Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2014-2015.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi
Menurut National Kidney Foundation (2002) dalamJakarta Nephrology and
Hypertension Course(JNHC, 2003) penyakit ginjal kronis (PGK) adalah terdapat
kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin umumnya jumlah protein
urin atau sedimen urin selama tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung pada
nilai laju filtrasi glomerulus.Disamping itu, seseorang dapat juga dikatakan
penyakit ginjal kronis jika laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1.73 m2
dengan atau tanpa kerusakan ginjal selama minimal 3 bulan.15
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus
(LFG) sesuai rekomendasi National Kidney Foundation Disease Outcome Quality
Initiative(NKF-DOQI):
Tabel 2.1 Derajat Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
Derajat
1
2
3
4
5
Deskripsi
Kerusakan ginjal disertai LFG
normal atau meninggi
Kerusakan ginjal disertai
penurunan ringan LFG
Penurunan moderat LFG
Penurunan berat LFG
Gagal ginjal
LFG (mL/menit/1,73 m²)
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis
2.1.3 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%).16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Glomerulonefritis,
hipertensi
esensial,
dan
pielonefritis
merupakan
penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronis yang
berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 1520%.
Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsi
difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan
berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti
nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir
dengan penyakit ginjal kronis.
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif
dan
difus
yang
seringkali
berakhir
dengan
penyakit
ginjal
kronis.
Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik
(glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis
nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang
berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai
dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Glomerulonefritis yang
berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan
penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid
dan myeloma.
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu
penyebab penyakit ginjal kronis. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir
dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%.
Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit
ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik
kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis.
Pada orang dewasa penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan infeksi
saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe sederhana jarang dijumpai, kecuali
tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat
pengobatan yang adekuat.17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
2.1.4 Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis
Untuk wilayah Asia, sebuah studi di Tibet mendapatkan hasil bahwa
hipertensi, sindrom metabolik, hiperlipidemia dan usia tua merupakan faktor
risiko independent untuk kejadian PGK, di populasi dataran tinggi 18. Sedangkan
penelitian di China mendapatkan hasil faktor risiko untuk PGK adalah :(1) usia
OR = 1,062, (2) obesitas sentral OR = 1,631, (3) anemia OR = 2,745, (4)
hipertensi OR= 1,463, (5) diabetes OR = 1,970, dan (6) nefrolitiasis OR = 2.922.
Penelitian di Jepang yang meneliti tentang faktor risiko PGK pada komunitas
berbasis populasi, setelah 10 tahun di follow up mendapatkan hasil bahwa faktor
risiko PGK adalah usia, LFG, hematuria, hipertensi, diabetes, serum lipid,
obesitas, status merokok dan konsumsi alkohol.19
Usia tua, ras dan etnis, jenis kelamin, berat badan lahir rendah dan merokok
merupakan faktor risiko PGK 20. Usia tua, riwayat keluarga, etnis, jenis kelamin,
diabetes mellitus, sindrom metabolik, status hiperfiltrasi (tekanan darah >125/75
mmHg, obesitas, diet tinggi protein, anemia), dislipidemia, nefrotoxin, penyakit
ginjal primer, kelainan urologis (obstruksi dan infeksi saluran kencing berulang)
dan penyakit kardiovaskular merupakan faktor prediktor inisiasi PGK
21
.
Sedangkan KDOQI 2000 membagi faktor risiko PGK menjadi factor rentan atau
faktor yang meningkatkan kecurigaan akan adanya kerusakan ginjal yaitu usia tua
dan riwayat keluarga, faktor inisiasi atau faktor yang secara langsung memulai
dan menyebabkan kerusakan ginjal yaitu diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit
autoimun, penyakit sistemik, infeksi saluran kencing, batu saluran kencing,
obstruksi saluran kencing bagian bawah, toksisitas obat, progession faktor atau
penyebab perburukan kerusakan ginjal dan mempercepat penurunan dari fungsi
ginjal setelah dimulainya kerusakan ginjal yaitu level proteinuria yang tinggi,
level tekanan darah yang tinggi, kontrol glukosa darah yang tinggi pada diabetes,
dan merokok.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
2.1.4.1 Diabetes Melitus
Sekitar 40% dari pasien diabetes mellitus (DM) terdapat keterlibatan
ginjal. Pada pasien DM berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti
terjadinya batu saluran kemih, infeksi batu saluran kemih, pielonefritis akut
maupun kronik dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis yang selalu disebut
sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang
terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah penyakit
ginjal diabetik, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl
Wilson pada 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus.
