Gambaran Fungsi Penciuman pada Lansia di Panti Jompo Binjai Tahun 2014

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung
2.1.1 Nasus Ekternus
Nasus ekternus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi
melalui radik nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua nares
atau lubang hidung. Setiap nares dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di medial oleh
septum nasi. Rangka nasus ekternus dibentuk di atas oleh Os. nasal, prosesus
frontalis ossis maksillaris, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka ini
dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilage nasi superior dan
inferior, dan kartilage septi nasi (Snell 2006: 803).

2.1.2 Kavum Nasi
Kavum nasi terletak dari nares di depan sampai choanae di belakang.
Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan
mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial (Snell 2006: 803).
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina Os. maksila dan prosesus
horisontal Os. Palatum. Sedangkan bagian atap hidung terdiri dari kartilago

lateralis superior dan inferior, Os. nasal, prosesus frontalis Os. maksila, korpus
Os. etmoid dan korpus Os. sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen N. olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi
dan permukaan kranial konka superior. Ada pun dinding lateral dibentuk oleh
permukaan dalam prosesus frontalis Os. maksila, Os. lakrimalis, konka superior,
konka media, konka inferior, lamina perpendikularis Os. palatum dan lamina
pterigoideus media (Rambe, 2003).
Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas
konka nasalis superior dan di depan korpus ossis sphenoidalis. Di daerah ini
terdapat muara sinus spheinoidalis (Snell 2006: 803).

Universitas Sumatera Utara

5

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka : celah
antara konkainferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior : celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka

suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
dari massa lateralis Os. etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum (Ballenger,
1994).
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus Os. sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sphenoid (Ballenger, 1994).
Meatus media merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan
celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinusf rontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum.
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding
inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci
dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan
hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus

frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal.Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal
mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger, 1994 dan
Dhingra, 2007)

Universitas Sumatera Utara

6

Meatus nasi inferior terletak dibawah dan lateral konka inferior dan
padanya terdapat muara duktus nasolakrimalis. Sebuah lipatan membarana
mukosa membentuk katup yang tidak sempurna, yang melindungi muara duktus.
(Snell, 2006: 803)
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung.
(Hollinshead1996 dan Corbridge 1998)
Membran mukosa melapisi kavum nasi, kecuali vestibulum, yang dilapisi

kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis membran mukosa,
yaitu (1) mukosa olfaktorius dan (2) respiratorius. Membran mukosa olfaktorius
melapisi permukaan atas konka nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis;
juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan dan atap. Fungsinya mererima
rangsangan penciuman dan untuk ini fungsi ini mucosa memiliki sel-sel
penciuman khusus. Akson sel-sel ini (serabut N. olfaktorius) berjalan melalui
lubang-lubang pada lamina kribrosa ossis ethmoidalis dan berakhir pada bulbus
olfaktorius. Permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa
yang berjumlah banyak. Sedangkan membran mukosa respiratorius melapisi
bagian bawah kavum nasi. Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan, dan
membersihkan udara inspirasi. Proses menghangatan terjadi oleh adanya plexus
venosus di dalam jaringan submukosa. Proses melembabkan berasal dari
banyaknya mukus yang di produksi oleh kelenjar-kelenjar dan sel goblet. Partikel
debu yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mukosa yang basah dan
lengket. Mukus yang tercemar ini terus-menerus didorong ke belakang oleh kerja
cilia dari sel-sel silindris bersilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di faring
mukus ini ditelan (Snell 2006: 803).

Universitas Sumatera Utara


7

Gambar 2.1Anatomi hidung (Snell, 2006: 804).

2.1.3 Aliran Limfe Kavum Nasi
Pembuluh

limfe

mengalirkan

limfe

dari

vestibulum

ke

nodi


submandibularis. Bagian lain dari kavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi
servikales profundi superior (Snell, 2006: 805).

2.1.4 Perdarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
(Rambe, 2003).
1. A. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior
dandinding lateral hidung.
2. A. etmoidalis posterior (cabang dari A. oftalmika), mendarahi septum
bagiansuperior posterior.

