PENGARUH SUPLEMENTASI DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI PROTOZOA RUMEN SECARA IN VITRO

(1)

commit to user

ii 

 

PENGARUH SUPLEMENTASI DAUN WARU (

Hibiscus tiliaceus

L.)

TERHADAP KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI

PROTOZOA RUMEN SECARA

IN VITRO

Skripsi

Untuk memenuhi sebagai persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Disusun oleh :

DIGDYAS TIRTA BIMASMARA PUTRA

NIM. M0406024

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

iii 

 

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

SKRIPSI

Pengaruh Suplementasi Daun Waru (

Hibiscus tiliaceus

L.) Terhadap

Karakteristik Fermentasi dan Populasi Protozoa Rumen secara

In Vitro

Oleh

Digdyas Tirta Bimasmara Putra

NIM M0406024

Telah disetujui oleh pembimbing

Menyetujui tanda tangan

Pembimbing I

:

Tjahjadi Purwoko, M.Si

...

NIP.

197011302000031002

Pembimbing II

:

Hendra Herdian, S.Pt. MSc

...

NIP.

196812211998031007

Surakarta, Desember 2010

Mengetahui

Ketua Jurusan Biologi

Dra. Endang Aggarwulan, M.Si


(3)

commit to user

iv 

 

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri

dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar

kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.

Surakarta, ...

Digdyas Tirta Bimasmara Putra

NIM. M0406024

 

 

 

 


(4)

commit to user

 

PENGARUH SUPLEMENTASI DAUN WARU (

Hibiscus tiliaceus

L.)

TERHADAP KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI

PROTOZOA RUMEN SECARA

IN VITRO

DIGDYAS TIRTA BIMASMARA PUTRA

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian

daun waru (

Hibiscus tiliaceus

L.) terhadap karakteristik fermentasi rumen yang

meliputi produksi gas, asam lemak volatil (VFA), konsentrasi amonia (NH

3

), dan

pH serta populasi protozoa rumen secara

in vitro

gas test.

Percobaan disusun dengan desain eksperimen model rancangan acak

lengkap yang terdiri atas kontrol negatif (

P. purpureum

200 mg bahan kering) ,

kontrol positif (

P. purpureum

200 mg bahan kering + 0,2 % monensin) dan 4

perlakuan berturut-turut adalah

P. purpureum

200 mg bahan kering + daun

Hibiscus tiliaceus

L. 5%,10%, 15% dan 20% bahan kering. Tiap perlakuan

dilakukan perulangan 3 kali . Data hasil penelitian diuji dengan Anova (

Analysis

of Varians

), apabila ada pengaruh perbedaan dilanjutkan dengan uji jarak

berganda Duncan.

Suplementasi daun waru tidak signifikan (P>0.05) mempengaruhi nilai

NH3 dan pH dibandingkan kontrol. Konsentrasi VFA total naik pada

suplementasi daun waru 5% dan 10%, kemudian turun pada level 15% dan 20%.

Suplementasi daun waru pada semua perlakuan signifikan (P<0.05) menurunkan

populasi protozoa dan produksi gas total. Nisbah A/P dan NGR turun pada level

5,10,dan 15% kemudian naik pada level 20%. Penurunan nisbah A/P dan NGR ini

berkorelasi terhadap penurunan gas metana. Disimpulkan bahwa level optimum

suplementasi daun waru dalam penelitian ini adalah 10%. Pada level ini telah

dapat memodifikasi karakteristik fermentasi rumen mengarah ke sintesis

propionat, menurunkan populasi protozoa 43,08% dan produksi gas 11,02%,

menaikkan total VFA dan tidak berpengaruh terhadap nilai pH maupun NH3.

Suplementasi daun waru (H

ibiscus tiliaceus

L.) dapat meningkatkan proporsi

propionat yang merupakan sumber energi utama bagi sapi pedaging.


(5)

commit to user

vi 

 

The Effect of

Supplementation Waru Leaves (

Hibiscus tiliaceus

L.)

on Fermentation Characteristic

and Rumen Population Protozoa In Vitro

DIGDYAS TIRTA BIMASMARA PUTRA

Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta.

Abstract

 

The purpose of this study was to examine the effect of waru leaves

(

Hibiscus tiliaceus

L.) on rumen fermentation characteristics that include gas

production, VFA, NH

3

, pH and rumen population protozoa by in vitro gas test.

The experiment was designed with completely randomized experimental

design model consisted of negative control (

P. purpureum

200 mg DM), positive

control (

P. purpureum

200 mg DM + 0.2% monensin) and 4 treatments,

consecutive is

P. purpureum

200 mg leaf DM +

Hibiscus tiliaceus

L. leaves 5%,

10%, 15% and 20% DM. Each treatment was replicated 3 times. Data were tested

by ANOVA (Analysis of Variance), if there are differences influence will be

followed by Duncan multiple range test.

Supplementation of waru leaves

was not significant (P>0.05) affected the

value of NH3

and pH than the control. Total VFA concentration increased on

supplementation of waru leaves 5% and 10%, then decreased at the level of 15%

and 20%. Supplementation of waru leaves in all treatments significantly (P<0.05)

decreasing protozoa population and total gas production. A / P ratio and NGR

decreased at the level of 5,10, and 15% but then increased in level of 20%. The

decrease of A / P ratio and NGR is correlated to the decrease of methane gas. It

was concluded that the optimum level of supplementation waru leaves in this

study is 10%. At this level, it can modify rumen fermentation characteristics leads

to the synthesis of propionate, reduced protozoa population 43,08% and gas

production 11,02%, increasing total VFA and has no effect on the value of pH and

NH3. Supplementation of waru leaves (

Hibiscus tiliaceus

L.) can increase the

proportion of propionate which is the main energy source for beef cattle.

Keywords:

Hibiscus tiliaceus

L., saponin, protozoa population, in vitro gas test


(6)

commit to user

vii 

 

HALAMAN MOTTO

Wujudkan impianmu dengan ketekunan, kerja keras, dan kesabaran. Walaupun

itu terasa berat tetapi tetap kerjakanlah.“

“Pergunakan kesempatan yang ada sebaik-baiknya dan berdoalah Kepada Dzat

Yang Maha Kuasa

“Do a good something for a Brighter future”

                           


(7)

commit to user

viii 

 

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

™

Keluargaku, Almarhum Bapak Asmoro dan Ibu

Yuli Hastuti serta Kakak-kakakku tercinta atas

doa dan kasih sayang yang tak terhingga

™

Bapak Tjahjadi dan Bapak Hendra atas

semangat dan nasihat yang berharga bagi

penulis

™

Sahabat-sahabatku di Biologi dan UPT.BPPTK

LIPI Yogyakarta serta teman-teman kost yang

telah membantu dan semangatnya selama ini

™

Almamater tercinta

   


(8)

commit to user

ix 

 

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala

rahmat dan hidayah-Nya yang tidak terhingga sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : “PENGARUH

SUPLEMENTASI DAUN WARU (

Hibiscus tiliaceus

L.) TERHADAP

KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI PROTOZOA RUMEN

SECARA

IN VITRO

”. Penyusunan skripsi ini merupakan suatu syarat untuk

memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada Jurusan Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam melakukan penelitian maupun penyusunan skripsi ini penulis telah

mendapatkan banyak masukan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang

sangat berguna dan bermanfaat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh

karena itu pada kesempatan yang baik ini dengan kerendahan hati penulis ingin

menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., PhD., selaku dekan FMIPA Universitas Sebelas

Maret Surakarta atas ijin penelitian untuk keperluan skripsi.

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan saran dalam

penelitian sampai selesainya penyusunan skripsi.

Dr.Ir.Suharwaji, M.App.Sc, selaku Kepala Unit Pelayanan Teknis Balai

Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (UPT BPPTK LIPI) Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk

keperluan penelitian dan saran, sampai selesainya penyusunan skripsi.

Tjahjadi Purwoko,M.Si, sebagai dosen pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama penelitian sampai

selesainya penyusunan skripsi.


(9)

commit to user

 

Hendra Herdian,S.Pt.MSc, selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian sampai selesainya

penyusunan skripsi.

Dr.Artini Pangastuti,M.Si, selaku dosen penelaah I yang telah memberikan

banyak saran dan ide pemikiran baru selama penelitian sampai selesainya

penyusunan skripsi.

Dr.Agung Budiharjo,SSi,M.Si selaku dosen penelaah II yang telah

memberikan banyak saran dan ide pemikiran baru selama penelitian sampai

selesainya penyusunan skripsi.

Estu Retnaningtyas N., M. Si, selaku dosen pembimbing akademik dan

seluruh dosen di jurusan Biologi yang telah memberikan bimbingan, dukungan,

dan petunjuk selama masa perkuliahan.

Sahabatku di Biologi, Sutikno, Rosid, Ari, Budi, Andri, Risna, Vector,

Sari, Ana, Santi, Dian, Septi, Sasti, Ria, Kiki, Fina. Segenap teman penelitian di

LIPI Sigit, Devi, Anton, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama

penelitian. Teman-teman di almamater Biologi FMIPA UNS dan Kos terimakasih

atas semangat dan dukungannya. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita

semua dan pihak-pihak yang terkait.

Surakarta, Januari 2011

Penyusun


(10)

commit to user

xi   

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………...

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………

HALAMAN PENGESAHAN……….

HALAMAN PERNYATAAN………

ABSTRAK………

ABSTRACT………

HALAMAN MOTTO……….

HALAMAN PERSEMBAHAN……….

KATA PENGANTAR………

DAFTAR ISI………...

DAFTAR TABEL……….………..…

DAFTAR GAMBAR………..………

DAFTAR LAMPIRAN………..……….

DAFTAR SINGKATAN………

BAB I. PENDAHULUAN ...

A.

Latar Belakang...

B.

Rumusan Masalah...

C.

Tujuan Penelitian ...

D.

Manfaat Penelitian ...

BAB II. LANDASAN TEORI ...

A.

Tinjauan Pustaka...

i

ii

iii

iv

v

vi

vii

viii

ix

xi

xiv

xv

xvi

xvii

1

1

4

4

5

6

6


(11)

commit to user

xii 

 

1.

Sistem Pencernakan Ruminansia ...

2.

Gas Metana Dalam Peternakan ...

3.

Gas Metana ...

a.

Deskripsi Gas Metana ...

b.

Sumber Gas Metana ...

c.

Akibat Gas Metana ...

1)

Pemanasan Global...

2)

Kepunahan Spesies ...

