Formulasi Laru Termpe Terstandar dari Isolat Usar Daun Waru (Hibiscus tiliaceus)

(1)

Oleh:

ADISTI BINTANG AZIZAH F24103108

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

dan Suliantari

RINGKASAN

Tempe merupakan salah satu pangan tradisional yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Bahan baku dalam pembuatan tempe adalah kedelai yang difermentasi dengan fermentasi kapang Rhizopus selama 36-48 jam. Kapang yang berperan dalam pembuatan tempe ini diperoleh dari laru, yakni starter pembuatan tempe. Pada umumnya, laru tempe dibuat dengan menginokulasikan spora kapang ke dalam substrat, diinkubasi, kemudian dikeringkan dan digiling hingga halus. Hingga kini industri tempe masih bertahan sebagai home industry dengan skala produksi kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kapang yang terkandung dalam laru yang berbeda sehingga menghasilkan tempe yang beragam pula. Oleh karena itu diperlukan adanya standardisasi laru untuk menghasilkan keseragaman mutu tempe.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh laru tempe terstandar dengan formulasi terbaik menggunakan substrat beras dan onggok. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi; isolasi dan identifikasi kapang dari usar daun waru, pemilihan substrat terbaik, pemilihan jumlah spora terbaik, pemilihan waktu pengeringan terbaik, scaling up, serta penyimpanan.

Tahapan yang telah dilaksanakan adalah isolasi dan identifikasi kapang serta pemilihan substrat terbaik. Dari isolasi dan identifikasi, dapat diketahui bahwa jenis kapang yang terdapat pada usar adalah Rhizopus sp. Selain itu, dilakukan pula penghitungan jumlah kapang per cm2 permukaan usar. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kapang pada permukaan usar adalah 7,2 x 102 koloni kapang per cm2. Dari isolat yang diperoleh kemudian digunakan untuk membuat laru tempe dengan substrat campuran beras dan onggok. Rasio beras dan onggok yang digunakan yakni; 1:1, 1:2, 1:3, 2:1, 3:1, 100% beras, dan 100% onggok. Berdasarkan hasil analisis total kapang dan


(3)

onggok dengan rasio 1:3 ini memiliki jumlah total kapang sebesar 5,5 x 106 per gram laru. Substrat terbaik yang diperoleh kemudian diinokulasikan dengan jumlah spora awal 106 spora kapang per 10 gram substrat sebagi jumlah spora awal terbaik. Lama pengeringan terbaik untuk laru tempe adalah 48 jam pada suhu 40ºC.

Selanjutnya dilakukan Scaling-Up pembuatan laru dengan formulasi terbaik dalam skala 1 kilogram, kemudian dilakukan penyimpanan selama 6 minggu. Hasil penyimpanan laru dalam kemasan LDPE menunjukkan bahwa dari minggu pertama hingga minggu keempat penyimpanan, viabilitas kapang cenderung stabil. Namun, terdapat penurunan viabilitas kapang mulai minggu ke-5 penyimpanan. Meskipun demikian, hingga akhir minggu ke-6 penyimpanan, tempe yang dihasilkan dari laru penelitian ini masih dapat diterima dengan baik oleh konsumen.


(4)

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh:

ADISTI BINTANG AZIZAH F24103108

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

FORMULASI LARU TEMPE TERSTANDAR DARI ISOLAT USAR DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus)

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh:

ADISTI BINTANG AZIZAH F24103108

dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 September 1985

Tanggal Lulus: Agustus 2007

Menyetujui, Bogor, Agustus 2007

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M. Sc Dra. Suliantari, MS Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc Ketua Departemen ITP


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan sekian banyak rahmatnya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan untuk memperoleh gelar sarjana. Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan sarjana atas segala nasehat, bimbingan, dan arahan yang sangat berharga.

2. Dra. Suliantari, MS selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Didah Nur Faridah, STP, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk menjadi penguji serta memberikan masukan yang bermanfaat.

4. SEAFAST Center atas bantuan media mikrobiologi.

5. Kedua orangtuaku tercinta, Mamie dan Papie yang selalu berada di sisiku mendo’akan dan mencurahkan kasih sayang dalam senang dan sedih. Lady dan Honey, adik-adikku tersayang yang selalu menyemangatiku dan mengerti aku. You’re the greatest blessings i’ve ever had.

6. Nenek dan Kakek, yang selalu mendo’akan aku agar selalu sukses

7. Apriliana dan Stefanus, semua suka dan duka yang kita alami bersama akan jadi kenangan tak terlupakan.

8. Teman-teman ITP 40, khususnya untuk golongan D.

9. Ekus dan Prima yang tidak bosannya menjadi pendengar yang baik untukku.

10.Windy Girls...

11.Para staff dan laboran seafast center; Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik, Sofah, Desi, Bu Entin, Bu Rohana, Pak Udin, Bu Sri, Pak Nur, dan semuanya...

12.Teman-teman di lab. seafast; Mbak Dhenok, Fitri, yang telah banyak membantu dalam banyak hal


(7)

13.Para Laboran di Lab. ITP

14.Endang Aguswati dan Linda Panduwati, sahabat baikku yang selalu mendo’akan aku dan mendukung aku dalam segala situasi. Tanpa kalian, rasanya sukar melewati masa-masa sulit.

15.Para penulis hebat yang telah menulis buku motivasi. Semua karya kalian telah memantikkan cahaya kecil dalam hatiku menjadi bara semangat yang membuatku selalu optimis menjalani tantangan.

16.Untuk semua pihak yang juga sangat membantu tetapi tidak bisa disebutkan satu per satu, mohon maaf dan terima kasih.

Akhirul kata penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2007


(8)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR GAMBAR...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

I. PENDAHULUAN...1

A. LATAR BELAKANG...3

B. TUJUAN...3

C. MANFAAT...3

II. TINJAUAN PUSTAKA...4

A. TEMPE ...4

1. PEMBUATAN TEMPE...5

2. JENIS-JENIS TEMPE...9

3. KHASIAT TEMPE...12

B. LARU TEMPE...15

1. KAPANG PADA LARU TEMPE...15

a. Rhizopus oligosporus...16

b. Rhizopus oryzae...16

c. Rhizopus stolonifer...17

2. PEMBUATAN LARU TEMPE...18

a. Laru tempe tradisional...18

i. Usar...19

ii. Laru dari tempe...19

iii. Laru beras...20

iv. Laru singkong...20

b. Upaya standardisari...21

III. METODOLOGI PENELITIAN...23

A. BAHAN DAN ALAT...23


(9)

1. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG...23

a. Isolasi dan Identifikasi Kapang...23

b. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar...24

2. PEMILIHAN SUBSTRAT TERBAIK...24

3. PENGARUH JUMLAH SPORA AWAL TERHADAP LARU...25

4. SCALING UP DAN LAMA PENGERINGAN LARU TERBAIK...25

5. PENGARUH JUMLAH LARU TERHADAP KUALITAS TEMPE...26

6. PENYIMPANAN LARU TEMPE...26

C. METODE ANALISIS...26

1. Total Kapang...26

2. Total Plate Count...27

3. Jumlah Spora...27

4. Kadar Air ...28

5. Uji Organoleptik (Hedonik)...28

6. Pembuatan Tempe...29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...30

A. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG...30

1. Isolasi dan Identifikasi Kapang...30

2. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar...32

B. PEMILIHAN SUBSTRAT TERBAIK...33

C. PENGARUH JUMLAH SPORA AWAL TERHADAP LARU...40

D. SCALING UP DAN LAMA PENGERINGAN LARU TERBAIK...41

E. PENGARUH JUMLAH LARU TERHADAP KUALITAS TEMPE...43

F. PENYIMPANAN LARU TEMPE...44


(10)

A. KESIMPULAN...53

B. SARAN...54

DAFTAR PUSTAKA...55


(11)

Oleh:

ADISTI BINTANG AZIZAH F24103108

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

dan Suliantari

RINGKASAN

Tempe merupakan salah satu pangan tradisional yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Bahan baku dalam pembuatan tempe adalah kedelai yang difermentasi dengan fermentasi kapang Rhizopus selama 36-48 jam. Kapang yang berperan dalam pembuatan tempe ini diperoleh dari laru, yakni starter pembuatan tempe. Pada umumnya, laru tempe dibuat dengan menginokulasikan spora kapang ke dalam substrat, diinkubasi, kemudian dikeringkan dan digiling hingga halus. Hingga kini industri tempe masih bertahan sebagai home industry dengan skala produksi kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kapang yang terkandung dalam laru yang berbeda sehingga menghasilkan tempe yang beragam pula. Oleh karena itu diperlukan adanya standardisasi laru untuk menghasilkan keseragaman mutu tempe.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh laru tempe terstandar dengan formulasi terbaik menggunakan substrat beras dan onggok. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi; isolasi dan identifikasi kapang dari usar daun waru, pemilihan substrat terbaik, pemilihan jumlah spora terbaik, pemilihan waktu pengeringan terbaik, scaling up, serta penyimpanan.

Tahapan yang telah dilaksanakan adalah isolasi dan identifikasi kapang serta pemilihan substrat terbaik. Dari isolasi dan identifikasi, dapat diketahui bahwa jenis kapang yang terdapat pada usar adalah Rhizopus sp. Selain itu, dilakukan pula penghitungan jumlah kapang per cm2 permukaan usar. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kapang pada permukaan usar adalah 7,2 x 102 koloni kapang per cm2. Dari isolat yang diperoleh kemudian digunakan untuk membuat laru tempe dengan substrat campuran beras dan onggok. Rasio beras dan onggok yang digunakan yakni; 1:1, 1:2, 1:3, 2:1, 3:1, 100% beras, dan 100% onggok. Berdasarkan hasil analisis total kapang dan


(13)

onggok dengan rasio 1:3 ini memiliki jumlah total kapang sebesar 5,5 x 106 per gram laru. Substrat terbaik yang diperoleh kemudian diinokulasikan dengan jumlah spora awal 106 spora kapang per 10 gram substrat sebagi jumlah spora awal terbaik. Lama pengeringan terbaik untuk laru tempe adalah 48 jam pada suhu 40ºC.

Selanjutnya dilakukan Scaling-Up pembuatan laru dengan formulasi terbaik dalam skala 1 kilogram, kemudian dilakukan penyimpanan selama 6 minggu. Hasil penyimpanan laru dalam kemasan LDPE menunjukkan bahwa dari minggu pertama hingga minggu keempat penyimpanan, viabilitas kapang cenderung stabil. Namun, terdapat penurunan viabilitas kapang mulai minggu ke-5 penyimpanan. Meskipun demikian, hingga akhir minggu ke-6 penyimpanan, tempe yang dihasilkan dari laru penelitian ini masih dapat diterima dengan baik oleh konsumen.


(14)

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh:

ADISTI BINTANG AZIZAH F24103108

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

FORMULASI LARU TEMPE TERSTANDAR DARI ISOLAT USAR DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus)

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh:

ADISTI BINTANG AZIZAH F24103108

dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 September 1985

Tanggal Lulus: Agustus 2007

Menyetujui, Bogor, Agustus 2007

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M. Sc Dra. Suliantari, MS Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc Ketua Departemen ITP


(16)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan sekian banyak rahmatnya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan untuk memperoleh gelar sarjana. Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan sarjana atas segala nasehat, bimbingan, dan arahan yang sangat berharga.

2. Dra. Suliantari, MS selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Didah Nur Faridah, STP, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk menjadi penguji serta memberikan masukan yang bermanfaat.

