Hubungan Kejadian Fotofobia Dengan Penggunaan Alat Pelindung Mata Pada Pekerja Las Di Kelurahan Tanjung Set

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mata
2.1.1. Anatomi Mata

Gambar 2.1. Anatomi Mata (Netter,2010)

Pembagian anatomi mata menurut Riordan-Eva (2009) adalah:


Orbita
Secara skematis rongga orbita digambarkan sebagai piramida segi
empat yang mengerucut di bagian posteriornya. Volume orbita pada orang
dewasa sekitar 30mL dan bola mata hanya menempati seperlima bagian
rongga. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Batas anterior
rongga orbita adalah septum orbitale, yang berfungsi sebagai pemisah
antara palpebra dan orbita.




Konjungtiva
Konjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu: konjungtiva palpebralis
yang melapisi permukaan posterior kelopak mata dan merekat erat ke
tarsus dan konjungtiva bulbaris yang melekat longgar ke septum orbital di

6

fornix dan melipat berkali-kali. Konjungtiva juga menyokong pergerakan
bola mata dan menghasilkan lapisan air mata prakornea yang merata yang
dihasilkan oleh sel-sel goblet pada lapisan epitel superfisialisnya.


Sklera dan Episklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata dibagian luar,
yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Struktur kolagen dan jaringan
elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior, membentuk
lamina kribosa, yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus.
Bagian luar sklera terdapat sebuah lapisan yang disebut episklera. Selain

sebagai pelindung, episklera juga mengandung banyak pembuluh darah
untuk mendarahi sklera.



Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya,
bersifat jernih, transparan, permukaan yang licin, permukaan yang lici dan
berfungsi sebagai pelindung mata (Ilyas,2011). Kornea pada dewasa
memiliki diameter horizontal sekitar 11,75mm dan diameter vertikal
sekitar 10,6mm. Kornea dinutrisi oleh aqueous humor, pembuluhpembuluh darah limbus, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat
dari cabang pertama nervus trigeminus.



Iris
Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak
ditengah. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator
sehingga iris dapat mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke
dalam mata. Iris mendapat nutrisi dari pendarahan yang dibawa oleh

circulus major iris. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam
nervi ciliares.



Corpus Ciliare
Corpus ciliare secara zona terbagi atas dua zona yaitu: zona
anterior yang berombak-ombak, pars plicata yang terbentuk dari kapiler
dan vena yang bermuara ke vena-vena verticosa dan zona posterior yang
datar.

7



Koroid
Koroid adalah segmen postrior uvea yang terdiri dari tiga lapis
pembuluh koroid yang makin dalam semakin besar lumennya. Koroid
melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah
anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare. Pembuluh darah koroid

juga berfungsi untuk mendarahi bagian luar dari retina.



Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna,
dan hampir transparan. Lensa terdiri atas air (65%) dan protein (35%).
Lensa memiliki tebal 4mm dan diameter 9mm yang dilapisi suatu
membran semipermeabel yang akan memperbolehkan air dan elektrolit
masuk. Posisi lensa dipertahankan oleh ligamentum suspensorium yang
dikenal sebagai zonula Zinii.



Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding
bola mata. Retina memiliki tebal 0,1mm pada ora serrata dan 0,56mm
pada kutub posterior. Retina menerima darah darah dari koriokapilaris
yang mendarahi sepertiga luar retina dan cabang-cabang arteria centralis

retinae yang mendarahi dua pertiga dalam retina.



Vitreus
Vitreus adalah suatu bahan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Sekitar 99% komponen
vitreus adalah air dan sisa 1% adalah asam hialuronat dan kolagen, yang
memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena
kemampuannya mengikat banyak air.

2.1.2. Histologi Mata


Sklera dan Episklera
Secara histologi, sklera tersusun atas jaringan ikat padat dan
fibroblas yang saling bersilangan dan paralel dengan permukaan bola
mata. Permukaan luar sklera (episklera) berhubungan melalui jalinan serat

8


kolagen halus longgar dengan lapisan jaringan ikat padat yang disebut
Kapsula Tenon. Kapsula Tenon berhubungan dengan stroma konjungtiva
longgar pada perbatasan kornea dengan sklera. Diantara kapsula tenon dan
sklera terdapat ruang tenon yang memungkinkan mbola mata berputar
(Junqueira, 2007).


Kornea
Secara histologi kornea terdiri dari tujuh lapisan (Eroschenko,
2010). Lapisan pertama adalah epitel berlapis gepeng yang tidak
mengandung keratin yang terdiri dari lima sampai enam lapis sel. Dibawah
epitel ini ada membran Bowman, yang terdiri dari serat kolagen yang
tersusun menyilang secara acak dan berfungsi membantu stabilitas dan
kekuatan kornea. Stroma terbentuk dari lapisan berkas sejajar serat
kolagen dan lapisan fibroblas. Sel-sel dan serat stroma terbenam di dalam
substansi yang kaya akan glikoprotein dan kondroitin sulfat. Membran
Descement adalah membran basalis tebal yang terletak di bagian posterior
stroma dengan struktur homogen yang terdiri atas susunan filamen
kolagen halus. Endotel kornea merupakan epitel selapis gepeng yang

memiliki fungsi dalam transpor aktif, sintesis protein, dan ketahanan
membran Descement.



Koroid
Merupakan lapisan yang mengandung melanosit dan memberinya
warna yang khas. Koroid juga mengandung banyak pembuluh darah yang
disebut lapisan koriokapiler yang berfungsi untuk nutrisi retina.



Iris
Iris adalah perluasan koroid yang menutupi sebagian lensa dan
memiliki lubang dipusatnya yang disebut pupil. Iris dibentuk oleh lapisan
sel pigmen dan fibroblas. Fungsi sejumlah besar sel melanosit di beberapa
daerah mata adalah untuk mencegah berkas cahaya yang dapat
mengganggu pembentukan bayangan.

9




Lensa
Lensa adalah struktur bikonkaf yang sangat elastis dan memiliki
tiga komponen utama. Kapsul lensa memiliki struktur homogen, refraktil,
dan kaya akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel.
Kapsul ini merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terdiri
dari kolagen tipe IV dan glikoprotein. Epitel subkapsular terdiri atas
selapis sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior
lensa. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis
dan gepeng. Sel-sel pada serat lensa berisikan proten yang disebut
kristalin.



Retina
Retina dalah lapisan dalam bola mata, yang terdiri dari dua bagian.
Bagian anterior yang tidak foto sensitif dan menyusun lapisan dalam
badan siliar dan bagian posterior iris. Bagian posterior atau bagian yang

fotosensitif. Lapisan luarnya terdiri atas sel batang dan sel kerucut, lapisan
tengah menghubungkan sel batang dan sel kerucut dengan sel-sel
ganglion, dan lapisan dalam sel-sel ganglion, yang berhubungan dengan
sel-sel bipolar melalui dendritna dan mengirimkan akson ke susunan saraf
pusat. Akson-akson ini berkumpul pada papila optikus dan membentuk
nervus optikus (Junqueira, 2007).

2.1.3. Fisiologi Penglihatan
Sebagian besar bola mata ditutupi oleh suatu lapisan jaringan ikat, sklera,
yang membentuk bagian putih mata. Di bagian anterior, terdapat kornea
transparan yang dapat ditembus cahaya untuk masuk kedalam mata (Barret et
al,2012). Sinar/cahaya adalah suatu bentuk radiasi elektromagnetik yang terdiri
dari paket-paket energi mirip partikel yang berjalan dalam bentuk gelombang.
Fotoreseptor mata hanya peka terhadap panjang gelombang dari 400 nanometer
sampai 700 nanometer yang merupakan sebagian kecil dari spektrum
elektromagnetik total.

10

Cahaya yang melewati kornea tidak semuanya mencapai fotoreseptor,

karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktur
mirip cincin di dalam aqueous humor. Iris memiliki lubang di bagian tengah yang
disebut dengan pupil yang memungkinkan cahaya masuk ke bagian mata yang
lebih dalam. Iris memiliki dua jenis otot polos, yaitu otot polos sirkular dan otot
polos radial. Otot-otot iris ini dikendalikan oleh sistem saraf otonom. Saat
keadaan sinar terang, saraf parasimpatis menyarafi otot sirkular dan menyebabkan
konstriksi pupil untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata, sementara
saraf simpatis menyarafi otot radial saat intensitas cahaya rendah sehingga
menyebabkan dilatasi pupil dan sinar yang masuk ke mata lebih banyak
(Sherwood,2007).
Sumber cahaya mengalami divergensi (memancar ke segala arah) sehingga
harus dibelokkan agar dapat difokuskan pada satu titik agar diperoleh bayangan
yang akurat. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi, berkas
cahaya melambat dan arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai
permukaan medium baru yang tidak tegak lurus.

Berbeloknya berkas sinar

dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Derajat refraksi dipengaruhi oleh rasio dari
kedua indeks refraktif pada kedua medium transparan dan derajat angulasi dari

sinar cahaya yang masuk (Hall dan Guyton, 2011).
Kornea dan lensa merupakan struktur penting dalam kemampuan refraktif
mata. Permukaan kornea yang melengkung merupakan struktur pertama yang
dilewati sinar saat masuk ke mata sehingga memiliki peran paling besar dalam
kemampuan refraktif total mata karena perbedaan dalam densitas pada pertemuan
udara-kornea. Kemampuan refraktif kornea tidak berubah karena kelengkungan
kornea tidak pernah berubah. Namun, kemampuan refraktif lensa dapat diubahubah dengan mengubah kelengkungannya.
Kemampuan lensa dalam menyesuaikan kekuatan lensa disebut sebagai
akomodasi. Kekuatan lensa dipengaruhi oleh bentuknya (kelengkungan) dan
pengaruh dari otot siliaris. Otot siliaris adalah bagian dari badan siliar yang
melingkar dan melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium (Sherwood,
2007). Aktivitas otot siliaris diatur oleh sistem saraf otonom, sinyal saraf

11

parasimpatis yang dihantarkan ke mata melalui saraf kranial III dan nukleus saraf
III dibatang otak akan menimbulkan kontraksi pada otot siliaris, yang akan
mengendurkan ligamentum suspensorium, sehingga lensa lebih tebal dan
meningkatkan daya biasnya.

Otot siliaris juga dikontrol oleh stimulasi saraf

simpatis untuk relaksasi sehingga lensa memipih (Hall dan Guyton, 2011).
Fungsi utama mata adalah memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan ke
sel batang dan sel kerucut,sel fotoreseptor retina (Sherwood, 2007). Setelah
cahaya melewati susunan lensa mata dan vitreuos humor, cahaya memasuki retna
dari bagian dalam mata. Secara berurutan cahaya akan melewati sel-sel ganglion,
lapisan pleksiform, dan lapisan nukleus sebelum akhirnya mencapai lapisan sel
batang dan sel kerucut. Setelah melewati beberapa lapisan maka akan ada
pengurangan tajam penglihatan namun di bagian fovea retina lapisan-lapisan tadi
tersingkap dan cahaya langsung sampai ke sel kerucut sehingga penglihatan tetap
tajam (Hall dan Guyton, 2011).
Secara struktur fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) memliki tiga
bagian, yaitu: segmen luar, segmen dalam dan terminal sinaps. Segmen luar, yang
terdiri dari susunan lempeng membran yang mengandung fotopigmen, merupakan
bagian yang mendeteksi rangsangan cahaya. Fotopigmen mengalami perubahan
kimiawi ketika diaktifkan oleh sinar. Melalui serangkaian tahap perubahan yang
dipicu oleh cahaya ini akan mengaktifkan fotopigmen yang kemudian terjadi
potensial reseptor yang akhirnya menghasilkan potensial aksi. Fotopigmen terdiri
dari opsin dan retinen. Retinen adalah bagian fotopigmen yang menyerap cahaya.
Pada sel batang terdapat fotopigmen rodopsin yang menyerap semua panjang
gelombang cahaya tampak dan pada sel kerucut terdapat fotopigmen merah, hijau,
biru yang berespon secara selektif terhadap berbagai panjang gelombang cahaya,
menyebabkan kita dapat melihat warna.
Setelah cahaya ditangkap oleh fotoreseptor maka sinyal ini akan diubah
menjadi sinyal listrik. Proses ini dinamakan proses fototransduksi. Reseptor
biasanya mengalami depolarisasi jika dirangsang, tetapi fotoreseptor mengalami
hiperpolarisasi ketika menyerap cahaya. Aktivitas fotoreseptor berbeda dalam
keadaan gelap dan terang. Pada keadaan gelap, cGMP terikat ke saluran Na+

12

sehingga saluran Na+ tetap terbuka. Kebocoran pasif Na+ masuk ke sel
menyebabkan depolarisasi fotoreseptor yang menyebar dari segmen luar ke ujung
sinaps membuat saluran Ca2+ tetap terbuka sehingga masuknya kalsium memicu
pelepasan neurotransmiter inhibitorik dari ujung sinaps dalam keadaan gelap.
Sebaliknya, pada keadaan terang, konsentrasi cGMP menurun.
Cahaya kemudian mengaktifkan fotopigmen lalu mengaktifkan protein
transdusin dari fotoreseptor dan mengaktifkan enzim intrasel fosfodiesterase yang
menguraikan cGMP. Penurunan cGMP ini membuat saluran Na+ tertutup.
Penutupan saluran ini menghentikan kebocoran Na+ penyebab depolarisasi dan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Hiperpolarisasi ini, yang merupakan
potensial reseptor, secara pasif menyebar dari segmen luar menuju ujung sinap
fotoreseptor. Hal in menyebabkan penurunan pelepasan neurotrasmiter inhibitorik
sehingga terjadi potensial aksi menuju pusat persepsi penglihatan (Sherwood,
2007).
Tahap berikutnya, potensial aksi meninggalkan retina melalui nervus
optikus dan setiap nervus optikus membawa informasi dari kedua retina yang
disarafinya. Kemudian nervus optikus bertemu di kiasma optikum. Di dalam
kiasma optikum, serat-serat dari separuh medial masing-masing retina
menyebrang ke sisi kontralateral, tetapi yang separuh lateral tetap di sisi semula.
Reorganisasi berkas-berkas serat yang meninggalkan kiasma optikum disebut
traktus optikus. Serat-serat dari tiap traktus optikus bersinaps di nukleus
genikulatum

lateralis

dorsalis

di

talamus,

dan

dari

sini,

serat-serat

genikulokalkarina berjalan melalui radiasio optikus menuju korteks penglihatan
primer (area 17) yang terletak di fisura kalkarina lobus oksipitalis (Barret et al,
2012).
Kemudian, sinyal-sinyal penglihatan berakhir di area fisura kalkarina,
yang meluas ke arah depan dari ujung oksipital pada bagian medial setiap korteks
oksipital (Hall dan Guyton, 2011). Berdasarakan kompleksitas rangsangan yang
diperlukan untuk menimbulkan respon, diketahui terdapat tiga jenis neuron
korteks penglihatan yaitu: sel sederhana, kompleks, dan hiperkompleks. Tidak
seperti retina yang merespon jumlah sinar, sel korteks hanya melepaskan muatan

13

jika menerima pola iluminasi tertentu yang telah terprogram di sel tersebut. Polapola ini dibentuk dengan menyatukan koneksi-koneksi yang berasal dari sel-sel
fotoreseptor yang berdekatan di retina.
Setiap level neuron korteks penglihatan memperlihatkan peningkatan
kapasitas untuk abstraksi informasi yang terbentuk oleh peningkatan konvergensi
masukan dari neuron-neuron level di bawahnya. Dengan cara ini, korteks
mengubah pola mirip titik dari fotoreseptor yang dirangsang oleh cahaya dengan
berbagai intensitas di bayangan retina menjadi informasi tentang kedalaman,
posisi, orientasi, gerakan, kontur, dan panjang. Lalu potongan-potongan informasi
ini diintegrasikan oleh regio-regio visual yang lebih tinggi sehingga kita dapat
mempersepsikan informasi visual secara lengkap (Sherwood, 2007).

2.2. Fotofobia
2.2.1. Definisi Fotofobia
Fotofobia (photophobia) merupakan terminologi yang diambil dari bahasa
Yunani yaitu: photo- “cahaya” dan phobia “takut” yang apabila disatukan berarti
“takut akan cahaya”. Fotofobia didefinisikan sebagai suatu keadaan klinis yang
berupa ketidaknyamanan pada penglihatan. Ketidaknyamanan dari fotofobia
dirasakan sebagai sensasi terang yang berlebihan (Digre dan Brennan,2012)
(Cummings dan Gittinger,1981).
2.2.2. Etiologi Fotofobia
Fotofobia merupakan gejala dari penyakit yang melibatkan mata dan
sistem saraf seperti, abrasi kornea, iritis, tumor yang menekan jaras penglihatan,
trigeminal neuralgia dan migrain (Strigham, Fuld dan Wenzel,2004). Fotofobia
pada penyakit kornea disebabkan oleh kontraksi iris meradang yang nyeri,
peristiwa ini adalah refleks yang timbul akibat iritasi pada ujung saraf kornea
(Biswell,2009). Dalam Digre dan Brennan (2004) dinyatakan bahwa lesi pada
kornea yang lebih superfisial menyebabkan gejala fotofobia yang lebih berat.
Fotofobia juga dapat disebabkan oleh distrofi dari retina, retinitis pigmentosa, dan
distrofi dari sel kerucut. Selain disebabkan oleh kondisi mata, fotofobia juga dapat
dikaitkan dengan kejadian pada meningitis, tumor pada pituitari.

14

2.2.3. Mekanisme Fotofobia
Kornea mata merupakan bagian paling awal dan paling sensitif yang
dilalui oleh cahaya ketika memasuki mata. Bagian epitel kornea merupakan
bagian yang paling banyak menyerap sinar ultraviolet dibawah 300nm dan
spektrum cahaya yang dapat merusak kornea adalah sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang 270nm (Podshocky, 2002 dalam Wahyuni,2012).
Bagian mata seperti konjungtiva, kornea dan sklera dipersarafi oleh saraf
trigeminal dan begitu sensitif akan rangsangan nyeri. Kerusakan pada bagian
kornea mata yang mengandung serabut aferen dari saraf trigeminal membawa
informasi rasa nyeri dari mata. Beberapa rangsangan yang dapat menyebabkan
nyeri seperti abrasi kornea, iritits, dan uveitis juga dapat menyebabkan fotofobia.
Ketika saraf trigeminal mendapat rangsang maka mediator-mediator seperti
calcitonin dan nitrit oxide keluar dan menyebabkan terjadinya refleks trigeminoautonomic.
Refleks trigemino-autonomic merupakan adalah suatu refleks multi sinaps
yang merangsang superior salivatory dan nukleus Edinger-Westphal dari bagian
kolateral kauda nukleus trigeminal. Efek dari superior salivatory adalah
mengaktifasi efektor parasimpatis di ganglion pterygopalatine, yang melebarkan
pembuluh darah, dan aktivasi di ganglion cilliary yang menyebabkan lakrimasi
pada mata. Efek dari Edinger-Westphal sendiri menyebabkan konstriksi dari pupil
mata. Refleks trigemino-autonomic juga menyebabkan injeksi pada konjungtiva,
mata berair dan migrain yang dapat disertai oleh fotofobia (Digre dan
Brennan,2012).
Refleks berkedip juga sangat berkaitan erat dengan fotofobia. Refleks
berkedip dimulai dari adanya rangsangan pada aferen saraf trigeminal yang
bersinaps di trigeminal nucleus caudalis (TNC). Selanjutnya, rangsangan ini
diolah di trigeminal dorsal horn dan laterodorsal reticular formation yang
memiliki koneksi langsung dengan saraf fasialis yang menyebabkan terjadinya
refleks berkedip. Perbedaan panjang gelombang dari suatu sinar juga
menyebabkan adanya perbedaan persepsi fotofobia. Dalam (Digre dan
Brennan,2012) dinyatakan bahwa sinar dengan panjang gelombang pendek (biru)