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose
transporter (GLUT), terutama GLUT1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa
mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC)
pathway dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation
endproduct (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun on vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel , diferensiasi sel dan sintesis bahan matriks ekstraseluler .
Di antara zat itu ada mitogen activated protein kinase (MAPKs), PKC-Beta
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang
timbul,
derajatkerusakan
seperti
mencegah
struktural
berupa
peningkatan
derajat
penumpukan
albuminuria
matriks
dan
mesangial
.
Kemungkinan perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth
factor-Beta ( TGF-Beta) dan penurunan extrasellular matrix (ECM). Peran TGFBeta dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan oleh beberapa
peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes.
Berbagai proses di atas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya
nefropati pada pasien DM, akan tetapi juga dalam progresivitasnya menuju tahap
lanjutan. Penelitian dengan menggunakan mikropunktur menunjukkan bahwa
tekanan intraglomerulus meningkat pada pasien DM, bahkan sebelum tekanan
darah sistemik meningkat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai
hormon vasoaktif, seperti angiotensin II (AII) dan endotelin. Genetik adalah
faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik.
Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh ke dalam
nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini.
2.1.4.2 Hipertensi
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya
hipertensi dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan ginjal. Secara klinis
sukar dibedakan kedua keadaan ini, terutama pada keadaan penyakit ginjal
menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal menahun, atau
penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui
keadaan ini diperlukan adanya catatan medis yang teratur dalam jangka waktu
panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung pada tingginya
tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dan
lamanya penderita hipertensi makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan.
Hubungan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright
pada 1836. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi
merupakan faktor perburukan fungsi ginjal. Variabelitas tekanan darah berperan
penting sebagai penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen
variabelitas tekanan darah yang berperan antara lain : perubahan tekanan darah
siang dan malam, perubahan tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan
tekanan darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang.
Diagnosis dari
nefrosklerosis hipertensi tergantung dari eksklusi dari penyakit ginjal primer
lainnya. Riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga, tanda dari
kerusakan target organ, seperti hipertrofi ventrikel kiri, perubahan retina karena
hipertensi, urin mikroskopis, pengukuran protein urine 24 jam dan gambaran
ultrasonografi akan menegakkan diagnosis. Seperti pada glomeruloskelosis
diabetes, Biopsi ginjal untuk diagnose nefrosklerosis hipertensi diindikasikan
pada praktek klinis jika secara substansial kita ragu dengan hanya pada bukti
klinis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
Biopsi hanya perlu dipertimbangkan pada pasien yang tidak mempunyai
hipertensi akselerasi atau riwayat hipertensi yang lama, dimana serum kreatinin
kurang dari 2,5-3 mg/dl dan pada proteinuria lebih dari 1,5 g/24 jam.
Lesi histologis pada glomerulosklerosis meliputi hyperplasia myointima
dari pembuluh darah interlobular dan arteriolar afferent, hialin arteriosklerosis dan
yang paling sering global glomerulosklerosis. Perubahan ini merupakan hasil dari
iskemia glomerular karena penyempitan arteriolar afferent. Sebagai respon untuk
meningkatkan aliran arteriolar afferent akan terjadi respon kontraktilitas
miogenik, di tambah dengan umpan balik dari tubuloglamerular dari signal
makula densa. Pada keadaan yang lebih lanjut akan terjadi autoregulasi dari
tekanan dan aliran kapiler glomerulus.22
2.1.4.3 Obesitas Sentral
Obesitas abdominal atau obesitas sentral adalah komponen kunci dari
sindrom metabolik. Definisi sindrom metabolik menurut International Diabetes
Federation (IDF), obesitas adalah syarat mutlak. Seiring dengan terjadinya
epidemi obesitas, disini juga terjadi peningkatan dari penyakit ginjal tahap akhir
pada dewasa, dan di populasi di perkirakan akan terjadi peningkatan kejadian
PGK dua kali lipat tiap dekadnya. Obesitas sudah dikenal baik sebagai faktor
risiko untuk hipertensi dan diabetes, yang merupakan penyebab tersering dari
penyakit ginjal tahap akhir. Sangat penting diketahui, bahwa dari studi
observasional jangka panjang bahwa terdapat hubungan antara indeks massa
tubuh (IMT) dengan kejadian baru dari penyakit ginjal tahap akhir. Selaras
dengan hal tersebut, rasio pinggang ke pinggul (waist to hip ratio) atau lingkar
pinggang sudah diterima secara luas sebagai faktor risiko PGK.23
Obesitas
menyebabkan
hiperfiltrasi
glomerular,proteinuria,
gromerulomegaly, podosit hipertropi, peningkatan matriks dan proliferasi
mesangial lesi dari sklerosis segmental dan hilangnya proses makanan dengan
fibrosis interstitial dan gangguan fungsi ginjal.24Obesitas, khususnya obesitas
abdominal/sentral juga berhubungan dengan resistensi dari efek insulin pada
glukosa perifer dan penggunaan asam lemak. Hasil dari hiperinsulinemia dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
hiperglikemia adalah keluarnya adiposity sitokin, yang akan menyebabkan
inflamasi pembuluh darah, semua itu bersifat atherogenik.25
Struktur ginjal dan fungsinya pada obesitas beberapa penelitian
menemukan hubungan mikroalbuminuria dengan variable derajat dari proteinuria
terhadap obesitas. Secara klinis, pasien mungkin memberi gambaran sindroma
nefrotik, walaupun lebih seringnya mereka tidak nefrosis. Pada seri kasus 15
pasien dengan obese, Praga dkk melaporkan tidak adanya gambaran sindroma
nefrotik walaupun terjadi proteinuria yang berat. 10 tahun renal survival hanya 51
% pada serial kasus ini. Temuan yang sama ditemukan pada serial kasus yang
lebih besar oleh D’Agati dkk. Histopatologi dari obese proteinuria terdiri dari
glomerulomegali dengan atau tanpa Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS).
Pada pasien ini cenderung mempunyai lesi podocyte yang sedikit dan progresi
yang lebih pelan dibandingkan dengan idiopatik FSGS. Perubahan glomerular
disini dinamakan Obesity-related glomerulopathy.
Selanjutnya hal itu berhubungan dengan perubahan hemodinamik ginjal,
yaitu peningkatan aliran darah ginjal, hiperfiltrasi dan peningkatan fraksi filtrasi,
hal inilah yang menerangkan tentang paragraph diatas. Namun pemeriksaan diatas
biasanya bias karena biopsy ginjal biasanya hanya diperoleh dari pasien
proteinuria. Oleh karena itu, glomerulopaty terkait obesitas mungkin bukan hanya
gambaran histopatologis dari penyakit ginjal terkait obesitas, khususnya pada
nonproteinuria obese pasien dengan disfungsi ginjal. Sebagai contoh, mungkin
tampak gambaran nefropati tubulointerstitial dan mungkin mendahului proteinuria
pada beberapa pasien obese, dimana hal tersebut belum diteliti.
Dalam rangka usaha untuk menguji perubahan awal pada histopatologi
ginjal yang berhubungan dengan obesitas, Rea dkk menguji spesimen biopsy
ginjal pada ginjal donor yang obese tanpa gangguan fungsi ginjal dan
dibandingkan dengan kontrol dari ginjal non obese. Mereka menemukan
peningkatan permukaan area planar glomerular dan lebih banyak dilatasi tubulus
pada pasien obese, tanpa adanya perbedaan yang cukup bermakna. Kemaknaan
dari penemuan ini tidak jelas tapi mungkin berhubungan dengan ketidakcocokan
dari jumlah nefron dengan ukuran tubuh atau hiperfiltrasi pada individu yang
obese. 26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
2.1.4.4 Usia
Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian penyakit
ginjal kronik mempunyai hubungan yang bermakna antara usia 60
tahun pada pasien hemodialisis. Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai
risiko 2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronis dibandingkan dengan
pasien usia 120 mg% dan kreatinin >10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat. 18 Hemodialisis di Indonesia
dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan
yang
kompartemen
darahnya
adalah
kapiler-kapiler
selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh
cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal. 38
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasienpasien yang telah menderita penyakit
sistem
kardiovaskular,
pasien-pasien
yang
cenderung
akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal
ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal.17
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Menurut pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi
Menurut National Kidney Foundation (2002) dalamJakarta Nephrology and
Hypertension Course(JNHC, 2003) penyakit ginjal kronis (PGK) adalah terdapat
kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin umumnya jumlah protein
urin atau sedimen urin selama tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung pada
nilai laju filtrasi glomerulus.Disamping itu, seseorang dapat juga dikatakan
penyakit ginjal kronis jika laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1.73 m2
dengan atau tanpa kerusakan ginjal selama minimal 3 bulan.15
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus
(LFG) sesuai rekomendasi National Kidney Foundation Disease Outcome Quality
Initiative(NKF-DOQI):
Tabel 2.1 Derajat Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
Derajat
1
2
3
4
5
Deskripsi
Kerusakan ginjal disertai LFG
normal atau meninggi
Kerusakan ginjal disertai
penurunan ringan LFG
Penurunan moderat LFG
Penurunan berat LFG
Gagal ginjal
LFG (mL/menit/1,73 m²)
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis
2.1.3 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%).16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Glomerulonefritis,
hipertensi
esensial,
dan
pielonefritis
merupakan
penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronis yang
berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 1520%.
Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsi
difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan
berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti
nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir
dengan penyakit ginjal kronis.
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif
dan
difus
yang
seringkali
berakhir
dengan
penyakit
ginjal
kronis.
Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik
(glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis
nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang
berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai
dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Glomerulonefritis yang
berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan
penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid
dan myeloma.
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu
penyebab penyakit ginjal kronis. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir
dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%.
Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit
ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik
kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis.
Pada orang dewasa penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan infeksi
saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe sederhana jarang dijumpai, kecuali
tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat
pengobatan yang adekuat.17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
2.1.4 Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis
Untuk wilayah Asia, sebuah studi di Tibet mendapatkan hasil bahwa
hipertensi, sindrom metabolik, hiperlipidemia dan usia tua merupakan faktor
risiko independent untuk kejadian PGK, di populasi dataran tinggi 18. Sedangkan
penelitian di China mendapatkan hasil faktor risiko untuk PGK adalah :(1) usia
OR = 1,062, (2) obesitas sentral OR = 1,631, (3) anemia OR = 2,745, (4)
hipertensi OR= 1,463, (5) diabetes OR = 1,970, dan (6) nefrolitiasis OR = 2.922.
Penelitian di Jepang yang meneliti tentang faktor risiko PGK pada komunitas
berbasis populasi, setelah 10 tahun di follow up mendapatkan hasil bahwa faktor
risiko PGK adalah usia, LFG, hematuria, hipertensi, diabetes, serum lipid,
obesitas, status merokok dan konsumsi alkohol.19
Usia tua, ras dan etnis, jenis kelamin, berat badan lahir rendah dan merokok
merupakan faktor risiko PGK 20. Usia tua, riwayat keluarga, etnis, jenis kelamin,
diabetes mellitus, sindrom metabolik, status hiperfiltrasi (tekanan darah >125/75
mmHg, obesitas, diet tinggi protein, anemia), dislipidemia, nefrotoxin, penyakit
ginjal primer, kelainan urologis (obstruksi dan infeksi saluran kencing berulang)
dan penyakit kardiovaskular merupakan faktor prediktor inisiasi PGK
21
.
Sedangkan KDOQI 2000 membagi faktor risiko PGK menjadi factor rentan atau
faktor yang meningkatkan kecurigaan akan adanya kerusakan ginjal yaitu usia tua
dan riwayat keluarga, faktor inisiasi atau faktor yang secara langsung memulai
dan menyebabkan kerusakan ginjal yaitu diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit
autoimun, penyakit sistemik, infeksi saluran kencing, batu saluran kencing,
obstruksi saluran kencing bagian bawah, toksisitas obat, progession faktor atau
penyebab perburukan kerusakan ginjal dan mempercepat penurunan dari fungsi
ginjal setelah dimulainya kerusakan ginjal yaitu level proteinuria yang tinggi,
level tekanan darah yang tinggi, kontrol glukosa darah yang tinggi pada diabetes,
dan merokok.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
2.1.4.1 Diabetes Melitus
Sekitar 40% dari pasien diabetes mellitus (DM) terdapat keterlibatan
ginjal. Pada pasien DM berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti
terjadinya batu saluran kemih, infeksi batu saluran kemih, pielonefritis akut
maupun kronik dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis yang selalu disebut
sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang
terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah penyakit
ginjal diabetik, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl
Wilson pada 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus.