3)

Penurunan Kualitas Kesehatan Lingkungan ...

4.

Reduksi Metana Melalui Penurunan Protozoa...

5.

Penurunan Protozoa dengan Saponin...

6.

Tumbuhan Waru (

Hibiscus tiliaceus

L.) sebagai Agen Penurunan

Protozoa ...

B.

Kerangka Pemikiran ...

C.

Hipotesis ...

BAB III. METODE PENELITIAN ...

A.

Waktu dan Tempat...

B.

Alat dan Bahan ...

C.

Cara Kerja / Prosedur Penelitian ...

1.

Preparasi Sampel

Pennisetum purpureum

dan

Hibiscus tiliaceus

L. ...

2.

Analisis Proksimat Bahan ...

3.

Analisis Kandungan Saponin pada Daun

Hibiscus tiliaceus

L. ....

6

10

12

12

12

13

13

15

15

15

19

20

24

25

26

26

26

27

27

27

27


(12)

commit to user

xiii 

 

a.

Tahap Ekstraksi Daun ...

b.

Tahap pembuatan Kurva Standar ...

c.

Tahap Penghitungan Kadar Saponin...

4.

Preparasi Cairan Rumen dari Ternak Donor ...

5.

Desain Perlakuan ...

6.

Fermentasi secara In Vitro ...

7.

Pengukuran Produksi Gas, VFA, Konsentrasi N-NH3,

dan pH serta Penghitungan Jumlah Protozoa ...

D.

Analisis Data...

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…...………

A.

Komposisi Kimia Bahan Penelitian………

 

B.

Pebahasan Umum ………..

BAB V. PENUTUP……….

A.

Kesimpulan……….

B.

Saran………

DAFTAR PUSTAKA……….

RIWAYAT HIDUP PENULIS………...………

27

28

28

28

29

29

31

32

33

33

34

50

50

50

51

71


(13)

commit to user

xiv 

 

DAFTAR TABEL

Tabel

1.

Komposisi Kimia Daun Waru (

Hibiscus tiliaceus

L.) dan

Rumput Kolonjono (

Pennisetum purpureum

)………

33

Tabel 2.

Jumlah Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Cairan Rumen

dengan Suplementasi Daun Waru (

Hibiscus tiliaceus

L.),

Monensin serta Kontrol. ………

34

Tabel 3.

Konsentrasi Asam Asetat, Propionat, dan Butirat cairan rumen

yang mendapat perlakuan suplementasi daun waru pada taraf

yang berbeda, dan kontrol serta monensin.…………..…………..

43

Tabel 4.

Nisbah Perbandingan Asetat dan Propionat serta Nilai NGR

Cairan Rumen yang Mendapat Perlakuan Suplementasi Daun

Waru pada Taraf yang Berbeda, dan Kontrol serta

Monensin………...………

45


(14)

commit to user

xv 

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Simbiosis Protozoa dengan Metanogen ………

17

Gambar 2.

Hibiscus tiliaceus

L.………...………

21

Gambar 3.

Bagan/skema Kerangka Pemikiran...

25

Gambar 4.

Diagram Jumlah Protozoa, pH, Konsentrasi NH3, VFA Total,

dan Produksi Gas Cairan Rumen dengan Suplementasi Daun

Waru (

Hibiscus tiliaceus

L.), Monensin serta Kontrol…...………

50

Gambar 5.

Hibiscus tiliaceus

L. dan

Pennisetum purpureum

yang digunakan

dalam penelitian ………...………..

58

Gambar 6.

Pengambilan Cairan Rumen dari Sapi yang Telah

Difistula ....………...

58

Gambar 7.

Percobaan

in vitro

gas test ……….

58

Gambar 8.

Pengamatan Protozoa ………...……..

59


(15)

commit to user

xvi 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Komposisi Kimia Daun

Hibiscus tiliaceus

L. dari

Lab. Chem-mix Pratama, Yogyakarta.……… ………

60

Lampiran 2. 

Hasil Analisis VFA dari PAU UGM……...……...………

61

Lampiran 3. 

Data Hasil Penelitian...

63

Lampiran 4. 

Penentuan Kadar Amonia

……… ………..

64

Lampiran 5. 

Hasil analisis Anova dan Duncan ……...………...

66

Halaman


(16)

commit to user

xvii   

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Kepanjangan

Anova

ATP

BK

CH4

CO2

FAO

g

GRK

µl

ml

mg

pH

PK

VFA

mM

NH

3

NaCl

NGR

Analysis of Varians

Adenosine Triphosphate

Bahan kering

Metana

Karbondioksida

Food Agricultural Organitations

gram

Gas Rumah Kaca

mikroliter

mililiter

miligram

puissance Hidrogen

Protein Kasar

Volatile Fatty Acids

mili Mol

Amonia

Natrium klorida

Non Glucogenic Ratio


(17)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan bahan pangan hewani semakin hari semakin meningkat. Hal ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, kesadaran gizi dan kualitas hidup masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 220 juta jiwa, dan ini merupakan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan pangsa pasar yang luar biasa besar untuk produk ternak, karena kebutuhan bahan pangan asal hewan (daging, susu dan telur) merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi (Rusfidra, 2005).

Protein hewani asal ternak sangat diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan dan kesehatan tubuh manusia. Sampai saat ini tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih sangat rendah, sekitar 6 gram/kapita/hari. Sementara rata-rata konsumsi penduduk dunia mencapai 26 gram/kapita/tahun (Han, 1999). Jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi protein hewani penduduk Malaysia, Thailand dan Fhilipina, konsumsi protein hewani penduduk Indonesia tergolong rendah. Apalagi konsumsi protein hewani negara-negara industri maju, seperti Inggris, AS, Jepang dan Prancis berkisar 50-80 gram/kapita/hari (Rusfidra, 2005).

Ternak sapi merupakan hewan ternak terpenting dari jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu, dan tenaga kerja pengolah


(18)

commit to user

2

lahan. Selain itu, sapi juga berperan sebagai sumber pendapatan, tabungan hidup (bioinvestasi), aset kultural dan religius, sumber gas bio dan pupuk kandang (Rusfidra, 2005).

Di sisi lain peternakan telah dihadapkan pada permasalahan yang cukup serius yakni berbagai dampak yang diakibatkan dari industri peternakan itu sendiri. Selain limbah feses dan urine, gas metana (CH4) yang cukup tinggi juga dihasilkan dari industri peternakan ini (Suryahadi et al., 2002).

Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, sektor peternakan adalah salah satu penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari lokal hingga global. Memelihara ternak untuk konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbondioksida (CO2) terbesar serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas metana (CH4) dan nitrooksida (NO) terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9% karbondioksida, 65% nitrooksida, dan 37% gas metana. Gas metana menghasilkan gas rumah kaca 23 kali lebih besar dan nitrooksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbondioksida (Badunglahne, 2010).

Di samping berdampak buruk bagi atmosfer, pembentukan metana juga berpengaruh negatif terhadap hewan ruminansia itu sendiri, yaitu dapat menyebabkan kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna. Fermentasi dari pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metana yang dihasilkan peternakan. Pembentukan gas metana di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Pada prinsipnya,


(19)

commit to user

3

pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba metanogenik (Thalib, 2008). Perlu dilakukan langkah pengurangan produksi metana dari ternak ruminansia.

Populasi protozoa di dalam rumen diketahui berbanding lurus dengan produksi gas metana, artinya produksi gas metana berkurang bila populasi protozoa rumen menurun (Thalib, 2008). Populasi protozoa di dalam rumen dapat dikurangi dengan memberikan agen defaunasi protozoa seperti saponin. Hal lain yang mempengaruhi produksi gas metana adalah karakteristik fermentasi rumen. Karakteristik fermentasi (pola fermentasi) pada rumen yang mengarah kepada sintesis asam propionat lebih menguntungkan. Asam propionat tersebut cenderung menurunkan produksi energi yang terbuang dalam bentuk metana (CH4).

Umumnya yang sering digunakan sebagai pakan sapi adalah rumput kolonjono (Pennisetum purpureum) karena mudah didapatkan. Sayangnya, kadar serat kasar rumput kolonjono cukup tinggi sehingga memicu produksi metana yang lebih besar. Dalam penelitian ini digunakan daun waru sebagai suplementasi. Daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) diketahui mengandung senyawa saponin. Kandungan saponin dalam daun waru diharapkan dapat digunakan sebagai agen defaunasi protozoa dan dapat mempengaruhi karakteristik fermentasi rumen, yang pada akhirnya diharapkan dapat mereduksi gas metana dari proses peternakan, sehingga peternakan dapat lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan .


(20)

commit to user

4

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap karakteristik fermentasi yang meliputi produksi gas, VFA, konsentrasi NH3, dan pH serta populasi protozoa rumen secara in vitro? 2. Pada level berapa pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) paling

optimum dapat memperbaiki karakteristik fermentasi dan menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro di penelitian ini?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap karakteristik fermentasi (produksi gas, VFA, konsentrasi NH3, pH) dan populasi protozoa rumen secara in vitro.

2. Mengetahui level pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) yang optimum dapat memperbaiki karakteristik fermentasi (produksi gas, VFA, konsentrasi NH3, pH) dan menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro.


(21)

commit to user

5

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang penggunaan daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) untuk memperbaiki karakteristik fermentasi rumen yang meliputi produksi gas, VFA, konsentrasi NH3, dan pH serta mengetahui pengaruh pemberian daun waru dalam menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro.

2. Memberikan gambaran pada level berapakah daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) optimum dapat memperbaiki karakteristik fermentasi dan menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro.


(22)

commit to user

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Sistem Pencernakan Ruminansia

Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan selama berada di dalam alat pencernaan. Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih komplek dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya (Ecoshopy, 2006).

Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku), dan abomasum (perut sejati) Dalam studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagai perut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Pada organ ini dilaporkan juga menghasilkan amonia dan mungkin asam lemak terbang (Frances dan Siddon, 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang lambung adalah sekum, kolon, dan rektum. Pada pencernaan bagian belakang tersebut juga terjadi aktivitas fermentasi. Namun, belum banyak informasi yang terungkap tentang peranan fermentasi pada organ tersebut. Proses pencernaan pada ternak ruminansia dapat terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba rumen dan secara hidrolis oleh enzim-enzim pencernaan (Ecoshopy, 2006).


(23)

commit to user

7

Pada sistem pencernaan ruminasia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya, pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice ( Tilman et al., 1986).

Lambung rumen sapi sangat besar, diperkirakan sekitar 3/4 dari isi rongga perut. Lambung rumen mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara yang akan dimamah kembali (kedua kali). Selain itu, pada rumen juga terjadi proses pembusukan dan peragian (Sulistyowati, 2009). Isi seluruh perut pada sapi dewasa sekitar 90 – 208 liter. Rumen merupakan bagian perut terbesar yang berukuran sekitar 80 % dari seluruh perut, omasum 8%, abomasum 7%, dan retikulum 5% (Akoso, 1996).

Proses pencernaan ruminansia dimulai di ruang mulut. Di dalam ruang mulut, ransum yang masih berbentuk kasar dipecah menjadi partikel-partikel kecil dengan cara pengunyahan dan pembasahan dengan saliva. Dari mulut ransum masuk kedalam rumen melalui esofagus. Di dalam rumen, proses penghancuran partikel-partikel ransum berlanjut terus. Komponen atau bagian ransum yang belum dapat dihaluskan di dalam rumen akan dikembalikan ke dalam ruang mulut


(24)

commit to user

8

dalam bentuk bolus-bolus. Oleh karena itu, setelah merumput, ternak ruminansia biasanya berbaring dan mengunyah-ngunyah rumput ataupun hijauan lain yang dikeluarkan kembali dalam bentuk bolus-bolus dari rumen ke mulut (Siregar, 1994).

Ransum yang sudah terproses halus di dalam rumen akan segera mengalami proses fermentasi. Dalam proses ini berjuta-juta bakteri dan mikroorganisme lainnya bekerja mengolah protein dan juga non-protein nitrogen yang terdapat di dalam ransum menjadi asam-asam amino esensial (Siregar, 1994).

Adanya rumen dan kegiatan-kegiatan mikroorganisme didalamnya menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna sejumlah besar hijauan maupun pakan kasar lainnya. Bahkan, hijauan merupakan ransum pokok ternak ruminansia. Di dalam rumen, senyawa-senyawa non-protein nitrogen dapat diubah menjadi protein mikrobial. Oleh karena itu, kandungan protein ransum ternak ruminansia tidak perlu setinggi dan selengkap kandungan protein ternak non-ruminansia seperti unggas dan babi (Siregar, 1994).

Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak volatil (Volatile Fatty Acids / VFA) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. VFA diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak. Produk metabolisme yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry, et al. 1977). Namun, yang lebih penting ialah mikroba


(25)

commit to user

9

rumen itu sendiri, karena biomasa mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant, et al. (1995) menyebutkan bahwa 2/3 – 3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba.

VFA terdiri atas asam-asam organik yang mudah menguap/atsiri, mulai dari rantai karbon satu sampai dengan rantai karbon lima, yaitu asam asetat, propionat, butirat, dan valerat. VFA dihasilkan oleh bakteri tertentu dan jumlahnya tergantung pada jumlah bakteri dalam rumen. Asam asetat adalah yang paling banyak diproduksi oleh hampir semua jenis bakteri, diikuti asam propionat, butirat, dan valerat. Komponen utama VFA adalah asam asetat, propionat, dan butirat (Jouany, 1991; Hungate, 1966). Asam asetat yang terbentuk dalam rumen sekitar 63% molar, asam propionat 22% molar, dan asam lainnya 15% molar (Hungate, 1988).

Ternak ruminansia memperoleh protein untuk pertumbuhan dari pakan yang dikonsumsi dan mikroba dalam rumen. Salah satu cara untuk mengefisienkan protein adalah dengan meningkatkan protein mikroba melalui peningkatan pertumbuhan mikroba rumen (Hungate, 1966). Meningkatnya jumlah mikroba rumen mengakibatkan sintesis protein yang semakin tinggi yang diikuti dengan pembentukan senyawa asam lemak volatil (volatile fatty acid, VFA) yang merupakan hasil fermentasi mikroba rumen (Askar dan Abdurachman, 2002).

Degradasi dan fermentasi komponen serat pakan oleh mikroba rumen, selain menghasilkan asam lemak mudah terbang, juga membentuk gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas metana yang terbentuk berkisar 8-15% dari


(26)

commit to user

10

energi yang dikonsumsi ternak dan merupakan komponen energi yang tidak dapat dimanfaatkan ternak (Haryanto, 2009).

Fermentasi dari pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metana yang dihasilkan peternakan. Pembentukan gas metana di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Pada prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikrobia metanogenik. Pembentukan gas metana di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan produk akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP, yang akhirnya mempengaruhi efisiensi produksi mikrobial rumen (Badunglahne, 2010).

2. Gas Metana Dalam Peternakan

Menurut Johnson dan Johnson (1995), Pelchen dan Peters (1998), gas CH4 yang dikeluarkan dari rumen mengindikasikan energi yang hilang dari tubuh ternak ruminansia dengan variasi 7% – 12% dari energi yang terkonsumsi. Moss (2000) menyatakan bahwa populasi ruminansia mempunyai kontribusi sebesar 12% – 15% dari pencemaran CH4 di atmosfer.

Seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006, dari industri peternakan tercatat emisi gas penyebab efek rumah kaca paling dominan adalah metana (37%), sedangkan karbondioksida (CO2) hanya 9%. Masih menurut FAO, dalam lingkup global pun industri peternakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi, yaitu 18%, bahkan melebihi emisi gas yang berasal dari sektor transportasi, yang hanya 13% (Ikawati, 2010).


(27)

commit to user

11

Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, sektor peternakan adalah satu dari dua atau tiga penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari lokal hingga global. Memelihara ternak untuk konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbondioksida terbesar serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas metana dan nitrooksida terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9% racun karbondioksida, 65% nitrooksida, dan 37% gas metana (Badunglahne, 2010).

Di Indonesia, emisi metana (CH4) per unit pakan atau laju konversi metana lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metana (Suryahadiet al., 2002). Susetyo ( 1969 ) menyatakan, rendahnya kualitas hijauan di Indonesia disebabkan antara lain oleh sifat pertumbuhan yang cepat sehingga cepat berbunga dan berbiji yang mengakibatkan kandungan serat kasar tinggi.

Menurut Haryanto (2009) degradasi dan fermentasi komponen serat pakan oleh mikroba rumen, selain menghasilkan asam lemak volatil, juga membentuk gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas metana yang terbentuk berkisar 8-15% dari energi yang dikonsumsi ternak dan merupakan komponen energi yang tidak dapat dimanfaatkan ternak. Gas ini mempunyai efek rumah kaca, yang oleh pengamat lingkungan dinilai ikut berkontribusi terhadap berkurangnya lapisan ozon di atmosfer bumi, sehingga meningkatkan intensitas masuknya sinar ultraviolet dari matahari dan suhu global. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi pembentukan gas metana dari proses pencernaan pakan ruminansia perlu dilakukan


(28)

commit to user

12

3. Gas Metana

a. Deskripsi Gas Metana

Metana adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH4. Ini adalah alkana sederhana, dan komponen utama gas alam (David dan Kenneth, 2003). Metana adalah gas dengan emisi rumah kaca 23 kali lebih ganas dari karbondioksida (CO2), yang berarti gas ini merupakan kontributor yang sangat buruk bagi pemanasan global yang sedang berlangsung (Nicky, 2010).

Gas metana (CH4) merupakan hasil fermentasi anaerob karbohidrat struktural maupun non struktural oleh metanogen (mikrobia penghasil metana) di dalam rumen ternak ruminansia, dan selanjutnya dikeluarkan ke atmosfer melalui proses eruktasi (Santoso dan Hariadi, 2007).

b. Sumber Gas Metana

Menurut Ensiklopedia Britanica, gas metana dapat terkumpul pada cekungan batubara. Gas metana juga dapat terbentuk akibat dekomposisi dari tanaman yang dimakan oleh mikroba metanogen. Selain itu gas metana ada di dalam rumen, atau hancuran tumbuhan yang sedang dicerna dalam perut sapi (Witarto, 2008).

Sumber gas metana atau CH4 ada di mana-mana, bukan hanya dari rawa atau lahan basah. Gas metana juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, mulai dari toilet di rumah tangga, lahan pertanian, dan peternakan, hingga tempat pembuangan sampah. Namun, penghasil metana paling menonjol adalah sektor pertanian dan peternakan (Ikawati, 2010).


(29)

commit to user

13

c. Akibat Gas Metana 1. Pemanasan Global

Gas metana menghasilkan gas rumah kaca 23 kali lebih besar dan nitrooksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbondioksida. Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), karbonmonoksida (CO), gas metana (CH4), dinitrooksida (N2O), chloroflourocarbon (CFC), yang terdiri dari haloflouricarbon (HFC) dan perflourocarbon (PFC) serta sulfur hexaflouride (SF6) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Panas matahari masuk ke bumi, sebagian akan diserap bumi dan sisanya akan dipantulkan kembali ke angkasa sebagai gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa, terperangkap di dalam bumi akibat meningkatnya konsentrasi gas tersebut menyelimuti atmosfer bumi. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula yang berakibat bumi jadi semakin panas (Badunglahne, 2010).

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan biogeofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit). Dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti


(30)

commit to user

14

jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit). Pemanasan global juga membawa satu potensi bencana besar, yaitu mencairnya metana hydrates yakni metana beku yang tersimpan dalam bentuk es. Jumlahnya sebanyak 3.000 kali dari metana yang ada di atmosfer. Planet bumi menyimpan metana beku dalam jumlah yang sangat besar yang disebut dengan metana hydrates atau metana clathrates. Metana hydrates banyak ditemukan di kutub utara dan kutub selatan, dimana suhu permukaan air kurang dari 00C, atau dasar laut pada kedalaman lebih dari 300 meter, dimana temperatur air ada di kisaran -200C (Badunglahne, 2010).

Pemanasan global akan membuat suhu es di kutub utara dan kutub selatan menjadi semakin panas, sehingga metana beku yang tersimpan dalam lapisan es di kedua kutub tersebut juga ikut terlepas ke atmosfer. Para ilmuwan memperkirakan bahwa Antartika menyimpan kurang lebih 400 miliar ton metana beku, dan gas ini dilepaskan sedikit demi sedikit ke atmosfer seiring dengan semakin banyaknya bagian-bagian es di antartika yang runtuh (Badunglahne, 2010).

Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan bumi yang memburuk. Selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk menekan gas karbon. Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu ini (Ikawati, 2010).


(31)

commit to user

15

b. Kepunahan Spesies

Penghitungan jumlah rata-rata metana dalam 20 tahun terakhir meningkat 72 kali lebih besar dibandingkan dengan CO2. Bila itu terjadi, ancaman kepunahan spesies di muka bumi akan membayang, seperti yang pernah terjadi pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) 55 juta tahun lalu dan pada akhir periode Permian sekitar 251 juta tahun lalu. Lepasnya gas metana dalam jumlah besar mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di muka bumi ini hingga mengakibatkan punahnya lebih dari 94 persen spesies di muka bumi (Ikawati, 2010).

c. Penurunan Kualitas Kesehatan Lingkungan

Saat ini dunia memfokuskan strategi pada pengurangan emisi CO tetapi sedikit yang berkonsentrasi pada pengurangan emisi metana. Padahal, metana tergolong gas berbahaya, bukan hanya menimbulkan efek GRK yang nyata, melainkan juga membantu terbentuknya lapisan ozon di permukaan tanah yang membahayakan bagi kesehatan manusia (Ikawati, 2010).

Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5 persen, akan mengakibatkan aspiksi atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara. Reaksi metana dan oksigen akan menimbulkan CO2 dan air (Ikawati, 2010).

4. Reduksi Metana Melalui Penurunan Protozoa

Berbagai teknik telah dilakukan untuk menekan produksi gas metana yang dihasilkan ternak ruminansia, antara lain melalui penggunaan bahan kimia


(32)

commit to user

16

monensin (Van Nevel dan Demeyer, 1977); a-asam bromoethanesulfonat (Balch dan Wolfe, 1979); nitrat/nitrit (Takahashi dan Young, 1991). Namun demikian, penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan residu dalam produk ternak serta efek toksik terhadap ternak, sehingga penggunaan bahan aditif tersebut tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam mengontrol produksi gas metana (McAllisteret al., 1996).

Gas metana dalam tubuh ternak dihasilkan oleh mikroba metanogen. Mikroorganisme penghasil gas metana ini hanya bekerja dalam kondisi anaerob dan dikenal dengan nama metanogen. Salah satu mikroorganisme penting dalam kelompok metanogen ini adalah mikroorganisme yang mampu memanfaatkan hidrogen dan asam asetat. Rumen sapi merupakan tempat yang cocok bagi perkembangan metanogen. Gas metana dalam konsentrasi tertentu dihasilkan di dalam rumen sapi tersebut (Shiddieqy, 2009). Mikroba metanogen dapat berperan merubah asam asetat dan etanol menjadi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Mikroba metanogen pembentuk metana antara lain : Metanococcus, Metanobacterium, dan Metanosarcina(Rahayu, 2010).

Dewasa ini penggunaan bahan pakan aditif yang bersifat alami sebagai pengganti bahan pakan aditif yang bersifat kimiawi termasuk antibiotik dan ionofor sebagai manipulator fermentasi dalam rumen semakin populer. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa saponin yang terdapat dalam Yucca schidigera efektif dalam menurunkan produksi CH4 secara in vivo (Santoso et al., 2004) dan in vitro (Wang et al., 1998; Takahashi et al., 2000). Saponin


(33)

commit to user

17

bersifat toksik terhadap protozoa dan bakteri dalam rumen, sementara sekitar 9% – 25% dari metanogen bersimbiosis dengan cara menempel pada permukaan protozoa (Stumm et al., 1982).

Hampir semua protozoa rumen adalah ciliata yang bersifat predator terhadap bakteri pencerna serat, dan mikroba ini juga berperan sebagai habitat mikrobia metanogen penghasil gas metana (Thalib, 2008). Lebih lanjut dinyatakan bahwa populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas metana, artinya produksi gas metana dapat berkurang bila populasi protozoa rumen menurun. Dengan demikian, emisi gas metana dapat dikurangi dengan memberikan zat defaunator protozoa seperti saponin (Thalib, 2008). Hubungan simbiosis antara prptozoa dengan metanogen dapat dilihat pada Gambar 1.

Scaning mikroskop elektron metanogen yang menempel pada permukaan protozoa ciliata rumen. Eremoplastron bovis (kiri), Diplodinium dentatum (kanan).

Gambar 1. Simbiosis Protozoa dengan Metanogen (Vogels et al.,1980) Eliminasi protozoa rumen meningkatkan jumlah bakteri selulolitik, karena protozoa berukuran besar merupakan predator bakteri selulolitik. Dengan


(34)

commit to user

18

berkurangnya populasi protozoa maka aktivitas bakteri selulolitik di dalam rumen meningkat, sehingga menghasilkan lebih banyak asam propionat dan lebih sedikit gas metana. Pola fermentasi pada rumen yang mengarah kepada sintesis asam propionat akan menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi pakan. Secara alami dengan peningkatan produksi asam propionat tersebut cenderung menurunkan produksi energi yang terbuang dalam bentuk CH4 (Orskov dan Ryle, 1990 ; Tilman et al., 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan semakin tingginya asam propionat, maka prekusor pembentuk glikogen semakin banyak, sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan ternak. Pada reaksi stoikiometri sintesis asam propionat banyak menggunakan gas H2 sedangkan sebaliknya pada sintesis asam asetat banyak dihasilkan gas H2. Gas hidrogen (H2) bersama-sama dengan gas CO2 merupakan prekursuor untuk sintesis CH4.

Newbold et al. (1995) melaporkan bahwa metanogen berasosiasi dengan protozoa ciliata dan bertanggung-jawab atas 9–25% dari metanogenesis pada cairan rumen. Pada satu observasi, defaunasi dari rumen mengakibatkan penyusutan penghasilan metana (Ushida et al., 1997). Pada satu studi perbandingan dari jenis individu protozoa terhadap pemancaran/emisi metana, disimpulkan bahwa penyingkiran/elimninasi dari Entodinium caudatum dapat mengurangi pemancaran metana dari rumen tanpa berpengaruh kurang baik terhadap degradasi pakan (Ranilla et al., 2007). Guo et al. (2008) meyakinkan bahwa suplementasi dari saponin secara tidak langsung menghalangi produksi metana dengan tidak berpengaruh negatif terhadap fungsi rumen.


(35)

commit to user

19

5. Penurunan Protozoa dengan Saponin

Saponin adalah glikosida terpen atau steroid yang terdistribusi luas dalam tumbuhan, dan telah dilaporkan lebih dari 500 jenis tumbuhan mengandung saponin (Fitroh,1997). Saponin dapat diekstraksi dengan pelarut metanol menggunakan cara maserasi, kemudian dilanjutan pemisahan dan pemurnian dengan kromatografi kolom vakum dan kromatografi kolom (Fitroh,1997).

Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ruminansia dibandingkan pada non ruminansia. Saponin dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan menurunkan degradabilitas protein dalam rumen. Sumber utama protein bagi ternak ruminansia adalah protein pakan yang lolos dari degradasi di dalam rumen (UDP) dan protein mikroba rumen. Peningkatan sintesis protein mikroba rumen dan protein by-pass berarti meningkatkan pasokan nutrien ke dalam intestin. Penurunan degradasi protein dalam rumen dapat terjadi karena terbentuknya kompleks protein-saponin yang sedikit tercerna dan terkait dengan kemampuan saponin sebagai agen defaunasi yang menyebabkan penurunan total populasi protozoa rumen. Penurunan populasi protozoa dapat meningkatkan aliran N bakteri rumen ke duodenum, karena pemangsaan protozoa terhadap bakteri menurun tajam ( Suparjo, 2009).

Saponin adalah glikosida yang berinteraksi dengan kolesterol yang ada di membran dari sel protozoa dan menyebabkan lysis sel (Hess et al. 2003). Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa), tetapi tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap


(36)

commit to user

20

kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin, bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut dengan menghilangkan rantai karbohidrat ( Suparjo, 2009).

6. Tumbuhan Waru (Hibiscus tiliaceus L.) sebagai Agen Penurun Protozoa

Waru termasuk suku malvaceae. Banyak terdapat di Indonesia, di pantai yang tidak berawa, di tanah datar, dan di pegunungan hingga ketinggian 1700 meter diatas permukaan laut. Banyak ditanam di pinggir jalan dan di sudut pekarangan sebagai tanda batas pagar. Pada tanah yang baik, tumbuhan itu batangnya lurus dan daunnya kecil. Pada tanah yang kurang subur, batangnya bengkok dan daunnya lebih lebar (Syamsuhidayat et.al, 1991).

Tumbuhan waru asli dari daerah tropika di Pasifik barat namun sekarang tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik dan dikenal dengan berbagai nama: hau (bahasa Hawaii), purau (bahasa Tahiti), beach Hibiscus, Tewalpin, Sea Hibiscus, atau Coastal cottonwood dalam bahasa Inggris. Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering, juga terhadap kondisi tergenang. Tumbuhan ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2000mm (Wikipedia, 2010).

Pohon ini cepat tumbuh sampai tinggi 5-15 meter, garis tengah batang 40-50 cm; bercabang dan berwarna coklat. Daun merupakan daun tunggal, berangkai, berbentuk jantung, lingkaran lebar/bulat telur, tidak berlekuk dengan diameter kurang dari 19 cm. Daun menjari, sebagian dari tulang daun utama dengan kelenjar berbentuk celah pada sisi bawah dan sisi pangkal. Sisi bawah daun


(37)

commit to user

21

berambut abu-abu rapat. Daun penumpu bulat telur memanjang, panjang 2.5 cm, meninggalkan tanda bekas berbentuk cincin. Bunga waru merupakan bunga tunggal, bertaju 8-11. Panjang kelopak 2.5 cm beraturan bercangap 5. Daun mahkota berbentuk kipas, panjang 5-7 cm, berwarna kuning dengan noda ungu pada pangkal, bagian dalam oranye dan akhirnya berubah menjadi kemerah-merahan. Tabung benang sari keseluruhan ditempati oleh kepala sari kuning. Bakal buah beruang 5, tiap rumah dibagi dua oleh sekat semu, dengan banyak bakal biji. Buah berbentuk telur berparuh pendek, panjang 3 cm, beruang 5 tidak sempurna, membuka dengan 5 katup (Syamsuhidayat et.al, 1991).

Secara umum pengklasifikasian tanaman waru (Hibiscus tiliaceus L.) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dikotyledonae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Hibiscus

Jenis : Hibiscus tiliaceus L. (Syamsuhidayat et.al, 1991)


(38)

commit to user

22

Dalam pengobatan tradisional, akar waru digunakan sebagai pendingin bagi sakit demam, daun waru membantu pertumbuhan rambut, sebagai obat batuk, obat diare berdarah/berlendir, amandel. Bunga digunakan untuk obat trakhoma dan masuk angin (Martodisiswojo dan Kolonjonokwangun, 1995). Kandungan kimia daun dan akar waru adalah saponin dan flavonoid. Disamping itu, daun waru juga paling sedikit mengandung lima senyawa fenol, sedang akar waru mengandung tanin (Aishah, 1994; Syamsuhidayat et al, 1991). Chen et al telah mengisolasi beberapa senyawa dari kulit batang waru, yaitu : skopoletin, hibiscusin, hibiscusamide, vanilic acid, hydroxybenzoic acid, syringic acid, P-hidroxybenzaldehyde, scopoletin, N-TRANS- feruloytyramine, N-CIS- feruloytyramine, campuran beta-sitosterol dan stigmasterol, campuran sitostenone dan stigmasta-4,22-dien-3-one. Dari uji sitotoksik senyawa-senyawa tersebut, terdapat tiga senyawa yang mempunyai aktivitas antikanker sangat baik terhadap sel P-388 dan sel HT-29 secara invitro dengan nilai IC 50 < 4 mug/ml.

Daun dan akar Hibiscus tiliaceus mengandung saponin dan flavonoida, di samping itu daun juga mengandung polifenol dan akar mengandung tanin (anonim, 2006). Daun Hibiscus tiliaceus mengandung alkaloid, asam-asam amino, karbohidrat, asam organik, asam lemak, saponin, sesquiterpene dan sesquiterpenoid quinon, steroid, triterpene (Bandaranayake, 2002). Berdasarkan skrining fltokimia tangkai dan tulang daun waru mengandung senyawa fenol, flavonoid, dan saponin (Aishah, 1994).


(39)

commit to user

23

Satu pohon waru dapat menghasilkan kurang lebih 50 kg daun basah atau sekitar 8,5 kg DM pertahun. Dengan kandungan kimia protein 18,09%, serat 19,97 %, daya cerna 61 %, energi bruto 4,45 % dan bahan kering 28,24 %, daun waru sangat cocok digunakan sebagai pakan ternak. Sapi dan kambing sangat menyenangi daun atau cabang muda waru. Saponin yang terkandung dalam daun waru akan memperlancar kecernaan dan sekaligus membunuh protozoa pemakan bakteri rumen. (Rika, 2003)


(40)

commit to user

24

B. Kerangka Pemikiran

Ternak ruminansia menghasilkan gas metana (CH4) sebagai bentuk dari proses metabolisme dalam tubuhnya. Gas ini dianggap sebagai salah satu bentuk hilangnya energi dari ternak.

Gas metana merupakan salah satu penyebab efek rumah kaca dan pemanasan global yang sangat tinggi. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian lingkungan, karena memiliki dampak yang sangat buruk dalam berbagai segi kehidupan

Eliminasi gas metana di ternak dapat melalui proses defaunasi protozoa dengan saponin, hal ini dilakukan karena sebagian mikrobia metanogen di dalam rumen hidup bersimbiosis dengan protozoa.

Dalam daun tanaman waru (Hibiscus tiliaceus L.) diketahui mengandung senyawa saponin yang cukup, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai agen defaunasi protozoa rumen. Untuk mengetahui potensi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) sebagai agen defaunasi protozoa rumen serta untuk mengetahui pengaruhnya pada karakteristik fermentasi rumen maka dilakukan penelitian ini.


(41)

commit to user

25

Secara bagan/skematis dapat digambarkan dengan bagan di bawah ini :

Gambar 3. Bagan/skema Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Daun Hibiscus tiliaceus L. dapat mempengaruhi karakteristik fermentasi rumen dan menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro

Peternakan sapi penting

tetapi

Peternakan sapi hasilkan gas Metana (CH4)

Metanogen bersimbiosis dengan

Protozoa Rumen

Gas Metana (CH4) di sapi dihasilkan oleh metanogen

Hibiscus tiliaceus L.

Saponin Gas Metana

(CH4)

Pemanasan Global

Efek rumah kaca Bahan Kering

Defaunasi Protozoa

Reduksi Gas Metana Lost Energi


(42)

commit to user

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2010. Tempat penelitian adalah di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Kimia Analisis, dan Laboratorium Pakan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Yogyakarta (UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta), Desa Gading, Kec. Playen, Kab. Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Analisa VFA dilakukan di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Analisa proksimat komponen bahan dilakukan di Lab. Chem-mix Pratama, Yogyakarta.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : hemositometer, mikroskop, mikropipet, pipet tetes, alat tulis, spatula, gelas arloji, tabung reaksi, gelas ukur, corong, hitter, blender, timbangan analitik, syiringe 100 ml, klem, spektrofotometer, saringan, kain, termos, dispenser, sarung tangan, kalkulator, thermometer, pH meter, jam arloji, oven, water bath, sentrifus,dan freezer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: cairan rumen sapi, larutan buffer, aquades, saponin, etanol 70 %, konsentrat, rumput kolonjono (Pennisetum purpureum) dan daun waru (Hibiscus tiliaceus L.), kertas Whatman no.42, gas CO2 , larutan asam metafosforat 25%, formalin, NaCl, monensin (G.200C Monensin Sodium Elanco Animal Health Division), dan metylen green.


(43)

commit to user

27

C. Cara Kerja / Prosedur Penelitian

1. Preparasi Sampel Pennisetum purpureum dan Hibiscus tiliaceus L.

Sampel rumput kolonjono (Pennisetum purpureum) dipotong dari Kebun Koleksi Hijauan, BPPTK LIPI Yogyakarta pada umur + 60 hari setelah penanaman, kemudian dicacah dengan ukuran 3–5 cm. Sampel daun Hibiscus tiliaceus L. dikoleksi dari beberapa pohon Hibiscus tiliaceus L. yang tumbuh di Kec. Playen, Kab. Gunungkidul, D.I. Yogyakarta yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai Hibiscus tiliaceus L. Sampel daun Hibiscus tiliaceus L. dipisahkan dari batangnya, kemudian dicacah dengan ukuran 3–5 cm juga, kemudian bersama-sama dengan sampel rumput kolonjono dikeringkan dalam oven 55 – 60º C selama 72 jam. Setelah sampel kering dan beratnya konstan, selanjutnya digiling menggunakan blender kemudian disaring dengan saringan 1 mm. Kemudian, dilakukan analisa proksimat komponen bahan dan kadar saponin. Sampel selanjutnya dipergunakan untuk percobaan in vitro.

2. Analisis Proksimat Bahan

Analisa proksimat komposisi kimia bahan mencakup kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat dianalisakan di Lab. Chem-mix Pratama, Yogyakarta.

3. Analisis Kandungan Saponin pada Daun Hibiscus tiliaceus L.

a. Tahap Ekstraksi Daun

Simplisia daun waru digerus dengan mortar hingga menjadi serbuk, kemudian 0,1 gram serbuk yang telah halus diekstraksi dengan 10 mL etanol 70% diatas penangas air suhu 800 C selama 15 menit, setelah itu disaring dengan kertas


(44)

commit to user

28

saring , filtrat didinginkan selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 425 nm dengan larutan pembanding saponin (Sigma) (Stahl, 1985)

b.Tahap pembuatan Kurva Standar

Dibuat larutan standar saponin (Sigma) dengan 4 variasi konsentrasi yaitu 20 mg, 40 mg, 80 mg, 100 mg saponin yang masing –masing dilarutkan dalam 10 mL etanol 70%. Kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-vis uv fis Dynamica RB-10 pada panjang gelombang 425 nm (Stahl, 1985), sehingga diperoleh kurva larutan standar saponin.

c. Tahap Penghitungan kadar Saponin

Hasil ekstraksi daun dihitung kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-vis berdasarkan kurva larutan standar (Sigma). Kemudian kadar yang diperoleh dikonversi ke dalam bentuk mg/gr berat kering daun dengan rumus :

S = kadar saponin sampel x volume pengenceran

Berat sampel daun (Hary, 1998)

4. Preparasi Cairan Rumen dari Ternak Donor

Cairan rumen diproses dari donor 2 ekor sapi betina Peranakan Ongole milik UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta yang difistula bagian rumennya dengan rata-rata bobot badan 337 ± 52 kg. Ternak diberi pakan pada jam 08.00 dan 15.00 WIB setiap hari dengan pakan basal yang terdiri atas rumput kolonjono (P. purpureum) dan konsentrat (70 : 30) sesuai dengan kebutuhan hidup pokok. Cairan rumennya diambil menggunakan aspirator dan dimasukkan dalam termos agar suhunya konstan. Cairan rumen disaring dengan kain blacu 2 lapis untuk menghilangkan partikel pengotor, kemudian digunakan sebagai donor cairan rumen.


(45)

commit to user

29

5. Desain Perlakuan

Percobaan ini disusun dengan desain eksperimen model rancangan acak lengkap yang terdiri atas 1 kontrol, 5 perlakuan dan tiap perlakuan dilakukan perulangan 3 kali, sebagai berikut :

Kontrol :P.purpureum(200 mg)

Perlakuan I :P.purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (5% BK) Perlakuan II :P. purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (10% BK) Perlakuan III :P.purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (15% BK) Perlakuan IV :P.purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (20%BK) Perlakuan V :P.purpureum (200 mg) + monensin (0,2% BK)

Keterangan : BK adalah berdasarkan berat kering P.purpureum 200 mg.

Dalam percoban ini digunakan rumput kolonjono (P. purpureum). sebagai substrat pokok. Kontrol negatif P. purpureum tanpa penambahan bahan, kontrol positif (Perlakuan V) dengan penambahan monensin 0,2%. Monensin digunakan karena penggunaan zat ini telah dapat mengurangi produksi gas dan memanipulasi fermentasi rumen.

6. Fermentasi secara In Vitro

Untuk fermentasi secara invitro menggunakan metode Menke & Steingass (1988). Metode ini dimulai dengan penimbangan substrat sebanyak yang telah ditentukan sesuai dengan perlakuan. Substrat dimasukkan dalam syringe berukuran 100 ml (Model Fortuna, Häberle Labortechnik, Germany). Disiapkan larutan bufer yang terdiri dari main element solution, trace element solution, buffer, resazurin solution, dan reduction solution. Bahan-bahan penyusunnya


(46)

commit to user

30

sebagai berikut: Main Element Solution terdiri dari Disodium Hidrogen Phosphat, Potassium dihidrogen Phosphat, Magnesium sulphat 7H2O dan Aquades. Trace Element Solution terdiri dari Calcium chloride, Manganese chloride, Cobalt chloride dan Aquades. Buffer terdiri dari Amonium Hidrogen Carbonat, Sodium Hidrogen Carbonat dan Aquades. Resazurin Solution terdiri dari Resazurin dan Aquades.Reduction Solution terdiri dari NaOH 1N, Na2S.7H2O dan Aquades.

Tiga puluh mililiter campuran larutan buffer dan cairan rumen (2 : 1) diinjeksikan ke dalam setiap syringeyang telah berisi substrat sampel didalamnya melalui selang silikon dengan dispenser yang telah diatur volumenya. Sebelum dimasukkan ke dalam syringe, piston terlebih dahulu dilumuri dengan vaselin. Hal ini dilakukan agar gas tidak bocor keluar. Gelembung gas yang terdapat di dalam syringedikeluarkan, lalu selang silikon ditutup dengan klem, posisi piston dibaca dan dicatat pada jam ke nol (V0). Proses inkubasi kemudian dilakukan pada suhu 39oC dalam water bath incubator.

Produksi gas yang dihasilkan diamati pada selang waktu inkubasi 3, 6, 9, 12, 24 dan 48 jam. Jika posisi piston di atas 60 ml, nilai ini dicatat lalu klem dibuka dan piston dikembalikan pada posisi 30 ml, kemudian jumlah gas sebelumnya dicatat. Pembacaan dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi perubahan suhu.


(47)

commit to user

31

7. Pengukuran Produksi Gas, VFA, Konsentrasi N-NH3, dan pH serta

Penghitungan Jumlah Protozoa

Produksi gas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(V48– V0 – Gb0)

B

Keterangan :

PG = produksi gas

V48 =volume gas (ml) 48 jam V0 = volume gas (ml) awal inkubasi

Gb0 = produksi gas rata-rata blanko pada inkubasi 48 jam B = berat sampel uji dalam mg bahan kering pada suhu 39 0C. BK = bahan kering dalam standar 200 mg

Setelah inkubasi 48 jam, 10 ml sub sampel cairan rumen diambil dari masing-masing tabung dan diukur pH-nya menggunakan pH meter digital (Hanna Hi 8520), untuk diketahui pH setelah proses fermentasi.

Sebanyak 0,4 ml sub sampel cairan rumen ditambahkan 2 ml larutan asam metafosforat 25%, kemudian disentrifugasi pada 9000 g selama 10 menit kemudian diambil supernatannya dan dimasukkan ke dalam freezer –20°C sampai dengan analisis volatile fatty acids (VFA) yang meliputi asam asetat, asam propionat dan asam butirat menggunakan kromatografi gas. Nilai konsentrasi asam asetat (A), asam propionat (P) dan asam butirat (B) digunakan untuk menghitung Nisbah A/P dan NGR dengan Rumus : Nisbah A/P = A/P

NGR = (A+2B+V) / (P+V)

(Orskov, 1975)


(48)

commit to user

32

Penghitungan Nisbah A/P dan NGR disini digunakan untuk menggambarkan produksi gas metana. Nisbah A/P rendah menyebabkan NGR juga rendah. NGR adalah perbandingan antara asam lemak terbang yang bersifat non-glukogenik dan glukogenik. Nilai NGR berhubungan erat dengan produksi gas metana. NGR dan metana mempunyai korelasi positif, yang berarti semakin rendah nilai NGR semakin rendah pula produksi metana.

Sebanyak 2 ml sub sampel dipreparasi (disentrifugasi pada 15000 g selama 15 menit) dan dianalisis konsentrasi NH3 menggunakan metode Chaney dan Marbach (1962).

Untuk keperluan penghitungan protozoa, 1 ml sub sampel cairan rumen lainnya ditambahkan 0,8 ml larutan formaldehid salina yang terdiri atas 37% (v/v) formalin dan 0,9% (w/v) NaCl dengan perbandingan 1 : 9 (Ogimoto dan Imai, 1981), kemudian ditambahkan metylen green sebagai pewarna protozoa. Selanjutnya populasi protozoa dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop.

D. Analisis Data

Data hasil percobaan diuji dengan menggunakan Analisis Varian (Analysis of Varians/ANOVA), pengaruh antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan.


(49)

commit to user

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Kimia Bahan Penelitian

Komposisi kimia dari daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) dan rumput kolonjono (Pennisetum purpureum) yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Daun Waru (Hibiscus tiliaceus L.) dan Rumput Kolonjono (Pennisetum purpureum)

P. purpureum H. tiliaceus L. Abu (% BK) 15,90 10,79 Protein (%BK) 11,50 17,08 Lemak (%BK) 3,20 3,45 Serat kasar (% BK) 29,30 22,77 Karbohidrat (% BK) 40,10 45,91 Saponin (mg/gr BK) 7,55 8,93 Total tanin (%BK) 8,01 12,90

Kandungan protein kasar (PK) dari Pennisetum purpureum dan Hibiscus tiliaceus L. lebih tinggi dari konsentrasi minimum PK (7%) yang dibutuhkan aktivitas mikroba (Crowder dan Chheda, 1982). Kandungan protein yang cukup tinggi ini baik untuk kebutuhan protein ternak. Kandungan serat kasar daun waru lebih rendah dari rumput kolonjono, hal ini sesuai untuk mengurangi produksi gas metana. Berdasarkan teori, gas metana akan lebih besar dihasilkan jika kandungan serat kasar juga lebih besar. Kandungan karbohidrat daun waru yang tinggi (45.90,2% BK) baik bagi ternak sebagai sumber energi. Kandungan saponin daun


(50)

commit to user

34

waru yang digunakan dalam penelitian ini 8,93 mg/g BK, masih lebih rendah dari kandungan saponin Acacia mangium Willd 16,7 mg/g BK yang digunakan dalam penelitian Santoso dan Hariadi (2007).

B. Pembahasan Umum

Pengaruh suplementasi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap karakteristik fermentasi dan populasi protozoa rumen secara in vitro disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Cairan Rumen dengan Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceus L.), Monensin serta Kontrol.

Variabel Suplementasi Hibiscus tiliaceus L. monensin

0% 5% 10% 15% 20%

pH 7.06a 7.07a 7.05a 7.03a 7.11a 7.15a Konsentrasi NH3

(mg/100ml) 35.63 a

36.72a 37.96a 38.13a 34.88a 33.99a Jumlah Protozoa

(x 104/ml) 16,25 d

14,50c 9,25b 9,00b 6,75a 7,25a % Penurunan

terhadap kontrol 0,00 10,77 43,08 44,62 58,46 55,38 VFA Total

(mMol) 137.39

ab

152.93b 165.81b 127.15ab 129.54ab 106.67a Produksi gas

(ml/200mg ) 47.17 e

44.2d 41.97c 40.43c 38.47b 18.48a % Penurunan

terhadap kontrol 0,00 6,11 11,02 14,29 18,44 60,82 Keterangan : Angka yang diikuti superskrip a,b,c,d yang berbeda ke arah kolom,

menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Angka yang diikuti superskrip huruf kecil yang sama ke arah kolom, menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)


(51)

commit to user

35

Dari berbagai data yang terurai tersebut diatas dapat dibuat dalam bentuk diagram seperti di bawah ini .

Gambar 4 . Diagram Jumlah Protozoa, pH, Konsentrasi NH3, VFA Total, dan Produksi Gas Cairan Rumen dengan Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceusL.), Monensin serta Kontrol.

Jum

lah P

ro

toz

o

a

x

10

4 se

l/m

l

P

roduk

si G

a

s (m

l)

V

T

A

T

otal

(mMol

)

Konsentrasi NH

3

(mg/100 ml)


(52)

commit to user

36

Secara umum terlihat bahwa suplementasi daun waru mampu menurunkan populasi protozoa maupun produksi gas. Penurunan jumlah protozoa dan penuruan produksi gas pada level 5% paling kecil. Penurunan jumlah protozoa dan penuruan produksi gas pada level 10% dan 15% tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Pada level suplementasi daun waru 20% menghasilkan penurunan jumlah protozoa yang sangat tinggi (58,46%) dan penurunan produksi gas sebesar 18,44%, tetapi pada level ini nampaknya mikroorganisme rumen terganggu. Hal ini dapat dilihat dari produksi VFA yang lebih rendah jika dibandingkan pada suplementasi 5% maupun 10%, lebih rendahnya produksi VFA ini mengurangi pasokan energi untuk ternak.

Pada semua perlakuan tidak memberikan perbedaan nyata pada konsentrasi NH3 maupun nilai pH. Dapat dikatakan bahwa suplementasi daun waru yang optimum dan telah dapat memperbaiki karakteristik fermentasi dan menurunkan populasi protozoa rumen adalah pada level 10%. Untuk lebih jelasnya dari masing-masing variabel diuraikan dengan pembahasan di bawah ini.

Derajat Kesamaan (pH) Cairan Rumen

Tinggi rendahnya pH cairan rumen merupakan salah satu faktor penentu baik tidaknya kondisi rumen untuk berlangsungnya proses fermentasi. Putra dan Puger (1995) menyatakan bahwa aktivitas mikroba rumen membutuhkan kondisi pH tertentu yang berhubungan dengan kondisi lingkungan rumen yang sedang berlangsung. Derajat keasaman (pH) cairan rumen yang normal berkisar antara


(53)

commit to user

37

6,0-7,0, pada kisaran pH ini, pertumbuhan mikroba rumen maksimal dan aktivitas fisiologisnya meningkat, terutama yang berhubungan dengan fermentasi rumen.

Van Soest (1994) menyatakan aktivitas bakteri selulolitik terhambat apabila pH cairan rumen dibawah 6,2 dan aktivitas akan optimal di dalam rumen pada pH 6,7 + 0,5 point. Losodu et al (1979) menyatakan bahwa pH cairan rumen pada sapi yang mendapat pakan urea dengan larut 7 % rata-rata mencapai 7,5.

Nilai pH cairan rumen kontrol dalam penelitian ini adalah 7,06. Derajat kesamaan (pH) cairan rumen yang mendapat perlakuan suplementasi daun waru 5%, 10%, 15%, 20% dan monensin 0,2% masing-masing adalah 7,07; 7,05; 7,03, 7,11 dan 7,15. Dibandingkan dengan nilai pH kontrol 7,06, terlihat adanya kenaikan nilai pH pada perlakuan monensin 0,2% dan suplementasi daun waru 20%, masing-masing 7,11 dan 7,15. Sedangkan, nilai pH cairan rumen pada perlakuan suplementasi daun waru 5%,10% dan 15% masing-masing 7,07; 7,05; dan 7,03, relatif tidak berbeda dengan kontrol 7,06. Hasil analisis menyatakan bahwa pH cairan rumen suplementasi daun waru maupun monensin tidak berbeda dengan kontrol (P>0,05).

Kisaran pH antara 7,03-7,15 yang didapat dalam penelitian ini, masih berada pada kisaran pH normal sebesar 5,5 – 7,2 sesuai Owens dan Goestsch (1988) dan mengimplikasikan berlangsungnya aktivitas bakteri selulolitik yang optimal (6,7 + 0,5 point) sesuai Van Soest (1994). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan daun waru sampai pada level tertinggi penelitian ini (20%) tidak berpengaruh terhadap kondisi pH cairan rumen yang normal, sehingga aktivitas fermentasi mikroorganisme rumen tidak terganggu.


(54)

commit to user

38

Derajat keasaman (pH) antara 7,03-7,15 yang didapat dalam penelitian ini juga mengindikasikan terjadinya proses deaminasi yang baik. Menurut Widyobroto et al. (1994) deaminasi berlangsung pada pH 6 sampai 7, sedang pada pH lebih dari 7,2 atau kurang dari 4,2 deaminasi tidak berlangsung. Deaminasi menghasilkan NH3, CO2, dan VFA, sedang pada tahap dekarboksilasi menghasilkan amine dan CO2 akibat aktivitas dekarboksilase. pH rendah akan menyebabkan kondisi rumen menjadi asam dan menurunkan populasi mikroba sehingga proses proteolisis akan dihambat dan sebagai akibatnya degradasi pakan akan turun (Madigan et al., 2003).

Konsentrasi Amonia (NH3)

Dalam penelitian ini dilakukan penentuan konsentrasi NH3 dari cairan rumen berdasarkan Metode Chaney dan Marbach (1962). Metode didasarkan pada reaksi indophenol yang dikatalis sehingga menghasilkan senyawa biru yang stabil. Reaksi indophenol adalah reaksi antara NH3 dengan sodium phenat.

Pengukuran konsentrasi NH3 cairan rumen dilakukan untuk melihat kecukupan protein mikroba di dalam rumen. Konsentrasi NH3 cairan rumen merupakan faktor yang penting dalam menentukan laju sintesis protein mikroba. Pengukuran konsentrasi NH3 cairan rumen juga dilakukan untuk menggambarkan degradasi protein pakan di dalam rumen.

Amonia (NH3) adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis biomassa protein mikroba rumen. Konsentrasi NH3 di dalam rumen merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan, karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan biomassa mikroba rumen. Sekitar 80%


(55)

commit to user

39

mikroba rumen dapat menggunakan NH3 sebagai sumber nitrogen untuk petumbuhannya (Arora, 1995).

Menurut Madigan et al. (2003), konsentrasi NH3 di dalam rumen adalah keseimbangan antara kecepatan produksi NH3 dari makanan dan penggunaan NH3 untuk pertumbuhan mikroba serta endogenous compounds. Widyobroto et al. (1994) menyatakan, bakteri rumen sangat tergantung kepada konsentrasi NH3, jika konsentrasi NH3 di dalam rumen rendah maka aktivitas bakteri dalam rumen juga akan terhambat dan akibatnya nilai degradasi pakan akan turun. Peranan NH3sangat penting sebagai bahan baku untuk membentuk sel-sel mikroba rumen dalam proses metabolisme protein.

Konsentrasi NH3 cairan rumen kontrol adalah 35,65 mg/100 ml. Konsentrasi NH3cairan rumen pada perlakuan suplementasi daun waru 5%, 10%, 15%, 20% dan monensin 0,2% masing-masing adalah 36,72; 37,96; 38,13; 34.88 dan 33.99 mg/100 ml. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 suplementasi daun waru maupun monensin tidak berbeda dengan kontrol.

Konsentrasi NH3 yang didapat pada penelitian ini bervariasi antara 30 - 42 mg/100ml. Leng (1980) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 cairan rumen berkisar antara 1-34 mg/100 ml. Menurut Khazaal et al. (1995), konsentrasi NH3 5 mg/100 ml cairan rumen sudah cukup untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Untuk pertumbuhan maksimum mikroba rumen, diperlukan konsentrasi NH3 8,5 mg/100 ml cairan rumen (Arora, 1995).

Dalam penelitian ini konsentrasi NH3 cairan rumen relatif tinggi. Tingginya konsentrasi NH3 ini menggambarkan tingginya aktifitas bakteri di


(56)

commit to user

40

dalam rumen dan menggambarkan bahwa protein pakan mempunyai kelarutan tinggi sehingga mudah didegradasi oleh mikrobia rumen.

Kemungkinan yang lain tingginya produksi NH3 disebabkan oleh daya defaunasi dari daun waru. Dengan menurunnya protozoa maka populasi sejumlah bakteri dapat meningkat. Dalam hal ini, diperkirakan peningkatan populasi bakteri yang menonjol salah satunya adalah bakteri proteolitik. Argumentasi ini dipertegas kurang lebih 35% mikroba rumen adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein pakan menjadi NH3 yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya didaur ulang menjadi urea darah ataupun saliva atau diekskresikan ke urin (Sutardi, T., 1976).

Jumlah Protozoa

Jumlah protozoa kontrol pada penelitian ini adalah 16,25 x 104/ml. Jumlah protozoa perlakuan suplementasi daun waru 5%, 10%, 15% dan 20%, serta monensin 0,2 % masing-masing adalah 14,50; 9,25; 9,00; 6,75; serta 7,25 x 104 /ml. Pemberian perlakuan variasi suplementasi daun waru sebagai sumber saponin dan monensin 0,2% secara nyata (P<0.05) mampu menurunkan jumlah protozoa cairan rumen.

Penurunan jumlah protozoa sangat signifikan terlihat pada perlakuan suplementasi daun waru 10% yang mampu menurunkan sampai 43,08% dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan suplementasi daun waru 20% mampu menurunkan jumlah protozoa sampai 58,46% dan hasil tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kontrol positif (monensin 0,2%) sebesar 55,38%.


(57)

commit to user

41

Penurunan jumlah protozoa disebabkan saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan mempengaruhi permeabilitas membran sel (Patra et al., 2006). Saponin mampu mengikat sterol yang ada di dalam membran sel. Dengan terikatnya sterol oleh saponin maka permeabilitas membran sel terganggu, sehingga sel dapat mengalami lisis . Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena membran sel bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin. Bakteri juga mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut.

Dengan berkurangnya jumlah protozoa maka akan meningkatkan laju sintesis biomassa bakteri, sehingga aliran biomassa bakteri dari rumen ke usus akan meningkat. Protozoa memangsa bakteri yang terdapat pada cairan rumen dan mencernanya sebagai sumber asam amino bagi pertumbuhannya, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang dengan lebih banyaknya jumlah protozoa. Pengaruh ini mungkin kurang nyata pada ternak ruminansia dengan pakan basal yang mengandung banyak partikel terlarut misalnya gula, pati dan sebagainya. Akan tetapi jika pakan basal adalah limbah pertanian, maka pengaruh penurunan biomassa bakteri akibat dimangsa oleh protozoa akan kelihatan nyata sekali dengan diperpanjangnya lag phase yakni suatu keadaan dimana tidak terjadi pencernaan sama sekali (Soetanto,2002).

Dengan penurunan populasi protozoa di dalam rumen, dapat meningkatkan populasi bakteri rumen, terutama bakteri selulotik. Dalam hal ini, bakteri selulotik tersebut dapat mendegradasi pakan atau zat-zat makanan secara lebih efektif, karena ditunjang oleh ketersediaan energi (VFA) dan nitrogen dari


(58)

commit to user

42

(NH3) yang cukup sebagai akibat fraksi terlarut yang tinggi, sehingga hasil degradasinya lebih tinggi. Dengan ketersediaan VFA dan NH3yang cukup dapat meningkatkan sintesis protein mikroba (Sutardi, T., 1979).

Diperkirakan tiap ekor protozoa dapat memangsa bakteri dengan kecepatan antara 130 - 21200 bakteri/protozoa/jam pada kondisi kepadatan bakteri 109 sel/ml. Pencernaan bakteri dalam sel protozoa dapat berkisar antara 345 – 1200 bakteri/protozoa/jam. Jumlah ini akan setara dengan 2,4 - 45 persen bakteri bila konsentrasi protozoa mencapai 106/ml isi rumen. Jenis Entodinium dan protozoa besar lebih selektif dalam memangsa bakteri dan lebih menyukai aneka spesies bakteri. Sementara itu spesies Entodinia memangsa bakteri selulolitik jauh lebih cepat daripada bakteri jenis lainnya. Kondisi optimal terjadinya predasi adalah pH rumen sekitar 6,0 dan akan menurun apabila pH lebih tinggi atau lebih rendah dari 6,0 (Soetanto, 2002).

Penurunan jumlah protozoa sebagai efek penambahan saponin juga dilaporkan oleh Hanim et al. (2009) dan Patra et al. (2006) yang melaporkan bahwa ekstrak Acacia concinna yang mengandung saponin dapat menurunkan populasi protozoa. Makkar et al.(1998) dan Hristov et al. (1999) juga melaporkan bahwa suplementasi ekstrak tumbuhan yang mengandung saponin menurunkan populasi protozoa pada percobaan in vitro.

Asam Lemak Volatil (VFA)

Konsentrasi asam lemak volatil yang diamati dalam penelitian ini meliputi asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. Asam lemak volatil (VFA) ini merupakan salah satu produk akhir dari fermentasi karbohidrat dan protein dan


(1)

Melalui pendekatan nisbah asetat terhadap propionat (A/P), dapat dilihat bahwa suplementasi daun waru dalam penelitian ini dapat membuat sistem fermentasi rumen mengarah ke sintesis asam propionat (Tabel 4). Dalam penelitian ini suplementasi daun waru dapat menyebabkan nisbah A/P perlakuan lebih rendah dari kontrol. Nisbah A/P kontrol adalah 3,83 sedangkan nisbah A/P suplementasi daun waru 5%, 10%, 15% dan 20%, serta monensin 0,2% masing-masing adalah 3,49; 3,31; 3,28; 3,88 serta 2,76. Hal ini menunjukkan proporsi propionat yang meningkat di dalam rumen dibandingkan dengan asetat.

Tabel 4. Nisbah Perbandingan Asetat dan Propionat serta Nilai NGR Cairan Rumen yang Mendapat Perlakuan Suplementasi Daun Waru pada Taraf yang Berbeda, dan Kontrol serta Monensin.

Suplementasi daun waru (H. tiliaceus L.)

0% 5% 10% 15% 20% monensin 0,2%

Nisbah A/P 3.83b 3.49ab 3.31ab 3.27ab 3.88b 2.76a NGR 4.83de 4.34cde 4.16cd 4.05cd 5.24e 3.59c

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip (a,b) dan (c-e) huruf kecil berbeda pada baris

yang sama menyatakan perbedaan (Į=0,05)

Sistem fermentasi rumen yang mengarah ke propionat juga mengakibatkan nilai non glucogenic ratio (NGR) cenderung menurun. NGR adalah perbandingan antara asam lemak volatil yang bersifat non-glukogenik dan glukogenik. Peningkatan propionat yang bersifat glukogenik akan menurunkan nilai NGR. Nilai NGR pada ransum kontrol adalah 4,83 sedangkan dengan suplementasi daun waru 5%, 10%, 15%, dan 20% menyebabkan turunnya nilai NGR menjadi; 4,34; 4,16 ;4,05; dan. 5,24.

Nilai NGR berhubungan erat dengan produksi gas metana. NGR dan metana mempunyai korelasi positif, yang berarti semakin rendah nilai NGR


(2)

semakin rendah pula produksi metana. Dalam penelitian ini suplementasi daun waru 5,10 dan 15% menghasilkan nilai NGR lebih rendah jika dibandingkan kontrol. Dengan lebih rendahnya nilai NGR suplementasi daun waru dibandingkan kontrol, maka memungkinkan produksi gas metana juga berkurang.

Pada taraf suplementasi daun waru 20% nisbah A/P maupun NGR-nya malah lebih besar dari kontrol. Hal ini menggambarkan pada level ini karakteristik fermentasi rumen tidak baik. Dalam level suplementasi daun waru 20% ini total VFA yang dihasilkanpun lebih rendah dari kontrol, yakni 137.39 mM (kontrol) berbanding 129.54 mM (suplementasi daun waru 20%).

Dalam penelitian Abdl-Rahman (2010) yang menggunakan asam fumarat – bentonit di fermentasi rumen in vitro juga dapat meningkatkan produksi asam propionat dan meningkatkan efiisiensi fermentasi serta menurunkan metanogenesis dan indeks pemanfaatan VFA.

Hasil penelitian Santoso dan Hariadi (2007) yang menggunakan Acacia mangium Wild. pada Pennisetum purpureum pada level 15, 30 dan 45% dalam 100% substrat juga menunjukkan nisbah A/P yang menurun yaitu 3,39; 3,13; dan 2.93 dibandingkan kontrol 3,42, dan menghasilkan volume gas metana setelah inkubasi 48 jam menurun secara linear sejalan dengan peningkatan konsentrasi

Acacia mangium Wild. yaitu 9,4; 8,7; 5,9 ml dari perlakuan kontrol 11,2 ml. Hasil penelitian Yusiati et al. (2007) yang menggunakan daun ketepeng cina yang mengandung anthraquinon setara 0; 0,5; 1,0; dan 5 ppm anthraquinon juga menghasilkan nisbah A/P yang menurun yaitu 3,16; 2,73; 2,92; dan 2,94 dan menghasilkan gas metana 98,40; 90,00; 70,95; 59,60 ml/72 jam.


(3)

Peningkatan produksi propionat ini juga lebih menguntungkan untuk pertumbuhan atau penggemukan ternak. Propionat merupakan VFA yang bersifat glukogenik, artinya dapat menjadi prekursor dalam sintesis glukosa melalui proses glukoneogenesis (McDonald et al., 1995). Berarti suplementasi daun waru yang diberikan dapat berpengaruh terhadap kinerja mikroba rumen sehingga metabolisme mengarah ke peningkatan pasokan energi untuk produksi.

Produksi Gas

Volume produksi gas kontrol dalam penelitian ini adalah 47,17 ml. Sedangkan volume produksi gas akibat penambahan daun waru 5%, 10%, 15% dan 20%, serta monensin 0,2% sebagai kontrol positif masing-masing adalah 44,29; 41,97; 40,43; 38,47 dan 18,48 ml/200 mg BK. Pemberian perlakuan suplementasi daun waru pada taraf yang berbeda dan monensin 0,2%, pada fermentasi rumput kolonjono (Penisetum purpureum) oleh mikroba rumen secara

in vitro ini dapat menurunkan produksi gas total secara nyata (P<0,05), dapat dilihat pada Tabel 2. Tetapi, jika dibandingkan dengan monensin pengaruhnya masih lebih kecil.

Perlakuan suplementasi daun waru 10% mampu menurunkan produksi gas sebesar 11,02%, kemudian suplementasi daun waru 15% mampu menurunkan produksi gas sebesar 14,29% dan kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata. Disini perlakuan monensin 0,2% tetap paling rendah produksi gas-nya, yakni menghasilkan produksi gas 18,48 ml, kemudian disusul perlakuan suplementasi daun waru 20% yang menghasilkan produksi gas 38,47 ml.


(4)

Penurunan produksi gas yang dihasilkan dalam penelitian ini diduga berhubungan dengan penurunan jumlah protozoa. Semakin sedikit jumlah protozoa maka produksi gas-nya pun berkurang. Gas yang berkurang ini kemungkinan besar adalah gas metana. Hal ini mengacu pada Machmuller et al., (2003). yang menyatakan bahwa protozoa memiliki hubungan ektosimbiosis dalam transfer hydrogen interspesies dan 9 sampai 25% metanogenesis dihasilkan dari hubungan simbiosis tersebut. H2 dan CO2 dari hasil fermentasi pakan di dalam rumen akan diubah menjadi CH4 oleh metanogen melalui transfer hydrogen interspesies, sehingga penurunan jumlah protozoa akan menyebabkan penurunan produksi gas metana. Pada penelitian ini populasi protozoa cairan rumen menurun secara nyata (P<0,05). Dengan berkurangnya populasi protozoa ini diduga mengakibatkan pengurangan pada produksi gas metana sehingga produksi gas secara total juga berkurang.

Dalam penelitian ini juga dihasilkan nisbah A/P serta NGR suplementasi daun waru yang lebih rendah dari kontrol. Ini akibat dari lebih rendahnya produksi asetat dan butirat jika dibandingkan produksi propionat setelah suplementasi daun waru. Lebih rendahnya nisbah A/P serta NGR suplementasi daun waru dari kontrol mengindikasikan bahwa produksi gas metana yang dihasilkan juga lebih rendah. Sehingga, produksi gas secara total juga berkurang.

Van Soest (1994) menyatakan bahwa gas diproduksi terutama pada waktu substrat difermentasi untuk asetat dan butirat. Fermentasi substrat pada propionat menghasilkan gas hanya dari penyangga asam dan oleh karena itu produksi gas


(5)

Perbedaan pengaruh produksi gas yang sangat tinggi antara penambahan suplementasi daun waru dengan penambahan monensin terjadi karena penambahan daun waru memberikan efek terhadap populasi protozoa sehingga jumlah protozoa turun, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas bakteri yang ada di dalam rumen. Sedangkan, pemberian monensin yang merupakan zat aditif produk sintetis sebagai manipulator fermentasi mikroba rumen dapat menurunkan populasi protozoa, menekan populasi bakteri rumen dan produksi metana. Hal ini mengakibatkan produksi gas-nya sangat rendah.

Penurunan produksi gas secara invitro juga terjadi dalam penelitian Santoso dan Hariadi (2007) yang menggunakan Acacia mangium Wild. pada

Pennisetum purpureum dengan level 15%, 30% dan 45% dalam 100% substrat . Volume gas setelah inkubasi 48 jam menurun secara linear sejalan dengan peningkatan konsentrasi Acacia mangium Wild. yaitu 57; 48,2; dan 37,5 ml dari perlakuan kontrol 64,7 ml. Hu et al. (2005) juga melaporkan dalam penelitiannya yang menggunakan saponin teh 0, 0.2, 0.4 mg/ml memberikan efek defaunasi terhadap protozoa dan menghasilkan gas yaitu 93,0; 90,5; dan 92,0 ml. Produksi gas turun pada level 0,2 mg/ml kemudian kembali naik pada level 0,4 mg/ml.


(6)

commit to user

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Suplementasi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) mampu menurunkan jumlah protozoa, produksi gas, Nisbah A/P dan NGR serta meningkatkan VFA total dengan tidak mempengaruhi konsentrasi NH3 dan pH. Disimpulkan bahwa level optimum suplementasi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) untuk memperbaiki karakteristik fermentasi dan menurunkan populasi protozoa rumen adalah pada level 10%.

B. SARAN

Perlu adanya penelitian lebih lanjut secara invivo untuk mengetahui pengaruh suplementasi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap sapi secara langsung. Misalnya pengaruh suplementasi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.)


Dokumen yang terkait

Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Bulu Ayam dan Limbah Udang yang Diolah dengan Beberapa Teknologi Pengolahan Bahan Pakan

3 46 58

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN WARU LANDAK (Hibiscus mutabillis) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae SECARA IN VITRO

2 25 17

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN WARU LANDAK (Hibiscus mutabilis) TERHADAP PERTUMBUHAN Candida albicans SECARA IN VITRO

0 12 17

Formulasi Laru Termpe Terstandar dari Isolat Usar Daun Waru (Hibiscus tiliaceus)

6 23 100

Efektivitas Tanaman Herbal Terhadap Fermentasi Rumen, Emisi Gas Metan Dan Populasi Protozoa In Vitro

0 6 40

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI A EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI A EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa MULTIRESISTEN AN

0 0 17

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI C EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP Staphylococcus aureus UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI C EKSTRAK METANOL DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus L.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aerugi

0 0 8

PENGARUH AMOMASI DAN FERMENTASI TIGA VARIETAS JERAMI PADI TERHADAP KARAKTERISTIK CAIRAN RUMEN ( NH3, VFA DAN pH ) SECARA IN- VITRO.

0 0 6

PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL SULFUR atau PHOSPOR PADA DAUN KELAPA SAWIT AMMOMASI TERHADAP KARAKTERISTRIK CAIRAN RUMEN SECARA In-VITRO.

0 1 7

PENGARUH LAMA PENGERINGAN DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) PADA PENGERINGAN NAUNGAN TERHADAP POPULASI BAKTERI DAN PROTOZOA CAIRAN RUMEN IN VITRO.

0 0 2