4. SEAFAST Center atas bantuan media mikrobiologi.

5. Kedua orangtuaku tercinta, Mamie dan Papie yang selalu berada di sisiku mendo’akan dan mencurahkan kasih sayang dalam senang dan sedih. Lady dan Honey, adik-adikku tersayang yang selalu menyemangatiku dan mengerti aku. You’re the greatest blessings i’ve ever had.

6. Nenek dan Kakek, yang selalu mendo’akan aku agar selalu sukses

7. Apriliana dan Stefanus, semua suka dan duka yang kita alami bersama akan jadi kenangan tak terlupakan.

8. Teman-teman ITP 40, khususnya untuk golongan D.

9. Ekus dan Prima yang tidak bosannya menjadi pendengar yang baik untukku.

10.Windy Girls...

11.Para staff dan laboran seafast center; Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik, Sofah, Desi, Bu Entin, Bu Rohana, Pak Udin, Bu Sri, Pak Nur, dan semuanya...

12.Teman-teman di lab. seafast; Mbak Dhenok, Fitri, yang telah banyak membantu dalam banyak hal


(17)

13.Para Laboran di Lab. ITP

14.Endang Aguswati dan Linda Panduwati, sahabat baikku yang selalu mendo’akan aku dan mendukung aku dalam segala situasi. Tanpa kalian, rasanya sukar melewati masa-masa sulit.

15.Para penulis hebat yang telah menulis buku motivasi. Semua karya kalian telah memantikkan cahaya kecil dalam hatiku menjadi bara semangat yang membuatku selalu optimis menjalani tantangan.

16.Untuk semua pihak yang juga sangat membantu tetapi tidak bisa disebutkan satu per satu, mohon maaf dan terima kasih.

Akhirul kata penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2007


(18)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR GAMBAR...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

I. PENDAHULUAN...1

A. LATAR BELAKANG...3

B. TUJUAN...3

C. MANFAAT...3

II. TINJAUAN PUSTAKA...4

A. TEMPE ...4

1. PEMBUATAN TEMPE...5

2. JENIS-JENIS TEMPE...9

3. KHASIAT TEMPE...12

B. LARU TEMPE...15

1. KAPANG PADA LARU TEMPE...15

a. Rhizopus oligosporus...16

b. Rhizopus oryzae...16

c. Rhizopus stolonifer...17

2. PEMBUATAN LARU TEMPE...18

a. Laru tempe tradisional...18

i. Usar...19

ii. Laru dari tempe...19

iii. Laru beras...20

iv. Laru singkong...20

b. Upaya standardisari...21

III. METODOLOGI PENELITIAN...23

A. BAHAN DAN ALAT...23


(19)

1. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG...23

a. Isolasi dan Identifikasi Kapang...23

b. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar...24

2. PEMILIHAN SUBSTRAT TERBAIK...24

3. PENGARUH JUMLAH SPORA AWAL TERHADAP LARU...25

4. SCALING UP DAN LAMA PENGERINGAN LARU TERBAIK...25

5. PENGARUH JUMLAH LARU TERHADAP KUALITAS TEMPE...26

6. PENYIMPANAN LARU TEMPE...26

C. METODE ANALISIS...26

1. Total Kapang...26

2. Total Plate Count...27

3. Jumlah Spora...27

4. Kadar Air ...28

5. Uji Organoleptik (Hedonik)...28

6. Pembuatan Tempe...29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...30

A. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG...30

1. Isolasi dan Identifikasi Kapang...30

2. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar...32

B. PEMILIHAN SUBSTRAT TERBAIK...33

C. PENGARUH JUMLAH SPORA AWAL TERHADAP LARU...40

D. SCALING UP DAN LAMA PENGERINGAN LARU TERBAIK...41

E. PENGARUH JUMLAH LARU TERHADAP KUALITAS TEMPE...43

F. PENYIMPANAN LARU TEMPE...44


(20)

A. KESIMPULAN...53

B. SARAN...54

DAFTAR PUSTAKA...55


(21)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 1. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram

bahan yang dapat dimakan (bdd) dan 100

gram bahan kering...4

Tabel 2. Komposisi kimia tempe, daging sapi, telur ayam, dan susu sapi di dalam 100 gram bahan...5

Tabel 3. Perbedaan sifat-sifat pokok Rhizopus sp. pada tempe...18

Tabel 4. Hasil swab pada berbagai area usar...33

Tabel 5. Total mikroba dan total kapang berbagai substrat laru tempe...35

Tabel 6. Substrat laru tempe dengan penerimaan yang tidak berbeda nyata ...40

Tabel 7. Analisis total kapang pada laru tempe... 40

Tabel 8. Total kapang, TPC, dan kadar air laru tempe ...42

Tabel 9. Hasil pengujian jumlah penambahan laru untuk pembuatan tempe ...43

Tabel 10. Perbandingan total kapang laru pasar dan laru penelitian... 44

Tabel 11. Hasil pengamatan terhadap kualitas tempe selama penyimpanan ...47


(22)

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar 1. Diagram alir pembuatan tempe cara baru ...8 Gambar 2. Diagram alir pembuatan tempe cara pengupasan kering ...9 Gambar 3. Diagram alir pembuatan laru tempe bubuk secara laboratorium ...24 Gambar 4. Penampakan haemacytometer ...27 Gambar 5. Diagram alir pembuatan tempe ...29 Gambar 6. Pertumbuhan koloni Rhizopus sp....30 Gambar 7. Morfologi Rhizopus sp....30 Gambar 8. Rhizopus sp. dengan perbesaran mikroskop 1000 kali...30 Gambar 9. Area swab usar...32 Gambar 10. Laru tempe ...34 Gambar 11. Laru tempe penelitian dari berbagai substrat ...35 Gambar 12. Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap kekompakan hifa

tempe mentah ...36 Gambar 13. Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma tempe mentah ...37 Gambar 14. Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap overall parameter ...39 Gambar 15. Total kapang dan TPC laru selama penyimpanan pada suhu ruang ..45


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman Lampiran 1. Rincian hasil swab pada berbagai area usar...60 Lampiran 2. Hasil rekapitulasi uji organoleptik formulsi substrat laru

parameter kekompakan hifa...61 Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Organoleptik (kekompakan hifa)...62 Lampiran 4. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Parameter kekompakan Hifa…..63 Lampiran 5. Rekapitulasi uji organoleptik formulsi substrat laru parameter

Aroma tempe...64 Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data Organoleptik (aroma)...65 Lampiran 7. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Parameter Aroma…………..…..66 Lampiran 8. Rekapitulasi uji organoleptik formulsi substrat laru untuk

overall parameter tempe...67 Lampiran 9. Hasil Pengolahan Data Organoleptik (overall)...68 Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Overall Parameter …..……….69 Lampiran 11. Oven pengering dan loyang yang digunakan pada penelitian ini ..


(24)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tempe merupakan salah satu pangan tradisional yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Bahan baku dalam pembuatan tempe adalah kedelai yang diolah dengan teknik fermentasi kapang dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya, pembuatan tempe meliputi beberapa tahap, yaitu; pencucian kedelai, perebusan, perendaman, pengukusan, penambahan laru, serta pemeraman selama 36-48 jam.

Beberapa dekade sebelumnya, tempe masih dianggap sebagai komoditas inferior yang dikonsumsi secara terbatas oleh golongan masyarakat menengah ke bawah. Namun, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan banyaknya riset tentang tempe, potensi dan kegunaan tempe semakin dikenal luas, sehingga kini tempe telah dikonsumsi secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

Hingga kini, industri tempe masih bertahan sebagai home industry dengan skala produksi kecil yang menggunakan teknologi tradisional, misalnya penggunaan alat-alat sederhana. Meskipun rata-rata jumlah konsumsi tempe di 13 propinsi di Indonesia mencapai 1,225 kg/orang/minggu (Suyanto, 1997 yang dikutip oleh Kuswanto, 2004).

Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kapang yang terkandung dalam laru yang berbeda sehingga menghasilkan tempe yang mutunya kurang seragam. Dalam pembuatan tempe, dikenal beberapa macam laru yang digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan tempe dengan kualitas tinggi. Beberapa diantaranya adalah; laru yang berasal dari tempe yang dikeringkan, usar, dan laru tempe berbentuk serbuk. Jenis laru yang terakhir kini telah diproduksi oleh beberapa produsen dan mudah diperoleh di pasaran. Laru yang berasal dari tempe, biasanya dibuat secara tradisional oleh para pengrajin dengan menggunakan tempe yang sudah jadi. Tempe tersebut diiris tipis, dikeringkan, digiling menjadi bubuk halus dan hasilnya digunakan sebagai laru dalam proses produksi tempe selanjutnya (Syarief et al., 1999).


(25)

Jenis inokulum kapang lainnya yang sering dipakai di daerah Jawa Tengah adalah usar. Usar sebenarnya berasal dari daun waru (Hibiscus tiliaceus) atau daun jati (Tectona grandis) yang telah ditumbuhi kapang tempe. Usar dibuat dengan cara menaburkan kedelai yang telah diberi laru pada permukaan bawah daun waru atau daun jati. Selanjutnya daun tersebut disusun atau ditempatkan pada suatu wadah misalnya nampan dengan sistem lapis, yaitu saling menutup antara daun satu dengan daun yang lain, bagian atasnya ditutup dengan kain saring atau plastik. Daun tersebut kemudian diperam dengan kondisi menutup bagian atas rak selama 24 sampai 36 jam. Selanjutnya daun dibiarkan masing-masing (tidak saling menutup) dan dibiarkan terbuka tiga hingga tujuh hari. Langkah ini sekaligus merupakan tahap pengeringan (Syarief et al., 1999). Usar tersebut kemudian dapat kembali dipergunakan untuk pembuatan tempe. Umumnya, satu lembar usar dapat dipergunakan untuk membuat tempe dari 1-5 kilogram kedelai (Sarwono, 2006). Menurut Pawiroharsono (1977), usar memiliki keragaman jenis kapang yang terdapat pada permukaannya. Beberarapa jenis kapang yang umum terdapat pada permukaan usar antara lain; Rhizopus sp. dan Mucor sp.. Perbedaan jenis kapang ini akan menyebabkan perbedaan tempe yang dihasilkan, maka pada umumnya masyarakat lebih menyukai tempe Yogya atau tempe Bantul.

Dalam prakteknya, sekarang ini para produsen tempe lebih banyak mempergunakan laru tempe berbentuk serbuk dengan alasan kepraktisan penggunaan. Selain itu, di pasaran pun kini laru tempe berbentuk serbuk lebih mudah diperoleh. Pada umumnya, laru tempe berbentuk serbuk dapat dibuat dengan menggunakan beras sebagi substrat. Namun, penggunaan beras ini memiliki kendala terutama dari segi finansial sehubungan dengan tingginya harga beras. Oleh karena itu, penggunaan substrat lain dengan harga yang terjangkau perlu diuji coba guna memperoleh laru tempe berkualitas baik dengan harga yang terjangkau.

Berdasarkan kecenderungan selera masyarakat yang lebih menyukai tempe Yogya atau tempe Bantul, maka pada penelitian ini dilakukan isolasi spora kapang dari permukaan usar yang kemudian akan digunakan untuk


(26)

membuat laru tempe. Selain itu, untuk membuat laru tempe dalam penelitian ini digunakan substrat berupa beras, onggok, serta campuran keduanya.

B. TUJUAN

1. Mengidentifikasi jenis-jenis kapang yang terdapat pada Lara tempe usar.

2. Memperoleh formulasi terbaik untuk laru tempe dengan menggunakan substrat campuran beras dan onggok.

3. Menyusun SOP (Standard Operating Procedure) untuk produksi laru tempe.

C. MANFAAT

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan laru tempe dengan kualitas yang baik dan dapat dipergunakan untuk memproduksi tempe yang dapat diterima konsumen.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEMPE

Tempe merupakan produk hasil fermentasi kedelai dalam kurun waktu 36-48 jam menggunakan kapang. Selama proses fermentasi untuk menghasilkan tempe, terdapat perubahan komposisi zat gizi kedelai yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan yang dapat dimakan (bdd) dan 100 gram bahan kering (Anonim, 1972) Komposisi Proksimat Satu-

an

Bahan yang Dapat Dimakan Bahan Kering

kedelai tempe kedelai tempe

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat Mineral Kalsium Fosfor Besi Vitamin Tiamin Riboflavin Niasin As.Pantotenat Piridoksin Vitamin B12 Biotin

Asam Amino (AA)

Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenilalanin Tirosin Treonin Triptofan Valin g g g g g g mg mg mg mg mg mg μg μg μg μg mg mg mg mg mg mg mg mg mg mg 12,7 5,3 40,3 16,7 24,9 3,2 221,7 681,8 9,6 0,42 0,13 0,58 375,4 157 0,13 30,6 1912 3127 2300 446 349 1996 1306 1667 465 1925 55,3 1,6 20,7 8,8 13,5 3,2 155,1 323,6 4,0 0,12 0,29 1,13 232,4 44,7 1,7 23,7 1109 1761 1232 236 333 1015 566 815 256 1105 0 6,1 46,2 19,1 28,2 3,7 254 781 11 0,48 0,15 0,67 430 180 0,15 35 2190 3582 2634 511 400 2283 1496 1909 533 2205 0 3,6 46,5 19,7 30,2 7,2 347 724 9 0,28 0,65 2,52 520 100 3,9 53 2481 3939 2756 528 745 2270 1266 1823 572 2472

Total AA Esensial 15493 8428 17743 18852

Arginin Histidin Alanin As. Aspartat As. Glutamat Glisin Prolin Serin mg mg mg mg mg mg mg mg 2355 930 1764 5097 7328 1712 1783 2145 1355 562 942 2381 3287 886 1026 902 2697 1065 2021 5838 8394 1961 2042 2457 3031 1257 2107 5326 7353 1982 2295 2018


(28)

Berdasarkan Tabel 1 tersebut, sebenarnya kandungan gizi tempe tidak kalah hebatnya dengan kandungan bahan makanan yang berasal dari sumber hewani seperti daging, susu, dan telur. Perbandingan komposisi kimia tempe dan bahan pangan hewani dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia tempe, daging sapi, telur ayam, dan susu sapi di dalam 100 gram bahan (Soedarmo dan Sediaoetama, 1977) Komponen Satuan Tempe Daging

sapi Telur ayam Susu sapi Air Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C g kal g g g mg mg mg SI mg mg 64 144 18,3 4,0 12,7 129 154 10 50 0,17 0 68 140 19,1 12,0 0 11 193 2,9 40 0,14 0 74 162 12,8 11,5 0,7 54 180 2,7 900 0,10 0 88 61 27,5 3,5 4,3 143 60 1,7 130 0,03 0

1. Pembuatan Tempe

Pada prinsipnya pembuatan tempe meliputi pencucian kedelai, perebusan, perendaman, pengupasan, pencucian, pengukusan, pendinginan dan penirisan, inokulasi, pengemasan, seta pemeraman.

Tahapan pencucian kedelai bertujuan untuk membersihkan kedelai dari kotoran yang terdapat pada permukaan biji kedelai tersebut. Tahapan perebusan bertujuan untuk memasak biji kedelai agar menjadi lunak sehingga dapat ditembus oleh miselia kapang yang menyatukan biji kedelai yang terpisah menjadi kompak satu dengan lainnya. Selain itu, perebusan juga berfungsi untuk memberikan air ke dalam biji kedelai (hidrasi) sehingga kandungan air dalam biji kedelai meningkat dan sesuai dengan kondisi pertumbuhan kapang tempe. Dengan semakin melunaknya biji kedelai pu akan memudahkan penetrasi asam untuk mengubah pH kedelai menjadi sesuai untuk pertumbuhan kapang (Steinkrauss,1983). Perebusan juga berperan dalam menginaktivasi tripsin inhibitor kedelai, sehingga bau langu kedelai pun akan berkurang (Yusuf, 1985).


(29)

Proses perendaman dilakukan agar tercapai tingkat keasaman atau pH yang sesuai untuk pertumbuhan kapang pada biji kedelai. Kondisi pH yang sesuai untuk pertubuhan kapang pada biji kedelai adalah antara 3,5 - 5,2 (Hermana dan Karmini, 1996).

Menurut Hermana dan Karmini (1996), pengasaman terjadi karena adanya pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat Lactobacillus sp. yang tumbuh di dalam air rendaman kedelai. Pertumbuhan bakteri asam laktat ini ditandai dengan bau asam disertai adanya busa pada permukaan air rendaman kedelai.

Setelah melalui tahap perebusan dan perendaman, biji kedelai akan membesar sehingga kulit ari kedelai pecah dan mudah terlepas. Proses ini penting untuk dilakukan karena miselium kapang tidak dapat menembus lapisan kulit ari akibat terdapatnya zat tanduk (kitin) yang terkandung dalam kulit ari kedelai. Apabila kulit ari tidak terlepas dari keping kedelai, maka produk tempe akan menjadi kurang kompak.

Pencucian dilakukan dengan tujuan menghilangkan bakteri dan mikroorganisme lain yang tumbuh selama perendaman, untuk membuang kelebihan lendir yang dihasilkan, dan juga untuk membuang sisa kulit kedelai yang mungkin masih tertinggal. Pencucian dilakukan hingga biji kedelai tidak terasa licin dan kedelai tidak terlalu asam. Lendir yang tersisa apabila tidak tercuci bersih, akan mengganggu pertumbuhan kapang Rhizopus sp.

Proses selanjutnya adalah pemasakan. Pemasakan dilakukan dengan cara pengukusan. Hal ini ditujukan untuk memasak kedelai dan mematikan bakteri yang tumbuh selama perendaman (Hermana dan Karmini, 1996).

Setelah melaui tahap pengukusan, kedelai kemudian ditiriskan dan didinginkan. Setelah itu dilakukan inokulasi dan pencampuran laru ke dalam kedelai, kemudian dikemas.

Kemasan yang digunakan dapat berupa kantong plastik maupun daun pisang. Kemasan juga berfungsi untuk mengkondisikan suhu agar sesuai untuk pertumbuhan kapang. Menurut Hermana dan Sutedja (1970),


(30)

plastik yang telah dilubangi merupakan pembungkus yang tepat karena memungkinkan difusi udara secara perlahan tapi merata ke dalam kedelai.

Setelah dikemas, kedelai siap untuk difermentasi. Proses fermentasi ini sendiri bertujuan memberikan waktu untuk pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang yang baik dapat terjadi pada suhu antara 20 - 37ºC. Kelembaban dan oksigen mempengaruhi kecepatan tumbuh kapang. Apabila biji kedelai terlalu basah, bakteri akan tumbuh mendahului kapang. Terlalu banyaknya oksigen dapat menyebabkan pertumbuhan kapang yang terlalu cepat, sebaliknya bila kekurangan oksigen kapang tidak dapat tumbuh dengan optimal (Steinkrauss, 1983).

Hermana dan Sutedja (1970) mengembangkan cara baru pembuatan tempe yang menghasilkan aroma, keempukan, serta penampakan yang lebih disukai daripada tempe yang dibuat dengan cara tradisional. Diagram alir pembuatan tempe cara baru dapat dilihat pada Gambar 1.


(31)

dikupas kering dengan burr mill

direbus 30 menit

direndam 22 jam

dicuci dan dikupas kulit

diirebus 40 menit

ditiriskan dan didinginkan

dicampur

dikemas kain tetra 24 jam

dikemas plastik

diperam 14-16 jam

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tempe cara baru (Hermana dan Sutedja, 1970)

Selain cara baru tersebut, Syarief et al. (1999) mengungkapkan cara pembuatan tempe dengan metode pengupasan kering. Gambar 2 mamperlihatkan diagram alir pembuatan tempe dengan metode pengupasan kering.

Tempe

Laru Kedelai


(32)

dibersihkan

dilakukan grading

disemprot udara panas (10 menit 90-95ºC)

dikupas dengan mesin penggiling

dipisahkan kulitnya

direbus dalam air yang telah diasamkan 40-60 menit

ditiriskan dan didinginkan

dicampur

dikemas

diperam pada suhu 31 ºC, RH=70-85%, 22-26 jam

Gambar 2. Diagram alir pembuatan tempe cara pengupasan kering (Syarief et al., 1999)

2. Jenis-jenis tempe (Syarif et al., 1999)

Pada umumnya, masyarakat mengenal tempe sebatas tempe berbahan baku kedelai. Namun, disamping tempe kedelai, terdapat pula beberapa jenis tempe lainnya;

Tempe

Laru Kedelai


(33)

a. Tempe kedelai

Jenis ini merupakan tempe yang umum dikenal masyarakat Indonesia. Terbuat dari kacang kedelai berwarna kuning, berbentuk padat dan berwarna putih. Tempe jenis ini memiliki struktur yang kompak, padat, dan tertutup oleh miselium berwarna putih.

b. Tempe koro benguk

Tempe ini berasal dari daerah sekitar waduk Kedung Ombo, dibuat dari biji koro benguk (Mucuna pruriens L.D.C var. utilis).

c. Tempe gembus

Tempe gembus terbuat dari ampas tahu. d. Tempe gude

Tempe ini disebut juga ”piegon tempeh” di Amerika. Jenis ini dibuat dari kacang gude (Cajanus cajan).

e. Tempe kacang hijau

Tempe jenis ini berbahan dasar kacang hijau (Vigna radiata), serta popular di kawasan Jawa Tengah (Wonogiri).

f. Tempe kacang kecipir

Tempe ini berbahan dasar kacang kecipir (Psophocarpus tetragnolobus).

g. Tempe koro pedang

Dikenal juga sebagai tempe kara bedog atau Jack bean tempeh. Bahan bakunya adalah Canavalia ensiformis yang mengandung zat antinutrisi yang dapat menyebabkan kebotakan.

h. Tempe lupin

Tempe ini dikenal di Australia semenjak tahun 1965, tetapi sebenarnya berasal sari daerah Mediteranian dan Amerika Selatan, yaitu dari tanaman Lupinus angustifolius.

i. Tempe kacang merah


(34)

j. Tempe kacang tunggak

Jenis tempe ini memiliki kadar protein 18-35% dan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena harganya yang relatif murah. Tempe ini terbuat dati kacang tunggak (Vigna unguiculata).

k. Tempe kara wedus

Dalam istilah asing dikenal sebagai ”Lablab tempeh”, yang terbuat dari Lablab purpures atau di Amerika disebut juga ”hyacinth”.

l. Tempe kara

Tempe jenis ini banyak ditemukan di Amerika Utara, dan dikenal juga sebagai tempe kara kratok yang terbuat dari Phaseolus lunatus.

m. Tempe menjes

Tampe ini populer di daerah sekitar Malang, dibuat dari campuran kacang dan kelapa dengan perbandingan 75:25. n. Tempe munggur

Tempe munggur dibuat dari Enterolobium samon. Kandungan proteinnya cukup tinggi, sekitar 45,7%.

o. Tempe bongkrek

Tempe bongkrek ini dikenal di daerah Banyumas (Jawa Tengah), terbuat dari bungkil kapuk atau ampas kelapa. Jenis tempe ini seringkali menimbulkan masalah keracunan akibat kandungan asam bongkreknya. Oleh karena itu, pembuatan tempe bongkrek tidak dianjurkan.

p. Tempe garbanzo

Nama lain untuk tempe ini adalah Chickpea tempeh. Terbuat dari ampas kacang atau ampas kelapa dan banyak ditemukan di daerah Jawa Tengah.

q. Tempe biji karet

Tempe ini disebut juga tempe kaloko atau rubberseed tempeh. Terbuat dari biji karet (Hevea brasilliensis). Banyak ditemukan


(35)

di daerah Sragen, tetapi tempe ini jarang digunakan untuk makanan.

r. Tempe jamur merang

Tempe jamur merang terbuat dari jamur merang (Volvariela volvacea). Tempe ini memiliki kandungan gizi cukup baik.