Universitas Sumatera Utara

8

3. A. sfenopalatina, terbagi menjadi A. nasales posterolateral yang menuju ke
dinding lateral hidung dan A. septi posterior yang menyebar pada
septumnasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

A.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung A. palatina mayor dan A.
sfenopalatinayang keluar dari foramen sfenopalatina bersama N. sfenopalatina dan
memasukirongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidungmendapat pendarahan dari cabang-cabang A. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang A.
sfenopalatina, A. etmoid anterior, A. labialis superior dan A. palatina mayor,
yangdisebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan
mudahcedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Soetjipto et
al, 1997 dalam Soepardi 1997).
Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama


dan

berjalan

berdampingandengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke venaoftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus
(Rambe, 2003).

2.1.5 Persarafan Hidung
Saraf motorik oleh cabang N. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung
bagian luar.
Saraf sensoris bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari N. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari N. nasosiliaris, yang
berasal dari N. oftalmika (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari N. maksila melalui ganglion sfenopalatina
(Kopke, 1993).
Saraf otonom terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : (Rambe, 2003).
a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik).
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke

atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut
post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagaiN.

Universitas Sumatera Utara

9

petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu N.
petrosus superfisialis mayor membentuk N. vidianus yang berjalan
didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis
didalamganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang
palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis
secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler
hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus
salivatorius

superior


superfisialismayor

di

medula

berjalan

oblongata.

menuju

Sebagai

ganglion

n.

pterosus


sfenopalatina

dan

mengadakan sinapsisdidalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post
ganglion menyebarmenuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini
terutama terhadapjaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung
yang encer danvasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan N. vidianus akan
menghilangkan impuls sekretomotorik parasimpatis pada mukosa hidung,
sehingga rinoreakan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan
terganggu.
Nervus olfaktorius (penciuman) turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbusolfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu padamukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung (Dhingra, 2007
dan Soetjipto 2007).

2.1.6 Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung
dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan
sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal
adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap
nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir
yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis.
Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila

Universitas Sumatera Utara

10

kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior
dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam
meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian
yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut
kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran
dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).
Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris. Sinus ini berbentuk
piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam
prosesus zygomatikus maksila. Atap di bentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar
dibentuk oleh prosessus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar
ketiga, dan kadang-kadang akar kaninus menonjol ke dalam sinus. Sinus
maksilaris bermuara kedalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris.
Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke dalam
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris. Membran mukosa sinus maksilaris
dipersarafi oleh N. alveolaris superior dan N. infraorbital (Snell, 2006: 805).
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan
bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel
etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin
tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah
septum intersinus (Prasetyo, 2012). Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus
frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling
secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal
yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto X-ray sulit
dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus
maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat
lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CTscan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas
secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi
mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal
merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammbergeret al,
2008).

Universitas Sumatera Utara

11

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm
(dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk
(Soetjipto, 2010).
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior
(Prasetyo, 2012). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga
intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian
menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada
usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun
mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3
(dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada
orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi
hal utama yang harus diperhatikan (Stammbergeret al, 2008).
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofise, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjiptoet al, 2010).
Sinus ethmoidalis terdapat di dalam os ethmoidalis, di antara hidung dan
orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi
dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi atas tiga
kelompok: anterior, media, dan posterior. Kelompok anterior bermuara kedalam
infundibulum; kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau
di atas bulla ethmoidalis dan kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi
superior. Membran mukosa dipersarafi oleh N. ethmoidalis anterior dan posterior
(Snell 2006: 805).

2.2 Fisiologi Sistem Penciuman
Berdasrkan teori struktural, teori revolusioner dan teori funsional, maka
salah satu fungsi fisiologis hidung adalah fungsi penghidu, karena terdapatnya
mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu (Soetjipto, 2007 dan Wardani 2007).