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose
transporter (GLUT), terutama GLUT1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa
mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC)
pathway dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation
endproduct (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun on vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel , diferensiasi sel dan sintesis bahan matriks ekstraseluler .
Di antara zat itu ada mitogen activated protein kinase (MAPKs), PKC-Beta
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang
timbul,
derajatkerusakan
seperti
mencegah
struktural
berupa
peningkatan
derajat
penumpukan
albuminuria
matriks
dan
mesangial
.
Kemungkinan perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth
factor-Beta ( TGF-Beta) dan penurunan extrasellular matrix (ECM). Peran TGFBeta dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan oleh beberapa
peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes.
Berbagai proses di atas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya
nefropati pada pasien DM, akan tetapi juga dalam progresivitasnya menuju tahap
lanjutan. Penelitian dengan menggunakan mikropunktur menunjukkan bahwa
tekanan intraglomerulus meningkat pada pasien DM, bahkan sebelum tekanan
darah sistemik meningkat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai
hormon vasoaktif, seperti angiotensin II (AII) dan endotelin. Genetik adalah
faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik.
Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh ke dalam
nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini.
2.1.4.2 Hipertensi
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya
hipertensi dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan ginjal. Secara klinis
sukar dibedakan kedua keadaan ini, terutama pada keadaan penyakit ginjal
menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal menahun, atau
penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui
keadaan ini diperlukan adanya catatan medis yang teratur dalam jangka waktu
panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung pada tingginya
tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dan
lamanya penderita hipertensi makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan.
Hubungan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright
pada 1836. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi
merupakan faktor perburukan fungsi ginjal. Variabelitas tekanan darah berperan
penting sebagai penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen
variabelitas tekanan darah yang berperan antara lain : perubahan tekanan darah
siang dan malam, perubahan tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan
tekanan darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang.
Diagnosis dari
nefrosklerosis hipertensi tergantung dari eksklusi dari penyakit ginjal primer
lainnya. Riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga, tanda dari
kerusakan target organ, seperti hipertrofi ventrikel kiri, perubahan retina karena
hipertensi, urin mikroskopis, pengukuran protein urine 24 jam dan gambaran
ultrasonografi akan menegakkan diagnosis. Seperti pada glomeruloskelosis
diabetes, Biopsi ginjal untuk diagnose nefrosklerosis hipertensi diindikasikan
pada praktek klinis jika secara substansial kita ragu dengan hanya pada bukti
klinis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
Biopsi hanya perlu dipertimbangkan pada pasien yang tidak mempunyai
hipertensi akselerasi atau riwayat hipertensi yang lama, dimana serum kreatinin
kurang dari 2,5-3 mg/dl dan pada proteinuria lebih dari 1,5 g/24 jam.
Lesi histologis pada glomerulosklerosis meliputi hyperplasia myointima
dari pembuluh darah interlobular dan arteriolar afferent, hialin arteriosklerosis dan
yang paling sering global glomerulosklerosis. Perubahan ini merupakan hasil dari
iskemia glomerular karena penyempitan arteriolar afferent. Sebagai respon untuk
meningkatkan aliran arteriolar afferent akan terjadi respon kontraktilitas
miogenik, di tambah dengan umpan balik dari tubuloglamerular dari signal
makula densa. Pada keadaan yang lebih lanjut akan terjadi autoregulasi dari
tekanan dan aliran kapiler glomerulus.22
2.1.4.3 Obesitas Sentral
Obesitas abdominal atau obesitas sentral adalah komponen kunci dari
sindrom metabolik. Definisi sindrom metabolik menurut International Diabetes
Federation (IDF), obesitas adalah syarat mutlak. Seiring dengan terjadinya
