ANALISIS PERANG CHECHNYA I DAN PERANG CH

ANALISIS PERANG CHECHNYA I DAN PERANG CHECHNYA II DALAM
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Mata Kuliah Hukum Humaniter Internasional

Disusun Oleh:
Calista Dyah Amalia

(13/345256/SP/25526)

Fifi fitriana

(13/353955/SP/26022)

Fathia Rahmawati

(13/347809/SP/25686)

Jasmine Nadhira Lathifazaputri

(14/364281/SP/26073)


Rosie Budi Wibowo

(14/364374/SP/26098)

Ghiffari Amirullah Hakim

(14/367460/SP/26396)

Gde Aditya Widyatama

(14/368472/SP/26431)

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kajian ilmu hubungan internasional, terdapat tiga bentuk interaksi antar negara,
yaitu coexistence, cooperation, dan conflict. Namun, dari keseluruhan bentuk interaksi
tersebut, perang dan konflik merupakan suatu fenomena yang tidak dapat terhindarkan akibat
adanya perbedaan kepentingan antar negara. Isu mengenai perang dan konflik bersenjata
terus dipelajari sebagai bentuk penggunaan kekuatan militer untuk meraih kepentingan politik
suatu negara. Dalam rangka untuk mencapai kepentingan tersebut, suatu negara dapat
melakukan intervensi terhadap aktor-aktor internasional lain, termasuk terhadap aktor negara
yang mempunyai kedaulatan atau kekuasaan tertinggi atas wilayahnya. Konflik antar negara
yang terjadi pun tidak jarang melibatkan dan merugikan non kombatan, dalam hal ini
penduduk sipil, ataupun kombatan terutama dalam hal kemanusiaan. Hukum Humaniter
Internasional terkait dengan hal tersebut hadir dalam rangka sebagai jembatan antara
kepentingan negara untuk mewujudkan kepentingan melalui perang serta kebutuhan untuk
melindungi hak-hak kemanusiaan pihak-pihak yang tidak terlibat dalam konflik yang terjadi.
Hukum Humaniter Internasional menjadi penting untuk mengurangi penderitaan yang
dialami oleh masyarakat akibat adanya perang, dengan mengatur perlindungan terhadap
kombatan dan non kombatan serta mengatur penggunaan alat dan cara untuk berperang dalam
situasi perang dan konflik bersenjata. Untuk mewujudkan penerapan Hukum Humaniter
Internasional, dibutuhkan peran dan dukungan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang
terlibat langsung dalam perang atau konflik. Selain itu, institusi-insitusi yang menegakkan

Hukum Humaniter Internasional seperti International Committee of the Red Cross dan
International Criminal Court pun dibutuhkan dalam menerapkan Hukum Humaniter
Internasional, baik memberikan bantuan kemanusiaan pada saat situasi perang maupun
memberikan sanksi hukuman bagi pelanggar berat Hukum Humaniter Internasional. Namun,
apabila melihat kenyataan yang terjadi, prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional
seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dimana pihak-pihak
tersebut terkesan mengutamakan pencapaian kepentingan masing-masing.
Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II merupakan konflik yang melibatkan
Republik Chechnya dan Federasi Rusia, yang disebut sebagai konflik paling parah setelah
Perang Dingin. Chechnya merupakan wilayah yang terletak di Kaukasus Utara dan menjadi

bagian dari Federasi Rusia, yaitu wilayah otonom dengan berbagai macam etnis. Menurut
Perserikatan Bangsa-Bangsa, akibat dari Perang Chechnya telah menjadikan Chechnya
menjadi wilayah yang paling hancur lebur di muka bumi. Dalam hal ini, Perang Chechnya I
dan Perang Chechnya II dapat diidentifikasi sebagai konflik bersenjata non internasional,
dimana Chechnya merupakan suatu entitas negara yang telah menyatakan kemerdekaan
setelah perpecahan Uni Soviet pada bulan Oktober 1991. Hal tersebut yang kemudian
menjadi faktor pemicu terjadinya konflik, yaitu bahwa Federasi Rusia kemudian masih
memiliki anggapan bahwa Republik Chechnya merupakan bagian dari wilayah negara
tersebut setelah tiga tahun menjalankan pemerintahan di luar pemerintahan Federasi Rusia.

Perang Chechnya I kemudian pecah pada tahun 1994 hingga 1996, yang diselesaikan melalui
Plan of Peaceful Conflict Resolution in Chechnya pada bulan Maret 1996 yang diajukan oleh
Presiden Rusia, Boris Yeltsin. Adanya persetujuan tersebut pada akhirnya menandakan
pengakuan terhadap Chechnya secara de facto. Meskipun begitu, konflik antara Republik
Chechnya dengan Federasi Rusia kembali terjadi dengan adanya upaya serangan oleh
pemberontak Dagestan, yaitu Islamic International Brigade. Hal tersebut menyebabkan
Federasi Rusia kemudian mengirimkan pasukan pada 1 Oktober 1999 ke wilayah Republik
Chechnya. Konflik di antara kedua pihak tersebut berlangsung hingga bulan April 2009, yaitu
dalam jangka waktu sepuluh tahun dikarenakan adanya faktor penyebab yang dapat dikatakan
kompleks. Adanya pernyataan kemenangan oleh Federasi Rusia yang menyatakan telah
menghilangkan gerakan pemberontak menyebabkan pemerintahan Republik Chechnya
berakhir. Menurut Richard Sakwa dalam Chechnya: From Past to Future, jumlah korban
Perang Chechnya I diperkirakan mencapai 80.000-120.000 orang, sedangkan Perang
Chechnya II mengakibatkan adanya 25.000-50.000 orang.1 Meskipun begitu, jumlah korban
baik kombatan maupun non kombatan yang berasal baik dari pemberontak Chechnya maupun
angkatan bersenjata Rusia tidak dapat ditentukan sebagai akibat berbagai bentuk pelanggaran
Hukum

Humaniter


Internasional

sepert

serangan

militer,

penyiksaan,

cleansing,

pemerkosaan, bahkan penggunaan tentara anak dan human shield.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana efektivitas penerapan Hukum Humaniter Internasional dalam Perang
Chechnya I dan Perang Chechnya II?

1 Richard Sakwa, Chechnya: From Past to Future (Kent: Anthem Press, 2015) hal. 140.

C. LANDASAN TEORI

a. Protokol Tambahan II 1977 mengenai Korban Sengketa Bersenjata Non
Internasional.
b. Pasal 3 mengenai Ketentuan yang Sama mengenai Kejahatan Perang
Kejahatan perang merupakan perbuatan yang melawan orang-orang yang tidak ikut
secara aktif dalam peperangan, termasuk pasukan militer yang telah meletakkan
senjata dan telah mundur dari peperangan karena menderita sakit, terluka, dihukum,
atau karena sebab lain.
c. Rome Statue of International Criminal Court mengenai Kejahatan Melawan
Kemanusiaan.
Kejahatan melawan kemanusiaan merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang disengaja yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
d. Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Kejahatan Perang
Kejahatan perang merupakan pelanggaran Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu
perbuatan melawan manusia atau properti yang dilindungi dibawah ketentuan dalam
Konvensi Jenewa. Pasal 49 Ayat 1 Konvensi Jenewa memuat aturan sebagai berikut:
“the high contracting parties undertake to enact any legislation necessary to provide
effective penal sanctions for person commiting, or ordering to be committed, any of
the grave breaches of the present convention in the following article.”
Pasal 49 Ayat 1 tersebut memuat bahwa pihak yang telah melakukan persetujuan atas

konvensi tersebut, dalam hal ini negara, memiliki kewajiban untuk menerapkan
Hukum Humaniter Internasional dalam memberlakukan sanksi bagi pihak yang
melakukan pelanggaran yang telah termuat dalam Konvensi Jenewa 1949. Oleh
karena itu, dapat terlihat bahwa efektivitas penerapan Hukum Humaniter
Internasional merupakan tanggung jawab negara sebagai pihak yang melakukan
ratifikasi.
D. ARGUMEN UTAMA
Konflik bersenjata atau dalam hal ini perang yang terjadi antara Republik Chechnya
dengan Federasi Rusia dapat digolongkan menjadi konflik bersenjata non internasional. Hal

tersebut dikarenakan Republik Chechnya belum mendapatkan pengakuan sebagai sebuah
negara yang berada di luar kekuasaan Federasi Rusia, dimana pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik tersebut adalah kelompok pemberontak Chechnya dan angkatan bersenjata
Rusia. Meskipun Federasi Rusia telah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Jenewa 1949
pada tahun 1960 dan Protokol Tambahan I dan II pada tahun 1989 di bawah Uni Soviet,
namun terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh negara tersebut terhadap Hukum
Humaniter Internasional. Republik Chechnya dalam hal ini tidak dapat dianggap melakukan
pelanggaran dikarenakan dalam Hukum Humaniter Internasional, aktor yang diakui dalam
penerapan hukum tersebut adalah entitas negara. Federasi Rusia melakukan konflik
bersenjata melawan kelompok pemberontak melalui Perang Chechnya I dan Perang

Chechnya II dikarenakan Federasi Rusia ingin mempertahankan wilayah yang dimiliki.
Sedangkan di sisi lain, Republik Chechnya mempertahankan status yang dimiliki dikarenakan
memiliki perbedaan etnis dengan Federasi Rusia, sehingga lebih baik untuk memiliki suatu
entitas negara yang terpisah.

BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. KRONOLOGI PERANG CHECHNYA I DAN PERANG CHECHNYA II
a. PERANG CHECHNYA I (1994-1996)
Pasca keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 kemudian menyebabkan kemunculan
usaha-usaha untuk melepaskan diri dari Federasi Rusia yang dilakukan oleh daerah-daerah
otonom yang berada di bawah pemerintah Federasi Rusia, termasuk gerakan separatis yang
dilakukan oleh Republik Chechnya. Republik Chechnya sebelumnya merupakan wilayah
jajahan Federasi Rusia pada tahun 1864, namun kemudian muncul perlawanan yang dipimpin
oleh Avar Shamil dari wilayah Dagestan. Meskipun begitu, keterlibatan angkatan bersenjata
Rusia di Kaukasus telah dilakukan sejak abad kedelapanbelas, dimana pada tahun 1785-1791
terjadi pemberontakan pertama di Chechnya terhadap kekaisaran Rusia. Pada awal abad
kesembilanbelas, Kaukasus bergabung dengan Kekaisaran Rusia untuk melawan Kekaisaran
Ottoman dan Persia pada masa itu, namun konflik berkepanjangan tetap terjadi dan berakhir
dengan Great Caucasian War pada tahun 1864, yang menyebabkan perubahan persebaran di

wilayah Kaukasus Utara.2 Republik Kaukasus Utara kemudian dibentuk pada tahun 1936,
namun dikarenakan tuduhan kerjasama dengan Nazi Jerman, penduduk Chechnya mengalami
deportasi pada tahun 1944 ke Kazakhstan, yang dikembalikan pada tahun 1957. Setelah
menjadi bagian dari Uni Soviet hingga tahun 1991, penduduk Chechnya menginginkan
kemerdekaan menjadi suatu negara seiring dengan keruntuhan Uni Soviet pada bulan
November 1991. Republik Chechnya merupakan wilayah pertama yang menyatakan
kemerdekaan dari Republik Kaukasus Utara, yaitu pada tahun 1990, wilayah tersebut telah
membentuk Chechnya National Congress (CNC) yang membentuk konstitusi dan angkatan
bersenjata dalam negeri. Pada pertengahan tahun 1991, CNC bahkan melakukan pemilihan
anggota parlemen dan presiden serta merancang perjanjian terhadap Rusia untuk mengakui
bangsa Chechnya dan kesalahan di masa lalu dengan pembentukan pemerintahan berdasarkan
prinsip demokratis.
Dengan kondisi wilayah Chechnya yang kaya akan sumber daya alam kemudian
membuat Chechnya merasa yakin akan dapat berdiri sendiri dengan memisahkan diri, namun
di sisi lain Rusia takut dengan efek domino yang mungkin saja terjadi apabila Rusia
melepaskan Chechnya. Rusia memiliki anggapan bahwa hal tersebut akan memancing usaha
2 Olga A. Vorkunova, “The Chechnya Case,” dalam Journeys Through Conflict: Narratives and Lesson, ed.
Hayward R. Alker, Ted Robert Gurr, dan Kumar Rupesinghe (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), hal. 118.

dan gerakan serupa terjadi di daerah-daerah bekas Uni Soviet lain. Rusia memiliki

kekhawatiran akan mengalami kehancuran dikarenakan disintegrasi wilayah seperti yang
terjadi terhadap Uni Soviet maupun Yugoslavia. Pada bulan November 1991, Rusia telah
melakukan tindakan untuk menegaskan kedaulatan Rusia atas Chechnya, namun menemui
kegagalan dan kemudian menimbulkan konflik yang berlanjut hingga tahun 1993. Dalam
masa tiga tahun yaitu antara tahun 1991 sampai 1994, Chechnya menanggap bahwa negara
tersebut telah memiliki kedaulatan sebagai negara yang terpisah, bahkan menolak untuk
melakukan partisipasi dalam pemilihan umum dan referendum pada bulan Desember 1993. 3
Oleh karena itu pada akhirnya pemerintah Rusia mengeluarkan berbagai kebijakan dalam
mengatasi pemberontakan yang terjadi di Chechnya tersebut, termasuk kebijakan untuk
melakukan perang secara terbuka melawan kelompok separatis Chechnya pada tahun 1994
dan 1999 yang kemudian dikenal sebagai Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II.
Adanya bibit konflik antara kedua negara tersebut pun menyebabkan ketidakpastian ekonomi,
politik, dan sosial di Chechnya.
Berdasarkan pemaparan Ketua Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma) periode 1994
hingga 1996, yaitu Ivan Rybkin, Rusia tidak dapat membiarkan kemerdekaan sepihak
Chechnya berlanjut dikarenakan Chechnya mulai menjadi ancaman nasional bagi Rusia. Hal
tersebut kemudian memicu reaksi dari Rusia, dimana meskipun hanya memiliki sedikit waktu
untuk melakukan persiapan operasi militer, pada akhirnya tanggal 11 Desember 1994, Rusia
mengumumkan Perang Chechnya I. Dengan pengumuman perang tersebut, pasukan-pasukan
Rusia mulai masuk ke wilayah Chechnya dari arah utara, barat, dan timur, dengan rencana

untuk mengambil alih kembali Republik Chechnya dalam waktu dua jam, namun ternyata
mereka harus menghadapi perlawanan yang sangat keras. Pasukan Rusia kemudian berhasil
menerobos masuk dan menduduki Kota Grozny yang merupakan ibukota Chechnya serta
melakukan penyerangan massal terhadap pusat kota. Melalui penyerangan tersebut, Rusia
memiliki harapan untuk dapat menaklukkan Dudayev, rezim yang berkuasa pada masa itu
dan menggantikan dengan rezim pro-Rusia. Hal tersebut tidak mudah dikarenakan pasukan
Chechnya memiliki tingkat loyalitas yang cukup tinggi dengan Dudayev sehingga dapat
menghalangi gerak pasukan Rusia. Meskipun begitu, pada akhirnya pasukan Chechnya
diharuskan mundur dikarenakan keunggulan pasukan Rusia, baik secara jumlah maupun
kualitas persenjataan sehingga menyebabkan pasukan Chechnya yang tersisa terpaksa
mundur.
3 Olga A. Vorkunova, hal. 119.

Keunggulan pasukan Rusia tersebut tidak menghentikan perlawanan pasukan
Chechnya, dimana seiring dengan pergantian tahun, Rusia mulai melancarkan serangan
kembali, dengan melakukan pengepungan ke pusat-pusat kota di Chechnya. Dalam hal ini,
Rusia melakukan serangan udara maupun tembakan artileri terhadap gedung-gedung yang
memiliki kepadatan populasi penduduk sipil yang tinggi. Selain itu, terjadi baku tembak
antara pasukan Rusia dengan pasukan Chechya yang mengakibatkan banyak korban
berjatuhan. Berdasarkan aksi tidak manusiawi yang dilakukan oleh Rusia tersebut, tercatat
lebih dari 250.000 orang, yaitu sebagian besar merupakan penduduk sipil Chechnya
dinyatakan tewas pada Perang Chechnya I.4 Selain itu mengakibatkan korban tewas, tindakan
tersebut memaksa sekitar 300.000 penduduk sipil untuk meninggalkan Republik Chechnya
serta memulai untuk hidup di tempat baru. Tindakan yang mengakibatkan banyak korban
jiwa, terutama penduduk sipil tersebut memancing kritik dari berbagai pihak, termasuk dari
masyarakat internasional yang menganggap Rusia tidak memperhatikan keselamatan
penduduk sipil di medan perang. Perang tersebut bukan lagi menjadi perang nasionalis antara
pihak Rusia dengan pihak Chechnya, namun juga menjadi perang yang mengundang
kecaman dunia internasional. Meskipun begitu, pemerintah Rusia menyanggah dan
menganggap bahwa Rusia tidak bersalah dan sebaliknya menuduh pasukan Chechnya yang
melarang penduduk sipil untuk meninggalkan Grozny dan menggunakan mereka sebagai
tameng hidup (human shield).
Meskipun mendapatkan kecaman dari dunia internasional, perang antara Rusia dan
Chechnya masih tetap berlanjut dengan pelaksanaan serangan yang kembali dilakukan oleh
Rusia di Kota Grozny, namun serangan tersebut berhasil digagalkan oleh pasukan Chechnya,
sehingga Rusia kehilangan lebih dari 1000 combatant. Oleh karena itu, Rusia kemudian
melakukan perubahan taktik, yaitu dengan melakukan pengeboman secara membabi buta
untuk

menghancurkan

tempat-tempat

persembunyian

pasukan

Chechnya.

Dengan

melancarkan taktik pengeboman tersebut, Rusia berhasil meraih kemenangan kembali dan
dapat menguasai Istana Kepresidenan Chechnya beserta seluruh wilayah Kota Grozny di
bagian utara. Tidak berhenti sampai disitu, setelah penguasaan Kota Grozny jatuh di tangan
Rusia, pasukan Chechnya kembali berusaha melakukan serangan dengan menggunakan taktik
defensive melalui serangan gerilya maupun melancarkan aksi penyanderaan terhadap warga
sipil untuk menekan pemerintah Rusia serta untuk memberi kesan terhadap pihak-pihak yang
tidak terlibat dalam konnflik pemerintah Rusia tidak dapat menjamin keselamatan penduduk
4 Svante Cornell dan Micahel Jonsson, Conflict, Crime, and the State in Postcommunist Eurasia (Pennsylvania:
Pennsylvania Press, 2014), hal. 151.

sipil di tempat lain. Salah satu penyanderaan terbesar yang dilakukan oleh pasukan Chechnya
adalah di sebuah rumah sakit di Budyonnovsk, Rusia Selatan dengan melakukan sandera
terhadap 1500 penghuni rumah sakit. Aksi penyanderaan di rumah sakit tersebut pun
membuat kedua belah pihak membuat kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata
meskipun dalam waktu relatif singkat. Pada periode waktu yang sama pula, pasukan
Chechnya melakukan percobaan pembunuhan terhadap Jenderal Anatoliy Romanov, yang
pada saat itu menjabat sebagai pemimpin pasukan Rusia di Chechnya.
Satu tahun kemudian yaitu pada 6 April 1996, pasukan separatis Chechnya melakukan
serangan besar-besaran ke Kota Samashki dan Grozny yang pada saat itu dikuasai oleh Rusia.
Serangan tersebut berhasil dilakukan oleh pasukan Chechnya meskipun dalam waktu singkat
untuk kemudian melakukan pengamanan berbagai stok kendaraan militer dan persenjataan
milik Rusia. Setelah itu yaitu satu bulan kemudian, pasukan Chechnya melakukan serangan
mendadak terhadap konvoi kendaraan Rusia yang menewaskan ratusan tentara, namun pada
21 April 1996, pihak Rusia melakukan serangan balasan terhadap presiden Chechnya yang
tewas karena terkena hantaman rudal. Meskipun begitu, kemenangan Perang Chechnya I
berada di pihak Chechnya yaitu pada bulan Agustus 1996 dengan penarikan pasukan Rusia
dari wilayah Chechnya, yang menandakan kekalahan dan aib bagi Rusia. Pada Perang
Chechnya I, pihak Rusia kehilangan banyak combatant, yaitu kurang lebih 3.826 hingga
14.000 orang. Kekalahan Rusia tersebut disebabkan oleh kerusakan material serta jumlah
korban meninggal dari pihak Rusia yang merupakan akibat dari kesalahan taktik yang
dilancarkan oleh pihak Rusia.
b. PERANG CHECHNYA II (1999-2009)
Perang Chechnya I yang berakhir pada bulan Agustus 1996 tidak menjadi akhir dari
konflik antara pihak Rusia dengan pihak Chechnya, dimana dalam jangka waktu tiga tahun
kemudian, terjadi Perang Chchen II. Awal dari perang lanjutan tersebut adalah dikarenakan
aksi penculikan dan kriminalitas yang dilakukan oleh pihak Rusia di wilayah Chechnya
dikarenakan pengamanan minimal yang diberlakukan oleh pemerintah Chechnya. Tindakan
penculikan tersebut menjadikan tokoh penting Rusia maupun mantan anggota wajib militer
sebagai target. Dengan tindakan tersebut, kekerasan bersenjata di Chechnya terus berlanjut
bahkan disusul dengan ledakan bom yang terjadi di Pasar Vladikavkaz yang terletak 30 mil
sebelah utara perbatasan antara Chechnya dengan Rusia. Pada bulan Agustus 1999,
mujahidin atau milisi Islam memiliki rencana untuk menyatukan Dagestan dan Chechnya,
dalam rangka mewujudkan negara islam di wilayah tersebut, dengan melakukan penyerbuan

di daerah timur Chechnya. Aksi penyerbuan tersebut memancing reaksi dari pihak Rusia yang
mengerahkan kemudian angkatan bersenjata ke wilayah Dagestan, dimana hanya dalam
beberapa minggu penyerangan, pihak Rusia dapat berhasil mengalahkan mujahidin tersebut.
Namun, hal tersebut kemudian dijadikan alasan oleh Rusia untuk melakukan invasi militer
kembali ke wilayah Chechnya, yaitu dalam rangka menyingkirkan milisi Islam Chechnya,
yaitu dengan serangan militer udara yang dilakukan oleh Rusia. Setelah serangan udara
tersebut, angkatan bersenjata Rusia masuk ke dalam wilayah Chechnya yang berada du
bawah pemerintahan Presiden Aslan Maskhadov yang menawarkan kerjasama untuk
menyingkirkan milisi Islam, namun ditolak oleh Rusia dengan tetap melanjutkan serangan
militer.
Kekalahan pada Perang Chechnya I oleh pihak Rusia yang diakibatkan oleh kesalahan
pelaksanaan taktik perang, membuat Rusia lebih berhati-hati dalam melakukan serangan pada
perang kedua, yaitu dengan melakukan serangan melalui udara dan artileri terlebih dahulu
sebelum kemudian melakukan serangan darat untuk masuk ke wilayah sasaran. Pihak Rusia
pun menyusun taktik untuk tidak menyerang Kota Grozny secara langsung, melainkan
melakukan penyerangan di kota-kota sekitar terlebih dahulu. Dengan pelaksanaan gerakan
penyerangan tersebut, Presiden Aslan Maskhadov meminta seluruh penduduk sipil Chechnya
untuk melakukan perang suci terhadap lawan. Pada bulan Desember 1999, setelah pihak
Rusia menguasai wilayah di sekitar Grozny, pihak Rusia pun mulai melakukan serangan ke
ibukota Chechnya tersebut, yang pada akhirnya jatuh pada bulan Juni 2000 dengan menunjuk
pemimpin sementara Chechnya, yaitu Akhmad Kadyrov. Kejatuhan ibukota Chechnya
tersebut dikarenakan pasukan Rusia mengalihkan fokus prajurit Chechnya untuk melanjutkan
aksi perlawanan dikawasan pegunungan, yang dikenal sebagai periode gerilya. Pada tahuntahun selanjutnya, intensitas konflik semakin berkurang apabila dibandingkan dengan perang
yang pertama, namun kondisi di Chechnya belum terbilang aman, dimana aksi penyerangan,
pembunuhan rahasia, bom bunuh diri, maupun pemasangan ranjau di berbagai titik terus
dilakukan oleh pihak anti Rusia.
Adanya sentimen anti Rusia tersebut diperlihatkan pada tahun 2004, yaitu ketika para
pejuang anti Rusia tersebut melakukan aksi peledakan bom di stasiun kereta api Moskow.
Sedangkan pada tahun 2005, pihak Rusia melakukan serangan terhadap Chechnya dengan
melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh penting Chechnya, termasuk
Presiden Aslan Maskhadov. Pada akhirnya, pada tahun 2007, di bawah kepemimpinan Dokka
Umarov, diumumkan mengenai pembubaran Republik Chechnya yang diiringi dengan

pendirian Emirat Kaukasus sebagai pengganti, yang didaulat oleh Dewan Keamanan PBB
memiliki hubungan dengan ekstrimis internasional Al-Qaeda. Dua tahun kemudian yaitu pada
tahun 2009, situasi keamanan di Chechnya semakin membaik, dimana pada tahun tersebut,
pemerintah Rusia memutuskan untuk menarik mundur seluruh pasukan, yang menandai akhir
Perang Chechnya II. Bangunan-bangunan kota yang hancur yang diakibatkan oleh perang
tersebut mulai diperbaiki dengan bantuan keuangan dari pemerintah Rusia. Pada akhirnya,
Chechnya mendapatkan status sebagai negara bagian yang memiliki otonomi luas dan
memiliki undang-undang sendiri. Meskipun begitu, tidak jauh berbeda dengan Perang
Chechnya I, Perang Chechnya II pun menelan banyak korban, yaitu diantaranya di pihak
Rusia sebesar 7.000 hingga 11.000 jiwa, sementara di pihak Chechnya sebesar 16.000 jiwa,
sedangkan untuk korban jiwa yang berasal dari penduduk sipil sebesar 30.000-50.000 jiwa.
B. DAMPAK KEMANUSIAAN PERANG CHECHNYA I DAN PERANG CHECHNYA
II
Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II seperti yang telah disebutkan sebelumnya
telah menimbulkan berbagai dampak kemanusiaan, baik kerusakan material maupun korban
tewas. Pada Perang Chechnya I, meskipun telah diruntuhkan oleh Dzhokar Dudayev,
pendudukan Rusia atas Chechnya pada tahun 1991 telah berubah menjadi perang yang
sesungguhnya pada tanggal 11 Desember 1994. Hal tersebut dipicu oleh kerusuhan serius
pada bulan November di tahun yang sama. Lebih dari 100.000 penduduk Chechnya 5
kehilangan nyawa dalam perang tersebut, sedangkan puluhan ribu jiwa dipaksa mengungsi.
Selain itu, dalam perang tersebut, Chechnya kehilangan ratusan sumber-sumber sejarah dan
ekonomi. Pada saat Rusia mengumumkan bahwa Chechnya adalah urusan dalam negeri
negara tersebut, tidak terdengar kecaman dari luar, bahkan dengan adanya serangan
pengeboman yang dijatuhkan di setiap meter persegi wilayah Chechnya. 6 Dapat dikatakan
bahwa perang yang terjadi merupakan bentuk pembersihan etnis, sebagaimana yang belum
pernah disaksikan dalam sejarah dunia, dengan menggunakan senjata kimia yang sebenarnya
telah dilarang hingga saat ini. Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia merilis laporan
mengenai korban pasukan Rusia dalam Perang Chechnya I, yaitu 3.826 tentara tewas, 17.829

5 “Case Study: The Massive Deportation of the Chechen People: How and Why Chenchens were Deported,”
Mass Violence, 2015, diakses pada 27 September 2015, http://www.massviolence.org/The-MassiveDeportation-of-the-Chechen-People-How-and-why?artpage=8#outil_sommaire_5.
6 “Case Study: The Massive Deportation of the Chechen People: How and Why Chenchens were Deported,”
Mass Violence, 2015, diakses pada 27 September 2015, http://www.massviolence.org/The-MassiveDeportation-of-the-Chechen-People-How-and-why?artpage=8#outil_sommaire_5.

terluka, sedangkan 1.906 lainnya hilang dalam pertempuran. 7 Data lain dari NVO, majalah
mingguan Rusia khusus masalah militer yang merilis data korban dari pihak Rusia terdiri dari
5.362 tewas, 52.000 terluka dan 3.000 lebih hilang dalam pertempuran. 8 Sedangkan, untuk
jumlah korban dari gerilyawan Chechnya tidak banyak diketahui. Jumlah warga sipil yang
tewas dalam pertempuran tersebut mencapai 100.000 jiwa, dengan pasukan gerilyawan yang
tewas sekitar 300.000 hingga 400.000 jiwa.9 Perolehan data untuk menentukan jumlah
gerilyawan yang tewas sulit untuk dilakukan dikarenakan banyak diantara para gerilyawan
yang berusia dibawah umur sehingga sulit dideteksi.
Rusia yang harus menerima Chechnya sebagai negara terpisah dalam perjanjian yang
ditandangani para pejabat tinggi di bulan Agustus 1996 dan Mei 1997, tampak telah
menerima keadaan tersebut. Namun di bulan Oktober 1997, pihak Rusia memasuki wilayah
Chechnya dan mulai melakukan pembunuhan, tanpa membedakan wanita, anak-anak, dan
orang tua. Penduduk sipil menjadi sasaran pengeboman yang tiada henti selama berbulanbulan untuk mematahkan perlawanan penduduk, dimana rumah sakit, pasar dan iring-iringan
pengungsi secara khusus dipilih sebagai sasaran. Pada akhirnya terungkap bahwa Rusia telah
menggunakan bom kimia, rudal scud, dan peluru Napalm dalam perang melawan Chechnya.10
Di samping itu, pihak Rusia mencemari Sungai Argun, yang biasa digunakan oleh penduduk
di banyak desa di Chechnya, dengan menggunakan racun. Kebanyakan wanita dan anak-anak
yang meminum air yang tercemar tersebut meninggal, sedangkan ratusan menanti ajal di
rumah sakit. Dikarenakan air sungai tersebut mengandung racun, maka penduduk sipil yang
tidak mampu menemukan sumber air untuk minum atau keperluan lainnya terpaksa menjalani
masa-masa yang teramat sulit.
Selain itu, keadaan para pengungsi pun sangat mengkhawatirka, yaitu penelitian yang
dilakukan di tempat-tempat pengungsian menunjukkan sudah terlampau banyak jumlah
pelanggaran hak-hak asasi manusia. Sekitar 250.000 pengungsi Chechnya yang
menyelamatkan diri dari peperangan mendapatkan perlindungan di Ingushetya, sedangkan
sisanya di wilayah-wilayah tetangga lain.11 Diberitakan pula bahwa Rusia telah
menghabiskan dana 385 juta dolar untuk membiayai perang tersebut. Pihak Chechnya
7 Matthew Evangelista, The Chechen Wars: Will Russia Go the Way of the Soviet Union (Washington DC:
Brookings Instituition Press, 2002), hal. 124.
8 Stasys Knezys dan Romaras Sedlickas, The War in Chechnya (Texas: Texas A&M University Press, 1999), hal.
40.
9 Stasys Knezys dan Romaras Sedlickas, The War in Chechnya, hal. 40.
10 Aslan Nurbiyev, Relocation of Chechen ‘Genocide’ Memorial Opens Wounds (Paris: Agence France Presse,
2008), hal. 53.
11 Aslan Nurbiyev, Relocation of Chechen ‘Genocide’ Memorial Opens Wounds, hal. 53.

mengatakan, antara bulan September 1999 dan 25 Juli 2000, sebanyak 1.460 pejuang dan
45.000 penduduk sipil Chechnya telah tewas.12 Rusia berencana menyapu bersih seluruh
pejuang Chechnya yang telah berperang melawan mereka hingga bulan November 2000.
C. KEPENTINGAN FEDERASI RUSIA DAN REPUBLIK CHECHNYA
Chechnya adalah nama dari wilayah kecil berpenduduk mayoritas muslim yang terletak
di Kaukasus, yaitu daratan sempit dan bergunung-gunung yang terletak di antara Laut Hitam
dan Laut Kaspia. Meskipun begitu, wilayah Kaukasus sangat strategis dikarenakan posisi
sebagai penghubung antara daratan Asia Barat di selatan dengan Eropa Timur di utara. Posisi
Kaukasus yang strategis lantas membuat daerah tersebut seringkali dilanda konflik sepanjang
perjalanan sejarah,13 dimana Chechnya sebagai salah satu daerah penyusun Kaukasus tidak
luput dari konflik dan peperangan. Akar dari Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II
berasal dari keinginan penduduk asli Chechnya, yang mayoritas beragama Islam, untuk
memerdekakan diri pasca keruntuhan Uni Soviet. Hal tersebut dianggap akan menimbulkan
perpecahan di dalam Rusia, dimana pada saat Chechnya membuat gerakan separatis yang
disebabkan oleh kekerasan yang diterima, Rusia tetap ingin mempertahankan wilayah
tersebut. Tindakan Rusia tersebut tidak terlepas dari sejarah pendudukan Rusia terhadap
wilayah Kaukasus pada masa pemerintahan kekaisaran Tsar.
Pada abad kesembilanbelas, yaitu pada tahun 1801, saat pasukan kekaisaran Rusia
merebut wilayah Georgia yang berbatasan langsung dengan Chechnya, belum ditemukan
kekayaan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh Kekaisaran Rusia. Pada tahun tersebut
pula, Komandan Pasukan Rusia mulai menjadikan Kota Grozny sebagai benteng, dimana
pada tahun 1818 kemudian digunakan untuk menakuti dan meredam masyarakat Chechnya
agar tidak terjadi perlawanan. Selain itu, Rusia pun merebut wilayah Armenia dan Azerbaijan
dari tangan Persia, namun satu-satunya rute perdagangan yang tidak aman bagi Rusia berada
di sekitar wilayah pegunungan Kaukasus.14 Rute tersebut membentang di sepanjang sebelah
barat wilayah Chechnya dan Ingush, sehingga untuk mengamankan rute tersebut, Rusia
memutuskan untuk menaklukan Chechnya dan masyarakat pegunungan yang lain.
Setelah itu pada abad kedelapanbelas, Uni Soviet mengalami keruntuhan diiringi
dengan kemunculan negara-negara baru yang sebelumnya merupakan penyusun Uni Soviet.
12 Aslan Nurbiyev, Relocation of Chechen ‘Genocide’ Memorial Opens Wounds, hal. 53.
13 “Mengenang Perjuangan Muslim Chechnya yang Belum Usai”, Era Muslim, 2013, diakses pada 1 Oktober
2015,
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/mengenang-perjuangan-muslim-chechnya-yangbelum-usai.htm#.Vg0pruztmko.
14 Andrew Foxall, “Chechnya, Russia’s Forgotten War,” 8 Oktober 2014, diakses pada 1 Oktober 2015,
http://www.worldaffairsjournal.org/article/chechnya-russia%E2%80%99s-forgotten-war.

Dalam hal ini Chehcnya pun melakukan deklarasi atas kemerdekaandengan nama resmi
Republik Chechnya Ickeria (RCI) dengan Dzhokhar Dudayev sebagai pemimpin.15 Namun,
tidak seperti negara bagian Soviet lain, kemerdekaan Chechnya mendapat penolakan dari
Rusia dikarenakan pada era Uni Soviet, Chechnya memiliki status sebagai provinsi otonom
dari negara bagian Rusia, sehingga Chechnya memegang peran penting dan tidak dapat
dipisahkan begitu saja, yaitu apabila Chechnya memisahkan diri dari Rusia, maka akan
terjadi gejolak di dalam negara pecahan Uni Soviet tersebut. Alasan lain Rusia untuk menolak
kemerdekaan Chechnya adalah akibat lokasi yang strategis di Kaukasus, yaitu seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, Kaukasus merupakan rute perdagangan yang dapat
memudahkan akses Rusia untuk pengembangan sektor ekonomi. Menjelang akhir abad
kesembilanbelas pula ditemukan cadangan minyak di wilayah Chechnya yang dapat
mendatangkan keuntungan bagi Rusia. Selain itu, Rusia pun memiliki kekhawatiran apabila
membiarkan Chechnya menjadi merdeka, maka akan memancing wilayah Rusia lain untuk
ikut memerdekakan diri. Seperti yang diketahui, perpecahan Uni Soviet membuat masingmasing wilayah ingin membuat negara independen dengan menggunakan ideologi masingmasing. Hal tersebut yang membuat Rusia merasa takut apabila Chechnya berhasil
melepaskan diri, dimana semakin banyak wilayah Rusia yang melepaskan diri, semakin
lemah pula Rusia sebagai suatu negara seiring dengan sumber daya yang dihasilkan oleh
beberapa wilayah akan hilang dan menghambat laju ekonomi Rusia. Selain alasan yang telah
tertera diatas, Rusia pun ingin meredam pengaruh Islam yang mulai disebarkan Chechnya
pasca Perang Chechnya I, yaitu Rusia tidak ingin keberadaan dan ideologi negara tersebut
terancam dikarenakan dikelilingi oleh negara-negara dengan paham agama Islam.
Di sisi lain, apabila melihat dari sudut pandang Chechnya, wilayah tersebut pun
memiliki kepentingan sendiri, yaitu pada awalnya Chechnya memang ingin menjadi wilayah
yang independen atau bebas dari pengaruh negara lain. Chechnya dan Ingush merupakan dua
suku bangsa yang gigih mengangkat senjata untuk menentang upaya penaklukkan bangsabangsa asing atas tanah mereka. Namun pada abad kesembilanbelas, upaya kedua bangsa
tersebut pada akhirnya terhenti setelah Kekaisaran Rusia mengalahkan dan menaklukkan
Chechnya. Seiring dengan penaklukan tersebut, Chechnya tetap kokoh memegang ideologi
wilayah yang dianut sejak lama, yaitu agama Islam. Pasca keruntuhan Uni Soviet yang
menandakan kekalahan ideologi komunisme terhadap ideologi liberalism, membuat wilayah15 Mansur Mirovalev, “Chechnya, Russia and 20 Years of Conflict,” Al Jazeera, Desember 2014, diakses pada 1
Oktober
2015,
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2014/12/chechnya-russia-20-years-conflict
2014121161310580523.html.

wilayah yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Uni Soviet ingin melepaskan diri dan
membangun ideologi sendiri, tidak terkecuali Chechnya. Dengan ideologi yang bertahan dari
dahulu hingga sekarang, yakni agama Islam serta dilengkapi dengan keberadaan cadangan
minyak yang besar di daerah tersebut, membuat Chechnya ingin mendirikan negara sendiri
dengan berdasarkan ajaran Islam, tidak hanya itu, Chechnya pun ingin menyebarkan paham
tersebut ke negara sekitar, seperti yang terjadi pada pasca Perang Chechnya I. Pada masa
tersebut Chechnya ingin melakukan Islamisasi terhadap negara tetangga, yaitu Dagestan,
serta ingin membuat kedua negara tersebut sebagai negara yang menerapkan ajaran Islam
sepenuhnya, yang kemudian menjadi faktor pemicu Perang Chechnya II.
D. PELANGGARAN DALAM PERANG CHECHNYA I DAN PERANG CHECHNYA
II MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Separatisme yang dilakukan oleh masyarakat Chechnya yang mayoritas beragama
Islam menjadikan sebuah ancaman bagi Rusia, dimana pada saat itu Rusia ingin menjaga
wilayah kekuasaan berupa negara-negara bagian agar tetap berada dalam Uni Soviet. Namun,
perbedaan ideologi dan budaya Chechnya terhadap Rusia tidak dapat dihindarkan untuk
mengakibatkan gerakan separatisme. Hal tersebut yang menjadi faktor penyebab perang
antara Chechnya dengan Rusia di tahun 1994-1996 dan kembali bergejolak di tahun 1999
hingga 2009. Sepanjang dua periode Perang Chechnya telah memberikan dampak yang cukup
besar terhadap kondisi masyarakat sipil, tentara perang dari kedua belah pihak, infrastruktur
beserta tempat tinggal, lingkungan, dan sebagainya. Dampak tersebut diberikan oleh berbagai
tragedi selama perang berlangsung, seperti penembakan, pengeboman, penyanderaan, dan hal
lainnya yang biasa terjadi dalam peperangan. Untuk itu, Hukum Humaniter Internasional
hadir sebagai aturan suatu negara dalam melaksanakan perang, dikarenakan bagi Hukum
Humaniter Internasional, perang bukan merupakan solusi, namun perang harus berjalan
secara semestinya—sesuai Hukum Humaniter Internasional.
Perang Chechnya I dan II dalam hal ini telah menjadi sorotan dunia internasional yang
berkaitan terhadap isu-isu kehumaniteran, dimana selama pelaksanaan dua periode perang
tersebut, terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak selama
peperangan jika dilihat menurut Hukum Humaniter Internasional yang berlaku. Pada Perang
Chechnya I terdapat beberapa pelanggaran menurut Hukum Humaniter Internasional baik
dari pihak Rusia maupun Chechnya, diantaranya Rusia melakukan pengepungan di pusat kota
Chechnya dengan serangan udara serta tembakan artileri yang diarahkan ke beberapa gedung
yang berisikan penduduk sipil Chechnya. Peristiwa tersebut merupakan suatu tindakan

penghancuran kota dan menyebabkan banyak korban jiwa yang jatuh hingga lebih dari
250.000 jiwa warga sipil.16 Oleh karena itu, Rusia sebagai penyerang pusat kota Chechnya
yang telah merengut banyak warga sipil merupakan suatu pelanggaran terhadap Konvensi
Jenewa IV terkait perlindungan terhadap warga sipil/civilians.17 Selain itu, Rusia pun
dianggap tidak peduli terhadap perlindungan warga sipil, sehingga dikecam oleh dunia
internasional, Walaupun Rusia mengelak atas prasangka perbuatan tersebut. Pelanggaran lain
adalah Rusia menggunakan tembakan artileri beserta serangan udara dan mengenai penduduk
sipil dengan melihat pada Laws on Specific Weapons Protokol III mengenai Incendiary
Waepons.18 Setelah penyerangan tersebut, pihak Chechnya melakukan perlawanan dengan
menyandera 1.500 penghuni rumah sakit di Budyonnovsk, Rusia Selatan. Penyanderaan ini
dianggap tidak melanggar Hukum Humaniter Internasional pada Konvensi Jenewa
dikarenakan para sandera diperlakukan secara manusiawi.
Pada Perang Chechnya II, Rusia melancarkan aksi kembali dengan melakukan
pembunuhan rasian, bom bunuh diri, serta pemasangan ranjau di beberapa titik pusat wilayah
Chechnya. Aksi tersebut menyebabkan ribuan warga sipil Chechnya kembali menjadi korban.
Sebelumnya, pada awal Perang Chechnya pecah pada periode kedua, Rusia sempat sengaja
mencemari sungai Argun dengan racun, dimana sungai tersebut menjadi sumber air bagi
masyarakat Chechnya. Kedua peristiwa ini merupakan suatu pelanggaran bagi Rusia karena
tidak memperhatikan perlindungan warga sipil. Berbeda dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh Rusia dengan berbagai tindakan operasi pembersihan (zachistka) terhadap warga sipil
Chechnya, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, pihak Chechnya menggunakan anak-anak
di bawah 11 tahun dan perempuan untuk dijadikan sebagai tentara cadangan. Hal tersebut
disebabkan Chechnya memiliki pasukan yang cenderung lebih sedikit dibanding dengan
Rusia, sehingga Chechnya berani mengambil tindakan untuk menggunakan anak-anak dan
perempuan sebagai pasukan. Tentunya pilihan Chechnya ini telah melanggar Protokol
Tambahan II mengenai Limits on Participation of Children in Hostilities,19 yang menyatakan
bahwa anak-anak di bawah 15 tahun dilarang terlibat dalam peperangan (menjadi pasukan
perang) serta Rome Statute Pasal 8 Ayat 2, yaitu bahwa rekruitmen anak-anak ini dimaknai
sebagai War Crimes.20
16 Svante Cornell dan Micahel Jonsson, Conflict, Crime, and the State in Postcommunist Eurasia, hal. 151.
17 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War, 4th ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), hal. 97.
18 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War, hal. 162-163.
19 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War, hal. 62-63.
20 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War, hal. 190.

E. PENERAPAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM PERANG
CHECHNYA I DAN PERANG CHECHNYA II
International Committee of the Red Cross atau ICRC sebagai salah satu penegak
Hukum Humaniter Internasional, dalam Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II telah
menerapkan Hukum Humaniter Internasional sesuai dengan tugas yang dimiliki. Dalam
melaksanakan tugas kemanusiaan dalam dua periode perang, ICRC bekerjasama dengan
berbagai pihak, antara lain dengan Palang Merah Kanada, Palang Merah Norwegia, Palang
Merah New Zealand, Palang Merah Belanda, dan Kementerian Kesehatan Chechnya. Dalam
hal ini, berkaitan dengan peran ICRC dalam Perang Chechnya, berhubungan pula dengan
peristiwa penembakan 17 Desember 1996 yang sampai saat ini belum diketahui siapa pelaku
penembakan tersebut.
Perang Chechnya antara pihak Chechnya dan Rusia memberi dampak kerusakan
fasilitas publik yang amat parah, mulai dari rumah sakit, taman kota, jalan raya, dan
sebagainya. Dampak paling parah dialami oleh Chechnya dengan salah satu kasus kerusakan
yang paling serius yaitu bangunan rumah sakit yang rusak parah serta ketidakmampuan
dalam mengakomodasi seluruh korban, baik war-wounded maupun penduduk sipil. Atas
dasar tersebut, ICRC menginisiasi pembangunan field hospital di Chechnya, tepatnya di Desa
Novye Atagi yang berada di selatan Grozny. Alasan pendirian di wilayah tersebut adalah
wilayah tersebut relatif aman bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Chechnya.
Hal tersebut dikarenakan apabila wilayah telah berbahaya, sifat field hospital non-permanen
yang didirikan dapat direlokasi di wilayah lain. Pelayanan ICRC terhadap war-wounded dan
penduduk sipil meningkat tajam pun meningkat tajam di rumah sakit yang dibuka pada 2
September 1996 tersebut. Pada hari itu pula, terdapat sekitar limapuluh pasien dalam kategori
war-wounded, sedangkan rumah sakit tersebut telah mengobati 321 pasien, 594 operasi bedah
serta pemberian 1.717 konsultasi rawat jalan21. Kondisi field hospital pun mengalami
peningkatan dengan penambahan wilayah yang semakin luas dengan menggunakan bekas
asrama pelajar di Novye Atagi. Namun, ketidakstabilan proses recovery korban di field
hospital tersebut benar-benar terganggu ketika pada pagi hari, 17 Desember 1996 beberapa
penembak misterius memasuki dalam ruangan rumah sakit secara tiba-tiba dan melakukan
penembakan terhadap pihak-pihak yang berada di rumah sakit tersebut. Korban paling parah
dan salah satu ada yang meninggal yaitu dari pihak Tim Gabungan ICRC. Semenjak saat itu,
21 Francois Bugnion, “17 December 1996: Six ICRC Delegates Assassinated in Chechnya,” ICRC Resource
Center,
30
April
1997,
diakses
https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jnj3.htm.

pada

9

Oktober

2015,

field hospital dipindahtangankan kepada Kementerian Kesehatan Chechnya dan melakukan
penarikan tim ICRC di beberapa titik rawan, terutama di wilayah Novye Atagi tersebut.

BAB III
ANALISIS
Dalam analisis berikut akan dipaparkan mengenai efektivitas Hukum Humaniter
Internasional dalam Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II berdasarkan Protokol
Tambahan II 1977 mengenai Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional; Pasal 3

mengenai Ketentuan yang Sama; Rome Statue of International Criminal Court mengenai
Kejahatan Perang; dan Konvensi Jenewa 1949. Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II
yang melibatkan pihak angkatan bersenjata Federasi Rusia dengan pihak pendukung
pemerintahan Republik Chechnya pada Perang Chechnya I, serta dengan pihak pemberontak
beraliran Islam pada Perang Chechnya II dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata non
internasional. Hal tersebut dikarenakan menurut Protokol Tambahan II 1977 mengenai
Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional, konflik bersenjata non internasional
merupakan pertempuran di wilayah suatu negara antara angkatan bersenjata reguler dengan
kelompok bersenjata yang teridentifikasi, atau antara kelompok-kelompok bersenjata itu
sendiri yang saling bertikai.22 Dalam situasi tersebut, Hukum Humaniter Internasional
ditujukan untuk angkatan bersenjata, baik resmi maupun tidak resmi yang terlibat dalam
konflik dan melindungi setiap individu atau kelompok individu yang tidak atau tidak dapat
lagi terlibat dalam permusuhan, yaitu personil militer dan anggota pelayanan medis yang
terluka atau sakit; orang-orang yang dicabut kebebasannya; tawanan perang dan penduduk
sipil, yaitu orang di luar pasukan militer di wilayah yang diduduki, warga negara asing di
wilayah negara dari pihak yang terlibat dalam konflik, termasuk di dalamnya pengungsi;
tahanan sipil dan interniran, serta personil medis dan rohaniwan atau unit-unit pertahanan
sipil.23 Menurut pengertian tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam kedua perang
merupakan pihak-pihak yang berada di dalam wilayah satu negara, yaitu Chechnya di bawah
pemerintahan Rusia, dikarenakan Chechnya dalam rentang waktu tersebut tidak mendapatkan
pengakuan kedaulatan sebagai suatu entitas negara, baik dari Rusia maupun dunia
internasional. Republik Chechnya pada masa tersebut dianggap menjadi bagian dari Federasi
Rusia di wilayah Kaukasus Utara.
Hukum Humaniter Internasional menentukan perbedaan status dalam situasi konflik
bersenjata non internasional yaitu kombatan dan penduduk sipil. Status penduduk sipil dalam
konflik bersenjata adalah sebagai penduduk sipil yang harus mendapatkan perlindungan.
Meskipun begitu, Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II seperti yang telah disebutkan
sebelumnya telah mengakibatkan banyak korban penduduk sipil yang berjatuhan, baik yang
dilakukan oleh pihak Rusia maupun pihak Chechnya. Pihak Chechnya dalam hal ini
melakukan tindakan pembunuhan terhadap pihak-pihak yang dianggap merupakan sekutu

22 ICRC, Hukum Humaniter Internasional Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Anda (Jakarta: Delegasi ICRC
Jakarta, 2004), hal.4.
23 ICRC, Hukum Humaniter Internasional Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Anda, hal. 16.

Rusia.24 Sedangkan pihak Rusia melakukan serangan militer serta pembunuhan terhadap
penduduk sipil Chechnya yang dianggap sebagai tindakan hukuman kolektif terhadap
masyarakat Chechnya. Selama perang berlangsung, pemboman terus dilakukan oleh pihak
Rusia tanpa memperhatikan objek serangan serta tanpa adanya pemberitahuan terhadap
populasi penduduk sipil, sebagai contoh adalah penghancuran terhadap Kota Grozny (hal,
107). Tindakan serangan Rusia tersebut diumumkan oleh International Court of Justice pada
6 Januari 1995, yaitu bahwa “the Russian army violated the right to life of unarmed civilians
on a massive scale”, yang telah mengakibatkan 27.000 orang tewas pada Perang Chechnya I
dan tidak dapat diketahui pada Perang Chechnya II dikarenakan adanya monitoring dan
restriksi dari pihak Rusia (footnote 20). Salah satu contoh paling parah adalah tindakan
pembunuhan terhadap 100 orang yang berasal dari golongan wanita, anak-anak, dan orang
tua, bahkan kepada desa di Desa Samashki, Chechnya, yang pada awalnya dituduhkan
dilakukan oleh pihak pemberontak Chechnya.25 Namun kemudian, diketahui bahwa pelaku
pembunuhan tersebut merupakan angkatan bersenjata Rusia setelah adanya pengakuan pada
11 April 1995 oleh penduduk desa tersebut mengenai kesalahan penuduhan. Pada akhirnya
tuduhan tersebut dinyatakan tidak benar dalam hearing komisi parlemen pada 29 Mei 1995.
Namun, pada bulan Maret 1996, tindakan serupa dilakukan kembali dan mengakibatkan 174
orang terbunuh dan 200 orang menjadi tahanan (footnote 23). Sedangkan pada Perang
Chechnya II dalam 18 bulan pertama, pihak Rusia telah melakukan pembunuhan masal
terhadap penduduk sipil di desa dekat pangkalan militer Rusia di Kota Khankala, bagian
tenggara Kota Grozny.
Selain itu, pihak Rusia pun melakukan serangan terhadap pengungsi Chechnya dengan
helikopter dan altileri yang melewati Pegunungan Georgia yang menuju Ingushetia untuk
meminta pungutan uang. Tuduhan pun dilayangkan terhadap pihak Chechnya oleh pihak
Rusiab bahwa pihak tersebut telah memperlakukan tahanan perang Rusia sebagai budak dan
menjadi objek tindakan kekerasan. Meskipun begitu, di sisi lain, tahanan perang Rusia
mengungkapkan bahwa pihak Chechnya memperlakukan tahanan perang dengan baik.
Sedangkan, pihak Rusia dalam laporan Human Rights Watch pada tahun 200 telah melakukan
tindakan kekerasan yang mengakibatkan kerusakan pada organ tubuh terhadap tahanan
perang di Chernokozovo, bahkan beberapa diantaranya mengalami tindakan perkosaan, 26
serta pengambilan terhadap benda-benda milik tahanan perang. Pihak Rusia pun melakukan
24 Laporan “Conflict in Chechnya” oleh Committee on Legal Affairs and Human Rights Parliamentary Aseembly
Council of Europe pada 23 Januari 2001.
25 “Russian Federation, Chechnya, Operation Samashki,” ICRC, 18 Januari 2012, diakses pada 10 Oktober 2015,
https://www.icrc.org/casebook/doc/case-study/russia-chechnya-samashki-case-study.htm.

pelanggaran dengan menghambat kerja International Committee of the Red Cross yang tidak
memberikan akses terhadap tahanan perang dan korban perang serta diduga melakukan
serangan yang mengakibatkan kematian di rumah sakit di Novye Atagi.
Tindakan yang telah disebutkan tersebut merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, terutama Rusia, yaitu dengan melanggar aturan mengenai
perlindungan terhadap penduduk sipil yang termuat dalam Konvensi Jenewa 1949 Pasal 2739, Pasal 47-48, Pasal 50, Pasal 55, dan Pasal 58; Protokol Tambahan II 1977 Pasal 7, Pasal
13, Pasal 14, dan Pasal 17; dan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan Aturan 1
mengenai larangan penyerangan terhadap orang sipil. Selain itu, pelanggaran dilakukan
terhadap Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan Aturan 25 dan 27-30 mengenai
kewajiban untuk menghormati dan melindungi personil medis dan personil keagamaan, unit
medis, dan sarana transportasi media, Aturan 26 mengenai kewajiban untuk menghormati
tugas medis, Aturan 54 mengenai larangan penyerangan terhadap objek-objek yang mutlak
diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil, Aturan 87-105 mengenai kewajiban
untuk menghormati jaminan-jaminan dasar yang menjadi hak orang sipil dan orang yang
Hors de Combat, Aturan 109-111 mengenai kewajiban untuk mencari dan menghormati serta
melindungi korban luka, korban sakit, dan korban karam, Aturan 118-119, 121, dan 125
mengenai kewajiban untuk melindungi orang yang dicabut kebebasannya, dan Aturan 134137 mengenai perlindungan-perlindungan khusus yang diberikan kepada perempuan dan
anak-anak.27
Tindakan yang telah disebutkan tersebut dapat digolongkan menjadi kejahatan perang,
yaitu perbuatan melawan manusia atau properti yang dilindungi dibawah ketentuan serta
merupakan pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter Internasional dan Konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949 dalam situasi sengketa bersenjata non internasional. Dalam konflik
bersenjata non internasional, kejahatan perang merupakan pelanggaran hukum serius
terhadap Pasal 3 mengenai Ketentuan yang Sama, yaitu perbuatan melawan orang-orang yang
tidak ikut secara aktif dalam peperangan, termasuk pasukan militer yang telah meletakkan
senjata dan telah mundur dari peperangan karena menderita sakit,