Universitas Sumatera Utara

12

Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe
yang berbeda. Selama deteksi bau, sebuah bau di uraikan menjadi berbagai
komponen. Setiap reseptor berespon hanya terhadap satu komponen diskret suatu
bau dan bukan terhadap molekul odoran keseluruhan. Karena itu, masing-masing
bagian dari suatu odaran didektesi oleh satu dari ribuan reseptor yang berbeda,
dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen bau tertentu yang
terdapat di berbagai aroma. Agar dapat dibaui, suatu bahan harus (1) cukup
mudah menguap sehingga sabagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui
udara inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mucus
yang menutupi mukosa olfaktorius (Sherwood, 2009: 248).
Bagian dari fungsi penciuman

yang terlibat adalah neuroepitel

olfaktorius,bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius(Huriyati et al, 2013).

2.2.1 Neuroepitel Olfaktorius
Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka
superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar
lempeng kribriformis (Gambar 2.2).
Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang
berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada sitoplasma
kompleks golgi (Huriyati et al, 2013).

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.2Regio neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195)
Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang
merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat 20-30 miliar sel reseptor. Pada ujung
dari masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia.
Silia menonjol pada permukaan mukus.Pada neuroepitel ini terdapat sel
penunjang atau sel sustentakuler. sel ini berfungsi sebagai pembatas antara sel
reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius
dari kerusakan akibat benda asing (Doty et al, 2006, dalam Bailey 2006 ).Mukus
dihasilkan oleh kelenjar bowman’s yang terdapat pada bagian basal sel (gambar
2.3).

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.3 Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195).
Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, bersatu
dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan
reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor
olfaktorius

akan

menyebabkan

stimuli

guanine

nucleotide,

yang

akan

mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk menghasilkan second messenger yaitu
adenosin monofosfat (Huriyati et al, 2013).Ini akan menyebabkan masuknya Na+
dan Ca2+ ke dalam seldan menghasilkan depolarisasi sel membran dan
menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius (gambar 2.4).

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.4Proses transduksi dari stimulus olfaktorius (Despopulous 2003:340341).

2.2.2 Bulbus Olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal
(Despopulous 2003). Bundel akson saraf penciuman (fila) berjalan dari rongga
hidung dari lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam
masing-masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penciuman pada usia
muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia (Huriyati et al,
2013). Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari
neuron kedua dalam gromerulus. Perjalanan impuls di bulbus olfaktorius.
(Gambar 2.5)

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 2.5Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus olfaktorius
(Huriyati et al, 2013).

2.2.3 Korteks Olfaktorius
Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal
merupakan pusat persepsi terhadap penciuman (Ballenger 2002).Pada area
hipotalamus dan amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area
enthorinal merupakan pusat memori dari odoran. (gambar 2.6)

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 2.6 Korteks olfaktorius (Huriyati et al, 2013).
Saraf yang berperan dalam sistem penciuman adalah nervus olfaktorius (N
I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis
odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita
bisa mencium bau seperti bau strawberi, apel, dan lain-lain.
Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori trigeminus
(N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi
rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera
penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa
terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak
atau beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus
trigeminus berinteraksi secara fisiologis.
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (NO) dan
organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf
ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng
kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ
rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson’s. Pada manusia saraf ini
tidak berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada

Universitas Sumatera Utara

18

pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini
(Doty et al, 2006, dalam Bailey 2006).

2.2.4 Adaptasi Penciuman
Telah umum diketahui bahwa jika seseorang secara terus menerus terpajan
oleh bau tertentu (bahkan bau yang paling tidak mengenakkan), persepsi bau akan
menurun dan akhirnya berhenti. Fenomena yang kadang-kadang bermanfaat ini
disebabkan oleh adaptasi, atau desensititasi, yang relative cukup cepat terjadi pada
system olfaktorius. Fenomena ini diperantarai oleh Ca2+yang bekerja melalui
kalmodulin atau kanal ion bergerbang-nukleotida siklik (cyclic nucleotide gated,
CNG). Jika CNG A4 dihilangkan, adaptasi akan melambat (Ganong 2008: 197).
Adaptasi bersifat spesifik untuk bau tertentu, dan responsivitas terhadap
bau lain tidak berubah. Ada yang membersihkan odoran dari tempat pengikatan di
reseptor olfaktorius sehingga sensasi bau tidak terus-menerus ada setelah sumber
bau hilang. Di mukosa penciuman baru-baru ini didektesi adanya beberapa enzim
pemakan bau yang berfungsi sebagai pembersih molekuler, membersihkan
molekul-molekul odoriferous sehingga mereka tidak terus-menerus merangsang
reseptor olfaktorius. Enzim-enzim pembersih odoran ini secara kimiawi sangat
mirip dengan enzim detoksifikasi yang ditemukan di hati. Kemiripan ini mungkin
bukan kebetulan. Para peneliti berspekulasi bahwa enzim-enzim hidung mungkin
memiliki fungsi rangkap sebagai pembersih mukosa olfaktorius dari odaran lama
dan mengubah bahan-bahan kimia yang berpotensi toksi menjadi molekul yang
tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini akan memiliki fungsi yang
sangat penting, karena terbukanya saluran antara mukosa olfaktorius dan otak
(Sherwood, 2009: 250).
2.2.5 Gangguan Penciuman
Kemampuan

penghidu

normal

didefinisikan

sebagai

normosmia.

Gangguan penghidu dapat berupa: (Wrobel 2005, dan Simmen 2006).
a. Anosmia yaitu hilangnya kemampuan menghidu.
b. Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.

Universitas Sumatera Utara

19

c. Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa sensitifitas
ataupun kualitas penghidu.
d. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan
phantosmia. Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman,
sedangkan phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/
halusinasi odoran.
e. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.
Pada manusia telah ditemukan beberapa lusin jenis anosmia yang
berlainan; kelainan ini diperkirakan disebabkan oleh tidak adanya atau gangguan
fungsi pada salah satu dari berbagai anggota family reseptor bau. Ambang
penghidu meningkat seiring dengan pertumbuhan usia, dan lebih dari 75% pada
orang berusia di atas 80 tahun mengalami gangguan dalam mengidentifikasi bau
(Ganong 2008: 197).

2.2.6 Penyebab Gangguan Penciuman
Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
gangguan transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan
transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius,
misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan
kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi
saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan
kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada
penyakit neurodegeneratif, atau tumor intrakranial (Huriyati et al, 2013).

2.3 Lansia
2.3.1 Pengertian Lansia
Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua,
oleh karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan
yang wajar dan bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup
proses organobiologis, psikologik serta sosial budaya (Sagala, 2005).

Universitas Sumatera Utara

20

Selain itu lansia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari,
berjalan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya akan
menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis pada tubuh pada tubuh sehingga
akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam et
al, 2008).
Semua orang yang dikaruniai umur yang panjang, pada suatu saat pasti
akan mengalami suatu proses penuaan. Proses penuaan ini tidak hanya terjadi
pada suatu bagian-bagian tertentu saja, tetapi seluruh bagian di tubuh kita akan
mengalami proses penuaan. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan menjadi
kisutnya pipi,tumbuhnya uban pada rambut, berkurangnya proses pendengaran,
mundurnya dayaingat dan kemampuan berpikir, serta berkurangnya daya
penglihatan sehinggamemerlukan bantuan kacamata untuk membaca (Gallo,
1998).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009).

2.3.2 Klasifikasi Lansia
Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat tentang klasifikasi umur
lansia.
Menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) adalah usia antara 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) adalah usia antara 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) adalah usia diatas 90 tahun

Universitas Sumatera Utara

21

Departemen kesehatan RI membagi lansia sebagi berikut:
a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas
b. Kelompok lanjut usia (55-64 tahun) sebagai masa peresenium
c. Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai masa senium
Jika dilihat dari pembagian umur dari tersebut diatas, dapat disimpulkan
bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang-orang yang telah berumur 65 tahun
keatas. Saat ini berlaku UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia
yang berbunyi “ Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas” (Nugroho, 2008).

2.3.3 Teori-Teori Proses Penuaan

a. Teori Genetik Lock
Menurut teori ini menua telah terprogram secaragenetik untuk spesies
spesies tertentu. Setiap spesies di dalam inti sel nya mempunyai suatu jam genetic
yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu (Nugroho, 2008).
b. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan
regenerasi (Maryam et al, 2008).
c. Teori Menua Akibat Metabolisme
Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori tersebut, antara lain
disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme
(Darmodjo, 2002).
d. Immunology Slow Theory
Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia
dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ
tubuh (Maryam et al, 2008).
e. Mutasi Somatik (Teori Error Catastrophe).
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktorfaktor

penyebab

terjadinya

proses

menua

adalah

faktor

lingkungan

Universitas Sumatera Utara

22

yangmenyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui
bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur, sebaliknya menghindari
radiasi dan zat kimia yang bersifat toksik dapat memperpanjang umur (Nugroho,
2008).
f. Teori Stress
Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-selnya
yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan
sel-sel tubuh lelah terpakai (Maryam et al, 2008).
g. Teori Rantai Silang
Pada teori ini, diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan dan hilangnya fungsi sel (Maryam
et al, 2008).

2.3.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia
Hal-hal perubahan yang terjadi pada lansia adalah : (Nugroho, 2008).
1. Sel
Sel menjadi berkurang jumlahnya/lebih sedikit, ukuran sel lebih besar,
jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak,
otot, ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme
perbaikan sel terganggu, otak menjadi atropi, beratnya berkurang hingga 5-10%.
2. Sistem Pensyarafan dan Penciuman
Sistem panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat
dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress.
Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan
berkurangnya respon motorik dan reflek.
3. Sistem Pendengaran
Gangguan pendengaran, membran timpani menjadi artropi menyebabkan
otosklerosis, terjadi pengumpalan serumen, fungsi pendengaran semakin
menurun, tinnitus, vertigo.

Universitas Sumatera Utara

23

4. Sistem Penglihatan
Spingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang,
kornea lebih berbentuk speris (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa),
menjadi katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan /
hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat
dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa, lapang pandang menurun,
daya membedakan warna menurun.
5. Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta
menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun, curah jantung menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah,
kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan pendarahan, tekanan
darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat.
6. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Yang sering ditemui antara lain temperature tubuh menurun (hipotermia)
secara

fisiologis

lebih

kurang

±

35ºC

ini

akibat

metabolism

yang

menurun,keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang
banyak seningga terjadi penurunan aktivitas otot.
7. Sistem Pernapasan
Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, kehilangan kekuatan
dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru kehilangan elastisitas, ukuran
alveoli melebar, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun
menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan
kemampuan untuk batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia
menurun, sering terjadi emfisema senilis.
8. Sistem Pencernaan
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendi
yang kronis, atropi indra pengecap (+80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap
di lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap
terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar menurun,

Universitas Sumatera Utara

24

peristaltik lemah, fungsi absorbsi melemah, hati semangkin mengecil dan tempat
menurun, aliran darah berkurang.
9. Sistem Reproduksi
Pada wanita terjadi penciutan ovary, uterus, payudara, vulva mengalami
atropi, selput lender vagina menurun sedangkan pada pria testis masih dapat
memproduksi spermatozoa meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur.
10. Sistem Genitourinaria
Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,penyaringan di
glomerulus

menurun,dan

fungsi

tubulusmenurun

sehingga

kemampuan

mengonsentrasi urine ikut menurun.
11. Sistem Integument
Kulit mengerut atau keriput,permukaan kulit cendrung kusam, kasar dan
bersisik, timbul bercak pigmentasi, terjadi perubahan pada daerah sekitar mata,
respon terhadap trauma menurun, mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala
dan rambut menipis dan berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga
menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi,
pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan
fungsi kelenjar keringat berkurang.
12. Sistem Musculoskeletal
Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, permukaan sendi
tulang penyangga rusak dan aus, gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan
terbatas,gangguan gaya berjalan, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon
mengerut dan mengalami sklerosis.

Universitas Sumatera Utara