Gambaran Tekanan Intraokular pada Pasien yang Mendapat Terapi Kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2014

(1)

GAMBARAN TEKANAN INTRAOKULAR PADA PASIEN YANG MENDAPAT TERAPI KORTIKOSTEROID DI POLIKLINIK REUMATOLOGI DAN HEMATOLOGI

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2014

Oleh:

YOSSY NIA BELLINA 110100319

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

GAMBARAN TEKANAN INTRAOKULAR PADA PASIEN YANG MENDAPAT TERAPI KORTIKOSTEROID DI POLIKLINIK REUMATOLOGI DAN HEMATOLOGI

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2014

KARYA TULIS ILMIAH

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

YOSSY NIA BELLINA 110100319

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

(4)

ABSTRAK

Gambaran Tekanan Intraokular pada Pasien yang Mendapat Kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi

RSUP H. Adam Malik

Tekanan intraokular adalah tekanan cairan di dalam bola mata yang nilainya ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Peningkatan tekanan intraokular dapat terjadi akibat peningkatan produksi ataupun gangguan aliran keluar dari aqueous humor tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intraokular adalah faktor genetik, ras, jenis kelamin, tekanan darah, dan penggunaan kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan dalam terapi kelainan peradangan dan imunologik. Namun, kortikosteroid juga memiliki beberapa efek samping yang salah satunya adalah ke organ mata yaitu hipertensi okular. Hipertensi okular ini jika dibiarkan berlanjut dapat menyebabkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai tekanan intraokular pada pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan yang mendapat terapi kortikosteroid. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien berdasarkan definisi operasional yang datang berkunjung ke Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November tahun 2014 dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang dan teknik pengambilan sampel secara total sampling.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas penderita yang mendapat terapi kortikoteroid adalah berjenis kelamin perempuan (73%), rentang umur 46-59 tahun (37%), jenis kortikosteroid yang digunakan yaitu metilprednisolon, rata-rata dosis kortikosteroid yang digunakan adalah dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) dengan durasi rata-rata <1 tahun, dan didapatkan tekanan intraokular pasien masih dalam batas normal yaitu dalam rentang 10-21 mmHg.


(5)

ABSTRACT

Intraocular Pressure in Patients who Received Corticosteroid Therapy in Rheumatology and Hematology Clinic of H. Adam Malik Hospital

Intraocular pressure is the pressure of fluid in the eyeball, which is determined by the speed of aqueous humor formation and resistance to flow discharge from the eye. Increased intraocular pressure can occur due to increased production or interruption outflow of the aqueous humor. Several factors can affect intraocular pressure are genetic factor, race, gender, blood pressure, and use of corticosteroid. Corticosteroid is used in the treatment of inflammatory and immunological disorders. However, corticosteroid also have some side effects, one of which is the eye organ such as ocular hypertension. Ocular hypertension is if allowed to continue can cause visual impairment and even blindness.

This study aims to determine the value of intraocular pressure in patients in Hematologic and Rheumatology Clinic of H. Adam Malik Hospital who received corticosteroid therapy. The design used in this study was a descriptive with cross sectional (cross-sectional) approach. The population in this study are all patients based on operational definition who come to visit the Rheumatology and Hematology Clinic of H. Adam Malik Hospital in the month of August until November 2014, with a total sample of 30 people and the retrieval techniques is total sampling.

Based on the results of the study showed that the majority of patients who received corticosteroid therapy are women (73%), in the range of 46-59 years of age (37%), corticosteroid type is methylprednisolone, the average dose steroid use is moderate doses (> 7.5 mg / day and ≤30mg / day) with a duration average of <1 year, and found the intraocular pressure of patients are within normal limits in the range of 10-21 mmHg.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Gambaran Tekanan Intraokular pada Pasien yang Mendapat Terapi Kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2014”. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, karya tulis ilmiah ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan laporan hasil penelitian ini, diantaranya:

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada dosen pembimbing dalam penelitian ini, dr. T. Siti Harilza Zubaidah, M,Ked (Oph), Sp.M yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya karya tulis ilmiah ini.

3. Kepada dosen penguji dalam karya tulis ilmiah ini, dr. Bungaran Sihombing, Sp.U, selaku penguji I dan dr. Ichwanul Adenin, Sp.OG(K) selaku penguji II yang telah bersedia menjadi penguji dan terimakasih telah memberikan saran-saran dan meluangkan waktunya.


(7)

4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK. yang telah menjadi dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Drs. Aidina Yulis dan Ibunda Yulinda yang senantiasa mendukung dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

6. Kepada Standing Committee on Research Exchange Pemerintahan Mahasiswa (SCORE-PEMA) FK USU, atas ilmu dan pengalaman yang berharga dalam bidang penelitian yang telah diperoleh penulis selama ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam pengembangan ilmu kedokteran.

Medan, 22 Januari 2015

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ………. iii

ABSTRAK ………. iv

ABSTRACT ………... v

KATA PENGANTAR ……….. . vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ………. xii

DAFTAR GAMBAR... . xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 3

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 3

1.4. Manfaat Penelitian ………. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... . 4

2.1. Osteoartritis ……… 4

2.1.1. Definisi ……….. 4

2.1.2. Etiopatogenesis ……….. 4

2.2. Lupus Eritematosus Sistemik ……….. 5

2.2.1. Definisi ……….. 5


(9)

2.3. Anemia Aplastik ……… 6

2.3.1. Definisi ……….. 6

2.3.2. Etiopatogenesis ……….. 6

2.4. Purpura Trombositopenia Imun………. 7

2.1.1. Definisi ……….. 7

2.1.2. Etiopatogenesis ……….. 7

2.5. Kortikosteroid ……… 8

2.5.1. Glukokortikoid Alamiah………. ... . 8

2.5.2. Kortikosteroid Sintetik ………. 11

2.6. Aqueous Humor ……….………. 12

2.6.1. Definisi ………. 12

2.6.2. Pembentukan dan Aliran Aqueous Humor …………... 12

2.6.3. Aliran Aqueous Humor ………. 13

2.7. Tekanan Intraokular……….…… 14

2.7.1. Definisi ……… ... ... 14

2.7.2. Diagnosis ………..…. 14

2.7.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Intraokular 14

2.8. Beberapa Penelitian Mengenai Nilai Tekanan Intraokular pada Pasien yang Mendapat Terapi Kortikosteroid ……….. 16

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……. … 19

3.1. Kerangka Konsep ……… 19

3.2. Definisi Operasional ……… 19

3.2.1. Subyek Penelitian ... 19

3.2.2. Tekanan Darah ... 20


(10)

3.2.4. Tekanan Intraokular (TIO) ……… 22

BAB 4 METODE PENELITIAN ... . 23

4.1. Jenis Penelitian ……… 23

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………. 23

4.3. Populasi dan Sampel ……… .. 23

4.3.1. Populasi ... .. 23

4.3.2. Sampel ... .. 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ………. 24

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……… 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .. 26

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 26

5.2. Karakteristik Sampel Penelitian ……….. 26

5.2.1. Distribusi Reponden berdasarkan Jenis Kelamin ……….. 27

5.2.2. Distribusi Reponden berdasarkan Usia ………. 27

5.2.3. Distribusi Reponden berdasarkan Tekanan Darah ……… 28

5.2.4. Distribusi Reponden berdasarkan Diagnosa ………. 29

5.2.5. Distribusi Reponden berdasarkan Jenis Kortikosteroid … 29 5.2.6. Distribusi Reponden berdasarkan Dosis Kortikosteroid .. 30

5.2.7. Distribusi Reponden berdasarkan Waktu Kortikosteroid.. 31

5.2.8. Distribusi Reponden berdasarkan Tekanan Intraokular … 32 5.3. Hasil Analisis Data ……….. 33

5.3.1. Hubungan Jenis Kelamin dengan Tekanan Intraokular .. 33

5.3.2. Hubungan Usia dengan Tekanan Intraokular ... .. 34

5.3.3. Hubungan Tekanan Darah dengan Tekanan Intraokular. 35 5.3.4. Hubungan Diagnosa dengan Tekanan Intraokular ... .. 36

5.3.5. Hubungan Dosis Steroid dengan Tekanan Intraokular .. 38

5.3.6. Hubungan Lama Steroid dengan Tekanan Intraokular .. 40


(11)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1. Kesimpulan ... 45

6.2. Saran ... 46


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Sifat dan Contoh Kortikosteroid Alami dan Sintetik………. 11

Tabel 5.1. Distribusi Reponden berdasarkan Jenis Kelamin... 27

Tabel 5.2. Distribusi Reponden berdasarkan Usia……….. ... 27

Tabel 5.3. Distribusi Reponden berdasarkan Tekanan Darah………. ... 28

Tabel 5.4. Distribusi Reponden berdasarkan Diagnosa………... ... 29

Tabel 5.5. Distribusi Reponden berdasarkan Jenis Kortikosteroid… ... 29

Tabel 5.6. Distribusi Reponden berdasarkan Dosis Awal Kortikosteroid ... 30

Tabel 5.7. Distribusi Reponden berdasarkan Dosis Akhir Kortikosteroid... 30

Tabel 5.8. Distribusi Reponden berdasarkan Lama Kortikosteroid... ... 31

Tabel 5.9. Distribusi Reponden berdasarkan TIO Mata Kanan ... 32

Tabel 5.10. Distribusi Reponden berdasarkan TIO Mata Kiri….. ... 32

Tabel 5.11. Hubungan Jenis Kelamin dengan Tekanan Intraokular ... 33

Tabel 5.12. Hubungan Usia dengan Tekanan Intraokular... 34

Tabel 5.13. Hubungan Tekanan Darah dengan Tekanan Intraokular ... 35

Tabel 5.14. Hubungan Diagnosa dengan Tekanan Intraokular ... 37

Tabel 5.15. Hubungan Dosis Awal Steroid dengan Tekanan Intraokular ... 38

Tabel 5.16. Hubungan Dosis Akhir Steroid dengan Tekanan Intraokular ... 39


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 2.1. Alur mediator asam arakidonat dan tempat kerja obat… 10 Gambar 2.2. Struktur segmen anterior ……… 13 Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 19


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2. Lembar Penjelasan untuk Penelitian

Lampiran 3. Lembar Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Inform

Consent) Kesediaan Mengikuti Penelitian

Lampiran 4. Data Responden

Lampiran 5. Master Data Penelitian

Lampiran 6. Hasil Output SPSS

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian


(15)

ABSTRAK

Gambaran Tekanan Intraokular pada Pasien yang Mendapat Kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi

RSUP H. Adam Malik

Tekanan intraokular adalah tekanan cairan di dalam bola mata yang nilainya ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Peningkatan tekanan intraokular dapat terjadi akibat peningkatan produksi ataupun gangguan aliran keluar dari aqueous humor tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intraokular adalah faktor genetik, ras, jenis kelamin, tekanan darah, dan penggunaan kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan dalam terapi kelainan peradangan dan imunologik. Namun, kortikosteroid juga memiliki beberapa efek samping yang salah satunya adalah ke organ mata yaitu hipertensi okular. Hipertensi okular ini jika dibiarkan berlanjut dapat menyebabkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai tekanan intraokular pada pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan yang mendapat terapi kortikosteroid. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien berdasarkan definisi operasional yang datang berkunjung ke Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November tahun 2014 dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang dan teknik pengambilan sampel secara total sampling.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas penderita yang mendapat terapi kortikoteroid adalah berjenis kelamin perempuan (73%), rentang umur 46-59 tahun (37%), jenis kortikosteroid yang digunakan yaitu metilprednisolon, rata-rata dosis kortikosteroid yang digunakan adalah dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) dengan durasi rata-rata <1 tahun, dan didapatkan tekanan intraokular pasien masih dalam batas normal yaitu dalam rentang 10-21 mmHg.


(16)

ABSTRACT

Intraocular Pressure in Patients who Received Corticosteroid Therapy in Rheumatology and Hematology Clinic of H. Adam Malik Hospital

Intraocular pressure is the pressure of fluid in the eyeball, which is determined by the speed of aqueous humor formation and resistance to flow discharge from the eye. Increased intraocular pressure can occur due to increased production or interruption outflow of the aqueous humor. Several factors can affect intraocular pressure are genetic factor, race, gender, blood pressure, and use of corticosteroid. Corticosteroid is used in the treatment of inflammatory and immunological disorders. However, corticosteroid also have some side effects, one of which is the eye organ such as ocular hypertension. Ocular hypertension is if allowed to continue can cause visual impairment and even blindness.

This study aims to determine the value of intraocular pressure in patients in Hematologic and Rheumatology Clinic of H. Adam Malik Hospital who received corticosteroid therapy. The design used in this study was a descriptive with cross sectional (cross-sectional) approach. The population in this study are all patients based on operational definition who come to visit the Rheumatology and Hematology Clinic of H. Adam Malik Hospital in the month of August until November 2014, with a total sample of 30 people and the retrieval techniques is total sampling.

Based on the results of the study showed that the majority of patients who received corticosteroid therapy are women (73%), in the range of 46-59 years of age (37%), corticosteroid type is methylprednisolone, the average dose steroid use is moderate doses (> 7.5 mg / day and ≤30mg / day) with a duration average of <1 year, and found the intraocular pressure of patients are within normal limits in the range of 10-21 mmHg.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tekanan intraokular adalah tekanan cairan di dalam bola mata yang nilainya ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Peningkatan tekanan intraokular dapat terjadi akibat peningkatan produksi ataupun gangguan aliran keluar dari aqueous humor tersebut (Salmon, 2009).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intraokular adalah faktor genetik, ras, jenis kelamin, tekanan darah, dan penggunaan kortikosteroid (Maxwell, 2014). Kortikosteroid adalah hormon yang diproduksi dan dilepaskan oleh korteks adrenal. Kortikosteroid ini digunakan dalam terapi kelainan peradangan dan imunologik (Chrousos, 2010). Efek samping dari kortikosteroid ini dapat timbul akibat pemberian yang terus menerus terutama dalam dosis yang besar (Syarif et al., 2008).

Kortikosteroid dapat digunakan sebagai terapi untuk beberapa penyakit seperti lupus eritematosus sistemik, osteoartritis, anemia aplastik dan trombositopenia purpura imun (Chrousos, 2010; Isyanto dan Abdulsalam, 2005; Setyoboedi dan Ugrasena, 2004). Namun, kortikosteroid juga memiliki beberapa efek samping yang salah satunya adalah ke organ mata. Efek samping kortikosteroid terhadap mata salah satunya yaitu hipertensi okular (Olonan et al., 2009). Hipertensi okular ini jika dibiarkan berlanjut dapat menyebabkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan (Salmon, 2009).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya hipertensi okular. Hal ini diperkirakan bahwa kortikosteroid dapat menginduksi peningkatan produksi dari aqueous humordan menurunkan aliran keluar cairan tersebut sehingga akan berpengaruh pada nilai tekanan intraokular.


(18)

Beberapa penelitian melaporkan bahwa terjadi perubahan mikrostruktur dari trabecular meshwork sehingga menyebabkan penurunan pengeluaran aqueous humor (Jones dan Douglas, 2006). Selain itu, kortikosteroid dilaporkan juga dapat meningkatkan deposit dari matriks ekstraseluler pada trabecular meshwork. Hal ini diperkirakan bahwa kortikosteroid menginduksi produksi elastin, glikosaminoglikan, dan elastin pada trabecular meshwork sehingga menurunkan pengeluaran dari aqueous humor tersebut (Cohen, 2011). Pendapat lain mengatakan bahwa penurunan aliran keluar dari aqueous humor disebabkan karena penurunan substansi yang bertugas mendegradasi produk yang dihasilkan oleh trabecular meshwork. Dalam hal ini dilaporkan bahwa terjadi penurunan tissue plasminogen activator, stromelysin, dan metalloproteases pada trabecular meshwork culture yang diberi kortikosteroid. Disamping itu, penurunan metabolisme asam arakidonat dan penurunan fagositosis yang diinduksi oleh kortikosteroid diperkirakan berperan dalam meningkatkan tekanan intraokular (Kamal et al., 2012). Namun, pada beberapa penelitian, hal ini masih kontroversial (Olonan et al., 2009).

Setelah pembahasan diatas, atas dasar inilah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan untuk mengetahui nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November tahun 2014. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk penelitian selanjutnya.


(19)

2

1.2. Masalah Penelitian

Berapa nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum :

Mengetahui nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan.

Tujuan khusus :

1. Mengetahui jenis, dosis, dan lama penggunaan kortikosteroid pada pasien di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan. 2. Mengetahui nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

- Mengetahui nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan.

- Jika didapatkan tekanan intraokular pasien tinggi, dapat diberikan edukasi kepada pasien untuk memeriksa matanya secara rutin ke Poliklinik Mata.

- Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin menggali dan memperdalam lebih jauh topik-topik mengenai nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoartritis (OA) 2.1.1. Definisi

Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi yang berjalan secara lambat dan progresif yang sering mengenai usia pertengahan hingga lansia, yang disebabkan oleh kerusakan rawan sendi sehingga merusak tulang yang mendasarinya yang kemudian menyebabkan nyeri sendi, kaku sendi, bengkak, krepitus, dan penurunan fungsi pergerakan dan biasanya mengenai sendi-sendi pada tangan, tulang belakang, kaki dan pinggul (ACR, 2010).

2.1.2. Etiopatogenesis

Berdasarkan patogenesisnya, osteoartritis (OA) dibedakan menjadi dua jenis yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik karena kausanya tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro, serta imobilisasi yang terlalu lama (Soeroso et al., 2009:2538).

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses penuaan yang tidak dapat dihindari. Namun, para pakar kini berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostatis kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebab masih belum jelas. Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadinya inflamasi sendi, remodeling sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri.


(21)

Osteoartritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan tulang, dan inflamasi cairan sendi (Soeroso et al., 2009:2538).

2.2. Lupus Eritematosus Sistemik 2.2.1. Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan nama Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat (Nasution dan Sumariyono, 2009:2354).

2.2.2. Etiopatogenesis

Etiopatogenesis dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat (Isbagio et al., 2009:2565).

Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik, ekspresi sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke T helper 2 (Th2) menyebabkan hiperaktivitas sel B dalam memproduksi autoantibodi


(22)

patogenik. Selain itu, respon imun yang terpapar faktor eksternal atau lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) ataupun infeksi virus yang cukup lama juga dapat menyebabkan disregulasi sistem imun (Isbagio et al., 2009:2565).

2.3. Anemia Aplastik 2.3.1. Definisi

Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Kelainan ini ditandai dengan sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan trombositopenia (Widjanarko et al., 2009:1116).

2.3.2. Etiopatogenesis

Anemia aplastik diduga disebabkan oleh paparan bahan-bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan, atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, virus hepatitis, dan fascilitis eosinofilik. Namun, kini diduga adanya reaksi autoimunitas berperan penting dalam patogenesis penyakit ini. Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis yang ditandai dengan adanya dekstruksi spesifik yang diperantarai sel T. Percobaan secara in vitro juga memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni hemopoietik dan autologous. Selain itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai dekstruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel tersebut menghasilkan interferon-δ dan TNF-α yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis (Widjanarko et al., 2009:1117).


(23)

2.4. Purpura Trombositopenia Imun 2.4.1. Definisi

Purpura Trombositopenia Imun atau yang dahulu dikenal sebagai Idiopathic Thrombocytopenia Purpura (ITP) merupakan suatu kelainan yang didapat berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G (Purwanto, 2009:1165).

2.4.2. Etiopatogenesis

Purpura Trombositopenia Imun disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkuasi oleh sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di limpa dan hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan (Purwanto, 2009:1166).

Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan autoantibodi ITP untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Kemudian antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/IX, Ia/IIa, IV, V, dan determinan trombosit lain diperkirakan juga ikut berperan. Dekstruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh autoantibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia (Purwanto, 2009:1166).


(24)

2.5. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah hormon yang diproduksi dan dilepaskan oleh korteks adrenal. Berdasarkan asalnya, kortikosteroid terdiri atas kortikosteroid alami dan sintetik. Sedangkan berdasarkan pengelompokannya, kortikosteroid terdiri dari 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Pada manusia, glukokortikoid yang utama adalah kortisol (Chrousos, 2010:655). Dalam penatalaksanaan inflamasi, digunakan adalah jenis glukokortikoid (Furst dan Robert, 2010:590). Menurut waktu penggunaanya, kortikosteroid terdiri dari penggunaan jangka pendek yaitu ≤ 1 bulan, dan penggunaan jangka panjang yaitu > 3 bulan. Kortikosteroid digunakan sebagai terapi penyakit seperti lupus eritematosus sistemik, anemia aplastik, purpura trombositopenia imun, maupun osteoartritis derajat berat (Chrousos 2010; Isyanto dan Maria Abdulsalam, 2005; Setyoboedi dan IDG Ugrasena, 2004).

2.5.1. Glukokortikoid alamiah yaitu kortisol (hidrokortison) a. Farmakokinetik

Pada plasma seseorang, kortisol terikat pada protein dalam peredaran darah yang bernama globulin (CBG), yaitu suatu α2 globulin yang disintesis oleh hati, yang pada keadaan normal mengikat sekitar 90% kortisol dalam peredaran. Sisanya dalam bentuk bebas (sekitar 5-10%) atau terikat longgar pada albumin (sekitar 5%) dan dapat menimbulkan efeknya pada sel target. Albumin mempunyai kapasitas yang besar tetapi afinitas yang rendah untuk kortisol sehingga untuk kepentingan praktis, kortisol yang terikat pada albumin harus dianggap sebagai kortisol bebas. Waktu paruh kortisol dalam peredaran adalah sekitar 60-90 menit, waktu paruh tersebut dapat meningkat ketika diberikan hidrokortison (preparat farmasi untuk kortisol) dalam jumlah besar atau ketika terdapat stress, hipotiroidisme, atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi di urin


(25)

tanpa mengalami perubahan sebagai kortisol bebas, sedangkan sekitar 20% kortisol dikonversi menjadi kortison oleh II-hidroksisteroid dehidrogenase di ginjal dan jaringan lain. Kebanyakan kortison dimetabolisasi di hati. Sekitar sepertiga kortisol yang diproduksi tiap harinya diekskresi dalam urin sebagai metabolit dihidroksi keton dan diukur sebagai 17-hidroksisteroid. Banyak metabolit kortisol dikonjugasi dengan asam glukoronat atau sulfat masing-masing pada hidroksil C3 dan C21 di hati, metabolit ini kemudian diekskresikan di urin (Chrousos, 2010:656).

b. Farmakodinamik

Kebanyakan efek glukokortikoid yang diketahui diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein ini merupakan anggota superfamili reseptor inti yang meliputi steroid, sterol (vitamin D), tiroid, asam retinoat, dan banyak reseptor lainnya dengan ligan yang tidak diketahui atau tidak memiliki ligan (orphan receptor). Pada keadaan tidak adanya ligan hormonal, reseptor glukokortikoid terutama berada dalam sitoplasma, membentuk kompleks oligometrik dengan heat-shock protein (Hsp). Hormon bebas dari plasma dan cairan interstisial memasuki sel dan berikatan pada reseptor, memicu perubahan konformasional yang memungkinkannya untuk berdisosiasi dari heat-shock protein. Kompleks ikatan ligan-reseptor ini kemudian ditranspor secara aktif ke dalam nukleus, tempatnya berinteraksi dengan DNA dan protein nuklear. Sebagai suatu homodimer, kompleks ini berikatan dengan elemen reseptor glukokortikoid (GRE) pada promotor gen yang responsif (Chrousos, 2010:657).

Selain berikatan dengan GRE, reseptor yang berikatan dengan ligan ini juga membentuk kompleks dengan dan mempengaruhi fungsi faktor


(26)

transkripsi lainnya, seperti AP1 dan NF-κB, yang bekerja pada promotor yang tidak mengandung GRE, untuk terlibat dalam regulasi transkripsi gen responsif mereka. Faktor tanskripsi ini memiliki efek yang luas terhadap regulasi faktor pertumbuhan, sitokin proinflamasi, dan memiliki peran penting dalam memerantarai efek glukokortikoid sebagai antipertumbuhan, antiinflamasi, dan imunosupresan (Chrousos, 2010:657).

Gambar 2.1. Alur mediator berasal dari asam arakidonat dan tempat kerja obat (anak panah garis-garis).


(27)

2.5.2. Kortikosteroid Sintetik a. Farmakokinetik

Steroid farmaseutikal biasanya disintesis dari asam kolat yang didapat dari ternak atau steroid sapogenin yang ditemukan pada tanaman. Modifikasi steroid ini lebih lanjut menyebabkan dipasarkannya sekelompok besar steroid sintetik dengan sifat khusus yang penting dalam farmakologis dan terapi (Chrousos, 2010:661).

Tabel 2.1. Sifat dan contoh kortikosteroid alami dan sintetik.


(28)

Kortikosteroid sintetik kebanyakan diabsorpsi dengan cepat dan komplet jika diberikan per oral. Walaupun ditranspor dan dimetabolisasi dalam cara yang serupa dengan steroid endogen, namun terdapat perbedaan penting. Perubahan yang terjadi pada molekul glukokortikoid akan mempengaruhi afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid dan mineralokortikoid serta afinitasnya mengikat protein, stabilisasi rantai samping, laju eliminasi, dan produk metabolik (Chrousos, 2010:662).

b. Farmakodinamik

Kerja steroid sintetik serupa dengan kortisol (lihat di atas). Steroid sintetik terikat pada protein reseptor intrasel spesifik dan mempunyai rasio yang berbeda-beda (Chrousos, 2010:662).

2.6. Aqueous Humor 2.6.1. Definisi

Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata depan dan belakang. Volumenya adalah sekitar 250 µl. Tekanan osmotiknya sedikit lebih tinggi dibandingkan plasma. Komposisi aqueous humor serupa dengan plasma, kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan laktat yang lebih tinggi; serta protein, urea, glukosa yang lebih rendah (Salmon, 2009:214).

2.6.2. Pembentukan dan aliran aqueous humor

Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare. Ultrafiltrat plasma yang dihasilkan di stroma processus ciliares dimodifikasi oleh fungsi sawar dan processus secretorius epitel siliaris. Setelah masuk ke bilik mata depan, aqueous humor mengalir melalui pupil ke bilik mata depan lalu ke anyaman trabekular di sudut bilik mata depan. Selama itu, terjadi pertukaran diferensial


(29)

komponen-komponen aqueous humor dengan darah dan iris (Salmon, 2009:214).

2.6.3. Aliran keluar aqueous humor

Anyaman trabekular terdiri atas berkas-berkas jaringan kolagen dan elastik yang dibungkus oleh sel-sel trabekular, membentuk suatu saringan dengan ukuran pori-pori yang semakin mengecil sewaktu mendekati kanal Schlemm. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya ke dalam anyaman trabekular memperbesar ukuran pori-pori di anyaman tersebut sehingga kecepatan drainase aqueous humor juga meningkat. Aliran aqueous humor ke dalam kanal Schlemm bergantung pada pembentukan saluran-saluran transelular siklik di lapisan endotel. Saluran eferen dari kanal Schlemm menyalurkan cairan ke dalam sistem vena. Sejumlah kecil aqueous humor keluar dari mata antara berkas otot siliaris ke ruang suprakoroid dan ke dalam sistem vena corpus ciliare, koroid, dan sklera (Salmon, 2009:214).

Gambar 2.2. Struktur segmen anterior. Panah menunjukkan arah aliran aqueoushumor.


(30)

2.7. Tekanan Intraokular 2.7.1. Definisi

Tekanan intraokular adalah tekanan di dalam bola mata yang nilainya ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata (Salmon, 2009:212).

2.7.2. Diagnosis

Alat diagnostik yang digunakan untuk mengukur tekanan intraokular adalah tonometri. Instrumen yang paling luas digunakan adalah tonometer aplanasi Goldmann, yang dilekatkan ke slitlamp dan mengukur gaya yang diperlukan untuk meratakan daerah kornea tertentu untuk mengukur tekanan intraokular. Rentang tekanan intraokular normal adalah 10-21 mmHg (Salmon, 2009:215).

2.7.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraokular Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan intraokular yaitu : a. Usia

Pada beberapa penelitian, terdapat korelasi yang positif antara usia dan nilai tekanan intraokular. Peningkatan usia cenderung diiringi dengan peningkatan tekanan intraokular. Namun, pada beberapa penelitian lainnya, hal ini masih kontroversial (Maxwell, 2014).

b. Jenis kelamin

Pada beberapa penelitian, dilaporkan bahwa wanita memiliki tekanan intraokular yang lebih tinggi dibandingkan pria, terutama pada mereka yang menopause. Namun, pada beberapa penelitian lainnya, temuan ini belum bersifat universal (Maxwell, 2014).


(31)

c. Ras

Berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa ras kulit putih dan ras Afrika memiliki tekanan intraokular yang lebih tinggi dibandingkan dengan ras Asia. Tetapi masih belum jelas apakah fenomena ini disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan (Maxwell, 2014).

d. Tekanan darah

Beberapa penelitian menunjukkan korelasi positif antara tekanan darah dan tekanan intraokular (Maxwell, 2014). Menurut Stamper et al (1999) dalam Santosa (2005) bahwa perubahan tekanan darah yang besar disertai perubahan kecil pada tekanan intraokular. Dalam hal ini, terdapat estimasi bahwa peningkatan tekanan darah sistemik 100 mmHg akan meningkatkan tekanan intraokular sebesar 2 mmHg.

e. Kortikosteroid

Pada beberapa penelitian, kortikosteroid secara sekunder dapat meningkatkan resistensi pengeluaran aqueous humor sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokular. Mekanismenya adalah bahwa defek tersebut terjadi oleh karena akumulasi glikosaminoglikan (GAG) atau peningkatan produksi protein pada anyaman trabekula meshwork yang diinduksi oleh glukokortikoid, sehingga mengakibatkan obstruksi aliran keluar aqueous humor tersebut (Dada, Nair, dan Dhawan, 2009). Selain itu, dilaporkan bahwa penurunan aliran keluar dari aqueous humor disebabkan karena penurunan substansi yang bertugas mendegradasi produk yang dihasilkan oleh trabecular meshwork seperti tissue plasminogen activator, stromelysin, dan metalloproteases (Kamal et al., 2012).

Mekanisme lainnya diperkirakan bahwa kortikosteroid dapat menurunkan aktivitas fagositosis yang dilakukan oleh anyaman trabekula


(32)

meshwork sehingga menyebabkan akumulasi dari debris, pigmen, dan material lain yang kemudian akan menyebabkan penurunan aliran keluar aqueous humor tersebut. Selain itu, kortikosteroid juga menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin yang berfungsi mengatur pengeluaran aqueous humor sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokular (Dada et al., 2009).

2.8. Beberapa penelitian terkait nilai tekanan intraokular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jeremy M. Butcher dkk (1994) tentang “bilateral cataracts and glaucoma induced by long term use of steroid eye drops” dilaporkan bahwa terjadi peningkatan tekanan intraokular menjadi 58 mmHg pada mata kanan dan 54 mmHg pada mata kiri wanita 47 tahun yang menggunakan tetes mata steroid selama 3 tahun. Tetes mata yang digunakan mengandung 0.1% betamethasone dan 0.1% dexamethasone yang digunakan 3 kali sehari. Hal ini berarti terdapat hipertensi okular pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid tersebut.

Sedangkan Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdulmutalib H. Behbehani dkk (2005) tentang “cataract and ocular hypertension in children on inhaled corticosteroid therapy” didapatkan bahwa tekanan intraokular anak berusia <12 tahun yang menggunakan kortikosteroid inhalasi yaitu beclomethasone 50 μg/dosis dan budesonide100 μg/dosisselama 2±1 tahunadalah sekitar 11 - 20 mmHg dan masih dalam batas normal. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan hipertensi okular pada subyek yang diteliti.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jeffrey D. Benner dkk (2005) tentang “low-dose intravitreal triamcinolone lowers incidence of steroid-induced glaucoma” didapatkan bahwa dosis rendah sebesar 2 mg selama sekitar 5 bulan pada pemberian triamcinolone acetonide secara intravitreal ternyata dapat meningkatkan tekanan


(33)

intraokular pada 16% subyek yang diteliti dan didapatkan bahwa tekanan intraokular pasien mencapai >21 mmHg.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh R. Sihota dkk (2008) tentang “Prospective, long-term evaluation of steroid-induced glaucoma” didapatkan bahwa rata-rata tekanan intraokular pada 34 pasien dengan rata-rata umur 28.09 ± 17.78 tahun yang menggunakan kortikosteroid adalah 35.76 ± 12.18 mmHg. Penggunaan kortikosteroid baik secara topikal, oral, dan inhalasi. Rata-rata penggunaan steroid adalah selama 2.06±2.45 tahun. Steroid yang digunakan untuk topikal adalah dexamethasone 0.1% dan betamethasone 0.1%, sedangkan untuk oral adalah prednisolone dan triamcinolone 20 mg, serta untuk pemakaian inhalasi adalah fluticasone 250 mcg. Dalam hal ini, pasien yang telah menghentikan penggunaan kortikosteroid selama beberapa bulan setelah diperiksa tekanan intraokularnya, didapati bahwa tekanan intraokular pasien menurun.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Lee Ryan N. Olonan dkk (2009) tentang “steroid-induced cataract and glaucoma in pediatric patients with nephrotic syndrome” didapatkan bahwa tekanan intraokular pada 22 pasien dengan umur dalam rentang 2-17 tahun adalah masih dalam batas normal yaitu berkisar antara 10-20 mmHg. Jenis steroid yang digunakan adalah prednison selama sekitar 28 ± 28.9 bulan dan dengan dosis sebesar 27 ± 26.2 mg/m2/hari.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh M. Reza Razeghinejad dkk (2011)

tentang “steroid-induced iatrogenic glaucoma” didapatkan bahwa terjadi

peningkatan tekanan intraokular >15 mmHg pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Peningkatan tekanan intraokular ini terjadi pada 20-65% pasien dalam kurun waktu 1-12 minggu setelah mendapat terapi kortikosteroid secara intravitreal. Steroid yang digunakan bervariasi yaitu dexamathasone 0.1%, prednisolone 1.0%, fluorometholone 0.1%, hydrocortisone 0.5% tetrahydrotriamcinolone 0.25%, dan medrysone 1.0%. Dalam hal ini, tekanan intraokular pasien menjadi normal kembali setelah 2-4 minggu menghentikan penggunaan steroid tersebut.


(34)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Michael W. Marcus dkk (2012) tentang “corticosteroids and open-angle glaucoma in the elderly” didapatkan bahwa terjadi peningkatan tekanan intraokular pada pasien yang berumur >55 tahun yang menggunakan kortikosteroid setelah di follow-up sekitar 9,8 tahun pada beberapa pasien baik yang menggunakan steroid secara inhalasi, tetes mata, oral, nasal, maupun topikal.


(35)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Subyek Penelitian

a. Definisi

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Cara ukur

Wawancara dan angket.

c. Alat ukur

Kuesioner dan status pasien. Kortikosteroid :

Jenis obat Dosis obat

Lama Penggunaan

Nilai Tekanan Intaokular


(36)

d. Hasil ukur

Pasien yang mendapat terapi kortikosteroid di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.

e. Skala ukur Nominal.

3.2.2. Tekanan darah a. Definisi

Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh darah (Sherwood, 2011).

b. Cara ukur

Pemeriksaan tekanan darah dengan menggunakan tensimeter.

c. Alat ukur Tensimeter.

d. Hasil pengukuran

Klasifikasi tekanan darah menurut American Heart Association (AHA) (2013) yaitu dikatakan tekanan darah normal apabila nilainya <120/80 mmHg, prehipertensi apabila tekanan darah sistol 120-139 mmHg atau tekanan darah diastol 80-99 mmHg, hipertensi tingkat 1 apabila tekanan darah sistol berkisar antara 140-159 mmHg atau tekanan darah diastol berkisar antara 90-99 mmHg. Sedangkan hipertensi tingkat 2 apabila tekanan darah sistol ≥160 mmHg atautekanan darah diastol ≥100 mmHg.


(37)

e. Skala ukur Numerik.

3.2.3. Penyakit Mata Penyerta a. Definisi

Penyakit mata penyerta adalah penyakit mata yang diderita pasien yang dapat mempengaruhi nilai tekanan intraokular ataupun menyebabkan pasien tidak kooperatif ketika diperiksa tekanan intraokularnya, misalnya seperti glaukoma, trauma pada mata, infeksi, dan lain sebagainya.

b. Cara ukur Wawancara.

c. Alat ukur Status pasien.

d. Hasil pengukuran

Pasien yang memiliki penyakit mata penyerta tidak ikut disertakan dalam penelitian ini.

e. Skala ukur Nominal.


(38)

3.2.4. Tekanan Intraokular (TIO) a. Definisi

Tekanan intraokular adalah tekanan cairan di dalam mata (AOA, 2014). Nilai tekanan intraokular normal adalah 10-21 mmHg (Salmon, 2009).

b. Cara ukur

Pemeriksaan tekanan intraokular dengan menggunakan tonometer non kontak.

c. Alat ukur

Tonometer non kontak.

d. Hasil pengukuran

Dari hasil pemeriksaan, akan diperoleh nilai tekanan intraokular pada subyek yang diteliti.

e. Skala ukur Numerik.


(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui tekanan intraokular pada pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan yang mendapat terapi kortikosteroid.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai November tahun 2014 di RSUP H. Adam Malik Medan. Adapun pertimbangan peneliti dalam memilih lokasi tersebut adalah karena RSUP H. Adam Malik Medan adalah Rumah Sakit tipe A sesuai SK MENKES No. 335/MENKES/SK/VII/1990 yang merupakan tempat rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan sehingga cukup representatif untuk dijadikan acuan sumber data epidemiologi khususnya di provinsi Sumatera Utara. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan juga adalah Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK MENKES No. 502/MENKES/SK/IX/1991.

4.3. Populasi dan sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien berdasarkan definisi operasional yang datang berkunjung ke Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November tahun 2014.


(40)

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah semua pasien berdasarkan definisi operasional yang datang berkunjung ke Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini. Adapun cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik total sampling (Sastroasmoro, 2013).

Adapun kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini adalah:

a. Kriteria Inklusi

Pasien yang mencakup hal berikut:

1. Pasien yang berobat di Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP Haji Adam Malik Medan yang menggunakan kortikosteroid sebagai terapi penyakitnya.

2. Penggunaan kortikosteroid ≥ 3 bulan.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani surat kesediaan menjadi subyek penelitian.

b. Kriteria eksklusi

1. Memiliki penyakit mata penyerta. 2. Tekanan darah >200 mmHg.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Untuk pengumpulan data primer, dilakukan wawancara dan angket kepada pasien selaku responden serta pengambilan data pada status pasien yang dipandu oleh peneliti.

2. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menjadi subyek penelitian akan dibawa ke Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan


(41)

untuk diperiksa tekanan intraokularnya oleh dokter di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis data

Data diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan dilanjutkan dengan menggunakan alat bantu SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Data yang telah terkumpul akan dicatat, diolah, dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai dengan tujuan penelitian.


(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Proses pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai November tahun 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Medan. Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5. 1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas-A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.

RSUP H. Adam Malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km. 12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Poliklinik Reumatologi dan Poliklinik Hematologi terletak di lantai 3 Gedung P, sedangkan Poliklinik Mata terletak di lantai 4 Gedung P.

5. 2. Karakteristik Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang ikut serta dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang yang semuanya merupakan pasien Poliklinik Reumatologi dan Poliklinik Hematologi yang berobat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan menggunakan kortikosteroid sebagai terapi penyakitnya.

Sampel dalam penelitian ini dikumpulkan selama periode Agustus 2014 sampai November 2014. Semua data diperoleh melalui data primer yaitu wawancara secara langsung kepada responden dan pemeriksaan langsung tekanan intraokular di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan.


(43)

5.2.1. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi data penelitian berdasarkan jenis kelamin responden sebagai berikut.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase (%) Laki-laki 8 27

Perempuan 22 73

Total 30 100

Berdasarkan Tabel 5.1 dari 30 orang responden/sampel penelitian diketahui mayoritas pasien perempuan yaitu sebanyak 22 orang (73%) dan hanya 8 orang (27%) adalah laki-laki.

5.2.2. Distribusi Responden berdasarkan Usia

Untuk kategori usia, dari 30 orang responden/sampel akan dikelompokkan menjadi 5 kelompok usia menurut Depkes RI (2009), yaitu remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-59 tahun), dan lansia akhir (60-74 tahun). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi berdasarkan Usia

Umur (tahun) Frekuensi (orang) Persentase (%) 17-25 tahun 7 23

26-35 tahun 3 10 36-45 tahun 6 20 46-59 tahun 11 37 60-74 tahun 3 10


(44)

Dari Tabel 5.2 dapat diketahui bahwa umur rata-rata responden paling banyak berada pada kategori lansia awal (46-59 tahun) yaitu sebanyak 11 orang (37%), sedangkan untuk usia yang paling sedikit adalah pada kelompok dewasa awal (26-35 tahun) dan lansia akhir (60-74 tahun) yaitu sebanyak 3 orang (10%).

5.2.3. Distribusi Responden berdasarkan Tekanan Darah

Untuk kategori berdasarkan tekanan darah, dari 30 orang responden/sampel akan dikelompokkan menjadi 5 kategori tekanan darah menurut AHA (2013), yaitu normal (<120/80 mmHg), pre-hipertensi (120-139/80-89 mmHg), hipertensi tingkat I (140-159/90-99 mmHg), hipertensi tingkat II (≥160/100 mmHg). Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi berdasarkan Tekanan Darah

Klasifikasi Tekanan Darah Frekuensi (orang) Persentase (%)

Normal 10 33

Pre-Hipertensi 12 40

Hipertensi Tingkat I 6 20

Hipertensi Tingkat II 2 7

Total 30 100

Dari Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa rata-rata tekanan darah responden paling banyak berada pada kategori pre-hipertensi (120-139/80-89 mmHg) yaitu sebanyak 12 orang (40 %), sedangkan untuk tekanan darah responden yang paling sedikit berada pada kategori hipertensi tingkat II (≥160/100 mmHg) yaitu sebanyak 2 orang (7%).


(45)

5.2.4. Distribusi Responden berdasarkan Diagnosa

Untuk kategori berdasarkan diagnosa responden, dari 30 orang responden/sampel penelitian akan dikelompokkan menjadi 4 kategori diagnosa penyakit, yaitu Osteoartritis (OA), Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Anemia Aplastik, dan Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP). Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi berdasarkan Diagnosa

Diagnosa Responden Frekuensi (orang) Persentase (%) Osteoartritis 12 40 SLE 6 20 Anemia Aplastik 8 27 ITP 4 13

Total 30 100

Dari Tabel 5.4. dapat diketahui bahwa diagnosa responden paling banyak adalah pada kelompok penyakit Osteoartritis (OA) yaitu sebanyak 12 orang (40%), sedangkan untuk diagnosa yang paling sedikit adalah pada kelompok penyakit Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) yaitu sebanyak 4 orang (13%).

5.2.5. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kortikosteroid

Distribusi data penelitian berdasarkan jenis kortikosteroid responden. Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis Kortikosteroid

Jenis Kortikosteroid Frekuensi (orang) Persentase (%) Metilprednisolon 30 100


(46)

Dari Tabel 5.5. dapat diketahui bahwa jenis kortikosteroid yang digunakan pasien adalah metilprednisolon yaitu sebanyak 30 orang (100%).

5.2.6. Distribusi Responden berdasarkan Dosis Kortikosteroid

Untuk kategori berdasarkan dosis kortikosteroid, dari 30 orang responden/sampel penelitian akan dikelompokkan menjadi 3 kategori dosis, yaitu dosis rendah sebesar ≤7,5 mg/hari, dosis sedang sebesar >7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari, dan dosis tinggi yaitu >30 mg/hari (Irastorza et al., 2012). Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi berdasarkan Dosis Awal Kortikosteroid

Dosis Kortikosteroid Frekuensi (orang) Persentase (%) Dosis rendah 11 36

Dosis sedang 14 47 Dosis tinggi 5 17

Total 30 100

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Dosis Akhir Kortikosteroid

Dosis Kortikosteroid Frekuensi (orang) Persentase (%) Dosis rendah 12 40

Dosis sedang 14 47

Dosis tinggi 4 13


(47)

Dari Tabel 5.6. dan 5.7. dapat diketahui bahwa Dosis Awal Kortikosteroid yang digunakan responden paling banyak adalah pada kategori dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) yaitu sebanyak 14 orang (47%), dan Dosis Awal Kortikosteroid yang digunakan responden paling sedikit adalah pada kategori dosis tinggi (>30 mg/hari) yaitu sebanyak 5 orang (17%). Sedangkan bahwa Dosis Akhir Kortikosteroid yang digunakan responden paling banyak adalah pada kategori dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) yaitu sebanyak 14 orang (47%), dan Dosis Akhir Kortikosteroid yang digunakan responden paling sedikit adalah pada kategori dosis tinggi (>30 mg/hari) yaitu sebanyak 4 orang (13%).

5.2.7. Distribusi Responden berdasarkan Lama Penggunaan Kortikosteroid Untuk kategori berdasarkan waktu penggunaan kortikosteroid, dari 30 orang responden/sampel akan dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu penggunaan kortikosteroid <6 bulan, 6-12 bulan, dan >12 bulan.

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi berdasarkan Waktu Penggunaan Kortikosteroid

Waktu Penggunaan Kortikosteroid Frekuensi (orang) Persentase (%) <6 bulan 15 50 6-12 bulan 13 43 >12 bulan 2 7

Total 30 100

Dari Tabel 5.8. dapat diketahui bahwa waktu penggunaan kortikosteroid responden paling banyak berada pada kategori <6 bulan yaitu sebanyak 15 orang (50%), sedangkan untuk yang paling sedikit adalah pada kategori >12 bulan yaitu sebanyak 2 orang (7%).


(48)

5.2.8. Distribusi Responden berdasarkan Hasil Pemeriksaan Tekanan Intraokular (TIO)

Untuk kategori berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan intraokular, dari 30 orang responden/sampel akan dikelompokkan menjadi 3 kategori dimana tekanan intraokular rendah yaitu <10 mmHg, tekanan intraokular normal yaitu 10-21 mmHg, dan tekanan intraokular tinggi yaitu >21 mmHg.

Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi berdasarkan Hasil Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden.

Tekanan Intraokular Frekuensi (orang) Persentase (%) Rendah 0 0

Normal 29 97 Tinggi 1 3

Total 30 100

Tabel 5.10. Distribusi Frekuensi berdasarkan Hasil Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden.

Tekanan Intraokular Frekuensi (orang) Persentase (%) Rendah 1 3

Normal 27 90 Tinggi 2 7

Total 30 100

Dari Tabel 5.9. dan 5.10. dapat diketahui bahwa tekanan intraokular mata kanan responden paling banyak berada pada kategori normal (10-21 mmHg) yaitu sebanyak 29 orang (97%), dan untuk yang paling sedikit adalah pada


(49)

kategori rendah (<10 mmHg) yaitu sebesar 0%. Sedangkan tekanan intraokular mata kiri responden paling banyak berada pada kategori normal (10-21 mmHg) yaitu sebanyak 27 orang (90%), dan untuk yang paling sedikit adalah pada kategori rendah (<10 mmHg) yaitu sebanyak 1 orang (3%).

5. 3. Hasil Analisis Data

5.3.1. Hubungan Jenis Kelamin dengan Tekanan Intraokular

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dari hasil tabulasi silang antara jenis kelamin responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.11.

Jenis Kelamin

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden

Rendah Normal Tinggi Total Laki-laki 0 8 0 8 Perempuan 0 21 1 22

Total 0 29 1 30

Jenis Kelamin

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Rendah Normal Tinggi Total Laki-laki 0 8 0 8 Perempuan 1 19 2 22

Total 1 27 2 30

Dari Tabel 5.11., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden berjenis kelamin perempuan daripada responden berjenis kelamin laki-laki.


(50)

5.3.2. Hubungan Usia dengan Tekanan Intraokular

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dari hasil tabulasi silang antara usia responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.12.

Kelompok Usia

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden

Total Rendah Normal Tinggi

Remaja akhir 0 7 0 7

Dewasa awal 0 3 0 3

Dewasa akhir 0 6 0 6

Lansia awal 0 10 1 11

Lansia akhir 0 3 0 3

Total 0 29 1 30

Kelompok Usia

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Total Rendah Normal Tinggi

Remaja akhir 0 6 1 7

Dewasa awal 0 3 0 3

Dewasa akhir 0 6 0 6

Lansia awal 0 10 1 11

Lansia akhir 1 2 0 3


(51)

Dari Tabel 5.12., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden kelompok Lansia Awal (46-59 tahun), daripada pada kelompok usia lainnya.

5.3.3. Hubungan Tekanan Darah dengan Tekanan Intraokular

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dilihat dari hasil tabulasi silang antara tekanan darah responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.13.

Tekanan Darah

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden

Total Rendah Normal Tinggi

Normal 0 9 1 10

Pre-hipertensi 0 12 0 12

Hipertensi tingkat I 0 6 0 6

Hipertensi tingkat II 0 2 0 2


(52)

Tekanan Darah

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Total Rendah Normal Tinggi

Normal 0 9 1 10

Pre-hipertensi 0 11 1 12

Hipertensi tingkat I 1 5 0 6

Hipertensi tingkat II 0 2 0 2

Total 1 27 2 30

Dari Tabel 5.13., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden kelompok tekanan darah normal (<120/80 mmHg), daripada pada kelompok tekanan darah lainnya.

5.3.4. Hubungan Diagnosa dengan Tekanan Intraokular

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dilihat dari hasil tabulasi silang antara diagnosa responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.14.


(53)

Diagnosa

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

Osteoartritis 0 12 0 12

SLE 0 6 0 6

Anemia aplastik 0 8 0 8

ITP 0 3 1 4

Total 0 29 1 30

Diagnosa

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

Osteoartritis 1 11 0 12

SLE 0 4 2 6

Anemia aplastik 0 8 0 8

ITP 0 4 0 4

Total 1 27 2 30

Dari Tabel 5.14., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden dengan diagnosa penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE), daripada kelompok diagnosa penyakit lainnya.


(54)

5.3.5. Hubungan Dosis Kortikosteroid dengan Tekanan Intraokular

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dilihat dari hasil tabulasi silang antara dosis awal kortikosteroid responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.15.

Dosis Awal Steroid

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden Total

Rendah Normal Tinggi

Dosis rendah 0 12 0 12

Dosis sedang 0 12 1 13

Dosis tinggi 0 5 0 5

Total 0 29 1 30

Dosis Awal Steroid

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

Dosis rendah 1 11 0 12

Dosis sedang 0 13 0 13

Dosis tinggi 0 3 2 5

Total 1 27 2 30

Dari Tabel 5.15., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden yang menggunakan dosis tinggi (>30 mg/hari) sebagai dosis awal kortikosteroid, dibandingkan dengan kelompok dosis lainnya.


(55)

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dilihat dari hasil tabulasi silang antara dosis akhir kortikosteroid responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.16. berikut :

Dosis Akhir Steroid

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

Dosis rendah 0 12 0 12

Dosis sedang 0 13 1 14

Dosis tinggi 0 4 0 4

Total 0 29 1 30

Dosis Akhir Steroid

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

Dosis rendah 1 11 0 12

Dosis sedang 0 13 1 14

Dosis tinggi 0 3 1 4

Total 1 27 2 30

Dari Tabel 5.16., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden yang menggunakan dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) sebagai dosis akhir kortikosteroid, dibandingkan dengan kelompok dosis lainnya.


(56)

5.3.6. Hubungan Lama Penggunaan Kortikosteroid dengan Tekanan Intraokular

Sebanyak 30 sampel dalam penelitian ini, dilihat dari hasil tabulasi silang antara lama penggunaan kortikosteroid responden dengan nilai tekanan intraokularnya dapat dilihat pada Tabel 5.17.

Lama Penggunaan Steroid

Tekanan Intraokular Mata Kanan Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

<6 bulan 0 14 1 15

6-12 bulan 0 13 0 13

>12 bulan 0 2 0 2

Total 0 29 1 30

Lama Penggunaan Steroid

Tekanan Intraokular Mata Kiri Responden

Total

Rendah Normal Tinggi

<6 bulan 0 15 0 15

6-12 bulan 1 10 2 13

>12 bulan 0 2 0 2

Total 1 27 2 30

Dari Tabel 5.17., hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden yang menggunakan kortikosteroid selama 6-12 bulan, dibandingkan dengan kelompok lainnya.


(57)

5. 4. Pembahasan

Dari hasil analisis data penelitian, dijumpai tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden berjenis kelamin perempuan dibandingkan responden berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohit Varma et al (2004) bahwa peningkatan tekanan intraokular cenderung lebih banyak terjadi pada responden yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Naila Ali et al (2007) bahwa bahwa peningkatan tekanan intraokular cenderung lebih banyak terjadi pada responden yang berjenis kelamin laki-laki. Ini dikarenakan lebih banyaknya pasien perempuan yang datang berobat ke Poliklinik Reumatologi dan Hematologi RSUP H. Adam Malik Medan daripada pasien yang berjenis kelamin laki-laki.

Berdasarkan usia, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden pada kelompok lansia awal, yaitu rentang usia 46-59 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pragati Garg et al (2014) bahwa peningkatan tekanan intraokular cenderung terjadi pada responden yang lebih tua terutama pada kelompok umur lanjut usia (lansia). Hal ini dikarenakan pada lansia, diperkirakan telah terjadi perubahan pada anyaman trabekular sehingga menyebabkan resistensi aliran keluar dari aqueous humor (Nemesure et al., 2003). Selain itu, faktor penuaan berperan penting pada proses degenerasi sel saraf dan gangguan autoregulasi pada aliran darah okular yang dilaporkan cenderung meningkatkan tekanan intraokular (Harris et al., 2005). Disamping itu, hal ini juga dikarenakan pasien yang datang ke Poliklinik Reumatologi RSUP H.Adam Malik Medan mayoritas adalah kelompok lansia awal.

Berdasarkan nilai tekanan darah, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden yang memiliki tekanan darah normal yaitu tekanan darah sebesar <120/80 mmHg. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ravikiran Kisan et al (2012) yang mendapatkan bahwa didapatkan tekanan intraokular yang lebih tinggi pada setiap kenaikan tekanan darah. Hal ini dikarenakan bahwa tekanan


(58)

darah bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi nilai tekanan intraokular, mungkin terdapat faktor lain yang lebih mempengaruhi nilai tekanan intraokular responden.

Berdasarkan diagnosa responden, tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden dengan diagnosa penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE), dibandingkan dengan kelompok diagnosa lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Junida Sheraj dan Doina Nitescu (2012) yang mendapatkan pasien dengan diagnosa SLE yang menggunakan kortikosteroid cenderung mengalami tekanan intraokular yang lebih tinggi daripada kelompok penyakit jaringan ikat lainnya. Selain itu, beberapa penelitian melaporkan bahwa penyakit jaringan ikat seperti SLE dan Rheumatoid Arthritis merupakan faktor resiko terjadinya peningkatan tekanan intraokular (Gaston, 1983 dan Soo et al, 2011).

Berdasarkan dosis penggunaan kortikosteroid, didapatkan tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden yang mendapatkan dosis tinggi (>30 mg/hari) sebagai dosis awal kortikosteroid dan dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) sebagai dosis akhir kortikosteroid. Karena dosis akhir lebih cenderung mempengaruhi tekanan intraokular responden pada saat pengukuran, maka dalam penelitian ini, pada dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) cenderung didapatkan tekanan intraokular responden lebih tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pedro Nuno Brito et al (2012) bahwa didapatkan tekanan intraokular yang tinggi diatas nilai normal setelah pemberian dosis steroid yang tergolong dalam dosis besar (>30 mg/hari). Hal ini mungkin dikarenakan bahwa dosis pada penggunaan steroid secara sistemik tidak begitu signifikan dengan peningkatan tekanan intraokular yang bermakna (Godel et al., 1972 dalam Sihota et al., 2008).

Berdasarkan lama penggunaan kortikosteroid, didapatkan tekanan intraokular cenderung lebih tinggi pada responden yang menggunakan kortikosteroid selama 6-12 bulan, dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Munjal et al (1982) dan Sihota et al (2008) yang


(59)

mendapatkan tekanan intraokular yang tinggi pada pasien yang menggunakan kortikosteroid selama >1 tahun. Hal ini mungkin dikarenakan bahwa durasi pada penggunaan steroid secara sistemik tidak berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular yang bermakna (V, Godel et al., 1972 dalam Sihota et al., 2008). Terdapat faktor lain yang mempengaruhi nilai tekanan intraokular responden, seperti genetik, kepatuhan minum obat, dan lain sebagainya.

Berdasarkan nilai tekanan intraokular, rata-rata tekanan intraokular responden masih dalam batas normal yaitu masih direntang 10-21 mmHg. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh R. Sihota et al (2008) bahwa peningkatan tekanan intraokular tidak signifikan pada pemakaian kortikosteroid secara sistemik. Selain itu, dalam penelitian ini rata-rata penggunaan kortikosteroid dibawah 1 tahun sehingga didapatkan tekanan intraokular mayoritas dalam rentang yang normal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh R. Sihota et al (2008) bahwa didapatkan tekanan intraokular diatas normal pada pemakaian kortikosteroid diatas 1 tahun. Disamping itu, mayoritas responden dalam penelitian ini menggunakan kortikosteroid dalam kategori dosis sedang (>7,5 mg/hari dan ≤30mg/hari) sebagai dosis awal (43%) dan dosis akhir (47%) terapi, sehingga tekanan intraokular yang didapatkan masih dalam batas normal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pedro Nuno Brito et al (2012) bahwa didapatkan tekanan intraokular yang tinggi yaitu mencapai 50 mmHg setelah pemberian dosis steroid 60 mg/hari yang tergolong dalam dosis besar (>30 mg/hari), dan sebaliknya pada dosis yang lebih kecil.


(60)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut.

1. Nilai rata-rata tekanan intraokular pada pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014 yang mendapat terapi kortikosteroid adalah dalam batas normal (10-21mmHg).

2. Rata-rata waktu penggunaan kortikosteroid pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014 adalah <1 tahun, dengan waktu minimal sebesar 3 bulan dan maksimal sebesar 24 bulan.

3. Rata-rata usia pada pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014 yang mendapat terapi kortikosteroid adalah kelompok lansia awal (46-59 tahun), dengan sampel termuda berusia 18 tahun dan sampel tertua berusia 69 tahun.

4. Rata-rata tekanan darah pada pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014 yang mendapat terapi kortikosteroid adalah kelompok pre-hipertensi (120-139/80-89 mmHg).

5. Mayoritas pasien Poliklinik Reumatologi dan Hematologi di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014 yang mendapat terapi kortikosteroid adalah berjenis kelamin perempuan (73%).


(61)

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

1. Kepada RSUP. H. Adam Malik Medan agar tetap mempertahankan pemberian kualitas pelayanan kesehatan.

2. Kepada praktisi medis (dokter) agar melakukan edukasi dini kepada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid untuk memeriksakan matanya ke Poliklinik Mata.

3. Jika didapatkan nilai tekanan intraokular pasien tinggi, dapat diberikan edukasi kepada pasien untuk secara rutin memeriksakan matanya ke Poliklinik Mata. 4. Kepada peneliti selanjutnya, perlu dilaksanakan penelitian yang lebih dalam


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulmutalib, H. B., Abdulla F. Owayed, Zeinat M. Hijazi, Esmail A. E.,

Adel M. A., 2005. Cataract And Ocular Hypertension In Children On Inhaled Corticosteroid Therapy. Department of Surgery, Ophthalmology Division, Faculty of Medicine, Kuwait University.

Ali, Naila, Syed Ali Wajid, Nasir Saeed, Muhammad Daud Khan, 2007.

The Relative Frequency and Risk Factors of Primary Open Angle Glaucoma and Angle Closure Glaucoma.J Ophthalmol (23).

American College of Rheumatology (ACR), 2010. Osteoarthritis. Available from:

http://www.rheumatology.org/practice/clinical/patients/diseases_and_conditio ns/osteoarthritis.asp [Accessed 25 Mei 2014].

American Health Association (AHA), 2013. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. National Institute of Health, United States. Available from:

http://phpa.dhmh.maryland.gov/hdsp/2014%20Symposium%20Presentations/ Shawn%20Robinson-JNC8.pdf [Accessed 2 Juni 2014].

American Optometric Association (AOA), 2014. Questions and Answer about Intraocular Pressure. National Institute of Health, United States.

Benner, Jeffrey D., John W. Butler, Lynda Welch, 2005. Low-Dose Intravitreal Triamcinolone Lowers Incidence Of Steroid-Induced Glaucoma. Ophthalmology Times, ProQuest.


(63)

Brito, Pedro Nuno, Sergio Estrela Silva, Jose Silva Cotta, Fernando Falcao-Reis, 2012. Severe ocular hypertension secondary to systemic corticosteroid treatment in a child with nephrotic syndrome. Clin Opthalmol: 1675-1679.

Butcher, Jeremy M, Austin, Michael, McGalliard, James, Bourke, Robert D, 1994. Bilateral cataracts and glaucoma induced by long term use of steroid eye drops. British Medical Journal, International Edition.

Chrousos, George P, 2010. Adrenokortikosteroid dan Antagonis Adrenokortikal. Dalam: Katzung, Betram G., 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 655-657,661-662.

Cohen, A., 2011. Steroid Induced Glaucoma, Glaucoma - Basic and Clinical Concepts. Western Galilee Hospital, Department of Ophthalmology, Israel.

Available from:

http://www.intechopen.com/books/glaucoma-basic-and-clinical-concepts/steroid-induced-glaucoma [Accessed 23 November 2014].

Dada, T, Nair S, Dhawan M., 2009. Steroid-Induced Glaukoma. India. Dalam: Wahyuni, Andi Sri, 2012. Hubungan antara Terapi Kortikosteroid dengan Kejadian Glaucoma pada Anak dengan Sindroma Nefrotik. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI), 2009. Kategori Umur. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan. Available from :

http://www.scribd.com/doc/151484440/Kategori-Umur-Menurut-Depkes-RI [Accessed 3 Juni 2014].


(64)

Furst, Daniel E, Robert W. U., 2010. Obat Anti Inflamasi Non Steroid, Obat

Antireumatik Pemodifikasi Penyakit, Analgesik Non Opioid, dan Obat yang Digunakan pada Gout. Dalam: Katzung, Betram G., 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 590, 594.

Garg, Pragati, Laxmi Singh, Rubie Malhotra, Mona Lisa, 2014. A Study on Systemic Risk Factors for Primary Open Angle Glaucoma. Department of Ophthalmology, Lucknow Medical College.

Gaston H., Absolon MJ, Thurtle OA, Sattar MA., 1983. Steroid Responsiveness in Connective Tissue Diseases. Br J Ophthalmol: 487–490.

Godel V., Feiler-Ofry V., Stein R., 1972. Systemic steroids and ocular fluid

dynamics. Acta Ophthalmol: 655. In: Sihota, R., VL. Konkal, T. Dada, HC. Agarwal, R. Singh, 2008. Prospective, Long-Term Evaluation Of Steroid-Induced Glaucoma. Department of Biostatistics, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi, India.

Harris A., Rechtman E., Siesky B., Cuypers CJ., Mc. Cranorl, Garzozi HJ., 2005. The role of the optic nerve blood flow in the pathogenesis of glaucoma. Ophthalmol Clin N Am 18: 345-353.

Irastorza, Guillermo Ruiz, Alvaro Danza, Munther Khamashta, 2012.

Glucocorticoid use and abuse in SLE. Department of Internal Medicine, Bizkaia-Spain.

Isbagio, Harry, Yoga I Kasjmir, Bambang Setyohadi, Nyoman Suarjana, 2009. Ilmu Penyakit Dalam: Lupus Eritematosus Sistemik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 2565.


(65)

Isyanto, Maria Abdulsalam, 2005. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik Didapat. Sari Pediatri, 7 (1): 26-33.

Available from:

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/7-1-5.pdf [Accessed 9 November 2014].

Jones, Relief III dan Douglas J. R., 2006. Corticosteroid-induced ocular

hypertension and glaucoma: a brief review and update of the literature. Harvard Medical School, Department of Ophthalmology, Massachusetts Eye and Ear Infirmary, Glaucoma Service, Boston, Massachusetts, USA: 163-167.

Available from:

http://www.saeyeinstitute.com/documents/Corticosteroid-OHTN-Glaucoma.pdf [Accessed 23 November 2014].

Kamal, Dodiya S, Aggarwal Somesh V, Bareth Kiran, Shah Nirzari, 2012.

Study of Steroid Induced Rise in Intraocular Pressure Using Non-Contact Tonometer after Cataract Surgery in Camp Patients at P.D.U. Medical College Rajkot, Gujarat. Department of Ophthalmology, PDU Medical College, Rajkot. Available from:

http://njmr.in/uploads/2-2_169-172.pdf [Accessed 23 November 2014].

Kisan, Ravikiran, Swapnali Ravikiran Kisan, Anitha OR., Chandrakala SP., Rajendra S. Koujalagi, 2012. Correlation Between the Intraocular Pressure and the Blood Pressure in Different Age Groups. Journal of Clinical and Diagnostic Research, India.


(66)

Marcus, Michael W., Rogier P. H. M. Muskens, Wishal D. Ramdas, Roger C. W. Wolfs, Paulus T. V. M. De Jong, Johannes R. Vingerling, Albert Hofman, Bruno H. C. Stricker, Nomdo M. J., 2012. Corticosteroids and Open-Angle Glaucoma in the Elderly. Ophthalmology Times, ProQuest.

Maxwell, Kirsten Hamilton, 2014. Factors affecting intraocular pressure measurement. Available from:

http://www.optometry.co.uk/uploads/articles/cet2014/mar14_c35741_factors_ affecting_intraocular_pressure_measurement.pdf [Accessed 31 Mei 2014].

Munjal VP., Dhir SP., Jain IS., 1982. Steroid induced glaucoma. Indian J Optahmol: 379–382. In: Sihota, R., VL. Konkal, T. Dada, HC. Agarwal, R. Singh, 2008. Prospective, Long-Term Evaluation Of Steroid-Induced Glaucoma. Department of Biostatistics, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi, India.

Nasution, A.R., Sumariyono, 2009. Ilmu Penyakit Dalam: Introduksi Reumatologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 2354.

Nemesure B., Hennis A., Wu SY., Leske MC., 2003. Factors Which are Related to The 4 – Year Risk of a High Intraocular Pressure. Arch Ophthalmol: 856-862.

Olonan, Lee Ryan N., Catherine Anne G. Pangilinan, dan Mario M. Yatco, 2009. Steroid-induced cataract and glaucoma in pediatric patients with nephrotic syndrome. Department of Ophthalmology University of Santo Tomas Hospital, Manila, Philippines 34 (2).

Purwanto, Ibnu, 2009. Ilmu Penyakit Dalam: Purpura Trombositopenia Imun. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 1165-1166.


(67)

Razeghinejad, M. Reza dan L. Jay Katz, 2011. Steroid-Induced Iatrogenic Glaucoma. Department of Ophthalmology, Shiraz University of Medical Sciences, Shiraz, Iran.

Salmon, John F., 2009. Glaucoma.Dalam: Vaughan dan Asbury, 2009. Oftalmologi Umum. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 212, 214, 215.

Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2013. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis: Pemilihan Subyek Penelitian dan Perkiraan Besar Sampel. Sagung Seto Ed.4.

Setyoboedi, Bagus, IDG Ugrasena, 2004. Purpura Trombositopenik Idiopatika pada Anak (Patofisiologi, Tatalaksana serta Kontroversinya). Sari Pediatri 6 (1): 16-22. Available from:

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-3.pdf [Accessed 9 November 2014].

Sheraj, J., Doina Nitescu, 2012. Ocular Manifestation in Connective Tissue Disease. Colentina Clinical Hospital, Internal Medicine Clinic, Bucharest.

Sherwood, Lauralee, 2011. Fisiologi Manusia: Pembuluh Darah dan Tekanan Darah. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 373.

Sihota, R., VL. Konkal, T. Dada, HC. Agarwal, R. Singh, 2008. Prospective, Long- Term Evaluation Of Steroid-Induced Glaucoma. Department of Biostatistics, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi, India.

Soeroso, Joewono, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo, 2009. Ilmu Penyakit Dalam: Osteoartritis. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 2538.


(1)

(2)

14.

Tabulasi Silang Lama Penggunaan Kortikosteroid dengan Tekanan

Intraokular


(3)

(4)

(5)

(6)