2. Khasiat Tempe

Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan yang diwakili melonjaknya perhatian terhadap pangan fungsional, tempe pun mulai banyak dilirik untuk diteliti lebih lanjut tentang khasiat yang dikandungnya. Ketertarikan untuk meneliti ini tak lepas berangkat dari kepercayaan akan khasiat tempe yang diceritakan turun-temurun dari generasi sebelumnya.

Sebagai bahan makanan, tempe memiliki beberapa sifat yang menguntungkan bagi para konsumennya, diantaranya;

a. Mengandung protein tinggi serta mengandung 8 jenis asam amino esensial.

b. Memiliki kandungan vitamin B12 yang tinggi (Steinkraus, 1960 dan Murata et al., 1970)

c. Rendah kandungan lemak jenuh

d. Memiliki tekstur seluler yang unik sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Shurtleff dan Aoyagi, 1979)

e. Mempunyai kandungan zat berkhasiat antibiotok dan dapat menstimulasi pertumbuhan (Wang et al., 1969)

Selain beberapa keuntungan tersebut di atas, sejak lama tempe telah dipercaya dapat membantu mengatasi beberapa penyakit yang banyak, diantaranya; anemia gizi besi, infeksi, dan hiperkolesterol. a. Anemia gizi besi

Tempe merupakan bahan makanan yang kandungan zat besinya cukup tinggi, yakni 9 mg/100 gram tempe kering. Selain itu, tempe juga mengandung mineral Cu sebanyak 2,87 mg/100


(36)

gram tempe kering serta Zn sebanyak 8,05/100 gram tempe kering (Anonim, 1972)

Salah satu faktor yang menguntungkan selama proses fermentasi tempe adalah aktifnya enzim fitase yang mampu memecah asam fitat dengan berat molekul tinggi (inositol heksa fosfat) menjadi asam fitat dengan berat molekul lebih rendah. Asam fitat merupakan salah satu senyawa dalam kedelai yang dicurigai sebagai penghambat absorpsi besi. Asam fitat yang secara alami banyak terdapat dalam kacang-kacangan dan padi-padian mempunyai kemampuan untuk mengikat besi menjadi senyawa kompleks yang bersifat tidak larut sehingga tidak bisa diserap dan hal ini mernurunkan ketersediaan hayati (bioavailability) zat besi.

Penurunan kadar asam fitat dengan berat molekul tinggi akan menguntungkan karena asam fitat dengan berat molekul lebih rendah yang mengikat besi bersifat larut sehingga absorpsi zat besinya lebih baik daripada asam fitat berberat molekul tinggi (Sanberg et al., 1989). Selain itu, menurut Astuti (1992) selama proses fermentasi tempe selama 48 jam akan terjadi penurunan kadar asam fitat sebanyak 65%.

b. Infeksi

Pengaruh tempe dalam membantu proses penyembuhan infeksi terkait dengan kemampuan tempe untuk mengubah sifat mikroorganisme. Pengaruh ini dipelajari oleh Wang et al. (1969). Wang mengubah media tempat pertumbuhan 25 jenis bakteri dengan menambahkan ekstrak tempe dalam air. Pada penelitiannya, Wang et al. menyimpulkan bahwa di dalam tempe terdapat suatu senyawa yang sangat aktif dalam menghambat pertumbuhan 9 jenis bakteri gram positif dan 1 jenis bakteri gram negatif. Bakteri-bakteri tersebut adalah; Streptococcus lactis, S. cremoris, Leuconostoc dextranicum, L. mesentroides, S. aureus, B.


(37)

subtilis, C. botulinum, C. siporogenus, C. butyricum, dan Klebsiella pneumoniae.

Berdasarkan penelitiannya, Wang et al. (1969) berkesimpulan bahwa senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe (R.oligosporus) merupakan antibiotika yang bermanfaat dalam menghambat atau memperkecil peluang infeksi. Penelitian lain yang dilakukan Erwin dan Mahmud (1985) menyimpulkan bahwa senyawa aktif tempe memiliki aktifitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella typhii dan Shigella flexneri, dua jenis bakteri penyebab diare pada bayi dan anak.

c. Hiperkolesterol

Beberapa jenis kandungan tempe yang diduga memiliki sifat hipokolesterol atau menurunkan kadar lipid darah adalah protein, PUFA, serat, niasin, vitamin E, karotenoid, isoflavon, dan kalsium.

Protein tempe diduga dapat menurunkan umpan balik negatif terhadap perubahan kolesterol menjadi asam empedu di dalam hati, selain itu protein tempe juga meningkatkan reseptor LDL. Residu protein kedelai yang tidak dapat dicerna mengikat asam empedu dan kolesterol dalam usus, sehingga absorpsi kolesterol dan asam empedu menurun. (Beynen, 1990; Michiro, 1990; dan Nishina, 1990)

PUFA atau asam lemak tak jenuh ganda mampu menurunkan kadar kolesterol dengan merangsang ekskresi kolesterol menjadi asam empedu. Selain itu PUFA dapat meningkatkan regulasi reseptor LDL sehingga proses katabolisme LDL dipercepat dan kolesterol plasma didistribusi ke dalam jaringan. Jenis asam lemak tak jenuh yang dikandung tempe adalah asam oleat, asam linoleat, serta linolenat.


(38)

Serat yang terkandung dalam tempe dapat menyebabkan asam empedu lebih cepat dikeluarkan melalui feces. Keadaaan ini akan mengurangi sirkulasi enterohepatik asam empedu dan meningkatkan perubahan kolestrol menjadi asam empedu sehingga tingkat kolesterol plasma menurun (Potter et al., 1979)

B. LARU TEMPE

1. Kapang pada Laru Tempe

Laru sebenarnya adalah bibit dalam pembuatan tempe yang mengandung spora-spora kapang yang pada pertumbuhannya mampu menghasilkan enzim-enzim hidrolitik yang mampu menguraikan substratnya menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna.

Kapang yang berperan dalam pembuatan tempe merupakan kapang yang berasal dari genus Rhizopus. Kemudian, dari genus tersebut, jenis yang paling sering ditemukan adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae (Steinkraus et al., 1960).

Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengamati adanya beberapa perbedaan kapang yang tumbuh pada tempe dari daerah yang berbeda pula. Pada tempe Malang, kapang yang banyak ditemukan adalah jenis R. oryzae, R. arrhizus, R. oligosporus, dan Mucor rouxii. Sedangkan pada tempe dari daerah Solo, ditemukan R. stolonifer dan R. oryzae. Sedangkan pada tempe yang terdapat di daerah Jakarta, ditemukan kapang Mucor javanicum dan Trichosporus pullulans. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) terdapat 120 jenis spesies dan varietas kapang yang dapat menghasilkna tempe. Untuk menghasilkan tempe yang baik, terdapat beberapa jenis spesies, yaitu; R. oligosporus, R. arrhizus, R. stolonifer, R. chlamydosporus, R. chinensis, dan R. cohnii. Namun, R. oligosporus merupakan kapang utama dalam pembuatan tempe.

Kapang yang digunakan untuk pembuatan laru haruslah memenuhi beberapa persyaratan ,yaitu; (1) produktivitas spora tinggi, (2) viabilitas spora yang dihasilkan seragam dan memiliki stabilitas genetik dalam


(39)

waktu beberapa bulan, (3) spora cepat terdispersi pada substrat, (4) spora mampu bergerminasi dalam waktu singkat, dan (5) bebas dari organisme kontaminan. Berikut ini adalah sifati-sifat dari beberapa jenis kapang yang umum ditemukan pada ragi tempe (Syarief et al., 1999);

a. Rhizopus oligosporus, merupakan kapang pemeran utama dalam fermentasi tempe. Di dalam sistematika (Samson dan Hoekstra, 1988), kapang ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. koloni tampak pucat berwarna abu-abu kecoklatan

2. Sporangiofora soliter atau dalam kelompok yang terdiri dari lebih 4 sporangiofora yang tumbuh ke arah udara dan tingginya mencapai 1 m dan diameter 10-18 mm

3. Sporangiofora muda berwarna transparan (subhyalin) yang berangsur-angsur menjadi kecoklatan

4. Rhizoid bercabang pendek dan tumbuh berlawanan dengan sporangiofora yaitu ke arah substrat dengan dinding sel halus atau agak kasar.

5. Sporangiofora yang telah masak beebentuk bulat berwarna coklat sampai hitam dengan diameter 100-180 mm, dan di dalam sporangiofora terbentuk spora sebagai alat perkembangbiakan

6. Kolumela berbentuk bulat sampai subglobus dengan apofisis berbentuk cerobong

7. Spora berupa sel-sel tunggal bentuk tidak beraturan antara bulat sampai oval dengan diaeter 7-10 mm, berwarna kecoklatan dengan dinding sel halus

8. Banyak terdapat khlamidospora baik tunggal maupun berangkau dengan bentuk rantai pendek, tak berwarna, mengandung granula berbentuk bulat sampai elips dengan ukuran 7-30 mm.

9. Khlamidospora tebentuk pada benang-benang hifa atau pada sporangiofora


(40)

b. Rhizopus oryzae adalah jenis kapang yang berpotensi pula dalam fermentasi tempe, walaupun tingkat kecepatan fermentasinya lebih lambat dibandingkan dengan R. oligosporus. Adapun sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:

1. Koloni berwarna putih yang berangsur-angsur menjadi abu-abu kecoklatan

2. Stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning kecoklatan

3. Sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara baik tunggal maupun berkelompok (hingga 5 sporangiofora)

4. Rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak di posisi yang sama dengan sporangiofora

5. Sporangia globus atau subglobus dengan dinding berspinulosa (duri-duri pendek) yang berwarna coklat gelap sampai coklat hitam bila telah masak

6. Kolumela oval hingga bulat dengan dinding halus atau sedikit kasar 7. Spora bulat, atau berbentuk oval

8. Temperatur optimal untuk pertumbuhan adalah 35ºC, minimal pada 5-7ºC dan maksimal pada 44ºC

c. Rhizopus Stolonifer Kapang ini memiliki kemampuan fermentasi kedelai lebih rendah daripada R.oryzae, karena kecepatan pertumbuhan yang lebih rendah. Ciri-ciri morfologinya adalah:

1. Koloni putih yang berangsur-angsur menjadi abu-abu kecoklatan oleh adanya perubahanpada sporangiofora dan sporangia

2. Sporangiofora tunggal atau berkelompok (2-7), tidak berwarna hingga coklat gelap

3. Rhizoid tubuh bercabang-cabang dengan posisi beralwanan terhadap arah pertumbuhan sporangiofora

4. Sporangia yang telah dewasa berbentuk globos hingga subglobus berwarna coklat gelap


(41)

5. Bentuk kolumela mengikuti bentuk sporangia (globos, subglobus, atau oval)

6. Spora tidak beraturan bentuknya dan poligonal, oval, globus, elips dan berstriasi. Pada umumnya tidak ada klamidospora, bila ada, terdapat pada kultur submerge. Zygospora berwarna kultur hitam kecoklatan, terbentuk dari konyugasi thali yang bersifat heterothalik. Zygospora berbentuk globus dengan permukaan tidak merata dan tidak simetris. 7. Temperatur optimal pertumbuhan adalah pada 25-26ºC, minimal pada

10ºC, dan maksimal pada 35-37ºC

Berdasarkan sifat-sifat ketiga jenis kapang tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbedaan pokok terutama terdapat pada sporangiofora, spora, dan temperatur pertumbuhannya. Perbandingan ketiga kapang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan sifat-sifat pokok Rhizopus sp. pada tempe (Syarief et al., 1999)

R. oligosporus R. oryzae R. stolonifer sporangiofora <1 mm 0,15-2mm 1,5-3mm spora non-striated non-striated striated khlamidospora banyak,

membentuk rantai

ada, jarang ditemui

tidak ada kecuali pada kultur submerge temperatur pertumbuhan (ºC) optimal: 32-35 minimal: 12 maksimal: 42 optimal: 35 minimal: 5-7 maksimal: 44 optimal: 25-26 minimal: 10 maksimal: 35-37 Thalus dan zygospora homotahalik dan tidak terdapat zygospora homothalik dan tidak ada zygospora heterothalik, tidak ada zygospora

2. Pembuatan Laru Tempe a. Laru Tempe Tradisional

Secara tradisional, terdapat beberapa jenis laru, diantaranya: usar, laru dari tempe, laru beras, dan laru singkong (Syarief et al., 1999). Masyarakat sekitar Bantul mengenal laru tempe yang disebut usar.


(42)

i. Usar

Usar sebenarnya adalah daun jati atau daun waru yang permukaannya telah mengandung spora kapang. Cara pembuatan usar dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya; persiapan kedelai, persiapan daun, dan pemeraman.

Persiapan kedelai yang dilakukan sama halnya dengan persiapan kedelai untuk pembuatan tempe, yaitu melalui tahap: pencucian kedelai, perebusan, perendaman, pengupasan kulit, pengukusan, penirisan dan pendinginan, serta pemberian laru.

Tahapan persiapan daun dilakukan dengan melayukan daun yang akan digunakan, baik daun jati maupun daun waru. Kemudian pada bagian permukaan bawah daun (bagian yang berbulu) ditaburi kedelai yang telah dicampur laru. Selanjutnya daun tersebut disusun pada suatu wadah dengan sistem lapis yaitu saling menutup antara satu daun dengan daun yang lain. Bagian atasnya ditutup dengan kain saring atau plastik. Pemeraman tahap pertama dilakukan dengan kondisi menutup bagian atas rak selama 24-36 jam, kemudian diperam lagi. Pada pemeraman selanjutnya daun dibiarkan masing-masing dan dibiarkan terbuka selama 3 hingga 7 hari. Tahap ini sekaligus juga merupakan tahap pengeringan. Apabila kondisi cuaca basah, maka sesekali daun tersebut dikeringkan di bawah sinar matahari agar tidak membusuk.

ii. Laru dari tempe

Cara membuat tempe ini relatif sederhana, yakni dengan cara mengiris tipis-tipis tempe yang telah jadi. Irisan tempe tersebut kemudian ditebarkan pada wadah (tampah), dijemur di bawah sinar matahari atau dikeringkan menggunakan oven hingga kering.

Irisan tempe yang telah kering tersebut selanjutnya digiling hingga halus. Hasil gilingan kemudian disaring hingga diperoleh


(43)

bubuk yang halus. Bubuk halus ini dapat dipergunakan untuk pembuatan tempe selanjutnya.

iii. Laru beras

Laru jenis ini merupakan laru yang paling banyak digunakan di Indonesia, seperti halnya laru yang diproduksi oleh LIPI atau KOPTI. Persiapan bahan baku antara lain yaitu beras dan laru tempe pasar atau kultur kapang.

Tahap awal yang dilakukan adalah pencucian beras hingga bersih. Setelah itu ditambahkan air dengan perbandingan 1:1 lalu dikukus hingga matang. Setelah dingin, nasi tersebut kemudian dicampur dengan suspensi kapang atau suspensi laru tempe pasar yang telah ada. Nasi tersebut kemudian diperam 3-4 hari. Setelah diperam, nasi tersebut dikeringkan dibawah sinar matahari atau menggunakan oven hingga kering selanjutnya dilakukan penggilingan agar diperoleh laru berbentuk bubuk yang halus.

iv. Laru singkong

Prinsip pembuatan laru ini sama dengan pembuatan laru beras. Hanya saja sebelum dipergunakan singkong tersebut diiris-iris terlebih dahulu dan dikeringkan (gaplek). Gaplek tersebut kemudian ditepungkan. Selanjutnya tepung tersebut disangrai untuk mencegah kontaminasi mikroba lain yang tidak diinginkan sekaligus juga mengeringkan tepung tersebut.

Tepung singkong yang telah disangrai dan didinginkan kemudian ditebarkan di tampah untuk selanjutnya diperciki air lalu diaduk rata sampai menjadi adonan yang tidak terlalu lembek. Selanjutnya ditambahkan laru, ditutup dengan daun atau kertas saring, lalu diperam 2-3 hari. Setelah kering, tepung singkong tersebut digiling dan dikemas.


(44)

2. Upaya Standardisasi

Selama ini tempe yang diproduksi memiliki perbedaan kualitas dari satu produksi ke produksi berikutnya. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kapang yang terdapat pada laru itu sendiri sehingga dengan karakteristik yang berbeda akan menghasilkan tempe yang berbeda pula.

Penelitian Yusuf (1985) menggunakan dua jenis kapang, yaitu Rhizopus oligosporus L26 dan campuran Rhizopus oligosporus L26 dan Rhizopus oryzae L16 untuk memproduksi laru, kemudian disimpan pada suhu ruang dan diamati pola aktifitas inokulum selam 8 minggu. Selama penyimpanan, laru dikemas dengan dua jenis pengemas, yaitu polietilen dan alumunium foil berlapis polietilen.

Aktifitas laru tersebut mengalami penurunan selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan menurunnya viabilitas spora kapang. Penurunan pada dua minggu awal penyimpanan mencapai 36-42% kemampuan spora untuk bergerminasi.

Penggunaan pengemas alumunium foil berlapis polietilen ternyata mampu mempertahankan jumlah spora lebih baik daripada pengemas polietilen saja. Hal ini diduga disebabkan karena alumunium foil merupakan bahan pengemas yang paling baik untuk melindungi bahan terhadap uap air dan oksigen. Dengan kata lain permeabilitas alumunium foil terhadap oksigen dan uap air lebih rendah daripada polietilen (Hanlon, 1971).

Penelitian Sudiarso (1993) menunjukkan bahwa viabilitas spora kapang tertinggi terdapat pada substrat beras. Laru dengan inokulum Rhizopus oligosporus memiliki viabilitas spora kapang 106 CFU/ gram laru. Begitu pula dengan laru inokulum Rhizopus oryzae, sedangkan laru dengan inokulum campuran Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae viabilitasnya hanya mencapai 9 x 105 CFU/ gram laru. Selain itu disebutkan pula bahwa dengan menggunakan substrat onggok, viabilitas kapang hanya mencapai angka < 104 CFU/gr.


(45)

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka dapat diketahui beberapa hal yang mempengaruhi viabilitas spora pada laru termasuk selama masa penyimpanan, diantaranya adalah jenis kapang, substrat, dan bahan pengemas laru. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya standardisasi dalam pembuatan laru tempe. Dengan adanya upaya standardisari, diharapkan dapat dihasilkan laru tempe dengan kualitas yang baik.


(46)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi laru daun waru (usar) yang diperoleh dari daerah Bantul, laru pasar yang diperoleh dari daerah sekitar kampus IPB, kacang kedelai, daun pisang, plastik pembungkus, PDA (Potatoe Dextrose Agar), PCA (Plate Count Agar) akuades, gliserol, asam tartarat, kertas saring, NaCl, beras, onggok, dan lainnya.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi mikroskop, cawan petri, ose, bunsen, object glass, cover glass, tabung reaksi bertutup, autoklaf, inkubator, oven, pipet mohr, mikropipet, refrigerator, batang gelas U, vortex, erlenmeyer, swab (cotton buds), dan lainnya.

B. METODE PENELITIAN

1. Isolasi dan Identifikasi Kapang a. Isolasi dan Identifikasi Kapang

Isolasi kultur kapang yang berada di permukan daun waru dilakukan dengan metode oles (swab) (Rahayu et al., 2004) permukaan usar dengan luasan area tertentu, kemudian dilarutkan dalam larutan pengencer, kemudian divortex. Satu mililiter larutan tersebut kemudian diinokulasikan ke dalam cawan petri berisi PDA lalu diinkubasikan pada 30ºC selama 3 hari lalu diamati pertumbuhannya. Dari beberapa koloni berbeda yang diperoleh, masing-masing koloni yang berbeda tersebut digoreskan ke agar cawan (PDA) yang berbeda (satu cawan untuk satu jenis koloni), lalu kembali diinkubasikan pada 30ºC selam 3 hari. Setelah 3 hari, kemudian diamati kembali koloni yang tumbuh dan kembali dilakukan penggoresan hingga diperoleh satu jenis kapang saja (koloni murni).

Identifikasi kapang dilakukan dengan menggunakan metoda slide culture (Harrigan, 1998) yaitu dengan mengambil sedikit bagian kultur murni dan menggoreskannya pada permukaan objek glass yang telah ditetesi PDA, kemudian ditutup menggunakan cover glass. Preparat ini


(47)

kemudian diletakkan di dalam cawan petri steril yang telah dialasi kertas saring bergliserol untuk menjaga kelembaban. Setelah diinkubasi, preparat ini kemudian diamati di bawah mikroskop, dimulai dengan perbesaran yang paling kecil kemudian dilanjutkan hingga perbesaran 400 kali.

b. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar

Perhitungan jumlah spora pada usar dilakukan dengan mengoles beberapa tempat pada permukaan usar menggunakan cotton buds dengan luasan 2 cm x 2 cm, kemudian dilarutkan dalam 10 ml larutan pengencer. Untuk perhitungan jumlah spora dilakukan dengan menggunakan metoda haemacytometer, sedangkan untuk perhitungan jumlah kapang dilakukan dengan menggunakan metoda total kapang (Fardiaz, 1989).

2. Pemilihan substrat terbaik

Pembuatan laru tempe dilakukan dengan menggunakan substrat beras dan onggok. Proses pembuatan laru tempe bubuk secara laboratorium dapat dilihat pada Gambar 3.

ditambahkan akuades 10 ml

disterilisasi pada suhu 121ºC, 15 menit

didinginkan dan diinokulasi dengan suspensi kultur murni

diinkubasi pada 30 ºC, selama 3 hari

dikeringkan pada suhu 37-40ºC selama 24 jam

digiling hingga halus

Gambar 3. Diagram alir pembuatan laru tempe bubuk secara laboratorium (Rachman, 1989)

10 gram substrat


(48)

Pada tahapan ini digunakan 2 jenis substrat yakni beras, onggok, dan campuran keduanya. Dari kedua jenis substrat yang digunakan, didapatkanlah 7 formulasi substrat yang akan diujikan, yakni 100% beras, beras:onggok = 3:1, beras:onggok = 2:1, beras:onggok = 1:1, beras:onggok = 1:2, beras:onggok = 1:3, serta 100% onggok.

Setelah diperoleh laru tempe bubuk, dilakukan analisis yang meliputi total kapang, total plate count (TPC), dan kualitas tempe mentah yang dihasilkan melalui pengujian organoleptik. Dalam pengujian organoleptik, digunakan usar sebagai kontrol dalam pembuatan tempe. Satu lembar usar digunakan untuk 1 kilogram kedelai.

3. Pengaruh jumlah spora awal pada laru

Setelah diketahui substrat terbaik, maka perlu diketahui jumlah spora awal yang diinokulasikan ke dalam substrat guna mengetahui kualitas laru pada akhir masa inkubasi.

Jumlah spora yang diinokulasikan adalah 106, 107, dan 108 spora untuk satu cawan petri berisi 10 gram substrat terpilih. Pertama-tama diperlukan suspensi spora yang diperoleh dengan melarutkan 10 ml akuades steril ke dalam isolat Rhizopus sp. pada agar miring. Spora pada permukaan agar miring dilepaskan dengan bantuan ose. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah spora dengan menggunakan haemacytometer di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.

Pada tahapan ini, analisis yang dilakukan meliputi total kapang, total plate count (TPC), dan kualitas tempe mentah yang dihasilkan melalui pengujian organoleptik.

4. Scaling Up dan Pemilihan waktu pengeringan terbaik

Pada tahap ini dilakukan scaling up atau produksi laru dalam jumlah yang lebih besar (500 g) dengan substrat terbaik dan jumlah spora awal terbaik. Pada tahap ini dilakukan pula pemilihan waktu pengeringan terbaik. Laru hasil scaling up akan dikeringkan dengan menggunakan loyang datar berukuran 30 x 30 cm di dalam oven pengering FischerTM


(49)

(Lampiran 11) pada suhu 40˚C dengan lama pengeringan yang bervariasi, yakni 0, 2, 3, 4, dan 5 hari. Analisis penunjang pada tahap ini adalah total kapang, total plate count (TPC), serta kadar air laru.

5. Pengaruh Jumlah Laru terhadap Kualitas Tempe

Setelah diperoleh laru, dilakukan pengujian untuk mengetahui jumlah penambahan laru sehingga diperoleh tempe dengan hasil yang optimal dengan menggunakan beberapa jenis jumlah laru untuk tiap kilogram kedelai kering mentah, yakni: 1 gram; 2,5 gram; 5 gram; 7,5 gram; dan 10 gram. Parameter kualitas tempe yang diamati meliputi kekompakan hifa dan tekstur tempe.

6. Penyimpanan Laru Tempe

Penyimpanan laru tempe dilakukan selama 6 minggu pada suhu ruang guna mengetahui perubahan yang terjadi selama masa penyimpanan. Untuk mengetahuinya, setiap akhir minggu dilakukan analisis total kapang, total plate count (TPC), dan kualitas tempe mentah yang dihasilkan.

C. METODE ANALISIS

1. Total Kapang (Fardiaz, 1989)

Analisis total kapang dilakukan dengan menggunakan metoda permukaan. Sebanyak 5 gram laru tempe bubuk dilarutkan ke dalam 45 ml larutan pengencer, kemudian divortex dan diencerkan hingga pengenceran 10-6. Pemupukan dilakukan mulai pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6. Dari masing-masing pengenceran dipipet sebanyak 0,1 ml ke dalam cawan petri berisi APDA (Acidified Potatoe Dextrose Agar) yang telah membeku. Sampel kemudian diratakan menggunakan hockey stick. Selanjutnya diinkubasikan pada 30ºC selama 3 hari.


(50)

2. Total Plate Count (TPC) (Fardiaz, 1989)

Analisis TPC dilakukan dengan menggunakan metoda tuang. Sebanyak 5 gram laru tempe bubuk dilarutkan ke dalam 45 ml larutan pengencer, kemudian divortex dan diencerkan hingga pengenceran 10-6. Pemupukan dilakukan mulai pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7. Dari masing-masing pengenceran dipipet sebanyak 1 ml ke dalam cawan petri steril, kemudian dituangkan PCA (Plate Count Agar). Selanjutnya cawan diinkubasikan pada suhu 30ºC dalam posisi terbalik selama 3 hari.

3. Jumlah Spora

Sebanyak 1 gram laru tempe bubuk dilarutkan dalam 99 ml akuades steril, kemudian diencerkan hingga pengenceran tertentu lalu dilakukan pengamatan dibawah mikroskop dengan menggunakan haemacytometer (Hansen, 2005)

Gambar 4. Penampakan haemacytometer

Cara perhitungan dilakukan dengan menghitung jumah spora yang terdapat per mm2 luasan bidang hitung. Perhitungan dilakukan dengan rumusan sebagai berikut;

Jumlah spora/ ml = jumlah spora/ mm2 x faktor pengenceran 10-4 ml

keterangan: 10-4 ml merupakan volume larutan yang diteteskan ke haemacytometer


(51)

4. Kadar Air (AOAC, 1995)

Sebanyak 5 gram sampel ditempatkan dalam cawan alumunium kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 105ºC selama 6 jam. Setelah 6 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan rumus berikut ini:

Keterangan: X = berat awal sampel + cawan

Y = berat sampel + cawan setelah dikeringkan A = berat awal sampel

5. Uji Organoleptik (Hedonik) (Rahayu, 1997)

Pengujian organoleptik bertujuan mengetahui jenis tempe mana yang dapat diterima oleh konsumen, sehingga dapat diketahui substrat laru yang menghashilkan tempe dengan skor penerimaan konsumen terbaik.

Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan) rating oleh 30 orang panelis. Tempe yang diujikan merupakan tempe mentah dengan kriteria mutu yang diujikan adalah kekompakan hifa, aroma, serta overall. Tingkat persepsi panelis digambarkan berdasarkan skor berikut;

5 = sangat suka 4 = suka 3 = netral 2 = tidak suka 1 = sangat tidak suka

Pengolahan data untuk memperoleh kesimpulan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan software statistik SPSS 11.5 dengan menggunakan Uji Lanjutan Duncan.

Kadar Air (%) = X - Y x 100% A


(52)

6. Pembuatan Tempe

Tujuan utama dari pembuatan tempe adalah untuk mengetahui keaktifan dari laru tempe selama penyimpanan. Proses pembuatan tempe pada umumnya meliputi tahapan perebusan kedelai, pengupasan kulit, perendaman kedelai, pencucian, penambahan larui, serta pemeraman. Secara umum, diagram alir pembuatan tempe dapat dilihat pada Gambar 2.

dicuci

direbus 30 menit

direndam 24 jam

dikupas

dicuci

dikukus 45 menit

ditiriskan, didinginkan

dicampur

dikemas

diperam

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tempe (Syarif et al., 1999)

Kedelai

Tempe


(53)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG 1. Isolasi dan Identifikasi Kapang

Identifikasi mikroskopik terhadap isolat dilakukan dengan menggunakan metoda slide culture. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis kapang yang terdapat pada usar adalah Rhizopus sp. Hal ini didasarkan pada ciri-ciri mikroskopik Rhizopus sp., diantaranya; koloni dalam cawan berwarna abu-abu yang berangsur-angsur menjadi hitam kecoklatan, serta identifikasi mikroskopik yang menunjukkan bentuk khas seperti stolon, sporangiofora, serta terbentuknya spora dalam jumlah banyak (Syarief et al., 1999).

Pertumbuhan koloni Rhizopus sp. pada cawan petri dan secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 5.

Gambar 6. Pertumbuhan koloni Rhizopus sp.

Gambar 7. Morfologi Rhizopus sp. Gambar 8. Rhizopus sp. dengan (Frazier dan Westhoff, 1981) perbesaran mikroskop 1000 kali


(54)

Gambar 7 menunjukkan morfologi kapang Rhizopus sp. Terdapat kesamaan dengan isolat yang diperoleh dari usar, yaitu bentuk khas sporangium, yakni sporangium berbentuk bundar. Ciri lainnya yang terlihat adalah terdapatnya banyak sporangiospora di dalam sporangium. Gambar 5 menunjukkan adanya banyak sporangiospora yang telah keluar dari sporangium. Namun, bentuk rhizoid yang terdapat pada kapang Rhizopus sp. tidak terlihat karena identifikasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop biasa. Sedangkan untuk melihat rhizoid, diperlukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron.

Menurut Pawiroharsono (1977), usar yang berasal dari daerah Yogyakarta dan sekitarnya biasanya mengandung beberapa jenis mikroorganisme, antara lain; Rhizopus sp. dan Mucor sp., sedangkan hasil isolasi dan identifikasi jenis kapang dari usar pada penelitian ini menunjukkan bahwa hanya terdapat kapang Rhizopus sp. saja. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sumber laru awal yang digunakan saat pembuatan usar. Pada tahap awal pembuatan usar digunakan laru yang hanya mengandung kapang jenis Rhizopus sp., sehingga spora yang menempel pada permukaan usar pun hanya spora kapang Rhizopus sp. saja. Hal ini dapat merupakan hal yang menguntungkan karena keberadaan jenis mikroorganisme lain dapat menyebabkan adanya suatu kondisi yang antagonis, yakni kondisi dimana keberadaan satu jenis mikroorganisme dapat membahayakan keberadaan mikroorganisme lainnya (Jay, 2005).

Selain itu, Rhizopus sp. juga merupakan kapang yang umum ditemui di kawasan Indonesia (Steinkrauss, 1983; Sood dan Kokke, 1988). Spora kapang ini sering didapati di udara bebas. Oleh karena itu Rhizopus sp. dikenal juga sebagai penyebab kerusakan bahan pangan berkadar karbohidrat tinggi seperti nasi dan roti. Lebih lanjut lagi Sarwono (2006) mengungkapkan bahwa Rhizopus sp. memiliki pertumbuhan yang baik pada rentang suhu yang cukup luas, dari 25ºC hingga 40ºC. Dalam fermentasi, untuk menghasilkan tempe yang baik Rhizopus sp. memerlukan waktu sekitar 40 jam pada suhu 25ºC atau sekitar 20 jam pada suhu 30 ºC hingga 40ºC.


(55)

2. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar

Perhitungan jumlah spora dan jumlah kapang dilakukan dengan metoda swab. Swab dilakukan di empat area berbeda dengan luasan masing-masing 4cm2. Hasil swab pada permukaan usar dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan rincian perhitungan jumlah spora dan kapang dapat dilihat pada Lampiran 1. Area swab pada usar dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Area swab usar 1

2


(56)

Tabel 4. Hasil swab pada berbagai area usar Swab area

ke-

Jumlah Koloni Kapang

Total Koloni Kapang/cm2

(CFU/cm2)

Jumlah Spora/cm2

1 16 5x102 103

24

2 22 5,4x 102 9,5x102 21

3 29 9x102 103

43

4 38 9,6x102 1,5x103

39

Rata-rata 7,2x102 1,1x103

Laru usar sendiri biasanya dipasarkan dalam keadaan terbuka tanpa dikemas sehingga laru jenis ini dapat dengan mudah diserang serangga serta memiliki daya awet relatif singkat (Syarief et al., 1999). Menurut Sarwono (2006), usar biasanya digunakan untuk produksi tempe dalam jumlah kecil, dengan bahan baku kedelai kering sebanyak 1-5 kg. Hasil penghitungan rata-rata jumlah koloni kapang menunjukkan hasil bahwa terdapat 7,2x102 koloni kapang dalam setiap cm2 luas permukaan usar. Namun, jumlah koloni kapang awal pada usar kemungkinan akan memiliki jumlah yang lebih banyak mengingat dapat terjadinya perubahan selama penyimpanan usar itu sendiri. Selain itu hasil perhitungan rata-rata jumlah spora kapang adalah sebesar 1,1x103 spora per cm2 luas permukaan usar. Perbedaan jumlah koloni kapang dan spora kapang pada permukaan usar dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan spora untuk bergerminasi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan perubahan kemampuan spora kapang bergerminasi antara lain disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Frazier dan Westhoff, 1981).

B. PEMILIHAN SUBSTRAT TERBAIK

Substrat merupakan media pertumbuhan mikroorganisme yang menyediakan zat-zat penting seperti karbon, nitrogen, ion organik, energi, serta air untuk pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Menurut Walker (1999), substrat


(57)

yang digunakan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan minimum pertumbuhan, kelangsungan hidup, serta tidak terkontaminasi faktor penghambat.

Selama proses fermentasi, mikroorganisme menggunakan komponen-komponen kimia di dalam substrat. Namun, komponen-komponen tersebut terlebih dahulu dipecah menjadi fraksi-fraksi sederhana yang mudah dicerna oleh mikroorganisme tersebut. Aktifitas enzimatik mikroba mampu memecah komponen-komponen tersebut menjadi fraksi yang sederhana (Frazier et al., 1956).

Pada penelitian ini, digunakan beras, onggok, serta campuran keduanya sebagai substrat untuk mengetahui kualitas laru yang dihasilkan. Onggok merupakan limbah pembuatan tepung tapioka. Meskipun demikian, kandungan pati onggok mencapai 60 -70% berat keringnya, sehingga potensial digunakan sebagai sumber karbon dalam pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, onggok pun mudah diperoleh dalam jumlah besar di sekitar Bogor. Memurut Frazier et al. (1956), enzim amilase yang dihasilkan mikroorganisme dapat memecah pati menjadi fraksi maltosa. Selain itu, Moat (1979) mengungkapkan adanya aktivitas amilolitik pada Rhizopus , terutama Rhizopus oryzae. Penguraian lebih lanjut pati menjadi gula pada fermentasi kedelai akan menghasilkan alkohol dan asam-asam organik.

Gambar 10 menunjukkan bentuk fisik laru pasar, laru penelitian setelah proses pengeringan dilakukan, dan laru penelitian setelah digiling menjadi serbuk, sedangkan Gambar 11 menunjukkan laru yang dibuat dari substrat beras, onggok, serta campuran beras dan onggok.

(a) (b) (c) Gambar 10. Laru tempe

(a) laru pasar, (b) laru penelitian setelah proses pengeringan, (c) laru penelitian setelah proses penggilingan


(58)

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) Gambar 11. Laru tempe penelitian dari berbagai substrat.

(a) 100% beras, (b) 100% onggok, (c) beras:onggok = 1:1, (d) beras: onggok = 1:2, (e) beras:onggok = 2:1, (f) beras:onggok = 1:3,dan (g) beras:onggok = 3:1

Dari beberapa perbandingan beras:onggok yang digunakan, maka dipilihlah formula dengan perbandingan beras:onggok = 1:3. Pemilihan ini didasarkan kepada hasil analisis yang meliputi analisis total kapang, total plate count (TPC) dan pengujian organoleptik. Hasil analisis total kapang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Total mikroba dan total kapang berbagai substrat laru tempe

No Substrat TPC (CFU/gr) Total Kapang (CFU/gr) 1 100% Beras 1,5 x 105 1,4 x 106

2 Beras: Onggok = 1:1 3,3 x 106 4,9 x 106 3 Beras: Onggok = 1:2 1,3 x 106 2,7 x 106 4 Beras: Onggok = 2:1 2,5 x 105 2,8 x 105 5 Beras: Onggok = 1:3 5,3 x 106 5,5 x 106 6 Beras: Onggok = 3:1 1,9 x 105 4,9 x 106

7 100% Onggok < 104 < 104

Dari data Tabel 5 diketahui bahwa laru yang diproduksi dengan 100% beras sebagai substrat memiliki total kapang sebesar 1,1 x 106 CFU/gram. Nilai tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan total kapang pada laru dengan substrat beras:onggok = 1:3, yakni sebesar 5,5 x 106 CFU/gram.

Beras merupakan substrat yang telah banyak digunakan sebagai substrat dalam pembuatan laru tempe. Penelitian yang dilakukan oleh Sudiarso (1993) menyatakan bahwa spora kapang dari laru yang diproduksi dengan substrat beras memiliki nilai total kapang, yakni sebesar 106 spora per gram laru. Penelitian


(59)

lainnya menyatakan bahwa selain beras, beberapa media lainnya yang dapat digunakan sebagai substrat adalah ampas tahu dan ampas tapioka (Rahardjo, 2004).

Lebih lanjutnya, Sudiarso (1993) menyatakan bahwa viabilitas kapang pada substrat onggok sangat rendah bila dibandingkan dengan beras, yakni hanya mencapai <104 CFU/gram. Penyebab rendahnya pertumbuhan kapang pada substrat onggok dapat terjadi karena kurang berimbangnya komposisi karbohidrat dan protein yang terdapat di dalamnya. Meskipun memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, tetapi menurut Lahoni (2003), onggok memiliki kandungan protein sebesar 2,21 persen berat kering. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab kurangnya sumber nitrogen untuk pertumbuhan kapang sehingga kapang tidak dapat tumbuh optimal pada substrat onggok. Dengan demikian dapat diduga bahwa substrat campuran beras dan onggok memiliki komposisi yang lebih baik dalam menunjang pertumbuhan kapang.

Selanjutnya, setiap jenis laru tersebut digunakan untuk memproduksi tempe. Tempe mentah yang diproduksi kemudian diujikan kualitasnya secara organoleptik (uji hedonik). Parameter yang diujikan adalah aroma, kekompakan hifa, serta overall parameter. Rekapitulasi data, pengolahan data statistik, serta uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 2,3, dan 4. Hasil perhitungan skor rata-rata kesukaan panelis terhadap parameter kekompakan hifa dapat dilihat pada Gambar 12. 0 0,51 1,52 2,53 3,54 Usar 100% Ber as Ber as:onggo

k = 3: 1

Bera s:onggo

k = 2: 1 Beras :ongg ok = 1:1 Beras: ongg

ok = 1 :2 Ber as:ong gok = 1 :3 Jenis laru sk o r r a ta -r a ta

Gambar 12. Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap kekompakan hifa tempe mentah (* = hasil tidak berbeda nyata pada p = 0,05)


(1)

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu;

1. Isolasi dan Identifikasi Kapang a. Isolasi dan Identifikasi Kapang Isolasi kultur kapang yang berada di permukan daun waru dilakukan dengan metode oles (swab) (Rahayu et al., 2004) permukaan usar dengan luasan area tertentu, kemudian dilarutkan dalam larutan pengencer, kemudian divortex. Satu mililiter larutan tersebut kemudian diinokulasikan ke dalam cawan petri berisi PDA lalu diinkubasikan pada 30ºC selama 3 hari lalu diamati pertumbuhannya.

Identifikasi kapang dilakukan dengan menggunakan metoda slide culture dan dilakukan pengamatan mikroskopik denganperbesaran 400 kali (Harrigan, 1998).

b. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar

Perhitungan jumlah spora dilakukan dengan menggunakan metoda haemacytometer, sedangkan untuk jumlah kapang dilakukan dengan menggunakan metoda total kapang (Fardiaz, 1989).

2. Pemilihan substrat terbaik

Pada tahapan ini digunakan 2 jenis substrat yakni beras, onggok, dan campuran keduanya. Dari kedua jenis substrat yang digunakan, didapatkanlah 7 formulasi substrat yang akan diujikan, yakni 100% beras, beras:onggok = 3:1, beras:onggok = 2:1, beras:onggok = 1:1, beras:onggok = 1:2, beras:onggok = 1:3, serta 100%onggok.

Setelah diperoleh laru tempe bubuk, dilakukan analisis yang meliputi total kapang, total plate count (TPC), dan kualitas tempe mentah yang dihasilkan melalui

pengujian organoleptik. Dalam pengujian organoleptik, digunakan usar sebagai kontrol dalam pembuatan tempe. Satu lembar usar digunakan untuk 1 kilogram kedelai.

3. Pengaruh jumlah spora awal pada laru Setelah diketahui substrat terbaik, maka perlu diketahui jumlah spora awal yang diinokulasikan ke dalam substrat guna mengetahui kualitas laru pada akhir masa inkubasi.

Jumlah spora yang diinokulasikan adalah 106, 107, dan 108 spora untuk satu cawan petri berisi 10 gram substrat terpilih. Analisis yang dilakukan meliputi total kapang, total plate count (TPC), dan kualitas tempe mentah yang dihasilkan melalui pengujian organoleptik.

4. Scaling Up dan Pemilihan waktu

pengeringan terbaik

Pada tahap ini dilakukan scaling up atau produksi laru dalam jumlah yang lebih besar (500 g) dengan substrat terbaik dan jumlah spora awal terbaik. Pada tahap ini dilakukan pula pemilihan waktu pengeringan terbaik. Laru hasil scaling up akan dikeringkan dengan menggunakan loyang datar berukuran 30 x 30 cm di dalam oven pengering FischerTM pada suhu 40˚C dengan lama pengeringan yang bervariasi, yakni 0, 2, 3, 4, dan 5 hari. Analisis penunjang pada tahap ini adalah total kapang, total plate count (TPC), serta kadar air laru.

5. Pengaruh Jumlah Laru terhadap Kualitas Tempe


(2)

Setelah diperoleh laru, dilakukan pengujian dengan untuk mengetahui jumlah penambahan laru untuk memperoleh tempe dengan hasil yang optimal menggunakan beberapa jenis jumlah laru untuk tiap kilogram kedelai kering mentah, yakni :1 gram; 2,5 gram; 5 gram; 7,5 gram; dan 10 gram. Parameter kualitas tempe yang diamati meliputi kekompakan hifa dan tekstur tempe.

6. Penyimpanan Laru Tempe

Penyimpanan laru tempe dilakukan selama 6 minggu pada suhu ruang guna mengetahui perubahan yang terjadi selama masa penyimpanan. Untuk mengetahuinya, setiap akhir minggu dilakukan analisis total kapang, total plate count (TPC), dan kualitas tempe mentah yang dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi dan identifikasi kapang a. Isolasi dan Identifikasi Kapang

Identifikasi mikroskopik terhadap isolat dilakukan dengan menggunakan metoda slide culture. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis kapang yang terdapat pada usar adalah Rhizopus sp. Hal ini didasarkan pada ciri-ciri mikroskopik Rhizopus sp., diantaranya; koloni dalam cawan berwarna putih yang berangsur-angsur menjadi hitam kecoklatan, serta identifikasi mikroskopik yang menunjukkan bentuk khas seperti stolon, sporangiofora, serta terbentuknya spora dalam jumlah banyak (Syarief et al., 1999).

b. Perhitungan Jumlah Spora dan Jumlah Kapang pada Usar

Perhitungan jumlah spora dan jumlah kapang dilakukan dengan metoda swab. Swab dilakukan di empat area berbeda dengan luasan masing-masing 4cm2. Tabel 1 menunjukkan hasil perhitungan jumlah spora dan jumlah kapang pada permukaan usar;

Tabel 1. Hasil Swab Usar

Laru usar sendiri biasanya dipasarkan dalam keadaan terbuka tanpa dikemas sehingga laru jenis ini dapat dengan mudah diserang serangga serta memiliki daya awet relatif singkat (Syarief et al., 1999). Hasil penghitungan rata-rata jumlah koloni kapang menunjukkan hasil bahwa terdapat 7,2x102

koloni kapang dalam setiap cm2 luas permukaan usar. Namun, jumlah koloni kapang awal pada usar kemungkinan akan memiliki jumlah yang lebih banyak mengingat dapat terjadinya perubahan Swab

area ke-

Jumlah Koloni Kapang

Rata-rata jumlah koloni kapang

Total Koloni Kapang /4 cm2

Total Koloni Kapang/c m2 (CFU/cm2 )

Jumlah Spora/c m2

1 16 20 2000 5x102 103

24

2 22 21,5 2150 5,4x 102 9,5x102 21

3 29 36 3600 9x102 103

43

4 38 38,5 3850 9,6x102 1,5x103 39

Rata-rata


(3)

selama penyimpanan usar itu sendiri. Selain itu hasil perhitungan rata-rata jumlah spora kapang adalah sebesar 1,1x103 spora per cm2 luas permukaan usar. Perbedaan jumlah koloni kapang dan spora kapang pada permukaan usar dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan spora untuk bergerminasi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan perubahan kemampuan spora kapang bergerminasi antara lain disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Frazier dan Westhoff, 1981).

2. Pemilihan substrat terbaik

Dari beberapa perbandingan beras:onggok yang digunakan, maka dipilihlah formula dengan perbandingan beras:onggok = 1:3. Pemilihan ini didasarkan kepada hasil analisis yang meliputi analisis total kapang, total plate count (TPC) dan pengujian organoleptik. Hasil analisis total kapang dapat dilihat pada Tabel 2. berikut ini;

Tabel 2. Total Mikroba dan Total Kapang Berbagai Substrat Laru Tempe

No Substrat TPC (CFU/gr)

Total Kapang (CFU/gr) 1 100%

Beras (5 gr)

1,2 x 105 1,1 x 106

100% Beras (7,5 gr)

1,5 x 105 1,4 x 106

2 Beras: Onggok = 1:1

3,3 x 106 4,9 x 106

3 Beras: 1,3 x 106 2,7 x 106

Onggok = 1:2 4 Beras:

Onggok = 2:1

2,5 x 105 2,8 x 105

5 Beras: Onggok = 1:3

5,3 x 106 5,5 x 106

6 Beras: Onggok = 3:1

1,9 x 105 4,9 x 106

7 100% Onggok

< 104 < 104

3. Pengaruh Jumlah Spora Awal terhadap Laru

Setelah diperoleh formulasi terbaik, maka dilakukan pengujian jumlah spora awal yang diinokulasikan. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah spora awal yang diinokulasikan terhadap jumlah kapang yang terdapat pada laru. Guna mendapatkan total kapang maksimal pada laru, maka diujikan tiga variabel jumlah spora awal, yakni 106, 107, dan 108 spora per

10 gram substrat. Hasil analisis total kapang dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini; Tabel 3. Analisis Total Kapang pada Laru Tempe

Jumlah Spora Awal Inokulasi

(per 10 gr substrat)

Total Kapang (CFU/gr)

106 2,1 x 107

107 1,8 x 107

108 1,8 x 107

Data analisis total kapang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada total kapang produk akhir (laru). Dari


(4)

tahap ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan kapang maksimal mencapai kisaran 107 CFU/gram meskipun jumlah spora awal yang diinokulasikan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah total kapang maksimum pada akhir fase logaritmiknya berada pada kisaran 107 CFU/gram.

Perbedaan jumlah spora awal yang diinokulasikan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap jumlah total kapang pada laru. Pengaruh yang ditimbulkan dari perbedaan jumlah spora awal ini adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai jumlah kapang maksimum. Dengan semakin banyak jumlah spora awal yag diinokulasikan, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai jumlah maksimum akan semakin cepat. Dengan semakin tinggi jumlah spora pada inokulasi awal akan mempercepat fase adaptasi (Fardiaz, 1987). Namun, ternyata perbedaan jumlah spora awal yang diinokulasikan tidak menghasilkan perbedaan jumlah kapang pada laru. Hal ini dapat disebabkan jumlah kapang sebesar 108 merupakan jumlah yang optimum yang dapat dihasilkan pada akhir masa pertumbuhan lambat.

4. Scaling up dan Lama Pengeringan laru Terbaik

Pada tahap ini dilakukan upaya pembuatan laru dalam jumlah yang lebih banyak, yakni 500 gram dengan menggunakan substrat terbaik serta jumlah spora terbaik yang telah diperoleh dari tahapan sebelumnya.

Tabel 4. Total Kapang, TPC, dan Kadar Air Laru Tempe

Pada tahap ini dilakukan produksi laru dalam jumlah yang lebih besar yakni 500 gram. Substrat yang digunakan adalah substrat terbaik dari tahapan penelitian sebelumnya yaitu campuran beras dan onggok dengan perbandingan 1:3. Jumlah spora awal yang diinokulasikan adalah 106

spora per 10 gram substrat. Lama waktu inkubasi untuk pertumbuhan kapang adalah 3 hari pada suhu 30ºC. Pengeringan dilakukan dalam oven bersuhu 40ºC. Penggunaan suhu ini disesuaikan dengan suhu maksimum pertumbuhan, yakni berkisar antara suhu 40ºC - 45ºC (Fardiaz, 1987).

Total kapang dan TPC mengalami penurunan yang cukup signifikan pada selang waktu pengeringan 24 jam pertama. Berdasarkan berat keringnya, sebelum mengalami pengeringan, total kapang laru adalah sebesar 4,8 x 107 CFU/gr tetapi

setelah dilakukan pengeringan selama 24 jam, total kapang menurun menjadi 2,6 x 107 Cfu/gr. Hal yang sama terjadi pula pada nilai TPC. Sebelum dilakukan pengeringan, nilai TPC laru adalah sebesar 4,8 x 107 CFU/gr

Lama Penge-ringan (jam)

Kadar Air (%)

Total Kapang (CFU/gr berat kering)

TPC (CFU/gr berat kering)

0 55,55 4,8 x 107 4,8 x 107 24 10,65 2,6 x 107 2,7 x 107 48 4,44 2,4 x 107 2,6 x 107 72 4,43 2,4 x 107 2,6 x 107 96 4,43 2,4 x 107 2,6 x 107 120 4,42 2,4 x 107 2,6 x 107


(5)

tetapi setelah dilakukan pengeringan selama 24 jam, nilai TPC menurun menjadi 2,7 x 107 CFU/gr. Selain itu, dalam kurun waktu 24 jam, penyusutan kadar air berlangsung cepat dari kadar air awal sebesar 55,55% menjadi 10,65%. Pada akhir jam ke-24, kondisi laru telah kering namun tidak terlalu merata pada seluruh bagian terutama bagian dalamnya. Sedangkan pada pengeringan lebih dari 24 jam, baik total kapang maupun TPC berada pada jumlah yang relatif stabil, dengan penurunan yang tidak terlalu signifikan.

5. Pengaruh Jumlah Laru terhadap Kualitas Tempe

Penggunaan laru hasil penelitian ini hampir sebanding dengan penggunaan laru pasar. Menurut Sarwono (2006), laru pasar biasanya digunakan sebanyak satu sendok makan (kurang lebih 12 gram) untuk tiap kilogram kedelai. Sedangkan laru hasil penelitian ini digunakan sebanyak 10 gram untuk tiap kilogram kedelai. Perhitungan total kapang laru pasar dan laru penelitian dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5. Perbandingan Total Kapang Laru Pasar dan Laru Penelitian

Jenis Laru

Jumlah Pengguna an (gr)

Total Kapang (CFU/g r)

Total Kapang/ kg kedelai Laru

Pasar

12 1,8 x

107

2,2 x 108

Laru Peneliti an

10 2,4 x

107

2,4 x 108

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa jumlah penggunaan laru penelitian hampir setara dengan laru pasar. Namun, dengan jumlah yang lebih sedikit, yakni 10 gram, laru penelitian memiliki nilai total kapang sedikit lebih besar daripada nilai total kapang laru pasar.

6. Penyimpanan Laru Tempe

6,5 6,6 6,7 6,8 6,9 7 7,1 7,2 7,3 7,4

0 1 2 3 4 5 6

Minggu

ke-Log C

F

U

/gr

Total Kapang TPC

Gambar 1. Total kapang dan TPC laru selama penyimpanan pada suhu ruang

Wang et al. (1975) mengungkapkan bahwa spora kapang dapat disimpan dalam rentang suhu 4ºC hingga 22ºC. Namun, efektivitas penyimpanan dalam mengurangi penurunan viabilitas spora kapang laru tempe pun sangat beragam. Selain suhu, lamanya waktu penyimpanan serta RH (kelembaban) pun mempengaruhi besarnya penurunan viabilitas spora kapang.

Syarief et al. (1999) mengungkapkan bahwa dalam kondisi pengemasan yang baik (kering), umumnya laru tempe bubuk dapat bertahan selama 8 minggu. Yusuf (1985) menyatakan bahwa laru yang disimpan pada suhu ruang memiliki masa simpan selama 4 minggu. Perbedaan masa simpan laru dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni; jenis pengemas, suhu, serta kelembaban ruang penyimpanan.


(6)

KESIMPULAN

Pada tahap isolasi dan identifikasi kapang, diketahui bahwa jenis kapang yang terdapat pada permukaan usar adalah Rhizopus sp. Pemilihan substrat terbaik menunjukkan substrat terbaik yang merupakan campuran beras:onggok dengan rasio 1:3. Jumlah spora awal yang diinokulasikan adalah sebesar 106 per 10 gram substrat. Scaling up ke tingkat 500 gram menunjukkan bahwa lama pengeringan optimum untuk laru adalah selama 48 jam.

Tahapan terkhir, yaitu penyimpanan menunjukkan bahwa pada empat minggu pertama penyimpanan, viabilitas kapang cenderung stabil tanpa penurunan yang signifikan. Sedangkan, pada periode dua minggu berikutnya, yaitu minggu ke-5 dan minggu ke-6, total kapang menurun dari total kapang awal sebesar 2,2 x 107 CFU/gram menjadi 7 x 106 CFU/gram. Namun, pembuatan tempe menggunakan laru tersebut hingga minggu ke-6 penyimpanan masih menghasilkan tempe yang dapat diterima oleh konsumen

DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz, S. 1987. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Frazier, W. C. and D. C. Westhoff. 1981. Food Microbiology. Tata Mc Graw Hill Pub. Co. Ltd, New Delhi

Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. Academic Press, San Diego, London, Boston, New York, Sydney, Tokyo, Toronto.

Rahayu, W. P., C. C. Nurwitri, Hariyadi, R. D. H., Nuraida, L., Suliantari, dan Sugiyono. 2004. Modul Praktikum Mikrobiologi Pangan. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Sarwono, B. 2006. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta.

Syarief, R., J. Hermanianto, P. Haryadi, S. Wiraatmadja, Suliantari, D. Syah, N. E. Suyatna, dan Y. P. Saragih. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Univ. Katolik Widya Mandala, Surabaya.

Wang, H. L., E. W. Swain, dan C. W. Hesseltine. 1975. Mass production of Rhizopus oligosporus spores and their application in tempeh fermentation. J. of Food Sci. 40:15.

Yusuf, H. Pengaruh Jenis Kapang, Jenis Pengemas, dan Lama Penyimpanan terhadap Aktifitas Inokulum Murni Tempe Kedelai. 1985. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.


Dokumen yang terkait

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

5 26 101

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI A EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI A EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa MULTIRESISTEN AN

0 0 17

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI C EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP Staphylococcus aureus UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI C EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aerugi

0 0 8

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 14

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 2

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 4

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 1 20

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 1 2

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

0 0 20

KARYA TULIS ILMIAH BIOAKTIFITAS LOTION ANTI NYAMUK Aedes aegypti DARI PERASAN DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L)

0 0 17