15

menyebabkan rasa yang lebih tidak nyaman dibandingkan sinar dengan panjang
gelombang yang lebih panjang (merah). Hal ini disebabkan oleh supresi dari sinar
merah yang menekan aktivitas visual dibagian beta dari otak.
2.2.4. Tanda dan Gejala Fotofobia
Fotofobia ditandai oleh gejala seperti nyeri pada mata, mata berair,
pandangan kabur, mata merah, migrain, dan peningkatan refleks berkedip (Digre
dan Brennan,2012). Gejala fotofobia dapat dirasakan setelah terpajan sinar
ultraviolet sekitar 6-12 jam, tergantung intesitas pajanan dari sinar ultraviolet itu
sendiri. Gejala akut fotofobia biasanya akan bertahan dalam 6-24 jam dan hampir
semua gejala ketidaknyaman hilang dalam waktu 48 jam. Gejala fotofobia karena
abrasi kornea ringan juga akan sembuh dalam 2-5 hari. Namun pada fotofobia
karena abrasi kornea berat didapatkan adanya keluhan fotofobia berulang
sebanyak 28% setelah 3 bulan (Podshocky, 2002 dalam Wahyuni,2012).

2.3. Pengelasan
2.3.1. Definisi Pengelasan
Las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan
menggunakan energi panas. Dalam rentang waktu 4000-3000 SM telah dilakukan
penyambungan logam yang menggunakan kayu atau arang sebagai sumber
panasnya. Seiring perkembangan, proses pengelasan menunjukan kemajuan
dengan menggunakan berbagai jenis sumber energi dalam proses pengelasan,
seperti penggunaan energi listrik (Rajagukguk,2012).
2.3.2. Efek Sinar Ultraviolet Pengelasan bagi Mata
Sebagai salah satu pekerjaan yang berisiko terhadap pajanan sinar
ultraviolet, keterpajanan pekerja las terhadap sinar ultraviolet tergolong tinggi
(CCOHS,2005). Hal ini disebabkan karena peralatan pengelasan merupakan salah
satu peralatan kerja yang merupakan sumber sinar ultraviolet buatan dan dalam
pengoprasiannya terjadi pelelehan sehingga dari pelelehan akan timbul percikan
bunga api yang membahayakan. Proses pengelasan dapat menghasilkan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 100-400 nm dan sinar tampak 400-760 nm.
Para pekerja las memiliki resiko tinggi apabila tidak dilakukan pengendalian

16

bahaya, terutama bahaya percikan bunga api yang akan melebihi nilai ambang
batas sinar ultraviolet pada selang beberapa detik dengan jarak dekat (CCOHS,
2005). Efek akut yang ditimbulkan sinar ultraviolet pada mata dalam enam jam
pertama dapat berupa mata berair, fotofobia, sampai reaksi inflamasi pada kornea
yang menyebabkan kerusakan sel superfisial kornea, dan konjungtiva. Selama 2448 jam, perasaaan sakit akan reda dan sensitivitas terhadap cahaya akan berkurang
atau yang disebut snowblindness atau welders flash. Pajanan sinar ultraviolet juga
dapat menyebabkan katarak akut dengan panjang gelombang lebih dari 310 nm
yang dipancarkan sumber laser atau sumber buatan (Pitts, 1974).

2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Pajanan Sinar Ultraviolet
Pajanan Sinar Ultraviolet pada proses pengelasan memiliki beberapa
faktor yang mempengaruhi pekerja las, antara lain:


Komponen Struktur Sinar Ultraviolet
Sinar Ultraviolet memili tiga spektrum yaitu: UV-A, UV-B, dan
UV-C yang memiliki pengaruh biologik yang berbeda-beda (CCOHS,
2005). Spektrum UV-B yang memiliki panjang gelombang 315 nm270 nm memiliki pengaruh biologik terbesar, terutama dampak pada
mata (Peterson, 1985 dalam Wahyuni,2012).



Intensitas Radiasi
Intensitas radiasi pada proses pengelasan dipengaruhi beberapa faktor
yaitu:
o Jenis Las
Beberapa jenis las yang sering dipakai antara lain GTAW,
GMAW, SMAW, Las Listrik, dan Las Karbit. Las Listrik dan Las
Karbit merupakan jenis las yang sering digunakan di dalam industri.
Kedua jenis las ini dapat menghasilkan sinar ultraviolet yang
berbahaya terutama bagi mata pekerja las. Namun pengelasan listrik
memberikan efek sinar ultraviolet yang besar dibandingkan jenis las
lain

dan

memberikan

(Olifhifski,1985) .

efek

buruk

pada

kesehatan

mata

17

o Diameter Kawat Las
Beberapa jenis kawat yang sering digunakan adalah 2,6 mm dan
3,2 mm. Menurut Olifhifski (1985) terdapat perbandingan lurus pada
diameter kawat dan intensitas radiasi yaitu, semakin besar diameter
kawat maka semakin besar pula intensitas radiasi yang ditimbulkan.


Lama Pajanan
Lama pajanan merupakan salah satu faktor yang memperberat
terjadinya welders flash, semakin lama pajanan mata dengan sinar
sinar ultraviolet makan semakin parah pula welders flash yang terjadi.
Menurut penelitian Yen et al (2004) dinyatakan ada perbedaan ratarata lama pajanan antara pekerja yang terpajan selama 41,1 menit, 16,9
menit, dan 1 detik dengan kejadian welders flash.



Jarak dari Sumber
Jarak dari sumber pajanan sinar ultraviolet dapat mempengaruhi
terjadinya welders flash. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yen et
al (2004), terdapat perbedaan kejadian welders flash pada jarak
pengelasan 80 cm dengan kejadian welders flash pada jarak kurang
dari 80 cm.



Perlindungan terhadap Radiasi
Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai standar dapat
melindungi pekerja terhadap risiko pajanan sinar ultraviolet yang
dihasilkan dari proses pengelasan. Pada penelitian Muskita (2015) di
PT. PAL Indonesia didapatkan 81% pekerja yang tidak memakai alat
pelindung mata mengalami fotokeratitis dan 60% pekerja yang selalu
memakai alat pelindung mata yang sesuai standar terbebas dari
keluhan fotokeratitis.

18



Faktor Individu Pekerja Las
Beberapa

faktor

individu

dari

pekerja

las

yang

dapat

mempengaruhi efek sinar ultraviolet, antara lain:
o Usia
Menurut

Maryam

et

al

(2008)

dalam

Wahyuni

(2012),

pertambahan usia akan menyebabkan penurunan sensitifitas dan
peningkatan fragilitas pada kornea yang ditimbulkan oleh rangsangan
mekanis. Fragilitas kornea akan meningkat pada usia diatas 40 tahun.
o Perilaku
Pajanan radiasi dari sumber pengelasan dapat diperparah ketika
pekerjaan ini dilakukan di tengah hari dimana sinar ultraviolet dari
matahari dalam intensitas tertinggi (Diffey,1995). Asupan vitamin A
yang kurang berdampak langsung pada kornea mata. