Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Waru
Waru atau baru (Hibiscus

tiliaceus, suku kapas–kapasan)

merupakan

tumbuhan asli tropik pasifik. Tumbuhan ini cepat tumbuh sampai tinggi 5-15
meter, garis tengah batang 40-50 cm; bercabang dan berwarna coklat. Daun
merupakan daun tunggal, berangkai, berbentuk jantung, lingkaran lebar/bulat
telur, tidak berlekuk dengan diameter kurang dari 19 cm. Daun menjari,
sebagian dari tulang daun utama dengan kelenjar berbentuk celah pada sisi
bawah dan sisi pangkal. Sisi bawah daun berambut abu-abu rapat. (Azizah,
2007). Gambar tumbuhan Waru dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Tanaman Waru
Bunga waru merupakan bunga tunggal, bertaju 8-11. Panjang kelopak
2,5 cm beraturan bercangap 5. Daun mahkota berbentuk kipas, panjang 5-7

cm, berwarna kuning dengan noda ungu pada pangkal, bagian dalam oranye
dan akhirnya berubah menjadi kemerah-merahan. Tabung benang sari
keseluruhan ditempati oleh kepala sari kuning. Bakal buah beruang 5, tiap
rumah dibagi dua oleh sekat semu, dengan banya k bakal biji. Buah berbentuk
telur berparuh pendek, panjang 3 cm, beruang 5 tidak sempurna, membuka
dengan 5 katup (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Universitas Sumatera Utara

2.1.1. Habitat dan Penyebaran
Waru banyak terdapat di Indonesia, di pantai yang tidak berawa, ditanah
datar, dan di pegunungan hingga ketinggian 1700 meter di atas permukaan
laut. Tumbuhan ini anyak ditanam di pinggir jalan dan di sudut pekarangan
sebagai tanda batas pagar. Pada tanah yang baik, batang tumbuhan ini lurus
dan daunnya kecil. Pada tanah yang kurang subur, batangnya bengkok dan
daunnya lebih lebar (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
2.1.2. Kandungan Kimia dan Kegunaan Waru
Dalam pengobatan tradisional, akar waru digunakan sebagai pendingin bagi
sakit demam, daun waru membantu pertumbuhan rambut, sebagai obat batuk,
obat diare berdarah/berlendir dan amandel. Bunga digunakan untuk obat

trakhoma dan masuk angin (Martodisiswojo dan Rajakwangun, 1995).
Kandungan kimia daun dan akar waru adalah saponin dan flavonoid. Di
samping itu, daun waru juga paling sedikit mengandung lima senyawa fenol,
sedang akar waru mengandung tanin (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Kegunaan waru juga sedang diteliti sebagai anti-kanker (Chen, 2006).
2.1.3. Sumber Rhizopus sp.
Daun waru adalah tempat spora Rhizopus sp. terdapat, sehingga banyak orang
langsung menggunakannya sebagai laru. Secara alami, Rhizopus sp. tumbuh
dalam daun waru. Masyarakat tradisional menggunakan daun waru secara
langsung dalam membuat tempe (Azizah, 2007).
2.2. Laru Tempe
2.2.1. Kapang pada Laru Tempe
Laru sebenarnya adalah bibit dalam pembuatan tempe yang mengandung
spora-spora kapang (khususnya Rhizopus sp.) yang pada pertumbuhannya
mampu menghasilkan enzim-enzim hidrolitik yang mampu menguraikan
substratnya menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga lebih mudah
dicerna (Fardiaz, 1989).

Universitas Sumatera Utara


Kapang yang berperan dalam pembuatan tempe merupakan kapang
yang berasal dari genus Rhizopus. Kemudian, dari genus tersebut, jenis yang
paling sering ditemukan adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae
(Steinkraus, 1960).
Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengamati adanya beberapa
perbedaan kapang yang tumbuh pada tempe dari daerah yang berbeda pula.
Pada tempe Malang, kapang yang banyak ditemukan adalah jenis R. oryzae,
R. arrhizus, R. oligosporus, dan Mucor rouxii. Sedangkan pada tempe dari
daerah Solo, ditemukan R. stolonifer dan R. oryzae. Sedangkan pada tempe
yang terdapat di daerah Jakarta, ditemukan kapang Mucor javanicum dan
Trichosporus pullulans. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) terdapat 120
jenis spesies dan varietas kapang yang dapat menghasilkna tempe. Untuk
menghasilkan tempe yang baik, terdapat beberapa jenis spesies, yaitu; R.
oligosporus, R. arrhizus, R. stolonifer, R. chlamydosporus, R. chinensis, dan
R. cohnii. Namun, R. oligosporus merupakan kapang utama dalam
pembuatan tempe.
Kapang yang digunakan untuk pembuatan laru haruslah memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu; (1) produktivitas spora tinggi, (2) viabilitas
spora yang dihasilkan seragam dan memiliki stabilitas genetik dalam waktu
beberapa bulan, (3) spora cepat terdispersi pada substrat, (4) spora mampu

bergerminasi dalam waktu singkat, dan (5) bebas dari organisme
kontaminan. Berikut ini adalah sifati-sifat dari beberapa jenis kapang yang
umum ditemukan pada ragi tempe (Syarief, 1999);
a. Rhizopus oligosporus
Rhizopus oligosporus merupakan kapang pemeran utama dalam
fermentasi tempe. Di dalam sistematika (Samson dan Hoekstra, 1988),
kapang ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1) Koloni tampak pucat berwarna abu-abu kecoklatan.
2) Sporangiofora soliter atau dalam kelompok yang terdiri dari lebih 4
sporangiofora yang tumbuh ke arah udara dan tingginya mencapai 1
mm dan diameter 10-18 mm.
3) Sporangiofora muda berwarna transparan yang berangsur-angsur
menjadi kecoklatan.

Universitas Sumatera Utara

4) Rhizoid

bercabang


pendek

dan

tumbuh

berlawanan

dengan

sporangiofora yaitu ke arah substrat dengan dinding sel halus atau
agak kasar.
5) Sporangiofora yang telah masak beebentuk bulat berwarna coklat
sampai hitam dengan diameter 100-180 mm, dan di dalam
sporangiofora terbentuk spora sebagai alat perkembangbiakan.
6) Kolumela berbentuk bulat sampai subglobus dengan apofisis
berbentuk cerobong.
7) Spora berupa sel-sel tunggal bentuk tidak beraturan antara bulat
sampai oval dengan diameter 7-10 mm, berwarna kecoklatan dengan
dinding sel halus.

8) Banyak terdapat khlamidospora baik tunggal maupun berangkau
dengan bentuk rantai pendek, tak berwarna, mengandung granula
berbentuk bulat sampai elips dengan ukuran 7-30 mm.
9) Khlamidospora terbentuk pada benang-benang hifa atau pada
sporangiofora.
10) Temperatur optimum 32-35ºC, minimun 12ºC dan maksimum 42ºC.
b. Rhizopus oryzae
Rhizopus oryzae adalah jenis kapang yang berpotensi pula dalam
fermentasi tempe, walaupun tingkat kecepatan fermentasinya lebih
lambat dibandingkan dengan R. oligosporus (Samson dan Hoekstra,
1988). Adapun sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
1) Koloni berwarna putih yang berangsur-angsur menjadi abu-abu
kecoklatan.
2) Stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning
kecoklatan.
3) Sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara baik tunggal
maupun berkelompok (hingga 5 sporangiofora).
4) Rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak di posisi yang sama dengan
sporangiofora.


Universitas Sumatera Utara

5) Sporangia globus atau subglobus dengan dinding berspinulosa (duriduri pendek) yang berwarna coklat gelap sampai coklat hitam bila
telah masak.
6) Kolumela oval hingga bulat dengan dinding halus atau sedikit kasar.
7) Spora bulat, atau berbentuk oval.
8) Temperatur optimal untuk pertumbuhan adalah 35ºC, minimal pada 57ºC dan maksimal pada 44ºC.
c. Rhizopus Stolonifer
Kapang ini memiliki kemampuan fermentasi kedelai lebih rendah
daripada R.oryzae, karena kecepatan pertumbuhan yang lebih rendah
(Samson dan Hoekstra, 1988). Ciri-ciri morfologinya adalah:
1) Koloni putih yang berangsur-angsur menjadi abu-abu kecoklatan oleh
adanya perubahan pada sporangiofora dan sporangia.
2) Sporangiofora tunggal atau berkelompok (2-7), tidak berwarna hingga
coklat gelap.
3) Rhizoid tubuh bercabang-cabang dengan posisi berlawanan terhadap
arah pertumbuhan sporangiofora.
4) Sporangia yang telah dewasa berbentuk globos hingga subglobus
berwarna coklat gelap.
5) Bentuk kolumela mengikuti bentuk sporangia (globos, subglobus, atau

oval).
6) Spora tidak beraturan bentuknya dan poligonal, oval, globus dan elips.
Zygospora berbentuk globus dengan permukaan tidak merata dan
tidak simetris.
7) Temperatur optimal pertumbuhan adalah pada 25-26ºC, minimal pada
10ºC dan maksimal pada 35-37ºC.
Berdasarkan sifat-sifat ketiga jenis kapang tersebut, dapat
disimpulkan

bahwa

perbedaan

pokok

terutama

terdapat

pada


sporangiofora, spora dan temperatur pertumbuhannya (Azizah, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3. Pembuatan Laru Tempe
2.3.1. Laru Tempe Tradisional
Secara tradisional, terdapat beberapa jenis laru, diantaranya: daun jati, daun
waru, laru dari tempe, laru beras, dan laru singkong (Syarief, 1999).
a. Daun Jati dan Daun Waru
Daun jati dan daun waru yang langsung digunakan sebagai laru dalam
fermentasi kacang kedelai disebut usar. Usar sebenarnya adalah daun jati
atau daun waru yang permukaannya telah mengandung spora kapang. Cara
pembuatan usar dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya; persiapan
kedelai, persiapan daun, dan pemeraman (Suyanto, 1997).
Persiapan kedelai yang dilakukan sama halnya dengan persiapan
kedelai untuk pembuatan tempe, yaitu melalui tahap: pencucian kedelai,
perebusan, perendaman, pengupasan kulit, pengukusan, penirisan dan
pendinginan, serta pemberian laru (Suyanto, 1997).
Tahapan persiapan daun dilakukan dengan melayukan daun yang

akan digunakan, baik daun jati maupun daun waru. Kemudian pada bagian
permukaan bawah daun (bagian yang berbulu) ditaburi kedelai yang telah
dicampur laru. Selanjutnya daun tersebut disusun pada suatu wadah
dengan sistem lapis yaitu saling menutup antara satu daun dengan daun
yang lain. Bagian atasnya ditutup dengan kain saring atau plastik.
Pemeraman tahap pertama dilakukan dengan kondisi menutup bagian atas
rak selama 24-36 jam, kemudian diperam lagi. Pada pemeraman
selanjutnya daun dibiarkan masing-masing dan dibiarkan terbuka selama 3
hingga 7 hari. Tahap ini sekaligus juga merupakan tahap pengeringan.
Apabila kondisi cuaca basah, maka sesekali daun tersebut dikeringkan di
bawah sinar matahari agar tidak membusuk (Hermana dan Karmini, 1996).
Kelemahan penggunaan metode ini adalah waktu fermentasi yang
dihasilkan relatif lama dan kualitas tempe yang dihasilkan tidak optimal.
Menurut Azizah (2007), miselium yang terbentuk tidak seragam. Hal
disebabkan karena fermentasi dikontaminasi oleh banyak jenis kapang
lainnya.

Universitas Sumatera Utara

b. Laru dari tempe

Cara membuat tempe ini relatif sederhana, yakni dengan cara mengiris
tipis-tipis tempe yang telah jadi. Irisan tempe tersebut kemudian
ditebarkan pada wadah (tampah), dijemur di bawah sinar matahari atau
dikeringkan menggunakan oven hingga kering. Irisan tempe yang telah
kering tersebut selanjutnya digiling hingga halus. Hasil gilingan kemudian
disaring hingga diperoleh bubuk yang halus. Bubuk halus ini dapat
dipergunakan untuk pembuatan tempe selanjutnya (Hermana dan Karmini,
1996).
Kelemahan penggunaan metode ini adalah waktu fermentasi yang
dihasilkan relatif lama dan kualitas tempe yang dihasilkan tidak optimal
(Azizah, 2007). Metode ini menghasilkan miselium tempe yang tidak
seragam disebabkan laru ini telah dikontaminasi oleh kapang jenis lain.
c. Laru beras
Laru jenis ini merupakan laru yang paling banyak digunakan di Indonesia,
seperti halnya laru yang diproduksi oleh LIPI atau KOPTI. Persiapan
bahan baku antara lain yaitu beras dan laru tempe pasar atau kultur kapang
(Azizah, 2007).
Tahap awal yang dilakukan adalah pencucian beras hingga bersih.
Setelah itu ditambahkan air dengan perbandingan 1:1 lalu dikukus hingga
matang. Setelah dingin, nasi tersebut kemudian dicampur dengan suspensi
kapang atau suspensi laru tempe pasar yang telah ada. Nasi tersebut
kemudian diperam 3-4 hari. Setelah diperam, nasi tersebut dikeringkan
dibawah sinar matahari atau menggunakan oven hingga kering selanjutnya
dilakukan penggilingan agar diperoleh laru berbentuk bubuk yang halus
(Hermana dan Karmini, 1996).
d. Laru singkong
Prinsip pembuatan laru ini menggunakan singkong sebagai substrat.
Singkong tersebut diiris terlebih dahulu dan dikeringkan (gaplek). Gaplek
tersebut kemudian ditepungkan. Selanjutnya tepung tersebut disangrai
untuk mencegah kontaminasi mikroba lain yang tidak diinginkan sekaligus
juga mengeringkan tepung tersebut (Hermana dan Karmini, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Tepung singkong yang telah disangrai dan didinginkan kemudian
ditebarkan di tampah untuk selanjutnya diperciki air lalu diaduk rata
sampai menjadi adonan yang tidak terlalu lembek. Selanjutnya
ditambahkan laru, ditutup dengan daun atau kertas saring, lalu diperam 2-3
hari. Setelah kering, tepung singkong tersebut digiling dan dikemas
(Azizah, 2007).
2.3.2. Substrat dalam Membuat Laru
Substrat merupakan media pertumbuhan mikroorganisme yang menyediakan
zat-zat penting seperti karbon, nitrogen, ion organik, energi serta air untuk
pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Menurut Walker (1999), substrat
yang

digunakan

hendaknya

dapat

memenuhi

kebutuhan

minimum

pertumbuhan, kelangsungan hidup serta tidak terkontaminasi faktor
penghambat.
Selam proses fermentasi, mikroorganisme menggunakan komponenkomponen kimia di dalam substrat. Namun, komponen tersebut terlebih
dahulu dipecah menjadi fraksi-fraksi sederhana yang mudah dicerna oleh
mikroorganisme tersebut. Aktivitas enzimatik mikroba mampu memecah
komponen tersebut menjadi fraksi yang sederhana (Frazier, 1956).
2.4. Ampas Singkong
Singkong (Manihot esculenta) Crantz adalah tanaman adalah semak
berkayu yang selalu hijau dengan akar dapat dimakan, yang tumbuh di daerah
tropis dan subtropis wilayah di dunia. Singkong merupakan salah satu
makanan pokok rakyat Indonesia, singkong dengan nama binomial Manihot
esculenta dari kerajaan plantae. Merupakan tumbuhan tropik dan subtropika
dari keluarga Euphorbiaceae.
Tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan dari singkong. Tepung
singkong umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel
umbi singkong (Fransiska, 2010). Tepung tapioka biasanya diolah dari
singkong varietas mangi. Kandungan kimia pada ampas singkong varietas
mangi dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Kandungan Kimia Ampas Singkong (kering)
Kandungan
Kadar Pati (Karbohidrat)
Gula Pereduksi (Karbohidrat)
Serat
Kadar Air
Protein

Nilai (%)
37,70
31,30
21,00
9,04
0,96

Sumber: Fransiska, 2007

2.5. Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah padat yang diperoleh dari proses pembuatan
tahu dari kedelai. Tahu dibuat dari sari kedelai sedangkan ampas tahu
merupakan limbah hasil penyaringan sari tahu. Ditinjau dari komposisi
kimianya, ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Komposisi
kimia pada ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 2.2. berikut:
Tabel 2.2. Kandungan Kimia Ampas Tahu (basah dan kering)
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Kandungan
Protein
Serat
Lemak
Abu
BETN

Ampas Tahu
Basah (%)
Kering (%)
2,91
23,39
3,76
19,44
1,39
9,96
0,58
4,58
6,05
30,48

Sumber: Suprapti, 2005

2.6. Aplikasi Laru Tempe dalam Fermentasi Kacang Kedelai
2.6.1. Proses Ferementasi
Fermentasi berasal dari kata Latin ”fervere” yang berarti mendidih, yang
menunjukkan adanya aktivitas dari yeast pada ekstrak buah-buahan atau bijibijian.

Kelihatan

seperti

mendidih

disebabkan

karena

terbentuknya

gelembung-gelembung gas CO2 yang diakibatkan proses katabolisme atau
biodegradasi secara anaerobik dari gula yang ada dalam ekstrak (Steinkraus,
1960).
Secara umum, fermentasi adalah proses pemecahan senyawa
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim
mikro organisme. Proses ini dapat berlangsung dalam lingkungan aerob
maupun anaerob tergantung mikro organisme (Steinkraus, 1960).

Universitas Sumatera Utara

Fermentasi ditinjau secara biokimia mempunyai perbedaan arti
dengan mikrobiologi industri. Secara biokimia, fermentasi diartikan sebagai
terbentuknya energi oleh proses katabolisme bahan organik, sedang dalam
mikrobiologi industri, fermentasi diartikan lebih luas yaitu sebagai suatu
proses untuk mengubah bahan baku menjadi suatu produk oleh massa sel
mikroba. Dalam hal ini, fermentasi berarti pula pembentukan komponen sel
secara aerob yang dikenal dengan proses anabolisme atau biosintesis
(Karmini, 2009).
Mikrobiologi industri adalah fermentasi dalam pengertian yang lebih
luas yang menguraikan macam-macam proses guna memperoleh hasil dalam
skala industri dengan mass culture atau mikroba. Secara komersial,
fermentasi dibagi menjadi 4 tipe (Steinkraus, 1960), yaitu :
1. Fermentasi yang menghasilkan sel mikroba atau biomassa.
2. Fermentasi yang menghasilkan enzim mikroba.
3. Fermentasi yang menghasilkan metabolit mikroba baik primer maupun
sekunder.
4. Fermentasi yang memodifikasi bahan yang disebut pula dengan proses
transformasi.
Fermentasi memanfaatkan kemampuan mikroba untuk menghasilkan
metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan yang
dikendalikan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan tahap awal proses
fermentasi yang dikendalikan terutama dalam pengembangan inokulum agar
dapat diperoleh sel yang hidup. Pengendalian dilakukan dengan pengaturan
kondisi medium, komposisi medium, suplai O2 dan agitasi. Bahkan jumlah
mikroba dalam fermentor juga harus dikendalikan sehingga tidak terjadi
kompetisi dalam penggunaan nutrisi. Nutrisi dan produk fermentasi juga
perlu dikendalikan, sebab jika nutrisi berlebih dan produk metabolit hasil
fermentasi tersebut dapat menyebabkan inhibisi dan represi. Pengendalian
diperlukan karena pertumbuhan biomassa dalam suatu medium fermentasi
dipengaruhi banyak faktor baik ekstraseluler maupun faktor intraseluler
(Steinkraus, 1960).

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Kacang Kedelai
Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena

dapat

digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai
adalah salah satu tanaman jenis polong-polongan yang memiliki kandungan
protein nabati. Protein dalam kacang kedelai menyuplai zat-zat yang
dibutuhkan tubuh dan manfaatnya bagi kesehatan. Kedelai menjadi bahan
dasar makanan seperti kecap, tahu dan tempe (Warisno dan Dahana, 2010).
Kedelai merupakan sumber gizi yang baik bagi manusia. Kedelai utuh
mengandung 35-38% protein tertinggi dari kacang-kacangan lainnya.
Sebagian besar kebutuhan protein nabati dapat dipenuhi dari kacang kedelai,
salah satu produk olahan kedelai adalah tempe (Warisno dan Dahana, 2010).
Kandungan kacang kedelai dapat dilihat apada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Kandungan Kacang Kedelai
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Kandungan
Kalori
Air
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B1

Kacang Kedelai
Jumlah
Satuan
331
Kcal
7,5
Gram
34
Gram
18,1
Gram
34,8
Gram
227
Mg
585
Mg
8
Mg
110
SI
1,1
Mg

Sumber: Warisno dan Dahana (2010)

2.6.3. Fermentasi Kacang Kedelai
Fermentasi adalah suatu proses metabolisme yang menghasilkan produkproduk pecahan baru dan substrat organik karena adanya aktivitas atau
kegiatan mikroba. Fermentasi kedelai menjadi tempe oleh Rhizopus
Oligosporus terjadi pada kondisi anaerob. Hasil fermentasi tergantung pada
fungsi bahan pangan atau substrat mikroba dan kondisi sekelilingnya yang
mempengaruhi pertumbuhannya. Fermentasi dapat menyebabkan beberapa
perubahan sifat kedelai tersebut. Senyawa yang dipecah dalam proses
fermentasi adalah karbohidrat dan protein (Wang, 1975).

Universitas Sumatera Utara

Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai menjadi tempe
juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas tempe.
Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari aroma
miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas dan
aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak. Semakin lama fermentasi
berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi
pelepasan amonia (Hermana dan Sutedja, 1970).
Dalam proses fermentasi kedelai, substrat yang digunakan adalah
keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganismenya berupa
kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer
(dapat kombinasi dua spesies atau tiga-tiganya) dan lingkungan pendukung
yang terdiri dari suhu 30oC, pH awal 6,8 serta kelembaban nisbi 70-80%
(Yusuf, 2010).
Dengan adanya proses fermentasi itu kedelai yang dibuat tempe
rasanya menjadi enak dan nutrisinya lebih mudah dicerna tubuh dibandingkan
kedelai yang dimakan tanpa mengalami fermentasi. Keuntungan lain dengan
dibuat tempe adalah bau langu hilang serta cita rasa dan aroma kedelai
bertambah sedap (Nurita Puji Astuti, 2009).
2.6.4. Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi Kacang Kedelai
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses fermentasi kacang kedelai
(Wang, 1975) adalah sebagai berikut:
1. Oksigen
Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang Rhizopus sp. Aliran udara
yang terlalu cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat
sehingga dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh
karena itu, apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkus
maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara
lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm.

Universitas Sumatera Utara

2. Uap Air
Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini
disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai uap optimum untuk
pertumbuhannya.
3. Suhu
Kapang tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat
mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27oC). Oleh
karena itu, maka pada waktu pemeraman, suhu ruangan tempat
pemeraman perlu diperhatikan.
4. Keaktifan Laru
Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang
keaktifannya. Karena itu pada pembuatan tempe sebaiknya digunakan laru
yang belum terlalu lama disimpan agar dalam pembuatan tempe tidak
mengalami kegagalan.
2.6.5. Perubahan yang terjadi Selama Fermentasi
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan fisik maupun
kimianya (Wang, 1975). Perubahan-perubahan tersebut diantaranya:
1. Peningkatan kadar nitrogen terlarut
Peningkatan ini disebabkan karena adanya aktivitas proteolitik kapang,
yang menguraikan protein kedelai menjadi asam-asam amino, sehingga
nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan.
2. Peningkatan pH
Dengan adanya peningkatan nitrogen terlarut maka pH juga akan
mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar antara
6,3-6,5.
3. Kedelai menjadi mudah dicerna
Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih mudah dicerna.
Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah oleh
kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan
bau langu dari kedelai juga akan hilang.

Universitas Sumatera Utara

4. Perubahan kadar air pada kedelai
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi
pertumbuhan kapang. Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan
pada kadar air dimana setelah 24 jam fermentasi, kadar air kedelai akan
mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi
akan meningkat lagi menjadi 64%.
5. Berkurangnya kandungan oligosakarida
Selama fermentasi tempe terjadi pengurangan kandungan oligosakarida
penyebab “flatulence”. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai
fermentasi 72 jam.
6. Peningkatan kadar amino bebas
Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan
dan peningkatannya akan mengalami jumlah terbesar pada waktu
fermentasi 72 jam (Murata, 1967).
7. Peningkatan serat kasar dan vitamin
Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama
fermentasi kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin
(Shurtleff dan Aoyagi, 1979).
8. Pengurangan disakarida
Pengurangan disakarida terjadi pada senyawa stakhiosa, rafinosa, dan
sukrosa. Penurunan tersebut lebih diakibatkan oleh perendaman dan
perebusan kedelai jika dibandingkan dengan fermentasi. Menurut
Kasmidjo (1989) perendaman dan perebusan menyebabkan penurunan
stakhiosa, rafinosa, dan sukrosa masing-masing menjadi 51%, 48%, dan
41% dari bahan awalnya, selanjutnya stakhiosa akan berkurang menjadi
7% saja setelah 72 jam fermentasi dan sukrosa akan berkurang menjadi
sepertiganya.

Universitas Sumatera Utara

9. Penurunan lemak
Fermentasi tempe juga mengakibatkan penurunan lemak. Hasil penelitian
Kasmidjo (1989) menunjukkan bahwa setelah fermentasi 48 jam
menggunakan inokulum Rhizopus sp., 20% lemak akan terhidrolisis oleh
enzim lipase. Sedangkan komponen utama lemak kedelai, yaitu asam
linoleat akan habis termetabolisasikan pada fermentasi hari ketiga
(Kasmidjo, 1989)
2.6.6. Tempe Sebagai Produk Fermentasi
Tempe merupakan produk hasil fermentasi kedelai dalam kurun waktu 36-48
jam menggunakan kapang (Warisno dan Dahana, 2010). Selama proses
fermentasi untuk menghasilkan tempe, terdapat perubahan komposisi zat
gizi kedelai yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe (100 gram bahan bdd)
No.

Zat Gizi

1. Energi
2. Protein
3. Lemak
4. Hidrat Arang
5. Serat
6. Abu
7. Kalsium
8. Fosfor
9. Besi
10. Karotein
11. Vitamin A
12. Vitamin B1
13. Vitamin C
14. Air
bdd (berat yang dapat dimakan)

Satuan
Kal
G
G
G
G
G
Mg
Mg
Mg
Mkg
SI
Mg
Mg
G
%

Komposisi Zat Gizi 100 g
bdd
Kedelai
Tempe
381
201
40,4
20,8
16,7
8.8
24,9
13,5
3,2
1,4
5,5
1,6
222
155
682
328
10
4
31
34
0
0
0,52
0,19
0
0
12,7
55,3
100
100

Sumber: Kemenkes, 1991

Universitas Sumatera Utara

2.6.7. Khasiat Tempe
Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan yang
diwakili melonjaknya perhatian terhadap pangan fungsional, tempe pun mulai
banyak dilirik untuk diteliti lebih lanjut tentang khasiat yang dikandungnya.
Ketertarikan untuk meneliti ini tak lepas berangkat dari kepercayaan akan
khasiat tempe yang diceritakan turun-temurun dari generasi sebelumnya
(Warisno dan Dahana, 2010).
Sebagai bahan makanan, tempe memiliki beberapa sifat yang
menguntungkan bagi para konsumennya, diantaranya;
a. Mengandung protein tinggi serta mengandung 8 jenis asam amino esensial.
b. Memiliki kandungan vitamin B12 yang tinggi (Steinkraus, 1960).
c. Rendah kandungan lemak jenuh.
d. Memiliki tekstur seluler yang unik sehingga mudah dicerna dan diserap
oleh tubuh (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).
e. Mempunyai kandungan zat berkhasiat antibiotok dan dapat menstimulasi
pertumbuhan (Wang, 1969).
Selain beberapa keuntungan tersebut di atas, sejak lama tempe telah
dipercaya dapat membantu mengatasi beberapa penyakit yang banyak,
diantaranya: anemia gizi besi, infeksi dan hiperkolesterol.
2.6.8. Kualitas Tempe
a. Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Air berperan
sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai
media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya.
Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya
simpan dari bahan pangan tersebut . Oleh karena itu penentuan kadar air
dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan
maupun pendisribusian mendapat penanganan yang tepat. Sesuai dengan
SNI Tempe, maka kadar maksimal air dalam tempe adalah 65% (Fardiaz,
1989).

Universitas Sumatera Utara

b. Kadar Protein
Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti “yang paling
utama”) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakan

polimer

dari

monomer-monomer

asam

amino

yang

dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Dalam tempe, protein
merupakan komponen utama yang menyuplai gizi. Menurut SNI,
kandungan protein dalam tempa minimal 16% (Fardiaz, 1989).
Analisa kadar protein yang paling umum adalah metode Kjeldahl.
Prinsip kerja dari metode Kjeldahl adalah protein dan komponen organik
dalam sampel didestruksi dengan menggunakan asam sulfat dan katalis.
Hasil destruksi dinetralkan dengan menggunakan larutan alkali dan
melalui destilasi. Destilat ditampung dalam larutan asam borat.
Selanjutnya ion- ion borat yang terbentuk dititrasi dengan menggunakan
larutan HCl (Purnama, 2010).
Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk
penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang
mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan
dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan
amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang
terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan
ditetapkan secara titrasi. Metode ini telah banyak mengalami modifikasi.
Metode ini cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan
jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga
tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi (Purnama,
2010).
1. Destruksi
Sampel di destruksi dengan memanaskan sampel dalam asam sulfat
pekat sehingga terjadi penguraian sampel menjadi unsur-unsurnya yaitu
unsur-unsur C, H, O, N, S, dan P. Unsur N dalam protein ini dipakai
untuk menentukan kandungan protein dalam suatu bahan. Hasil
destruksi adalah ion NH4+ yang menunjukkan keberadaan protein. Ion

Universitas Sumatera Utara

ammonium bereaksi dengan ion sufat dari asam sulfat membentuk
ammonium sulfat. Reaksi di katalisis dengan adanya garam kjeldahl.
Garam kjeldahl berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dengan
menaikkan titik didih asam sulfat saat dilakukan penambahan H2SO4
pekat, serta mempercepat kenaikan suhu asam sulfat, sehingga destruksi
berjalan lebih cepat dan lebih sempurna. Garam kjeldahl tersebut terdiri
dari campuran Na2SO4 anhidrad dan CuSO4. Ion logam Cu akan
menaikkan titik didih H2SO4 sedangkan Na2SO4 anhidrad akan menarik
air yang terdapat pada sampel. Karena titik didih menjadi lebih tinggi,
maka asam sulfat akan membutuhkan waktu yang lama untuk menguap.
Karena hal ini, kontak asam sulfat dengan sampel akan lebih lama
sehingga proses destruksi akan berjalan lebih efektif. Asam sulfat yang
bersifat oksidator kuat akan mendestruksi sampel menjadi unsurunsurnya. (Purnama, 2010). Selama proses destruksi, terjadi reaksi
berikut:
Cu2SO4 + 2H2SO4  2CuSO4 + 2 H2O + SO2
protein/(CHON) + On + H2SO4  CO2 + H2O + (NH4)2SO4
2. Destilasi
Pada dasarnya tujuan destilasi adalah memisahkan zat yang diinginkan,
yaitu dengan memecah amonium sulfat menjadi amonia (NH3) dengan
menambah beberapa mL NaOH hingga tepat basa, kemudian larutan
sampel ini dipanaskan. Prinsip destilasi adalah memisahkan cairan atau
larutan berdasarkan perbedaan titik didih. Fungsi penambahan NaOH
adalah untuk memberikan suasana basa karena reaksi tidak dapat
berlangsung dalam keadaan asam (Purnama, 2010).
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi
ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan
dipanaskan oleh pemanas dalam alat destilasi melalui steam. Selain itu
sifat NaOH yang apabila ditambah dengan aquadest menghasilkan
panas, meski energinya tidak terlalu besar jika dibandingkan pemanasan
dari alat destilasi, ikut memberikan masukan energi pada proses
destilasi. Panas tinggi yang dihasilkan alat destilasi juga berasal dari

Universitas Sumatera Utara

reaksi antara NaOH dengan (NH4)2SO4 yang merupakan reaksi yang
sangat eksoterm sehingga energinya sangat tinggi. Ammonia yang
dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam
standar yang dipakai dalam percobaan ini adalah asam borat (Purnama,
2010).
Erlenmeyer yang berisi 100 ml asam borat 2 % + BCG-MR
(campuran brom cresol green dan methyl red) atau Tashiro ditempatkan
di bagian kanan bawah alat destilasi. Erlenmeyer ini digunakan untuk
menangkap amoniak hasil reaksi NaOH dengan (NH4)2SO4. BCG-MR,
Tashiro dan PP merupakan indikator yang bersifat amfoter, yaitu bisa
bereaksi dengan asam maupun basa. Indikator ini digunakan untuk
mengetahui asam dalam keadaan berlebih. Selain itu alasan pemilihan
indikator ini adalah karena memiliki trayek pH 6-8 (melalui suasana
asam dan basa / dapat bekerja pada suasana asam dan basa), yang
berarti memiliki rentang trayek kerjanya yang luas (meliputi asamnetral-basa). Pada suasana asam, indikator akan berwarna merah muda,
sedang pada suasana basa akan berwarna hijau-biru. Setelah ditambah
BCG-MR, larutan akan berwarna merah muda karena berada dalam
kondisi asam(Purnama, 2010).
Asam borat (H3BO3) berfungsi sebagai penangkap NH3 sebagai
destilat berupa gas yang bersifat basa. Supaya ammonia dapat
ditangkap secara maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini
tercelup semua ke dalam larutan asam standar sehingga dapat
ditentukan jumlah protein sesuai dengan kadar protein bahan (Purnama,
2010).
Selama proses destilasi lama-kelamaan larutan asam borat akan
berubah warna menjadi hijau kebiruan, hal ini karena larutan
menangkap adanya ammonia dalam bahan yang bersifat basa sehingga
mengubah

warna

merah

muda

menjadi

biru.

Reaksi yang terjadi :
(NH4)2SO4 + NaOH  Na2SO4 + 2 NH4OH
2NH4OH  2NH3 + 2H2O
4NH3 + 2H3BO3  2(NH4)2BO3 + H2

Universitas Sumatera Utara

3. Titrasi
Langkah terakhir dalam proses analisis protein adalah titrasi. Titrasi
asam-basa digunakan untuk menentukan kadar protein dalam sampel.
Karena NH3 yang terbentuk adalah asam lemah, digunakan HCl baku
0,1N untuk menitrasi asam borat yang sudah menangkap ammonia hasil
destilasi, titik akhir di tandai dengan perubahan warna menjadi merah
muda karena adanya indikator Tashiro atau Phenolptalein pada kondisi
sedikit basa (mendekati netral). Reaksi yang terjadi:
4NH3 + 2H3BO3  2(NH4)2BO3 +H2
(NH4)2BO3 + 2HCl  2NH4Cl + H2BO3

…….......…………...(1)
……..…….........…...(2)

Reaksi 1 adalah reaksi penangkapan ammonia distilat oleh asam
borat, dan reaksi (2) adalah reaksi penetralan pada titrasi asam-basa.
Dari reaksi di (2) diatas, bahwa 1 mol HCl akan bereaksi dengan 1 mol
ammonia (dalam bentuk NH4Cl). Sehingga banyaknya protein dalam
sampel dapat dihitung dari konversi HCl yang digunakan dikali dengan
faktor konversi nitrogen protein (Purnama, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Lama Perendaman Kacang Kedelai Dan Jenis Zat Penggumpal Terhadap Mutu Tahu

0 31 75

Formulasi Laru Termpe Terstandar dari Isolat Usar Daun Waru (Hibiscus tiliaceus)

6 23 100

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

5 26 101

PENGARUH SUPLEMENTASI DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI PROTOZOA RUMEN SECARA IN VITRO

1 7 66

TINJAUAN GIZI TAHU DAN TEMPE GEMBUS DARI BEBERAPA JENIS KACANG SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PENGGANTI KEDELAI.

1 2 7

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 14

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 2

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 4

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 1 2

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 20