POLICY RECOMMENDATION STRATEGI INDONESIA. doc

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
“POLICY RECOMMENDATION: STRATEGI INDONESIA DALAM
MENYIKAPI DINAMIKA PERDAGANGAN INTERNASIONAL PADA
PROGRAM MADE IN THE WORLD DI WTO”
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Politik Internasional.
Dosen Pengampu: Ibu Erza Killian

Oleh :

Gigih Taufan Herdianto
(115120407111042)
A.HI.4

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

1. EXECUTIVE SUMMARY
Dalam menghadapi dinamika perdagangan bebas internasional yang semakin

kompleks, Indonesia perlu strategi khusus dalam menghadapi fenomena yang merupakan
dampak dari globalisasi. Indonesia perlu berbenah apabila tidak ingin terjerambab pada
“jebakan kapitalisme” yang saat ini tengah merambah ke seluruh aspek kehidupan,
terutama bidang ekonomi. Indonesia sebagai negara berkembang harus jeli dalam
menyusun kebijakan guna menyiasati perkembangan pasar internasional yang dikuasi
oleh negara seperti Amerika Serikat, China, negara besar anggota Uni Eropa, serta negara
berkembang lainnya yang juga tentunya memiliki strategi tersebdiri guna menghadapi isu
perdagangan bebas seperti Brazil, India dan lainnya.
Dalam isu yang saat ini tengah dibahas di WTO, yakni “Made In The World” yang
merupakan perluasan konsep dari global value chains (GVC) yang program ini sendiri
diakui oleh WTO sebagai “21st Century Regionalism” akibat dari aktivitas perdagangan
yaitu “Trading-Investment-Service Nexus”. Tarik ulur kebijakan mulai terjadi akibat dari
wacana WTO yang dianggap semakin memperkuat pengaruh negara-negara industri dan
perusahaan multinasional. Perdebatan antar anggota WTO tidak dapat dihindari,
kepentingan-kepentingan negara menjadi taruhan dalam negosiasi yang alot. Perdebatan
ini mengerucut pada kepentingan negara berkembang dan negara maju. Oleh karenanya
Indonesia juga perlu melakukan sebuah kebijakan domestik maupun luar negeri guna
menyiasati situasi internasional ini.
Kebijakan yang direkomendasikan dalam tulisan ini adalah untuk lebih
memfokuskan pada pembenahan produksi dalam negeri. Hal yang penting yang juga

perlu diperhatikan adalah posisi Indonesia dengan seluruh kapasitas perekonomian dari
mulai sisi lemah dan keunggulan juga akan dibahas guna dapat merefleksikan fakta-fakta
agar pertimbangan untuk kebijakan yang direkomendasikan lebih efektif dan tepat
sasaran sesuai dengan kebutuhan Indonesia.
Hal ini selaras

dengan karakteristik

negara berkembang

yang

masih

berorientasikan pada sektor agrikulutur sebagai komoditas ekspornya. Oleh karenanya,
kebijakan mengenai vitalisasi sektor non manufakturial dan pembentukan lembaga
independen yang berguna untuk mengatur, meningkatkan, mengawasi, dan memilihara
dalam seluruh operasional produksi agar Indonesia menjadi negara yang unggul dan siap
apabila dihadapkan pada situasi perdagangan bebas tersebut di level internasional saat ini.


2. LATAR BELAKANG
Perdagangan bebas yang telah bertransformasi pada bentuk yang tidak terduga
sebelumnya, telah memunculkan banyak sekali perubahan-perubahan pattern yang
dahulu belum ada dan mulai muncul seiring dengan globalisasi yang kini telah
menjangkau secara menyeluruh antar aktivitas perdagangan di seluruh penjuru dunia.
Dampak dari globalisasi sangat terasa seiring dengan kebutuhan manusia yang
semakin kompleks dan juga memicu terjalinnya hubungan-hubungan ekonomi antar aktor
perdagangan guna memenuhi kebutuhannya dari mulai level grassroots hingga level
state. Hal tersebut semakin berkembang dan berbanding lurus dengan modernitas dalam
aspek-aspke ekonomi. Dahulu, perdagangan secara sederhana terjadi pada level grassroot
dan bertransaksi dalam konsep barter. Kini, Manusia sebagai makhluk ekonomi telah
mengenal pola-pola baru yang menjadi hal yang lumrah saat ini. Keterhubungan antar
wilayah sesuai dengan konsep borderless dalam payung besar globalisasi telah mengubah
orientasi pelaku-pelaku ekonomi sehingga lebih modern.
Hingga pada akhirnya, globalisasi kemudian dapat semakin menstimulus aktivitas
perekonomian secara global khususnya dalam kegiatan perdagangan internasional,
investasi internasional dan jasa yang kemudian memuculkan

fenomena baru yang


disebut dengan “Trading-Investment-Service Nexus” yang dimana arus perdagangan,
investasi dan jasa yang semakin sulit dibedakan. Hal ini kemudian membuat isu tentang
perdagangan internasional semakin mengglobal keseluruh penjuru dunia sehingga
terdapat “complex interdepedency” antar negara-negara di dunia.
World Trade Organization sebagai institusi pengatur arus perekonomian disektor
perdagangan internasional dituntut untuk sealau dapat mengawasi dan membuat regulasi
yang dapat mengakomodir secara menyeluruh kepentingan-kepentingan negara
anggotanya agar dapat turut serta dalam kegiatan perdagangan internasional. WTO pada
dasarnya memiliki orientasi sebagai institusi yang dapat memberikan akses pasar kepada
negara-negara anggotanya dalam kegiatan perdagangan internasional. Namun, akibat dari
globalisasi yang menyebabkan semakin berkonsolidasinya antara perdagangan, investasi,
dan jasa sehingga dalam membedakannya dalam suatu arus perdagangan internasional
cukup sulit. Permasalahan muncul ketika laporan statistik tahunan WTO menunjukkan
skala yang cukup signifikan dalam perkembangan perdaganagan internasional sehingga
WTO bekerjasama dengan OECD dalam penggabungan data statistik perdagangan

internasional guna mencover secara menyeluruh aktifitas perdagangan internasional yang
semakin mengglobal.
“Made In The World”
“Made In The World” pertama kali dicetuskan adalah ketika Director-General

WTO, Pascal Lamy berpidato pada dalam pidatonya di Senat Perancis di Paris pada 15
Oktober 2011, ia merekomendasikan cara baru untuk melihat statistik perdagangan,
mencatat bahwa negara asal barang secara bertahap menjadi tidak relevan, seperti desain
untuk pembuatan komponen dan perakitan, telah tersebar di seluruh dunia. Ia
mencontohkan sebuah iPod yang dapat diimpor dari China tapi banyak nilainya berasal
dari Amerika Serikat dan negara-negara lain.1
Program “Made In The World” ini mengambil konsep ekonomi yaitu “Global
Value Chains” yang dimana juga terdapat beberapa klausul-klausul yang kontroversial
dalam perkembangan politisnya diantara negara-negara anggota WTO. Dalam sebuah
diskusi ‘stake-holders panel’ dalam pertemuan General Council WTO di Jenewa tanggal
1 Mei 2012 dibahas sebuah topik yang merupakan kelanjutan dari pertemuan para
menteri perdagangan G-20 di Puerto Vallarta, Meksiko mengenai isu yang sangat penting
yaitu “Global Value Chain”. Global Value Chain (GVC) kini masuk menjadi tema
penting di WTO. Meskipun isu ini belum menjadi isu resmi di dalam WTO, akan tetapi
tema ini akan menjadi fokus penting WTO ke depan. Kini tidak ada negara di dunia yang
tidak terlibat dalam GVC, meskipun derajat keterlibatannya berbeda-beda.
GVC adalah bentuk nilai dari Global Supply Chain (GSC) yang merupakan
skema kerja baru dalam industri, investasi dan perdagangan mutakhir. Dalam sebuah
paper yang dihasilkan oleh ERSD (Economic Research and Statistic Division) dari WTO,
tergambar perlunya WTO merespons apa yang disebut sebagai “21st Century

Regionalism” yang merupakan model baru bagi sistem perdagangan yang jauh lebih
kompleks dari sistem perdagangan abad 20 yang selama ini dikenal. Sistem perdagangan
baru ini dengan sendirinya akan merubah semua pandangan dan aturan di dalam WTO,
dari yang tadinya berfokus kepada akses pasar, akan bergeser kepada kepentingan rezim
pasar yang lebih kompleks.
Lebih lanjut, terdapat beberapa klausul yang direkomendasikan oleh Lamy
melalui WTO. Beberapa rekomendasi, seperti agar “Global Value Chains” yang akan
1

http://www.wto.org/english/news_e/archive_e/miwi_arc_e.htm. Viewed, May 19th ,2013

diadopsi dalam program “Made In The World” dapat membuat kontribusi dan partisipasi
dari seluruh anggota WTO akan menjadi semakin vital. Hal ini juga didukung oleh
rencana penerapan konsep“trade in value added” yang berguna untuk memperlancar dari
“Global Value Chains” oleh WTO.
Selain itu, Lemy juga menghimbau agar negara-negara anggota WTO untuk
mengahpuskan kebijakan tentang “Protectsionism” sebagai syarat dari jaminan bahwa
negara yang menerapkan hal itu kemudian dapat dipastikan secara langsung akan
berpartisipasi penuh. hingga, negara-negara dalam anggota WTO akan tetap dapat
berkontribusi dan berpartisipasi maksimal dalam arus perdagangan dunia yang kemudian

juga mempermudah dalam pencatatan untuk laporan tahunan WTO.
Global Value Chains: Governance And Location
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa GVC adalah bentuk nilai dari
Global Supply Chain (GSC) yang merupakan skema kerja baru dalam industri, investasi
dan perdagangan mutakhir. Oleh karena itu, dalam pemahaman tentang global value
chains, terdapat dua dimensi utama yang dapat secara menyeluruh dalam membahas
global production serta penjelasan mengenai bagaimana tata kelola (governance) suatu
rantai produksi dalam lingkup kerja yang mengglobal. Serta pola-pola dalam lokasi
(location) yang memfokuskan pada penempatan aktivitas produksi.2
Dalam dimensi governance, terdapat keterkaitan hubungan pada pasar dengan
perusahaan atau arms'-length trade relationship dan di lain sisinya juga terdapat foreign
operations yang berperan seperti kontrol utama. Arms'-length trade relationship adalah
suatu skema dalam pasar keuangan atau perdagangan yang terdiri dari pihak-pihak yang
tidak memiliki kontak langsung dengan satu sama lain selain dari transaksi. Hal ini
mudah dipahami ketika saat di mana pembeli dan penjual saling bertransaksi dan
terhubung hanya dalam transaksi yang spesifik. Namun, kedua belah pihak tidak pernah
tahu mereka terlibat dengan satu sama lain.
Sedangkan pengertian dari foreign control yang dapat diimplementasikan dalam
mekanisme FDI, adalah suatu kontrol hierarkis seperti suatu perusahaan yang akan
dijalankan di luar negeri dengan pertimbangan pendekatan harga transaksi, di mana

ketika harga net pasar intern (koordinasi hierarkhis) lebih rendah dari pada harga net
arms'-length market relationship. Perusahaan akan mengimplementasikan FDI dengan
2

Thun, Eric. 2008. “The Globalization of Production” dalam John Ravenhill, Global Political Economy.
Oxford: Oxford Press University. Hal.354

mempertimbangkan
internasionalisasi.

keuntungan
Dari

harga

firm-specific,
transaksi

location-specific,


inilah

yang

dan

membuat

keuntungan

negara

selalu

mempertimbangankan kebijakan ekonomi untuk “make” daripada “buy” sesuai dengan
orientasi yang terdapat pada FDI, yang terdapat pilihan antara make or buy3
Dimensi kedua dalam global value chains adalah location. Fokus utamanya
terdapat pada di mana penempatan aktivitas kegiatan produksi berlangsung. Untuk
penempatan aktivitas ini perusahaan harus mempertimbangkan harga produksi dan
kekuatan persaingan, serta kelemahan negara dan wilayah. 4 Hal tersebut semakin menjadi

pemicu dengan kontribusi yang sangat besar dari munculnya global value chains akibat
dari investasi luar negeri yang semakin meningkat.
Dampak dari Global Value Chains
Global value Chains atau GVC sejatinya merupakan perluasan konsep ekonomi
value chains yang sesuai dengan ilustrasi berikut (Lihat tabel 5), yang kemudian dapat
mengilustrasikan makna atas value chains, namun hal tersebut kemudian bekerja secara
global, dan akhirnya disebut global value chains. Secara umum, penambahan nilai dari
suatu hasil produksi baik menambhakan nilai dari barang itu sendiri, maupun layanan
purna jual dan juga distribusi yang menjadikannya memiliki keunggulan terhadap barang
sejenisnya. Skema ini cukup baik dalam pengaplikasiannya pada sektor-sketor tertentu.
Dalam skema tersebut, terdapat beberapa keutungan dan kerugian yang kemungkinan
terjadi dalam suatu siklus produksi hingga sampai pada bagian distribusi. Apabila skema
tersebut diterapkan pada jaringan kerja global, maka beberapa kemungkinan tentang
keuntungan-keuntungan apabila sistem tersebut diterapkan salah satunya adalah semakin
terintegrasinya jaringan kerja produksi yang hal tersebut akan berdampak pada
keikutsertaan tiap-tiap negara untuk memproduksi hasil produksi dari masing-masing
negara. Kemudian beberapa negara akan membeli hasil produksi negara lainnya untuk
ditambahkan nilai atau value dari sebuah produk untuk kemudian dipasarkan lagi dan
begitu seterusnya hingga pada tahap final yang kemudian didistribusikan oleh negara
penambah nilai akhir pd

Namun, sistem perdagangan tersebut dikhawatirkan oleh banyak negara
berkembang menjadi hal yang akan merugikan neraca perdagangan mereka. Hal ini tidak
lepas dari keberpihakan sistem mekanisme pasar terhadap negara yang maju yang
3
4

Ibid. Hal. 355
Ibid. Hal. 361

memiliki modal produksi yang sangat memadai di bidang teknologi. Secara sederhana,
sistem tersebut akan sangat mirip dengan sistem internasional yang dijelaskan oleh
Wallerstein yaitu World System Theory. Dalam teori tersebut, sangat jelas bahwa terdapat
kesenjangan bagi negara berkembang (semi-pheripery) dan negara tertinggal (pheripery)
dengan negara maju (core). Hal ini didasari pada mekanisme pasar yang akan diterapkan
secara global yang terintegrasi dari setiap negara, namun secara umum mekanisme
tersebut sangat memungkinkan bagi negara maju untuk dapat mendominasi pasar
internasional.5 Hal tersebut dikarenakan negara maju telah memiliki teknologi, tenaga
ahli, dan infrastruktur yang sangat memadai untuk mendukung proses produksi secara
global yang kemudian bahan baku dari produksinya akan diimpor dari negara
berkembang atau negara tertinggal dan setelah hasil produksi selesai, kemudian akan
dijual kembali ke negara berkembang atau negara tertinggal tersebut. Skema atas World
Sytem Theory yang dapat menggambarkan bagaimana hubungan-hubungan dalam proses
produksi ekspor-impor dari negara maju, berkembang, dan tertinggal guna mempermudah
dalam memahai Global Value Chain. Pada tabel (Lihat tabel 1), terlihat hubungan
ekonomi antar negara yang dapat mengilustrasikan hubungan-hubungan dalam penjelasan
World System Theory.
Gambaran ini merupakan sebuah perspektif dasar apabila melihat skema GCV
yang diusung oleh negara-negara yang secara perekonomiannya kuat seperti Amerika
Serikat, Uni Eropa dan Kanada yang cenderung mendukung pengaplikasian sistem ini.
Namun, bagi negara berkembang dan tertinggal, sistem tersebut dapat menjadi sebuah
bentuk kapitalisme global yang menaungi di sektor produksi dan menempatkan mereka
pada posisi yang tidak menguntungkan karena kapasitas kemampuan dalam teknologi
yang mendukung proses industri yang masih kalah apabila dibanding dengan negara
maju.

3. PEMBAHASAN
Posisi Indonesia
Indonesia dalam isu “Made In The World” yang tengah dirumuskan kebijakannya
dalam forum WTO tersebut, dapat memicu berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada
negara berkembang seperti Indonesia. Hal tersebut dikarenakan salah satu kemungkinan
yang dapat terjadi, adalah menjadikan hal tersebut sebagai suatu faktor pendorong
5

Baylis,John, and Steve Smith, 2005. The Globalization of World Politics: An Introduction to IR, Third
Edition, Oxford University Press, Oxford. Hal.48

peningkat produktifitas bagi Indonesia dalam global production yang akan berdampak
pada kemajuan perekonomian dan juga benefisial yang akan diperoleh oleh Indonesia.
Namun, hal tersebut juga memiliki kemungkinan terburuk yang akan membawa
Indonesia pada kesenjangan dan kalah bersaing dengan negara-negara maju dan telah
mapan secara perekonomian. Selain itu, kekhawatiran akan posisi Indonesia yang relatif
kalah dalam segi teknologi juga perlu diperhatikan oleh pemerintah dan ditindaklanjuti.
Isu “Made In The World” lebih dari sekedar pelabelan terhadap suatu hasil
produksi yang menggunakan skema global production. Isu ini juga berbeda dengan
seperangkat aturan WTO tentang Rules of Origin yang lebih menekankan pada perjanjian
yang bertujuan untuk harmonisasi jangka panjang aturan asal dari sebuah hasil produksi
yang berkaitan dengan pemberian preferensi tarif, dan memastikan bahwa peraturan
tersebut tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan.6 Untuk
keputusan terkait dengan Rules of Origin saja, Indonesia tidak memiliki keputusan
pengadilan atau ketentuan administratif yang berlaku secara umum di level domestiknya
yang berkaitan dengan aturan non-preferential asal dari suatu hasil produksi. Namun,
proyeksi yang akan mucul dari program “Made In The World” itu sendiri adalah
mengenai perencaan regulasi akibat dari perkembangan pasar bebas yang dikarenakan
dari globalisasi dan dikenal sebagai 21st Century Regionalism.
Indonesia memiliki kapabilitas perekonomian yang cukup stabil. Hal ini dapat
dibuktikan dengan tidak terlalu signifikan dampak krisis 2008 di Indonesia. Karena selain
daya konsumsi dalam negerinya tinggi, Indonesia juga memiliki ekspor pada sektorsektor bahan kebutuhan pokok seperti CPO dan kopi yang walaupun sedang krisis pada
saat itu, namun hal itu akan menguntungkan ekspor Indonesia yang berharga lebih murah
dan banyak dipilih konsumen Eropa pada saat itu walaupun sedang krisis.7
Hal tersebut seharusnya dapat menjadi tolak ukur bagi pemerintah saat ini untuk
dapat memetakan sektor mana saja yang sangat vital bagi pemasukan Indonesia untuk
kegiatan ekspornya. Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, pernah menyatakan poin poin
penting yang harus diperhitungkan oleh WTO apabila benar-benar akan membuat
regulasi mengenai “Made In The World” ia menyatakan bahwa pembahasan mengenai
global value chains harus seimbang untuk mencerminkan kepentingan negara maju dan
negara berkembang secara proporsional. Hal penting bagi negara berkembang adalah,
6

http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/ursum_e.htm#iAgreement. Viewed June 1 st ,2013
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/08/12/13/19908-krisis-kapitalisme-takberdampak-signifikan Viewed June 1st, 2013
7

pertama, dimasukkannya pertanian dalam pembahasan sebagai sektor penting pendorong
pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Kedua, tersedianya “policy space” untuk
melakukan penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan yang
memerlukan keberpihakan. Ketiga, aspirasi untuk merambah naik dalam mata rantai
perdagangan dari penyedia bahan baku menjadi pengolah bahan antara dan produk akhir
sehingga negara berkembang seperti Indonesia ikut menikmati nilai tambah dalam mata
rantai perdagangan.8
Namun tidak sedikit pula anggapa bahwa Indonesia telah dirugikan dalam
keanggotaannya pada WTO apalagi pembahasan mengenai wacana baru seperti program
“Made In The World” ini yang disinyalir berpihak pada negar maju, Managing Director
dari Institute for National and Democracy Studies, Ario Adityo mengungkapkan bahwa
Perjanjian WTO sendiri mencerminkan ketidakadilan antara negara kaya dan miskin atau
berkembang. Sebagai contohnya, ketika Indonesia dilarang memberi subsidi dan proteksi
kepada petani-petani di dalam negeri, justru pemerintahan negara maju seperti Amerika
dengan bebasnya memproteksi dan memberi subsidi para petaninya. Selain itu, lebih jauh
Ario menjelaskan hasil WTO dan APEC di Bali pada akhir tahun 2013 ini, dikenal
dengan istilah Bali Packages, yang akan mengesahkan mengenai aturan liberalisasi,
fasilitasi perdagangan dan investasi. Berbagai aturan itu pada akhirnya berdampak buruk
bagi rakyat Indonesia. Misalnya liberalisasi dibidang agrikurtur, akan menggangu
kehidupan para petani lokal dengan membanjirnya hasil pertanian impor. Demikian juga
mahalnya biaya pendidikan juga tidak lepas dari aturan-aturan WTO yang meliberalisasi
jasa dibidang pendidikan.9
Analisa Ekspor & Impor Indonesia
Dalam tabel yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia yang
bekerjasama dengan BPS, tercatat tren yang cukup berimbang antara ekspor dan impor
dalam neraca perdagangan diantara rentan waktu 2008-2012 (lihat tabel 2). Pencapaian
ini tidak lepas dari banyaknya komoditas Indonesia sektor non migas yang telah menjadi
penopang ekspor negeri, seperti CPO dan kopi dengan harga yang sangat bersaing
dipasaran internasional apabila dibandingkan dengan produk sejenis dari negara lain.
Selain itu, tingkat konsumsi domestik yang tinggi hingga menghindarkan Indonesia dari
8

http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?
module=news_detail&news_content_id=1024&detail=true. Viewed, June 3rd ,2013
9
http://indowarta.co/detail-4160-tak-satupun-capres-nyatakan-tolak-wto.html. Viewed, June 4th ,2013

dampak krisis kapitalisme tahun 2008 secara signifikan. Apresiasi terhadap regulasi
pemerintah tentang program 100% cinta produk Indonesia dianggap cukup sukses.
Konsumen Indonesia juga mulai sadar bahwa pola mengkonsumsi produk dalam negeri,
akan mampu untuk mendongkrak perekonomian negara.
Prediksi atas kekhawatiran terhadap global value chains patut diwaspadai. Hal ini
dikarenakan bahwa walaupun Indonesia cukup berimbang dalam kegiatan ekspor impor,
namun Indonesia masih belum lepas dari impor migas yang sangat berdampak pada
ketidakstabilan neraca ekspor-impor. Minyak dan gas berpeluang besar secara utuh
mempengaruhi neraca ekspor-impor Indonesia, dikarenakan Indonesia telah keluar dari
keanggotaannya pada OPEC seiring dengan kemampuan ekspor minyak Indonesia yang
semakin melemah dan kini pemerintah mencoba untuk beralih pada gas yang dianggap
memliki potensi yang menjanjikan dibanding dengan minyak. Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat neraca perdagangan RI pada April 2013 masih mengalami defisit 1,62
miliar dollar AS (Lihat tabel 4). Hal ini disebabkan impor Indonesia lebih besar
dibanding ekspornya.10 Hal ini ditengarai karena total ekspor Indonesia pada April 2013
sebesar 14,7 miliar US$. Sementara total impornya sebesar 16,31 miliar US$. Sehingga
pada April 2013 mengalami defisit 1,62 miliar US$. Hal ini juga sesuai dari tabel (lihat
tabel 4) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan yang bekerjasama dengan BPS.
Pernyataan kepala BPS juga menunjukkan bahwa neraca perdagangan untuk
periode Januari hingga April 2013 juga masih mengalami defisit 1,85 miliar US$. Untuk
ekspor mencapai 60,11 miliar US$ dan impornya mencapai 61,96 miliar US$. Hal ini
dikarenakan neraca perdagangan mengalami defisit akibat impor migas yang belum
kunjung turun. Pada periode April 2013, migas masih mengalami defisit 1,209 miliar
US$ dan untuk periode Januari hingga April 2013 juga mengalami defisit 4,57 miliar
US$. Minyak mentah mengalami defisit pada April 2013 mencapai 687,1 juta US$ dan
periode Januari-April juga defisit 1,62 miliar US$. Untuk hasil minyak juga defisit
sebesar 1,68 miliar US$ pada April 2013 dan untuk periode Januari-April juga defisit
7,87 miliar US$.
Akan tetapi pada sektor untuk gas mengalami surplus 1,162 miliar US$ (April
2013). Begitu juga untuk periode Januari-April surplus sebesar 4,92 miliar US$.
Sementara itu secara keseluruhan, neraca perdagangan non migas untuk periode April
2013 masih defisit 407,4 juta US$. Tapi untuk periode Januari-April 2013 masih
10

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/03/12102920/Impor.Migas.Tinggi..Neraca.Perdagangan.
Defisit.Lagi. Viewed, June 5th ,2013

mencatatkan surplus sebesar 2,71 miliar US$. Fakta-fakta tersebut dapat menunjukkan
bahwa impor migas Indonesia masih sangat besar apabila jika dibandingkan dengan
ekspor non migas, oleh karena itu hal tersebut membuat neraca ekspor-impor Indonesia
menjadi defisit.
Pemerintah Indonesia harus jeli dalam melihat realita tersebut. Disaat Indonesia
masih disibukkan untuk meminimalisir pengeluaran akibat ekspor-impor yang difisit pada
statusnya di bulan April 2013, disatu sisi perlu adanya tanggapan khusus dengan wacana
WTO tentang pengaplikasian global value chains dengan segala klausul regulasi yang
juga akan dibahas kemudian, namun apabila terjadi pengetatan bagi Indonesia atas
regulasi oleh WTO, sektor-sektor penopang Indonesia juga harus disiasasti agar tidak
semakin terhimpit. Pada dasarnya memang dalam pembahasan mengenai global value
chains lebih merujuk pada industri dengan skala besar yang mampu membuat negaranegara dapat terintegrasi dalam suatu skema rantai produksi yang bekerja secara global.
Namun hal ini akan menjadi tidak memihak pada Indonesia karena keterbatasan
teknologi apabila disbanding negara maju semisal Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Strategi Kebijakan Bagi Pemerintah Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki posisi yang cukup dilematis
untuk menyikapi isu yang sedang hangat dibicarakan dalam forum WTO terkait dengan
program “Made In The Wolrd”. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, program yang
menggunakan konsep GCV ini dapat menjadi peluang ataupun justru malah merugikan
bagi Indonesia.
Dapat dikatakan sebagai sebuah peluang apabila perdagangan Indonesia relatif
berimbang dan secara menyeluruh perekonomian stabli yang akan juga menunjang daya
produktifitas dalam negeri. Bukan hanya menjadi negara yang konsumtif, namun juga
Indonesia harus mampu menjadi negara dengan produktifitas yang tinggi disalah satu
sector yang menjadi komoditas utama maupun komoditas potensial.
Dari hasil pemetaan tentang isu terkait dengan “Made In The World” dan juga tentang
kapasitas dan analisa posisi Indonesia di sektor perdagangan, maka terdapat beberapa
alternatif dari pilihan terkait dengan strategi Indonesia untuk menyikapi isu yang akan
menjadi agenda utama WTO.

1. Alternatif Pertama (vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan lembaga
independen yang terintegrasi)
Berdasarkan pemetaan mengenai produk komoditas utama dan potensial (Lihat
tabel 3), Indonesia sudah memiliki potensi yang cukup untuk dapat bersaing dengan
negara lainnya di pasar internasional, kelebihan produksi dari Indonesia adalah harganya
yang relatif lebih murah dan kualitasnya yang bersaing. Hal ini telah terbukti dengan
mayoritas komoditas Indonesia berasal dari industri non manufaktur. Indonesia juga
harus preventif akan dampak dari terpilihnya Roberto Azevedo sebagai pemimpin baru
WTO yang berasal dari Brazil, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice, M.
Riza Damanik, persoalan dari WTO sekarang ini terletak pada posisi lembaga tersebut
yang

semakin

memperkuat

pengaruh

negara-negara

industri

dan

perusahaan

multinasional serta lembaga keuangan multilateral dalam mengendalikan sektor-sektor
strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia juga menilai bahwa sistem
perdagangan multilateral tidak lagi menjadi solusi karena terbukti telah merugikan negara
berkembang dan negara miskin. Dan posisi Indonesia, keterlibatan dalam WTO justru
memperparah ketergantungan pada produk pangan impor.11 Oleh karena itu pengambilan
kebijakan yang preventif di sektor pertanian dan pangan akan sangat bijak apabila
melihat situasi Indonesia dan internasional saat ini.
Seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, tipikal negara berkembang
adalah salah satunya juga memproduksi hasil-hasil pertanian, perkebunan, hasil tambak
dan produk non manufaktur lainnya. Apabila pemerintah berambisi untuk menjadi pelaku
utama dalam perdagangan internasional di sektro tersebut, maka rekomendasi yang
pertama dalah dibentuknya sebuah lemabaga yang independen yang bertugas untuk
merekonstruksi sistem saat ini yang dirasa perlu perubahan. Langkah awal dari
pemerintah Indonesia adalah dengan membuat program seperti Panca Usaha Tani namun
lebih berorientasi pada penggunaan teknologi yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah
daerah dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Program-program lama harus diatur kembali
untuk memodernisasi sektor agrikultur dengan pendekatan yang lebih modern yang
dilakukan langsung oleh badan independen tersebut, seperti Bimbingan Masal (Bimas)
pada tahun 1970,12 kemudian disusul dengan program intensifikasi Masal (Inmas),
Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus yang bertujuan meningkatkan produksi
11

http://www.neraca.co.id/harian/article/28439/Perang.Perdagangan.Terus.Berlangsung.di.WTO. Viewed,
June 6th ,2013
12
http://belajar.kemdiknas.go.id/index3.php?display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi
%20Pokok/SMP/view&id=182&uniq=988. Viewed June 6th, 2013

pangan secara berkesinambungan dan beberapa hasilnya memang ditujukan untuk di
ekspor kuluar negeri.
Posisi lembaga independen tersebut berfungsi untuk melakukan observasi
langsung, pengadaan serta perlindungan lahan produktif agar tidak dialihfungsikan,
sosialisasi dan modernisasi di sektor non manufakturial seperti agrikultur, fasilitator bagi
para pelaku usaha, mengkontrol proses produksi hingga distrubusi untuk mencegah
penyelewengan yang diakibatkan oleh para tengkulak, serta membuat regulasi terkait
dengan perkembangan isu di lapangan untuk dilaporkan pada pemerintah pusat agar
disetujui yang berorientasikan pada kemajuan sektor tersebut.
Keuntungan dari alternatif kebijakan ini adalah terintegrasinya bagian-bagian
dalam proses produksi sektor non manufakturial tersebut sehingga menjadi sebuah
industri non manufaktur yang dikontrol oleh lembaga independen yang dinaungi
langsung oleh pemerintah pusat sebagai kejasama atas beberapa kementerian seperti
kementerian pertanian, kehutanan, perdagangan , serta dinas-dinas lainnya yang juga
memiliki otoritas dan juga saling berkaitan, sehingga akan meminimalisir kesalahankesalahan ataupun penyelewengan yang berdampak pada kemungkinan tindak korupsi
dari oknum yang tidak bertanggung jawab karena sistematikanya dikontrol secara online
dari setiap bagian dalam proses produksi, sehingga siapapun dapat mengetahui dan
mengakses keberlangsungan produksi hingga distribusi suatu hail produksi dalam sektor
non manufakturial tersebut.
Kerugian maupun hambatan-hambatan yang kemungkinan terjadi adalah kesulitan
di sektor birokrasi. Proyeksi atas lembaga independen tersebut memiliki kewenangan
ganda yang melibatkan beberapa kementerian dan dinas yang terkait dengan proses
produksi yang panjang tersebut. Pemerintah juga harus berani berspekulasi dengan
menganggarkan biaya yang sangat besar untuk dapat membentuk skema kerja seperti
program vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan lembaga independen. Karena
program ini merupakan suatu skema mekanis yang terintegrasi dari setiap bagian dan
menyangkut dari otoritas beberapa kementerian dan dinas yang terkait, dirasa sangat sulit
untuk menerapkan sistem ini, karena hingga saat ini masih belum terintegrasinya setiapsetiap kementerian maupun dinas-dinas dalam struktur pemerintahan. Selain itu, dari segi
teknis, belum meratanya lahan-lahan produktif di Indonesia dan dilindungi pemerintah
juga menjadi kendala yang besar bagi terciptanya program tersebut.

2.

Alternatif

Kedua

(Penguatan

sektor

manufakturial

disertai

dengan

internasionalisasi BUMN dan BUMD)
Indonesia banyak dilihat oleh para investor asing sebagai pasar yang potensial dan
juga negara yang dapat dijadikan sebagai tempat produksi berbagai hasil produksi
manufaktur asing. Hal ini tidak lepas dari status Indonesia sebagai negara yang
berkembang dengan arus perputaran uang yang relatif cepat dan juga perekonomian yang
cukup stabil apabila dibanding dengan negara berkembang lainnya.
Dengan asumsi dari fakta tersebut, pemerintah seharusnya juga memilihara
peluang bisnis tersebut. Kehadiran MNCs dan TNCs serta perusahaan asing di Indonesia
sudah seharusnya menjadikan Indonesia lebih baik dan bukan justru malah menjadi tamu
di negara sendiri. Pengetatan regulasi terkait dengan perusahaan asing sudah selayaknya
diberlakukan agar perusahaan asing tersebut dapat memberikan masukan bagi Indonesia
dan lebih dari sekedar pajak. Indonesia juga harus menyisipkan nilai jualnya pada suatu
brand hasil dari produksi sektor manufakturial Indonesia agar Indonesia dapat bersaing di
pasar bebas. China adalah negara yang tersukes dibidang ini, hal ini tidak lepas dari
semenjak China memulai transisi ekonomi pasar dalam tiga dekade ini, dominasi industri
manufaktur dunia dan dampak dari manufaktur raksasa ini sulit dihindari. Ekonomi China
berdampak pada harga global dengan indikasi pertumbuhan ekonomi yang cepat (Thun,
2008). Oleh karenanya Indonesia patut belajar dari pengalaman China di bidang tersebut.
Beberapa kebijakan China dapat ditiru oleh Indonesia,seperti:
 Perusahaan luar negeri yang beroperasi di wilayah China, biasanya dikuasai oleh
kekuatan perusahaan lokal melalui akuisisi sehingga setengah dari ekspor
manufaktur China berasal dari pabrik investasi asing dan 80 persen berupa
teknologi ekspor (Rosen, 2003)
 Arus investasi China lebih mengarah pada sistem produksi regional daripada
sistem produksi nasional, Dengan investasi sektor-privat, sosialisasi teknis, serta
kemampuan manajemen. China menerapkan sistem basis produksi regional, dan
membangun zona ekonomi baru di Hongkong. Melalui intensifikasi pekerja,
perkembangan industri garmen dan tekstil di Taiwan sebagai komoditas ekspor
terbesar menjadi contoh suksesnya sistem ini (Gee & Kuo 1997: 52)
 Penerapan sistem triangural manufacturing, adalah pembayaran luar negeri
terhadap barang menggunakan sistem hubungan jangka panjang; dimana

perusahaan diluar wilayah mendapatkan ikatan dari permintaan dan hubungan
jangka panjang yang dibuat (Gerefii & Pan 1994: 127)
Dari beberapa pemaparan atas sistem yang diterapkan oleh China yang secara
cerdas mengkolaborasikan ideologi sosialis sebagai dasar dari negara yang juga
diterapkan pada perekonomiannya yang kemudian juga dipadukan dengan ideologi
liberal dalam mekanisme pasarnya yang menjadikan China sebagai negara dengan
perekonomian yang sangat kuat dan juga menjadi hagemoni dalam perdagangan bebas
karena hasil produksinya yang telah merambah keseluruh penjuru dunia.
Indonesia bisa meniru hal tersebut, mungkin dari hal yang paling sederhana
adalah dengan memberikan peluang bagi BUMN dan BUMD untuk go internasional dan
diperkuat juga dengan sokongan pihak swasta untuk berinvestasi dengan menanamkan
modal di pada “perusahaan plat merah”. Perusahaan seperti Garuda Indonesia dan
Pertamina telah merambah menjadi TNCs yang dimiliki oleh pemerintah. Namun hal ini
masih kurang apabila dibandingkan dengan perusahaan swasta asal Indonesia yang telah
merambah pasar internasional seperti produk-produk rokok. Oleh karena itu, Indonesia
harus mampu menguatkan sektor ini, karena isu tentang “Made In The World” ini lebih
berorientasi pada hasil-hasil produksi manufakturial.
Kelebihan dari skema alternatif kebijakan ini adalah apabila Indonesia berhasil
dalam menerapkannya, maka Indonesia akan bisa dipastikan menjadi salah satu negara
yang menjadi kekuatan baru di perdagangan bebas. Konstruksi yang perlu dibenahi
adalah sistem pemahaman dasar atau mentality yang mengacu pada ideologi yang paling
vital dan kemudian dilanjuti dengan kebijakan yang berorientasi pada ideologi tersebut.
China menjadi contoh negara yang sukses dengan caranya mengadopsi kedua ideologi
besar dan diaplikasikannya pada sektor perekonomian mereka.
Kekurangannya adalah Indonesia bukan negara yang seperti China yang berani
merubah ataupun menggabungkan ideologi dasarnya walaupun hanya diterapkan pada
bidang tertentu semisal ekonomi dan dianggap tidak cocok bagi rakyat secara
keseluruhan dan masa depan negara.

4. REKOMENDASI
Dari hasil pembahasan diatas, maka dengan mempertimbangkan kapabilitas
perekonomian Indonesia, kemampuan perdagangan Indonesia pada perdagangan bebas

serta posisi Indonesia dalam situasi internasional khususnya yang terjadi saat ini di WTO,
maka policy recommendation yang sekiranya cocok untuk diterapkan oleh pemerintah
Indoensia guna menjadi “Strategi Indonesia Dalam Menyikapi Dinamika Perdagangan
Internasional Pada Program MADE IN THE WORLD di WTO” adalah alternatif
kebijakan pertama yaitu “vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan lembaga
independen yang terintegrasi”
Hal ini disarankan karena dalam situasi di WTO sendiri yang saat ini posisi
negara berkembang dan tertinggal tengah mengupayakan agar Bali Package dapat
menjadi protokol dari perdagangan bebas di sektor tertentu seperti pangan dan pertanian.
Indonesia sebagai tuan rumah dari Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Nusa Dua,
Bali pada 3-6 Desember 2013 dengan agenda utamanya adalah Bali Package dan dengan
harapan utamanya adalah pembuatan regulasi yang jelas bagi negara-negara berkembang
terutama pada Trade Facilitation serta usulan G33 untuk memperbaiki perjanjian bidang
pertanian khususnya terkait dengan subsidi pemerintah untuk menunjang petani dan
golongan miskin di negara-negara berkembang. Mendag Gita Wiryawan juga
menggarisbawahi pentingnya Bali Package dan telah mencatat secara positif adanya
peningkatan perhatian sektor pertanian yang mendukung ketahanan pangan.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan yaitu
“Dukungan yang semakin meningkat terhadap sektor pertanian melalui kerangka kerja
ketahanan pangan akan sangat menguntungkan para petani Indonesia dalam
meningkatkan kemampuannya untuk menerima dukungan yang berkelanjutan, kondisi
pasar yang lebih baik, serta peningkatan kesejahteraan mereka,”13
Oleh karenanya kebijakan tersebut dirasa cukup memadai untuk diterapkan
seiring dengan ambisi dari Indonesia untuk mengkampanyekan tentang dimasukkannya
pertanian dalam pembahasan sebagai sektor penting pendorong pertumbuhan dan
penciptaan lapangan kerja terutama bagi negara berkembang dan tertinggal.
5. IMPLEMENTASI
Berikut beberapa poin penting guna dapat mengilustrasikan pokok-pokok penting
dari detil alternatif kebijakan “vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan
lembaga independen yang terintegrasi”, diantaranya:

13

http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?
module=news_detail&news_content_id=1214&detail=true. Viewed, June 8th, 2013

 Program ini dimulai dengan komitmen pemerintah membentuk sebuah badan
independen yang memiliki otoritas terbatas hasil dari kerjasama antar kementerian
dan dinas yang terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan,
Badan Ketahanan Pangan, BULOG, dan dinas dinas lainnya. Hal ini berguna agar
kinerja dari badan independen ini dapat bekerja spesifik dan efektif dan
anggotanya dapat diambil dari dkementerian dan dinas yang terkait.
 Badan Independen ini juga bertugas melakukan observasi langsung, sehingga
dapat mengetahui masalah apa saja yang ada di lapangan dan bagaimana
menanggulanginya
 Badan Independen ini juga memiliki kewenangan untuk membuat sebuah regulasi
dan diajukan pada pemerintah pusat untuk dapat disetujui
 Fungsi dari badan independen ini adalah untuk mengintensifkan produksi sektor
agrikultur yang bersifat non manufakturial dengan cara sosialisasi programprogram baru yang lebih modern untuk meningkatkan hasil produksi baik secara
kualitas maupun kuantitas agar memenuhi kriteria untuk di ekspor. Serta
memberikan fasilitas pada para petani maupun pelaku usaha untuk menunjang
proses produksi.
 Fungsi pengawasan juga dilakukan oleh badan independen ini, hal ini bertujuan
untuk mencegah para penumpukan stok di tengkulak pada bagian distribusi
 Membentuk sebuah skema kontrol dari seluruh aktifitas produksi hingga distribusi
yang dibentuk secara on-line dan dapat dipantau langsung dari sistem tersebut,
seperti halnya skema minimarket waralaba. Hal ini diperlukan agar hasil produksi
menjadi maksimal dan tidak mudah diselewengkan tengkulak.

6. LAMPIRAN
 Daftar Pustaka
o Ravenhill,J.2011.”Global Political Economy”,3rd Edition. Oxford: Oxford
University Press
o Baylis,John, and Steve Smith, 2005. The Globalization of World Politics:
An Introduction to IR, Third Edition, Oxford: Oxford University Press
 Referensi Internet
o http://www.wto.org/english/news_e/archive_e/miwi_arc_e.htm
o http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nasional/08/12/13/19908krisis-kapitalisme-tak-berdampak-signifikan
o http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?
module=news_detail&news_content_id=1024&detail=true
o http://indowarta.co/detail-4160-tak-satupun-capres-nyatakan-tolakwto.html
o http://www.neraca.co.id/harian/article/28439/Perang.Perdagangan.Terus.B
erlangsung.di.WTO
o http://belajar.kemdiknas.go.id/index3.php?
display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi
%20Pokok/SMP/view&id=182&uniq=988
 Tabel
o Tabel 1 (Interrelationship in the world Economy)
o Tabel 2 (Neraca Perdagangan Indonesia Total Periode 2008- Maret 2013)
o Tabel 3 (Ekspor 5 Komoditi Utama dan Potensial)
o Tabel 4 (Neraca Perdagangan RI April 2013)
o Tabel 5 (VALUE CHAINS)

Tabel 1
(Interrelationship in the world Economy)
World System Theory
Negara maju:

Gaji tinggi

Impor : Bahan baku

Ekspor : Bahan jadi /
manufactures

Investasi tinggi

Mempunyai jaminan
sosial

Negara berkembang:

Gaji rendah

Ekspor : *Barang
setengah jadi
*Bahan baku

Impor : *Bahan jadi /
manufactures
*Bahan baku

Jaminan sosial rendah

Negara miskin:

Gaji dibawah upah
minimum

Ekspor : Bahan baku

Impor : Bahan jadi /
manufactures

Tidak memiliki jaminan

T

sosial

Tabel 2 (Neraca Perdagangan Indonesia Total Periode 2008-Sekarang)
(Nilai Juta
NO
I

II

III

Uraian

2008

2009

2010

2011

US$)

2012

Jan-Mar*

TREND(%) 20082012

2012

2013

CHANGE(%)
2013/2012

E X P O R T 137.020,4 116.510,0 157.779,1 203.496,6 190.031,8

12,88

48.517,0 45.394,4

-6,44

- OIL & GAS 29.126,3 19.018,3 28.039,6 41.477,0 36.977,2

13,39

9.984,2 8.121,0

-18,66

- NON OIL &
107.894,2 97.491,7 129.739,5 162.019,6 153.054,6
GAS

12,83

38.532,8 37.273,5

-3,27

IMPORT
129.197,3 96.829,2 135.663,3 177.435,6 191.691,0
**)

14,97

45.747,1 45.462,0

-0,62

- OIL & GAS 30.552,9 18.980,7 27.412,7 40.701,5 42.564,3

15,33

10.520,9 11.313,3

7,53

- NON OIL &
98.644,4 77.848,5 108.250,6 136.734,0 149.126,7
GAS

14,91

35.226,2 34.148,7

-3,06

13,89

94.264,1 90.856,4

-3,62

TOTAL

266.217,7 213.339,3 293.442,4 380.932,2 381.722,8

Sumber: BPS, Processed by Trade Data and Information Center, Ministry of Trade

Keterangan: *) Angka sementara

Tabel 3 (Ekspor 5 Komoditi Utama dan Potensial)
No.

Komoditas Utama

No.

Komoditas Potensial

1.

TPT

1.

Kulit dan Produk Kulit

2.

Kopi

2.

Peralatan Medis

3.

Karet dan Produk Karet 3.

Tanaman Obat

4.

Sawit

4.

Makanan Olahan

5.

Kakao

5.

Minyak Atsiri

Sumber: Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Tabel 4 ( Neraca Perdagangan RI 2013) *Kementerian Perdagangan RI dan BPS
URAIAN
Ekspor
Migas
Non Migas

APRIL 2013
Milyar US$
14,7
2,4
12,3

Impor
16,3
Migas
3,6
Non Migas
12,7
APRIL 2013
JAN-APR 2013

JANUARI-APRIL 2013

MoM %
2,18
18,37
1,74
9,59
7,77
15,75

Milyar US$
60,1
10,5
49,6

YoY %
7,07
22,18
3,07

62,0
1,15
15,1
3,21
46,9
2,48
Defisit US$ 1,6 Milyar
Defisit US$ 1,9 Milyar

Tabel 5 (VALUE CHAINS)

Provide
Quotes

Custo
mer

C
h
a
n
n
e
l
s
S
a
l
e
s
F
o
r
c
e

Provide
Provide
Plannin
Plannin
gg
&Req.
&Req.
Definiti
Definiti
on
on
Support
Support

Process
Process
Orders
Orders

Dispos
e of
Gov.
Assets

C
a
l
l
C
e
n
t
e
r
G
2
G
E
x
c
h
a
n
g
e

Provid
e
Aggreg
ate
Pricing

Manage
Vendors &
Provide
Sourcing

Develop
Sourcing
Strategies
B
2
G

Manage
Manage
Funding
Funding
&
&
Contract
Contract
ing
ing

Procure
Procure
Products
Products or
or
Service
Service

Process
Process
Payments
Payments

A
c
c
t

Track/Adj
ust Orders

Provide
Provide
Oper.
Oper. &
&
Maint
Maint
Services
Services

Purchasers
Manage
Manage
Projects
Projects

Provide
logistics

E
x
c
h
a
n
g
e

Key:

R
e
p
s

Cut of scope in Phase1
S

Phase 1 u
Value Chain p
p
Analysis Focus
o
r

Phase 1 t
Value chain
S
Alignment Areas
t
a
f
f

Supplie
rs/Vend
ors