang bagi para aktor untuk menegosiasikan agenda dan
kepentingan mereka sehingga terbentuklah tata kelola kehutanan yang rumit
dan tumpang tindih. Teori governmentality memiliki keunggulan untuk
mengurai kerumitan-kerumitan ini dengan memperlihatkan (rendering
visible) “berbagai teknologi, praktik, bidang pengetahuan, pemahaman,
dan bentuk-bentuk identitas baru yang memberikan kekuasaan kepada
seorang penguasa” (Winkel 2012: 83).


Foucault (1991) membangun konsep governmentality sebagai kritik
terhadap pemahaman tradisional mengenai kekuasaan. Pemahaman tradisional ini beranggapan bahwa kekuasaan merupakan hak eksklusif penguasa
yang memerlukan praktik pemaksaan dan pendisiplinan untuk mencapai
tujuan kekuasaan. Konsep mengenai kekuasaan merupakan kontribusi
terbesar Foucault terhadap diskursus tata kelola dan kepengaturan. Dalam
he History of Sexuality: he Will to Knowledge, Foucault (1998) memaparkan
empat karakteristik utama kekuasaan. Pertama, Foucault berargumentasi
bahwa kekuasaan tidak hanya berada di tangan para penguasa; sebaliknya,
kekuasaan ada di mana-mana dan terwujud dalam berbagai praktik, diskursus,
agensi, dan institusi. Foucault (1998) menekankan bahwa kekuasaan tidak
hanya dioperasikan dari atas (top-down), tetapi juga dari bawah (bottom-

up). Konsekuensinya, Foucault menentang ide yang mendikotomikan
kuasa sebagai konsep biner yang memisahkan antara penguasa dan yang
dikuasai. Karena itu, daripada melihat kuasa sebagai hak eksklusif aparatus
negara, Foucault memandang kuasa sebagai hal yang melekat pada relasi
sosial di antara anggota masyarakat.
Kedua, walaupun Foucault menentang konsep biner kuasa, dia
tetap mengakui adanya struktur hegemoni. Foucault berargumen bahwa

implementasi governmentality mengulang dan melanggengkan teknik,
rasionalitas, dan karakteristik, baik kekuasaan mutlak (sovereign power)
maupun pendisiplinan (disciplinary power) (Foucault 1998). Memakai
penjara sebagai contoh, Foucault (1979) mendeskripsikan bahwa penegakan
disiplin merupakan strategi penerapan kekuasaan yang dimanifestasikan
melalui pembatasan, supervisi, pemantauan, dan kontrol setiap saat.
Pendisiplinan bertujuan untuk menentukan bahwa cara tertentu dalam
bersikap dapat dibenarkan dan diizinkan, sedangkan cara yang lain disalahkan dan dilarang (Foucault 1979). Penerapan strategi pemantauan
(surveillance technology) mendorong terjadinya pendisiplinan terhadap
subjek yang diatur. Pendisiplinan ini tidak hanya didorong oleh mereka
yang memiliki otoritas, tapi juga dari pemantauan sesama masyarakat.
Sebagai contoh, seseorang tidak akan membuang sampah sembarangan
walaupun tidak ada petugas kebersihan yang mengawasi. Hal ini terjadi
karena rasa malu dan takut jika diketahui oleh orang lain yang kebetulan
melihat dan bisa melaporkan pelanggaran.
Kenaikan tajam demograis penduduk pada abad ke-18 membuat
Foucault mengalihkan analisis dari upaya pendisiplinan untuk menghasilkan
individu yang patuh menjadi analisis terhadap kontrol populasi melalui
konsep biopower (Rabinow 1984). Foucault menjelaskan biopower sebagai
konsep untuk mengontrol populasi melalui seperangkat aturan dan

indikator, misalnya tingkat harapan hidup, keluarga berencana, dan ukuran
kesejahteraan. Indikator-indikator ini bertujuan untuk menciptakan populasi
yang sehat dan sejahtera dengan mendorong orang untuk mengatur diri
mereka sendiri sesuai dengan norma dan tujuan yang dianggap paling ideal
oleh masyarakat (Rabinow 1984). Foucault menjelaskan bahwa penerapan
biopower memerlukan hadirnya aparatur keamanan mulai dari bentuknya
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

75

76

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

yang paling tradisional, yaitu militer dan polisi, hingga yang modern, yaitu
sekolah dan rumah sakit (Oels 2005).
Karakteristik ketiga konsep kekuasaan menurut Foucault adalah
pengakuannya tentang resistensi atau perlawanan. Foucault menyebutkan
bahwa ketika ada kekuasaan, maka akan selalu ada resistensi (Foucault 1998).
Tetapi, Foucault menggarisbawahi bahwa resistensi tidak bisa dilihat sebagai

bagian terpisah dari kekuasaan, melainkan sebagai salah satu komponen
yang bertujuan untuk mentransformasi dan membentuk ulang kekuasaan
agar diterapkan secara berbeda. Foucault menyebut resistensi ini sebagai
“counter conduct”, sebuah usaha untuk mengadopsi atau membentuk aturan
yang berbeda, yang mungkin akan memiliki praktik, kebiasaan, dan tujuan
yang berbeda (Dean 2009). Karakteristik kekuasaan yang keempat adalah
kekuasaan bersifat dinamis dan tidak bisa diasosiasikan sebagai keinginan
orang tertentu saja, sehingga kekuasaan sangat bergantung pada dinamika
relasi sosial masyarakat (Foucault 1998).
Foucault (1991: 100) mendeinisikan governmentality sebagai pengaturan
perilaku (the conduct of conduct), yaitu upaya untuk mengarahkan
perilaku manusia. Governmentality beroperasi lewat strategi dan praktik
yang telah dikalkulasi sedemikian rupa dengan cara “mendidik keinginan
dan membentuk kebiasaan, aspirasi, dan kepercayaan”, baik individu
maupun kelompok yang ada di dalam masyarakat (Li 2007b: 26). Menurut
Foucault (1991: 100), tujuan dari upaya kepengaturan adalah membentuk
perilaku manusia, sedangkan targetnya yakni menghasilkan “kesejahteraan
masyarakat, perbaikan kondisi, peningkatan kemakmuran, kesehatan, dan
sebagainya”. Sebuah upaya kepengaturan mempekerjakan berbagai teknik,
strategi, dan pengetahuan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Dean berargumentasi bahwa governmentality adalah representasi dari
“mentalitas kolektif” yang diciptakan melalui “bidang-bidang pengetahuan,
kepercayaan, dan opini di mana pikiran dan kesadaran kita diarahkan dan
dibentuk” (Dean 2009: 16). Dalam pengertian yang luas, Foucault (1991:
102) merangkum governmentality sebagai “pranata yang dibentuk dari
beragam institusi, prosedur, analisis, releksi, dan kalkulasi yang terencana,
serta taktik yang membuat kekuasaan bisa diterapkan di tengah masyarakat
dengan memakai aparatus keamanan sebagai mekanisme utama dan
ekonomi politik sebagai pengetahuan utama”.

Dalam artikel ini, teori governmentality dianggap dapat menyediakan
alat analisis yang memadai untuk membedah kerja-kerja aktor negara
maupun nonnegara dalam memengaruhi, membentuk, dan mendeinisikan
kebijakan dan program REDD+. Governmentality memungkinkan diagnosis
yang lebih tepat dan mendalam mengenai bagaimana kumpulan praktik,
partisipan, pengetahuan, dan teknik bekerja untuk menghasilan subjek yang
dapat diatur (Hart 2004). Menggunakan governmentality dalam analisis
berarti “mengeksplorasi rezim kepengaturan yang berusaha membentuk
perilaku manusia dengan cara memeriksa kondisi-kondisi di mana kita
diatur dan bagaimana kita mengatur diri kita dan orang lain” (Dean 2009).

McKee (2009) mengajukan dua pendekatan yang saling berkaitan
untuk melakukan studi governmentality, yaitu analisis diskursus dan analisis
intervensi program dan praktik melalui metode etnograi. Pendekatan ini
dipercaya dapat melampaui tradisi analisis diskursus yang berbasis pada
analisis teks dan dokumen dengan melakukan etnograi empiris untuk
mengungkap bagaimana upaya kepengaturan dilakukan dan dikontestasi,
serta memahami konsekuensi dan efeknya (Hart 2004; Li 2007a; McKee
2009). McKee (2009: 482) berargumentasi bahwa pendekatan ini menawarkan
analisis lebih mendetail mengenai “pelaksanaan kekuasaan di sebuah
tempat (in situ) yang peka terhadap aspek ruang dan waktu”, serta dapat
memotret berbagai strategi, konlik, dan tensi di antara berbagai macam
aktor yang terlibat.
Menurut Li (2007b: 279), penelitian etnograis terhadap sebuah upaya
kepengaturan akan mengombinasikan:
“Analisis tentang intervensi kepengaturan (asal usul, diagnosis, dan resepnya, serta
pembentukan arena oleh unsur-unsur yang disingkirkan dari perencanaan) dan analisis
mengenai apa yang terjadi bila intervensi tersebut bersilang sengkarut dengan prosesproses yang hendak mereka atur dan perbaiki sehingga menghasilkan campur aduk
proses, praktik, dan pergulatan yang melampaui cakupan rencana semula.”

Para peneliti yang menggunakan kerangka governmentality memfokuskan

analisis pada upaya kepengaturan melalui eksplorasi terhadap apa yang
disebut Dean (2009) sebagai program. Program di sini dideinisikan sebagai
“intervensi yang berusaha mentransformasi sebuah rezim kepengaturan
yang telah ada dengan menggunakan teknologi dan prosedur baru yang
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

77

78

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

diharapkan dapat melahirkan unsur-unsur yang berbeda, pengetahuan
yang berbeda, dan yang akan memproduksi identitas atau subjek yang
baru” (Oels 2005: 189). Mengikuti pemikiran Foucault, Li (2007a: 28)
menyatakan bahwa program adalah fragmen dari realitas karena program
akan diikuti dengan pembentukan pranata kepengaturan dan membentuk
perilaku individu. Program membantu mendeskripsikan berbagai praktik,
proses, dan kejadian yang tidak terlihat. Sebuah etnograi terhadap upaya
kepengaturan, menurut Li (2007b), akan menganalisis bagaimana program
terbentuk dan dibentuk, serta mempertimbangkan bagaimana program
dikompromikan dan diubah untuk mengakomodasi kegagalan dan pergulatan.
Rose (1999) menyatakan, dalam upaya kepengaturan, ranah yang
akan diatur biasanya diterjemahkan dalam konsep teknis sehingga dapat
ditransfer dalam bentuk program. Hal ini disebut Dean dan Rose sebagai
teknikalisasi permasalahan di mana hal-hal yang akan diatur dikonstruksi
dan diperlihatkan melalui ranah yang mudah dimengerti (Dean 2009: 41).
Contoh mudah dalam konteks kehutanan adalah bagaimana kesemrawutan
tata ruang hutan belantara dipetakan dan dizonasi untuk mempermudah
pengaturan penggunaan dan pengelolaannya. Menurut Dean (2009), langkah
pertama dalam menganalisis upaya kepengaturan adalah mengungkap
teknikalisasi permasalahan ini.
Dimensi kedua adalah analisis terhadap strategi teknis upaya kepengaturan
atau yang disebut Dean sebagai techne (praktik). Melalui perspektif yang
sama, Li menyebut aspek teknis ini sebagai praktik atau arena intervensi yang
berfungsi sebagai implementasi dari program. Peneliti yang menganalisis
praktik-praktik dalam sebuah upaya kepengaturan akan memeriksa “cara,
mekanisme, prosedur, instrumen, taktik, teknik, teknologi, dan kosakata”
yang digunakan untuk mengatur perilaku individu maupun kelompok
masyarakat (Dean 2009: 42). Li (2007b: 279) menyarankan agar peneliti
juga menganalisis rangkaian praktik lain yang penting untuk diperhatikan,
yaitu “praktik-praktik informal kompromi dan akomodasi, serta perlawanan
kecil sehari-hari dan penolakan terang-terangan”. Sebuah studi etnograi
upaya kepengaturan akan berkonsentrasi menganalisis “praktik-praktik
yang terbentuk di sekitar, melalui, atau pun berlawanan dengan programprogram yang diterapkan” (Li 2007b: 279).

Dimensi ketiga dalam analisis upaya kepengaturan adalah episteme
atau pengetahuan-pengetahuan yang mendasari atau memungkinkan
terjadinya praktik kepengaturan (Dean 2009). Artinya, analisis dalam
governmentality akan melihat bagaimana kebenaran tertentu dikonstruksi
dan memengaruhi bagaimana kita memandang sebuah realitas (Oels 2005).
Misalnya, bagaimana diskursus modernisasi ekologi memungkinkan
diterapkannya teknologi penghitungan karbon dalam upaya konservasi
hutan dan mitigasi perubahan iklim. Analisis pengetahuan atau episteme ini
terkait erat dengan analisis mengenai strategi atau techne. Untuk itu, para
peneliti yang memakai kerangka teori governmentality akan melakukan
observasi bagaimana konstruksi kebenaran tertentu mempekerjakan
rangkaian teknologi dan strategi tertentu untuk menjustiikasi sekaligus
melanggengkan kebenaran tersebut.
Elemen terakhir dalam menganalisis upaya kepengaturan adalah memerhatikan terbentuknya identitas dan subjek baru (Feindt dan Oels 2005;
Li 2007a; Dean 2009). Untuk mempelajari elemen terakhir ini, peneliti
akan memeriksa hal berikut ini: “manusia dengan diri dan identitas seperti
apa yang akan dibentuk oleh upaya kepengaturan yang berbeda? Dan
transformasi macam apa yang dituju oleh upaya tersebut?” (Dean 2009: 43).
Dalam konteks REDD+, munculnya aktivis reformis hijau dalam gerakan
lingkungan adalah contoh terbentuknya subjek baru yang dihasilkan oleh
upaya kepengaturan di bawah rezim karbon. Para aktivis reformis hijau
memercayai bahwa untuk menyelesaikan krisis lingkungan diperlukan
mekanisme pasar yang akan memberikan insentif bagi perubahan perilaku
yang lebih mendasar. Para aktivis ini juga memercayai bahwa gerakan
masyarakat sipil harus melengkapi praktik-praktik kepengaturan negara
melalui keterlibatan kritis yang bersifat membangun (Bäckstrand dan
Lövbrand 2006).

REDD+ sebagai Upaya
Kepengaturan di Indonesia
Bagian selanjutnya dari artikel ini akan membahas strategi-strategi
kepengaturan yang bertujuan untuk memungkinkan REDD+ diterapkan di
Indonesia. REDD+ mensyaratkan diterimanya pengetahuan-pengetahuan
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

79

80

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

saintiik baru serta praktik-praktik modernisasi ekologi sebagai hal yang
lumrah dalam tata kelola hutan di Indonesia. Karbon ekonomi sebagai
rasionalitas baru coba diperkenalkan dan dinormalisasi dalam mengatur
dan mengelola relasi antara manusia dan hutan. Mengikuti kerangka analisis
yang dibangun Dean (2009) dan Li (2007a, 2007b), artikel ini akan melihat
praktik-praktik yang dipakai oleh berbagai partisipan REDD+ terutama
Pemerintah Indonesia untuk mengarusutamakan rasionalitas karbon
ekonomi di Indonesia. Karena keterbatasan tempat dan ketakmungkinan
untuk mengeksplorasi semua strategi dan praktik, artikel ini akan menyajikan
beberapa contoh praktik saja. Artikel ini merupakan hasil dari observasi
empiris awal dan analisis dokumen selama sembilan bulan. Penelitian ini
merupakan bagian dari sebuah skema penelitian ekologi politik REDD+ di
Indonesia yang mencakup tiga skala berbeda, yaitu internasional, nasional,
dan lokal.

Partisipasi sebagai Kepengaturan Gerakan Masyarakat Sipil
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat untuk memasukkan
REDD+ dalam mekanisme mitigasi perubahan iklim nasional. REDD+
diposisikan sebagai elemen utama dalam merealisasikan janji Pemerintah
Indonesia untuk mengurangi tingkat emisi hingga 26 persen pada 2020
(atau 41 persen dengan dukungan internasional) (Luttrell et al. 2012).
Janji ini menjadi keputusan resmi pada 2011 ketika Presiden Yudhoyono
mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Peraturan presiden
ini menunjukkan komitmen Indonesia dan tindak lanjut dari Rencana
Aksi Bali yang dihasilkan pada Conferences of the Parties (COP) ke-13
di Bali pada 2007 (Indrarto et al. 2012). Semenjak itu, beragam donor
internasional dan negara maju menawarkan bantuan dan dukungan, salah
satunya Pemerintah Norwegia. Pada Mei 2010, Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Norwegia menandatangani surat niat atau letter of intent
(LoI) yang menyatakan kesediaan Pemerintah Norwegia untuk membantu
pembiayaan implementasi REDD+ berbasis kinerja sebesar 1 miliar dolar
Amerika Serikat (LoI 2010). Penandatanganan surat niat ini membuka
jalan bagi dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) REDD+ melalui Keputusan

Presiden Nomor 19 Tahun 2010 yang bertujuan untuk mempercepat proses
persiapan penerapan REDD+ (Indrarto et al. 2012).
Presiden Yudhoyono menunjuk Kuntoro Mangkusubroto, yang saat
itu menjabat sebagai Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4), untuk memimpin Satgas REDD+ yang
baru dibentuk. Penunjukan Kuntoro yang dinilai memiliki prestasi baik
dan bersih dari korupsi selama menjabat sebagai Kepala Badan Pelaksana
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatra
Utara, dipercaya banyak pihak merupakan usaha Presiden Yudhoyono
untuk meningkatkan kepercayaan komunitas internasional (McGregor et
al. akan terbit). Surat niat itu dengan tegas menyatakan bahwa partisipasi
penuh para pihak dan transparansi adalah pendekatan yang akan dipakai
dalam menjalankan kerjasama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Norwegia (LoI 2010). Surat niat itu dibagi dalam tiga tahapan,
yaitu tahap persiapan, transformasi, dan implementasi penuh di mana
Indonesia akan menerima pembayaran atas pengurangan emisi karbon
yang telah diveriikasi. Masing-masing tahapan mensyaratkan dipenuhinya
beberapa indikator utama sebagai basis pengukuran capaian. Indonesia saat
ini berada di tahap persiapan, walaupun terdapat indikator capaian tahap
transformasi sudah dilaksanakan, yaitu moratorium izin pengelolaan hutan.
Partisipasi menjadi strategi politik yang diambil oleh pemerintah mengingat
REDD+ merupakan mekanisme yang pada awalnya mendapat penolakan
kencang dari kalangan masyarakat sipil (LSM) (Mann dan Surya 2009; Samon
2012). Penolakan ini didasari oleh keengganan beberapa LSM seperti Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti
Utang (KAU), dan Serikat Petani Indonesia (SPI) untuk menerima konsep
dasar REDD+ yang dianggap sebagai jalan melarikan diri bagi negaranegara maju dengan cara membeli hak untuk mengemisi lebih banyak gas
rumah kaca dari negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan
(Mann dan Surya 2009). Alasan lain penolakan terhadap REDD+ adalah
kekhawatiran bahwa REDD+ hanya akan menguntungkan segelintir kalangan
(McGregor 2010; Okereke dan Dooley 2010). Penciptaan komoditas karbon
dalam skema REDD+ dipercaya dapat melegitimasi dibentuknya pranata
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

81

82

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

baru yang memberi ruang bagi para pemburu rente untuk mengakumulasi
keuntungan. Proses akumulasi keuntungan ini dijelaskan Harvey (2004) dalam
gagasannya mengenai “akumulasi melalui pencaplokan”. Gagasan Harvey
berasal dari konsep neoliberalisasi alam di mana sistem pasar digunakan
untuk mengatur hubungan sosial antara manusia dan alam. Bangkitnya
hegemoni sistem pasar biasanya disertai dengan berkurangnya intervensi
negara dalam mendistribusikan jasa dan komoditas alam (McCarthy dan
Prudham 2004). Hal ini bukan berarti negara kehilangan signiikansinya.
Alih-alih negara memiliki peran baru untuk membangun dan mengesahkan
kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap sistem pasar yang sering kali
disertai dengan praktik-praktik kolusi dan korupsi (Castree 2011).
Sebagai salah satu sumber utama kekayaan Indonesia, hutan telah
menjadi objek kontestasi semenjak dulu (Peluso dan Vandergeest 2001).
Berbagai teknik penguasaan dan pengetahuan digunakan oleh pihak tertentu
untuk menciptakan diskursus yang melestarikan kepentingan mereka
dan memarginalisasi kepentingan yang lain (Resosudarmo 2005; Li 2012;
Luttrell et al. 2012). Resosudarmo (2005) menggarisbawahi bahwa narasi
hutan Indonesia sangat terkait dan akan terus didominasi oleh perhitungan
ekonomi dan proit. Didukung dengan koneksi politik yang sangat kuat,
narasi utama ini dipergunakan untuk menjustiikasi dicaploknya lahan
dari aktor dengan kegiatan yang dianggap tidak efektif secara ekonomi
dan kemudian diberikan kepada aktor lain yang dari kacamata ekonomi
dianggap lebih eisien dan prospektif. Kritik terhadap REDD+ juga bertolak
dari pengalaman perampasan hak atas penguasaan dan pengelolaan hutan
dengan dalih pembangunan ekonomi yang dialami komunitas-komunitas
adat, terutama mereka yang tinggal di luar Pulau Jawa (Griiths 2007;
Dooley et al. 2008; Cotula dan Mayers 2009; Goodman dan Roberts 2009;
Hall 2010). Gelombang-gelombang konsesi pengelolaan hutan dalam
wujud izin untuk menebang kayu, menambang, dan membuka perkebunan
mengepung lahan-lahan penghidupan dan kampung-kampung masyarakat
(Tsing 2005). REDD+ dikhawatirkan akan menjadi gelombang terbaru
mekanisme penguasaan lahan melalui konsesi yang diberikan untuk
restorasi ekosistem, terutama ketika kejelasan tenurial masih menjadi
pekerjaan rumah yang belum diselesaikan.

Berangkat dari kekhawatiran yang berakar sangat mendalam di tubuh
gerakan masyarakat sipil, Satgas REDD+ membentuk struktur kelompok
kerja yang membuka ruang partisipasi bagi representasi dari gerakan
masyarakat sipil. Pada awalnya sikap gerakan masyarakat sipil terbelah
antara menolak dan menerima tawaran partisipasi. Sebuah organisasi
lingkungan yang terbesar di Indonesia menyatakan dengan tegas penolakan
untuk berpartisipasi karena ketidaksepakatan secara mendasar terhadap
prinsip-prinsip neoliberalisme REDD+ (Wawancara aktivis lingkungan 1,
30 Mei 2013). Sebagian besar organisasi lain menganggap partisipasi sebagai
mekanisme kontrol masyarakat sipil terhadap proses pembangunan yang
sedang berlangsung. Memperkuat pernyataan Oels (2005) mengenai aktivis
reformis yang melihat peran masyarakat sipil sebagai komplementer negara,
sebagian besar LSM di Indonesia mengambil sikap yang mereka labeli
sebagai “keterlibatan kritis”. Strategi partisipasi dirancang sedemikian rupa
untuk membentuk ulang keinginan LSM dan menyiapkan kondisi sehingga
para aktivis bertindak sebagai bagian dari pemerintah tanpa perlu diminta.
Beberapa representasi LSM seperti Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
dan World Wide Fund for Nature (WWF) terlibat dalam keanggotaan
kelompok kerja. Terdapat setidaknya sembilan kelompok kerja di dalam
Satgas REDD+ yang diberi tugas untuk mengonsep dan menerjemahkan
ide-ide dasar pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Salah satu kelompok kerja
membangun Strategi Nasional REDD+, sedangkan kelompok kerja yang lain
menyiapkan perangkat perlindungan (safeguard); mekanisme pembiayaan;
mekanisme pemantauan, pelaporan, dan veriikasi; pengarusutamaan
REDD+ dalam kebijakan; pengelolaan provinsi percontohan; dan pelibatan
multipartisipan. Proses pelibatan langsung representasi aktivis ini diharapkan
dapat meredakan protes dan serangan terhadap diskursus mengenai
REDD+ dan menjadi strategi mendulang dukungan terutama dari gerakan
masyarakat sipil. Kekhawatiran-kekhawatiran mengenai dampak negatif
REDD+ yang kerap disuarakan LSM dikelola dan diredakan melalui
pranata-pranata regulasi, kebijakan, dan mekanisme perlindungan hak di
mana mereka terlibat langsung dalam pembuatannya.

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

83

84

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

Aktivis-aktivis yang terlibat dalam Satgas REDD+ diberi kewenangan
sebagai ahli yang dapat mengatur, membentuk, dan mendeinisikan
mekanisme tata kelola REDD+. Posisi sebagai ahli ini pula yang kemudian
membuat para aktivis ini mesti “menghadapi” rekan-rekan mereka sendiri
di gerakan masyarakat sipil dalam proses-proses konsultasi publik dan
kelompok diskusi terarah atau focus group discussion (FGD). Konsultasi
publik dan FGD merupakan strategi untuk mengetahui dan memetakan,
mengklasiikasi dan menafsirkan sikap dan dukungan aktivis LSM terhadap REDD+. Beragam motivasi, keinginan, tuntutan, kecemasan, dan
agenda-agenda yang dibawa LSM coba dipaparkan, dikelompokkan, dan
diklasiikasi untuk dapat diberi respons dan diatur. Proses inilah yang
disebut Rose sebagai teknikalisasi permasalahan, yakni serangkaian praktik
yang menampilkan “urusan yang hendak diatur sebagai ranah yang mudah
dimengerti, tegas cakupannya, jelas ciri-cirinya (…) menentukan batas
tepinya, agar tampak unsur-unsur di dalamnya, mengumpulkan informasi
mengenai unsur-unsur tersebut dan mengembangkan teknik untuk
menggerakkan kekuatan serta unsur-unsur yang telah ditampilkan tadi”
(Rose 1999 dalam Li 2012: 12–13). Agenda-agenda yang menjadi perhatian
serta kekhawatiran para LSM, misalnya persoalan tenurial, hak masyarakat
adat, dan korupsi, diatur melalui kerja-kerja teknis seperti pelembagaan
aturan serta pembuatan regulasi dan institusi baru.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pelibatan aktivis dalam proses-proses
pembuatan kebijakan REDD+ telah membawa pendekatan pemenuhan hak
(rights based approach) dalam regulasi dan implementasi REDD+. Berbagai
isu yang menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil menjadi diskursus
utama dalam berbagai seminar, workshop, konsultasi publik, pelatihan,
dan FGD. Satu hal yang menarik dalam proses keterlibatan para aktivis
ini adalah terciptanya subjek-subjek baru aktivis yang memandang dirinya
sebagai birokrat pemerintah. Dean (2009) menyatakan bahwa kesadaran
terhadap identitas baru ini memengaruhi bagaimana subjek bersikap,
berpikir, dan menjalankan strategi advokasi. Sebagai contoh, dalam sebuah
wawancara penelitian ini, seorang aktivis mengatakan bahwa keterlibatan
dalam proses-proses pembuatan kebijakan memberikannya pengalaman
dan paparan pada kerumitan birokrasi dan politik melalui sudut pandang

orang dalam (Wawancara aktivis lingkungan 2, 27 Juni 2013). Lebih lanjut,
aktivis tersebut menyampaikan bahwa sudut pandang sebagai orang dalam
ini membuatnya memiliki toleransi lebih tinggi pada kinerja pemerintah
yang didasari pada pemahaman mengenai kerumitan proses yang ada di
dalam birokrasi. Selain itu, aktivis tersebut menyatakan bahwa menduduki
posisi sebagai bagian dari tim kerja Satgas REDD+ membuatnya memilih
cara berbahasa dan bersikap yang berbeda dalam strategi advokasi. Pilihan
kata yang lebih halus, intonasi yang tidak meledak-ledak, dan sikap fasilitatif
menjadi pilihan dalam berstrategi. Terbentuknya subjek-subjek baru ini
merupakan hasil secara langsung maupun tidak langsung dari upaya
kepengaturan REDD+ melalui strategi partisipasi.
Mewacanakan Rasionalitas dan Memproduksi Karbon Ekonomi
Dalam sebuah pertemuan internasional mengenai bisnis dan lingkungan
di Jakarta pada 2011, Presiden Yudhoyono menyampaikan pandangan
terkait REDD+. Berikut ini cuplikan pidatonya:
“REDD+ adalah salah satu contoh mekanisme baru untuk mengelola sumberdaya alam
Indonesia tanpa harus mengabaikan industri-industri yang vital bagi ekonomi. Hal ini
adalah strategi berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonomi, mendorong sumberdaya manusia, memastikan keadilan sosial, dan pada
saat yang sama mencapai target pengurangan emisi karbon kita.” (Yudhoyono 2011)

Wacana mengenai REDD+ sebagai strategi pembangunan ekonomi
berkelanjutan adalah diskursus yang coba diarusutamakan para pendukung
REDD+. Dalam sebuah buklet yang diterbitkan Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, UKP4, dan Satgas REDD+, pemerintah
menargetkan pendapatan dari penjualan emisi karbon sebesar 1 miliar
dolar Amerika Serikat per tahun. Hal ini bisa dicapai jika karbon dihargai
sebesar 10 dolar Amerika Serikat per ton karbon ekuivalen dan tingkat
pengurangan emisi sebesar 200 metrik ton per tahun (Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, UKP4, dan Satgas REDD+
tanpa tahun). Angka yang cukup substansial ini mengundang ketertarikan
banyak pihak untuk menjadikan REDD+ sebagai mekanisme mitigasi
kunci perubahan iklim di Indonesia. Rasionalitas karbon ekonomi ini
membuka jalan bagi bentuk-bentuk pengetahuan saintiik baru yang
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

85

86

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

menerjemahkan jasa ekosistem hutan dalam satuan ekonomi. Memakai
pendekatan pascastrukturalis, Gupta et al. (2012) menganalisis tiga hal
utama yang diperlukan untuk mengalkulasi dan memproduksi karbon
hutan, yaitu praktik-praktik simpliikasi, standardisasi, dan komensurasi
(proses mengaitkan dan menyejajarkan satuan karbon hutan dengan satuan
karbon lainnya, misalnya karbon yang berhasil dikurangi dari proses alih
teknologi). Untuk selanjutnya, saya akan membahas dua proses yang
disebutkan Gupta et al. (2012), yaitu proses simpliikasi dan standardisasi.
Berkembangnya infrastruktur teknologi yang memungkinkan proses
pemantauan pola perubahan tutupan hutan melalui citra satelit telah
mengubah proses tata kelola hutan di dunia. Pemodelan komputer melalui
pengindraan jauh dan sistem informasi geograi mengubah praktik-praktik
pengecekan lapangan di hutan-hutan tropis menjadi proses yang bisa dilakukan
melalui layar komputer di sudut dunia mana pun. Hutan dengan segala
centang-perenang persoalan sosial, ekonomi, dan politik disederhanakan
menjadi lapisan-lapisan peta topograi, peta tutupan hutan, dan peta potensi
karbon (Lovell dan Liverman 2010). Proses simpliikasi ini penting untuk
memudahkan proses komodiikasi karbon hutan karena seluruh kerumitan
tata kelola dan hubungan sosial antara manusia dan alam yang membentuk
hutan menjadi kabur atau sengaja tidak ditunjukkan dalam lapis-lapis
citra satelit yang dihasilkan. REDD+ mensyaratkan diketahuinya sejarah
emisi yang telah dihasilkan dan potensi yang akan bisa dikurangi dalam
beberapa waktu ke depan. Dalam proses penghitungan potensi pengurangan
emisi melalui REDD+, beberapa skenario pembangunan akan dimodelkan
untuk melihat efektivitas dan nilai tambah (additionality) sebuah proyek
REDD+ dari sudut pandang ekonomi dan lingkungan. Hasil pemodelan
berupa analisis untung-rugi ini yang kemudian dipakai sebagai justiikasi
kenapa REDD+ penting dilakukan untuk menjaga keutuhan hutan tropis
dan pembangunan. Boyd (2010: 901) merangkum dengan apik proses
simpliikasi ini dengan mengatakan bahwa citra satelit, pengelolaan data
iklim global, dan pemodelan merupakan “teknologi simpliikasi yang luar
biasa yang memungkinkan hutan untuk diubah dan diambil dari konteks
lokalnya dan mengubahnya menjadi ‘satuan karbon yang dapat diatur dan
ditata’”. Melalui perspektif Foucauldian, keseluruhan proses simpliikasi

ini merupakan narasi yang disebut Rose (1999) sebagai teknikalisasi
permasalahan, yaitu sebuah proses untuk menghadirkan karbon hutan
sebagai satuan yang mudah diukur, dipetakan, dan diperjualbelikan dengan
menggunakan diskursus modernisasi ekologi (Bäckstrand dan Lövbrand
2006).
Proses berikutnya dalam memproduksi karbon kredit adalah standardisasi
dan sertiikasi (Gupta et al. 2012). Agar menjadi komoditas yang bisa
diperjualbelikan, emisi karbon yang berhasil dikurangi dari sebuah
proyek REDD+ harus melalui proses standardisasi, sertiikasi, veriikasi,
dan validasi. Proses standardisasi dan sertiikasi akan menentukan desain
dan karakteristik dari sebuah proyek REDD+. Terdapat beragam proses
standardisasi dan sertiikasi; masing-masing memiliki sistem, karakteristik,
dan mekanisme teknis yang berbeda, tetapi semuanya memerlukan
waktu, sumberdaya, dan pengetahuan yang hanya dimiliki oleh ahli
tertentu (McGregor et al. akan terbit). Setiap proses standardisasi akan
menghasilkan sertiikat pengurangan emisi karbon yang bisa digunakan
sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Salah satu contoh sistem
standardisasi adalah Veriied Carbon Standard (VCS). Inilah standar terbesar
dan paling banyak dipakai dalam sertiikasi proyek-proyek pengurangan
emisi karbon secara luas termasuk di dalamnya adalah proyek REDD+
(McGregor et al. akan terbit). Standar ini dibangun oleh koalisi tripartit
antara pelaku bisnis, pemerintah, dan organisasi nirlaba. Standar lain yang
juga banyak dikenal adalah Climate, Community and Biodiversity Standard
(CCBS). Standar ini dikembangkan oleh aliansi antara LSM internasional
seperti he Nature Conservancy (TNC), Conservation International (CI),
Cooperative for Assistance and Relief Everywhere (CARE), dan Wildlife
Conservation Society (WCS). Fokus utama dalam proses sertiikasi dengan
menggunakan CCBS adalah memeriksa manfaat tambahan (co-beneits)
yang dihasilkan oleh sebuah proyek REDD+, terutama yang terkait dengan
manfaat yang diterima masyarakat yang tinggal di dan sekitar proyek
serta perlindungan keanekaragaman hayati (McGregor et al. akan terbit).
Kedua standar ini mensyaratkan dipenuhinya beberapa kriteria, misalnya
partisipasi masyarakat, kejelasan tenurial, dan diterapkannya Free, Prior and
Informed Consent (FPIC). Dalam sudut pandang pendekatan Foucauldian,

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

87

88

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

proses standardisasi dan sertiikasi ini adalah mekanisme pengaturan
yang memberi privelese bagi bentuk-bentuk pengetahuan tertentu dan
menyingkirkan pengetahuan yang lain (Bäckstrand dan Lövbrand 2006;
Gupta et al. 2012; Winkel 2012). Pengetahuan ini memberi legitimasi bagi
bentuk-bentuk keahlian yang dimiliki dan cenderung dimonopoli segelintir
orang, terutama ilmuwan-ilmuwan dari negara maju.

Salah satu proyek REDD+ di Indonesia yang telah memiliki sertiikasi
VCS dan CCBS adalah proyek yang dijalankan PT Rimba Raya Conservation.
Proyek ini berupa kegiatan restorasi ekosistem yang terletak di Provinsi
Kalimantan Tengah (McGregor et al. akan terbit). Salah satu prasyarat
utama dilaksanakannya proyek-proyek REDD+ seperti oleh PT Rimba Raya
Conservation adalah adanya persetujuan dari masyarakat yang tinggal di
dan sekitar lokasi proyek (Mahanty dan McDermott 2013). Dalam situasi
ekonomi politik di mana masyarakat adat dan komunitas yang bergantung
pada hutan lainnya harus menghadapi ancaman perampasan lahan, FPIC
sering kali dianggap sebagai panasea untuk menghormati hak-hak mereka
(Mahanty dan McDermott 2013). Protokol ini diharapkan mengamankan
hak masyarakat untuk memberikan persetujuan atau menolak aktivitas atau
proyek yang berdampak terhadap sumberdaya mereka, salah satunya adalah
proyek REDD+ (Mahanty dan McDermott 2013). Selain berfungsi sebagai

mekanisme penjamin dipenuhinya hak masyarakat untuk memberikan
persetujuan atau penolakan, FPIC juga berfungsi sebagai strategi mitigasi
risiko bisnis bagi pengembang proyek. Persetujuan dari komunitas akan
meningkatkan keberlanjutan dan tingkat keberhasilan proyek. Dalam
konteks neoliberalisasi dan komodiikasi alam, FPIC memberikan nilai
tambah terhadap produksi sertiikat emisi karbon. Lovell dan Liverman
(2010) berargumentasi bahwa pembeli karbon kredit tertarik pada proyek
tertentu karena cerita yang melekat dalam proyek tersebut, misalnya karena
keterlibatan dan persetujuan penuh masyarakat yang diperoleh melalui
penerapan protokol FPIC. Dilaksanakannya FPIC seakan memberi jaminan
bagi pembeli karbon kredit bahwa komoditas yang mereka beli diproduksi
secara etis (McGregor et al. akan terbit).
Di lain pihak, selain melihat FPIC sebagai proses perlindungan hak
dan penambah nilai dalam komodiikasi jasa lingkungan, FPIC dapat
dilihat sebagai upaya kepengaturan masyarakat. FPIC mengandaikan
bahwa masyarakat adalah entitas yang dapat mengambil keputusan, sebuah
komunitas yang dapat bertanggung jawab dan melakukan analisis untung
rugi dalam pengambilan sikap. Walaupun sering kali proses yang terjadi
di lapangan sangat jauh dari ciri khas masyarakat neoliberal yang mandiri
dan mampu mengambil keputusan yang berbasis pada informasi dan
kalkulasi yang terencana. Persetujuan maupun penolakan yang datang dari
masyarakat sering kali diputuskan oleh elite yang memiliki akses terhadap
informasi dan pengambilan keputusan (Boyd 2010). FPIC merupakan
upaya kepengaturan yang bertujuan untuk memproduksi individu dan
masyarakat yang akan mengikuti gambaran dan idealitas tertentu dalam
melakukan interaksi dengan pemegang proyek REDD+. Kontestasi dan
pergulatan diberi ruang selama protes-protes tersebut terjadi dalam arena
konsultasi. Komunitas diajari menginginkan transparansi dan informasi
mengenai proyek yang berlangsung di sekitar kampung mereka. Tetapi,
tidak serta-merta proses yang cenderung dinilai baik ini mencoba menjawab
persoalan ekonomi politik yang selama ini dihadapi masyarakat. FPIC sering
kali direduksi menjadi dialog mengenai mekanisme distribusi paket-paket
bantuan, alih-alih membicarakan akses dan kepemilikan lahan. Bagian
selanjutnya dari artikel ini akan membahas proses pengaturan sengkarut
tata guna lahan yang diinisiasi melalui kebijakan satu peta.
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

89

90

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

Kebijakan Satu Peta: Memproduksi Ruang
dan Kawasan yang Dapat Diatur
Salah satu prasyarat dalam tahap transformasi yang diminta dalam
LoI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia adalah
dilaksanakannya moratorium pemberian izin baru untuk pengusahaan hutan
di lahan gambut dan hutan primer (LoI 2010). Setelah proses negosiasi dan
lobi yang alot antara pihak swasta, pemerintah, dan LSM, moratorium pertama
dimulai pada 2011 dan berakhir pada 2013. Melalui desakan komunitas
internasional dan LSM lingkungan, Presiden Yudhoyono memperpanjang
moratorium hingga 2015. Penerapan kebijakan moratorium ini menyasar
sektor swasta (perusahaan kayu, kelapa sawit, dan pertambangan) dan
mencoba menertibkan proses perizinan pengusahaan hutan. Tetapi,
implementasi kebijakan ini dihadang oleh persoalan tata kelola hutan yang
bersumber dari tidak adanya peta tutupan hutan dan lahan gambut yang
dipakai secara bersama, baik oleh institusi negara maupun nonnegara.
Setiap kementerian teknis dan pemerintah daerah memiliki versi peta
masing-masing dan menggunakannya untuk proses-proses pengambilan
keputusan, misalnya ketika mengeluarkan izin pengelolaan hutan (konsesi).
Akibatnya, terjadi tumpang-tindih antara satu konsesi dan konsesi lain
yang dikeluarkan berdasar pada peta yang berbeda. Selain itu, tidak adanya
keseragaman deinisi jenis hutan, misalnya deinisi mengenai hutan gambut,
menyebabkan perbedaan interpretasi lokasi yang menyebabkan perbedaan
peta. Untuk memperbaiki situasi ini, presiden menginstruksikan dimulainya
sebuah inisiatif nasional untuk membangun satu peta yang akan digunakan
lintas sektor sebagai dasar untuk proses pembangunan dan pengambilan
keputusan (Samadhi 2011).
Kebijakan satu peta diharapkan memiliki konsekuensi positif terhadap
proses klariikasi simpang siur tenurial di Indonesia. Menyelesaikan konlik
tenurial terutama yang melibatkan masyarakat-masyarakat di sekitar hutan
akan sangat berdampak terhadap tata kelola hutan yang berkelanjutan,
terutama untuk mendukung suksesnya pelaksanaan REDD+ (Stern 2006).
Dijaminnya hak tenurial akan memperkuat partisipasi komunitas dalam
proyek-proyek REDD+ dan meningkatkan posisi tawar mereka dalam
proses-proses pengambilan keputusan (Boyd et al. 2010). Berdasar pada

beberapa presentasi yang dihasilkan UKP4, kebijakan satu peta berusaha
menata centang-perenang penataan spasial hutan melalui, salah satunya,
proses menumpang susun peta kawasan hutan dengan konsesi-konsesi
yang dikeluarkan serta klaim yang diajukan masyarakat (Samadhi 2011).
Proses ini diharapkan dapat mengidentiikasi titik-titik yang diperebutkan
dan ruang di mana klariikasi tenurial bisa dilaksanakan. Tersedianya
satu data kawasan hutan diharapkan dapat memberi kejelasan terhadap
tumpang-tindih konsesi, batas kawasan hutan, dan mendeinisikan cara
untuk mengatur ruang-ruang di tingkat kabupaten dan provinsi yang sering
kali dibiarkan kabur untuk menyediakan ruang korupsi (Murdiyarso et
al. 2011). Pemerintah mengklaim bahwa salah satu capaian kebijakan satu
peta adalah upaya untuk mengumpulkan peta-peta konsesi dan beragam
informasi spasial lainnya dalam satu pusat data (Samadhi 2011). Data-data
spasial ini kemudian dikelompokkan, dipilah, dan menjadi objek analisis
dan diagnosis para ahli. Peta-peta ini kemudian ditampilkan dalam satu
geoportal sebagai mekanisme untuk meningkatkan transparansi dan
menjaring partisipasi publik (McGregor et al. akan terbit).
Kebijakan satu peta dapat dilihat sebagai strategi resentralisasi kekuasaan
kepengaturan (McGregor et al. akan terbit). Kebijakan ini memperlihatkan
siapa dan apa yang harus diatur dan bagaimana hubungan otoritatif serta
kepatuhan diharapkan bisa dijalankan di antara para pihak (McGregor et
al. akan terbit). Dibangunnya satu peta deinitif kawasan hutan bisa dilihat
sebagai mekanisme untuk membentuk kebenaran tunggal pengaturan
kawasan hutan Indonesia (McGregor et al. akan terbit). Setelah peta deinitif
dihasilkan, ruang kontestasi akan ditutup dan seluruh upaya kepengaturan
akan bersumber pada satu-satunya informasi spasial ini. Keterkaitan antara
kebijakan satu peta dan REDD+ terletak dalam kepengaturan tunggal ini.
Adanya keseragaman peta akan mempermudah pengaturan dan tata kelola
karbon ekonomi di Indonesia. Potensi nilai karbon hutan Indonesia akan
bisa dengan mudah dipetakan, dikalkulasi, dan disimulasi dalam pemodelan
sistem dan ditawarkan pada investor atau donor. Keseragaman data kawasan
hutan dan potensi karbon akan memberikan jaminan keamanan bagi para
investor maupun donor yang tertarik mengembangkan proyek mereka di
Indonesia (McGregor et al. akan terbit).

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

91

92

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

Salah satu hal yang saat ini menjadi perhatian para pihak di sektor
kehutanan dan REDD+ adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap Undang-Undang
Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk
menerima sebagian permohonan yang diajukan AMAN bersama dengan
dua komunitas adat, yaitu Kenegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu, untuk
mengembalikan hak kepemilikan hutan adat kepada masyarakat hukum
adat. Sebagai bagian dari euforia menanggapi keputusan ini, masyarakat
beramai-ramai memasang plakat di tanah-tanah yang mereka klaim sebagai
tanah atau hutan adat. Euforia ini ditindaklanjuti dengan proses percepatan
pemetaan wilayah-wilayah adat yang difasilitasi salah satunya oleh AMAN
dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) (McGregor et al. akan
terbit). Sebagian dari kerja-kerja lembaga ini didukung oleh dana-dana
persiapan REDD+ yang bertujuan untuk memperkaya proses klariikasi
tenurial. Lebih dari 2,4 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan telah
diserahkan AMAN dan JKPP kepada Badan Informasi Geospasial (BIG)
dan UKP4 (Satgas REDD+ 2013). Data ini mereka serahkan agar dapat
diveriikasi dan diakui pemerintah dan digunakan untuk memperkaya
kebijakan satu peta. Peta-peta yang telah diserahkan ini akhirnya disimpan
dan dipajang dalam geoportal online. Tetapi, proses transparansi data ini
tidak serta-merta memuluskan diakuinya secara legal kepemilikan lahan
oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak mengubah situasi masyarakat, di mana
mereka membutuhkan klariikasi tenurial sebagai senjata menghadapi
proses-proses pencaplokan dan perampasan lahan (McGregor et al. akan
terbit). Kebenaran tunggal yang coba dikreasi melalui kebijakan satu
peta sepertinya akan menghadapi jalan panjang kontestasi. Paling tidak,
LSM seperti AMAN dan JKPP mengupayakan agar persoalan-persoalan
ekonomi politik akses lahan masyarakat tidak lagi tersembunyi di balik
gambar-gambar peta yang ditumpang susun sedemikian rupa.

Kesimpulan
REDD+ mewujud melalui berbagai macam strategi dan praktik yang
lahir karena didorong oleh rasionalitas karbon ekonomi yang berkelindan
dengan beragam motivasi lain untuk memperbaiki tata kepengaturan hutan di

Indonesia. Sulit untuk mengetahui dengan pasti apakah REDD+ merupakan
mekanisme pasar yang bertujuan satu-satunya untuk memuaskan dahaga
sistem neoliberalisme melalui akumulasi modal keuntungan. Dana-dana
persiapan REDD+ telah dimanfaatkan oleh gerakan masyarakat sipil untuk
memperkuat akses masyarakat terhadap lahan melalui proses pemetaan
wilayah adat dan penguatan kerangka pengaman hak. Di lain pihak, strategi
partisipasi yang diambil pemerintah telah menyebabkan para aktivis
mengadopsi subjektivitas baru yang menempatkan posisi mereka sebagai
birokrat atau konsultan. Tentu saja menyebutkan bahwa hal ini adalah
proses depolitisasi gerakan lingkungan merupakan sebuah keterburuburuan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak jangka panjang
terciptanya subjektivitas baru ini terhadap gerakan masyarakat sipil.
Hampir tujuh tahun REDD+ masuk di Indonesia. Selama masa persiapan
yang dimulai dari 2010 hingga 2013, pemerintah telah menghasilkan
Strategi Nasional REDD+, kerangka perlindungan sosial dan lingkungan,
panduan FPIC, serta lebih dari tiga ratus publikasi lain. Sebuah institusi
baru setingkat kementerian untuk mengatur tata kelola REDD+ juga telah
disahkan dan kepala institusi tersebut ditunjuk oleh presiden. Tetapi,
niat baik ini tidak serta-merta mengubah kekuasaaan dalam pengaturan
sengkarut tata kelola hutan di Indonesia. Proses-proses persiapan REDD+
telah berhasil membawa diskursus sosial politik kehutanan dalam arenaarena perdebatan di antara berbagai pihak. Namun, jika ditelusur lebih
lanjut, alih-alih menjawab persoalan mendasar ekonomi politik kehutanan,
aktivitas-aktivitas mahal ini justru lebih disibukkan dengan teknikalisasi
permasalahan. Hal ini terutama dilakukan melalui proses-proses modernisasi
ekologi seperti standardisasi dan sertiikasi karbon yang dilembagakan
melalui pranata regulasi dan institusi baru. []

Daftar Pustaka
Bäckstrand, K. dan E. Lövbrand. 2006. “Planting Trees to Mitigate Climate Change:
Contested Discourses of Ecological Modernization, Green Governmentality
and Civic Environmentalism.” Global Environmental