epidemi obesitas, disini juga terjadi peningkatan dari penyakit ginjal tahap akhir
pada dewasa, dan di populasi di perkirakan akan terjadi peningkatan kejadian
PGK dua kali lipat tiap dekadnya. Obesitas sudah dikenal baik sebagai faktor
risiko untuk hipertensi dan diabetes, yang merupakan penyebab tersering dari
penyakit ginjal tahap akhir. Sangat penting diketahui, bahwa dari studi
observasional jangka panjang bahwa terdapat hubungan antara indeks massa
tubuh (IMT) dengan kejadian baru dari penyakit ginjal tahap akhir. Selaras
dengan hal tersebut, rasio pinggang ke pinggul (waist to hip ratio) atau lingkar
pinggang sudah diterima secara luas sebagai faktor risiko PGK.23
Obesitas
menyebabkan
hiperfiltrasi
glomerular,proteinuria,
gromerulomegaly, podosit hipertropi, peningkatan matriks dan proliferasi
mesangial lesi dari sklerosis segmental dan hilangnya proses makanan dengan
fibrosis interstitial dan gangguan fungsi ginjal.24Obesitas, khususnya obesitas
abdominal/sentral juga berhubungan dengan resistensi dari efek insulin pada
glukosa perifer dan penggunaan asam lemak. Hasil dari hiperinsulinemia dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
hiperglikemia adalah keluarnya adiposity sitokin, yang akan menyebabkan
inflamasi pembuluh darah, semua itu bersifat atherogenik.25
Struktur ginjal dan fungsinya pada obesitas beberapa penelitian
menemukan hubungan mikroalbuminuria dengan variable derajat dari proteinuria
terhadap obesitas. Secara klinis, pasien mungkin memberi gambaran sindroma
nefrotik, walaupun lebih seringnya mereka tidak nefrosis. Pada seri kasus 15
pasien dengan obese, Praga dkk melaporkan tidak adanya gambaran sindroma
nefrotik walaupun terjadi proteinuria yang berat. 10 tahun renal survival hanya 51
% pada serial kasus ini. Temuan yang sama ditemukan pada serial kasus yang
lebih besar oleh D’Agati dkk. Histopatologi dari obese proteinuria terdiri dari
glomerulomegali dengan atau tanpa Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS).
Pada pasien ini cenderung mempunyai lesi podocyte yang sedikit dan progresi
yang lebih pelan dibandingkan dengan idiopatik FSGS. Perubahan glomerular
disini dinamakan Obesity-related glomerulopathy.
Selanjutnya hal itu berhubungan dengan perubahan hemodinamik ginjal,
yaitu peningkatan aliran darah ginjal, hiperfiltrasi dan peningkatan fraksi filtrasi,
hal inilah yang menerangkan tentang paragraph diatas. Namun pemeriksaan diatas
biasanya bias karena biopsy ginjal biasanya hanya diperoleh dari pasien
proteinuria. Oleh karena itu, glomerulopaty terkait obesitas mungkin bukan hanya
gambaran histopatologis dari penyakit ginjal terkait obesitas, khususnya pada
nonproteinuria obese pasien dengan disfungsi ginjal. Sebagai contoh, mungkin
tampak gambaran nefropati tubulointerstitial dan mungkin mendahului proteinuria
pada beberapa pasien obese, dimana hal tersebut belum diteliti.
Dalam rangka usaha untuk menguji perubahan awal pada histopatologi
ginjal yang berhubungan dengan obesitas, Rea dkk menguji spesimen biopsy
ginjal pada ginjal donor yang obese tanpa gangguan fungsi ginjal dan
dibandingkan dengan kontrol dari ginjal non obese. Mereka menemukan
peningkatan permukaan area planar glomerular dan lebih banyak dilatasi tubulus
pada pasien obese, tanpa adanya perbedaan yang cukup bermakna. Kemaknaan
dari penemuan ini tidak jelas tapi mungkin berhubungan dengan ketidakcocokan
dari jumlah nefron dengan ukuran tubuh atau hiperfiltrasi pada individu yang
obese. 26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
2.1.4.4 Usia
Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian penyakit
ginjal kronik mempunyai hubungan yang bermakna antara usia 60
tahun pada pasien hemodialisis. Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai
risiko 2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronis dibandingkan dengan
pasien usia 120 mg% dan kreatinin >10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat. 18 Hemodialisis di Indonesia
dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan
yang
kompartemen
darahnya
adalah
kapiler-kapiler
selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh
cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal. 38
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasienpasien yang telah menderita penyakit
sistem
kardiovaskular,
pasien-pasien
yang
cenderung
akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal
ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal.17
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Menurut pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA