QUO VADIS PENDIDIKAN NASIONAL PT

QUO VADIS PENDIDIKAN NASIONAL
Gatot Subroto *)

Tema Hardiknas tahun ini adalah, “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan
Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”. Selayaknya hari-hari besar
nasional lainnya, maka banyak kalangan yang memperingati hari tersebut dengan berbagai
cara. Pada 1 Mei (May Day) nanti, sebanyak 75.000 orang akan melakukan unjuk rasa
merayakan hari buruh. Mereka berasal dari organisasi buruh yang sudah menyampaikan
pemberitahuan ke Polda Metro Jaya di Jakarta, Selasa (28/4/2015). Maka apa yang harus kita
lakukan sebagai insan pendidikan pada hari ini? Penulis mencoba lakukannya.
Setelah hampir 70 tahun Indonesia merdeka, banyak prestasi pembangunan nasional
telah berhasil dicapai. Meskipun masih banyak masyarakat belum tersentuh pendidikan.
Padahal hakekatnya pendidikan merupakan ajang menyatukan Indonesia yang sangat
beragam. Meminjam pandangan Anis Baswedan (Mendikbud), bahwa pendidikan itu ibaratkan
selembar kain yang benangnya berwana-warni. Meskipun benang berwarna-warni tetapi tetap
dalam satu kesatuan tenunan yaitu selembar kain yang indah. Bila satu benang tercabut dari
tenunan kain maka kain akan rusak.
Demikian juga halnya dengan pendidikan. Meskipun tiap-tiap daerah beragam dan
berbeda secara sosial budaya, tetapi pendidikan yang akan merekatkan perbedaan-perbedaan
di Indonesia. Pendidikan akan menyatukan Indonesia. Meskipun Anies Baswedan sendiri
pernah menyatakan bahwa pendidikan kita dalam keadaan gawat darurat (1/12/2014).

Sungguh tepat jika peringatan Hardiknas kali ini menjadi otokritik tersendiri bagi kita
semua insan pendidikan. Penulis sangat setuju, jika salah satu pihak yang harus lebih
dievaluasi adalah kinerja pemerintah sebagai penyedia dan sekaligus penyelenggara layanan
pendidikan. Terlebih terkait rencana perubahan Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sudah masuk prioritas 2016 program legilasi nasional
(Prolegnas) No. 126 tahun 2015-2019.
Rasional
Dengan berlakunya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka UU Sisdiknas
harus mensinkronkan dengan perubahan urusan kewenangan. Hal ini nampak jelas dalam

matriks, makna yang lebih dalam bahwa pendidikan menengah serta pengelolaan pendidik dan
tenaga kependidikan dikembalikan menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di samping telah terbitnya UU No. 14/2015 tentang
Guru dan Dosen, UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No. 20/2013 tentang
Pendidikan Kedokteran, serta UU lainnya.
Kondisi di atas tidak sesuai lagi dengan pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang undang”. Selain beberapa hasil
judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang menjadikan UU Sisdiknas kurang responsif

terhadap perkembangan sosial yang terjadi.
Pertama, Pasal 53 ayat (1), konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan”
dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan
hukum tertentu. Dalam penjelasannya hal itu bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sehingga UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(BHP) tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat, alias tidak berlaku.
Kedua, Pasal 49 ayat (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Diputuskan bahwa Pemerintah, sebagai pelaksana UU, harus memenuhi anggaran
pendidikan 20% per tahun. Tidak lagi secara bertahap sebagaimana disebutkan dalam
penjelasannya.
Ketiga, Pasal 6 ayat (2) “Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Diputuskan bahwa sepanjang frasa, “...
bertanggungjawab” adalah konstitusional sepanjang dimaknai “... ikut bertanggung jawab”.
Sehingga pasal tersebut selengkapnya menjadi, “Setiap warga Negara ikut bertanggungjawab
terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”.
Keempat, Pasal 12 ayat (1) huruf c, sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya”, sehingga pasal tersebut menjadi, “Mendapatkan beasiswa bagi
yang berprestasi”

Kelima, Pasal 55 ayat (4), kata “dapat” diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.

Atas dasar rasional tersebut, perubahan terhadap UU Sisdiknas seyogyanya harus
menjadi prioritas dan agenda besar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam waktu
yang tidak terlalu lama, sehingga Sisdiknas itu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Jika tidak
apakah “Lex specialis derogat legi generali” asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex
generalis), berlaku terhadap kasus hukum pendidikan ini?

Reflektif
Dasar perubahan terhadap UU Sisdiknas merefleksikan secara filosofis, sosiologis,
yuridis, ekonomis, psikologis, dan pedagogi. Bila kita simak pemikiran para filsuf Yunani sampai
sekarang, kita dapat tahu bahwa mereka merekomendasikan pendidikan sebagai alat utama
bagi perubahan sosial. Plato misalnya, pemikirannya tentang pendidikan sebagai sine qua non
dari masyarakat yang baik. Dia membuat sebuah garis besar tentang perencanaan bagi kondisi
dimana pendidikan akan menjadi sebuah bahan pembentukan masyarakat baru dan lebih baik.
Marx melihat pendidikan sebagai cara untuk menolong kaum proletariat
mengembangkan sebuah pengertian kesadaran sosial (social consciousness), penulis kristen
berpendapat penggunaan pendidikan sebagai alat penanaman kesetian agama, sedangkan

tehnokrat moderen melihat pendidikan sebagai cara untuk mengembangkan perubahan teknis
dan memberikan individu keterampilan yang perlu bagi kehidupan masyarakat yang
berkembang bersama kemajuan teknologi.
Kaitan dengan Indonesia, secara filosofis hakekat pendidikan merupakan hak azasi
manusia yang diperlukan untuk membantu memberdayakan dan memerdekakan manusia dari
ketergantungan kepada orang lain, mampu membangun kehidupan mandiri secara individu baik
lingkup keluarga, masyarakat, dan kehidupan berbangsa serta bernegara. Oleh karena itu
setiap individu, keluarga, dan masyarakat di Indonesia harus terjamin haknya untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi.
Secara sosiologis, Indonesia merupakan negara dengan kemajemukan suku dan
budaya sesuai kondisi geografis kepulauan yang menjadi dasar pemikiran untuk mengikrarkan
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Yaitu “Kami bangsa Indonesia mengaku bertanah air satu
Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan satu berhasa persatuan Bahasa Indonesia. Kondisi
keberagaman tersebut mencerminkan keberagaman pola hidup dan aspirasi budaya yang

berbeda tapi justru menjadi kekuatan dasar bagi persatuan bangsa yang ber-Bhineka Tungal
Ika, dalam kerangka Negara Kekasatuan Republik Indenesia (NKRI)
Secara yuridis UU Sisdiknas diperlukan sebagai payung hukum untuk melindungi
legalitas pelaksanaan dan pengakuan civil effect hasil pendidikan pada semua jenjang, jenis,
dan jalur. Disamping mengawal penyelenggaraan pendidikan untuk menjamin pemenuhan

standar pendidikan serta tercapainya target pemerataan akses, mutu, dan relevansi, serta
efisiensi secara nasional. Seiring amanat alinea keempat pembukaan UUD 1945 bahwa
pendidikan nasional diselenggarakan untuk mencedaskan kehidupan bangsa. Diuraikan dalam
Pasal 31 ayat (3) bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Secara ekonomis, penyelenggaraan pendidikan perlu diatur dan dibiayai oleh
pemerintah, karena pendidikan merupakan investasi sumberdaya manusia jangka panjang,
disamping sebagai konsumsi bagi individu, masyarakat, dan bangsa pada waktu sekarang.
Sebagai investasi, pendidikan menghasilkan keterampilan dan kompetensi yang diperlukan
untuk meningkatkan mobilitas dan produktivitas individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa di
masa datang yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan
ekonomi baik mikro dan makro. Dan sebagai konsumsi, penyelenggaraan pendidikan mampu
menciptakan lapangan kerja, menggunakan waktu secara produktif, merupakan tempat
pengasuhan, pertemuan dengan teman, mengurangi stress dan kejahatan anak-anak, serta
meningkatkan keharmonisan hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Fakta
menunjukkan bahwa negara yang penduduknya mempunyai tingkat dan mutu pendidikan yang
tinggi, lebih makmur dan sejahtera secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik dibandingkan
dengan negara yang rendah investasi pendidikannya.
Secara psikologis, pendidikan nasional merupakan proses dan sekaligus hasil

pembentukan kecakapan hidup yang ber-karakter Pancasilais dan kompetensi vokasional atau
profesional melalui pengajaran, pelatihan, keteladanan, dan pembudayaan yang inovatif,
futuristik, dan humanistik berbasis kekeluargaan. Dalam konteks ini terkait dengan pentahapan
pendidikan sesuai tingkat pertumbuhan fisik dan kejiwaan peserta didik. Dan terakhir landasan
pedagogik penyelenggaraan pendidikan yang mencakup pendekatan pembelajaran diantaranya
berdasarkan teori perilaku (behavioral), teori kognitif (cognitive), dan teori konstruktif
(constructive).

Pendidikan Masa Depan
Tanpa mengurangi arti dan hasil-hasil pendidikan yang telah dicapai selama ini.
Pendidikan nasional Indonesia ke depan harus menggunakan ide kebermaknaan dalam setiap
aktivitasnya, atau pendidikan yang ber-nilai. Dalam arti pendidikan jangan hanya difungsikan
sebagai formalitas kegiatan pemerintah yang menghabiskan dana trilyunan rupiah (baca: hanya
menggugurkan target 20% APBN/APBD), tetapi secara lebih luas harus mampu dan benarbenar memberikan value bagi peserta didik khususnya.
Sehingga mereka mampu hidup dinamis dalam masyarakat, mampu beradaptasi, dan
terbebas dari rasa ketergantungan terhadap orang lain. Karena ilmu yang diperoleh akan
mendorong dan menopang perjuangannya untuk mencapai penghidupan yang layak. Pola pikir
yang mendasarinya adalah pendidikan baik formal maupun non formal tidak lagi terpisah
dengan dunia bisnis, perdagangan, budaya, dan politik yang notabene merupakan realitas
kehidupan sosial sehari-hari. Jadi paradigma pendidikan masa depan harus diubah dari sekolah

untuk mendapatkan ijazah atau keterangan lulus, menjadi sekolah untuk mendapatkan ilmu
sebagai bekal hidup.
Kita harus akui bahwa tantangan pendidikan ke depan semakin berat. Kualitas guru kita
masih rendah. Guru hanya mencapai 44,5 nilai rata-rata uji kompetensi guru dari standar yang
diharapkan mencapai nilai 70. Artinya, secara umum guru di negeri kita belum memiliki
profesionalisme yang memadai karena berbagai keterbatasan. Bahkan mencapai 75 persen
sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Dan Indonesia
menduduki posisi ke 40 dari 40 negara pada pemetaan menurut lembaga The Learning CurvePearson, hasil pemetaan akses dan mutu pendidikan pada tahun 2013 dan 2014 (Mendikbud,
1/12/2014).
Proses keterlibatan semua insan serta ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang
berkarakter dengan dilandasi semangat gotong-royong (Kerangka Strategi Kemdikbud 20152019) dapat segera terwujud. Sehingga dapat mewarnai rekonstruksi Sisdiknas baru dalam
mendukung (Nawa) Cita ke 3 dan ke 5. Yaitu, “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran
dengan dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”
Melalui kebijakan desentralisasi asimetris; Pemerataan pembangunan antar wilayah terutama
desa, kawasan timur Indonesia dengan kawasan perbatasan. Serta “Kami akan meningkat
kualitas hidup manusia Indonesia” melalui program Indonesia Pintar dengan tag line Wajib
Belajar pendidikan 12 tahun bebas pungutan.

Semoga Kabinet Kerja 2014-2019 segera dapat merekonstruksi ulang landasan
pembangunan pendidikan yang centang perenang ke dalam satu sistem pendidikan nasional

secara konsisten, koheren, dan komprehensif. Agar sejarah mencatat bahwa generasi sekarang
telah menyiapkan generasi Indonesia emas 2045 yang tangguh dan berkarakter untuk bersaing
dengan bangsa lain. Akhirnya, proyeksi Indonesia menjadi negara besar ketiga di dunia segera
terwujud menjadi kenyataan.

-----------------*)

Penulis adalah Peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan dan anggota tim Rancangan Peraturan
Perundangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.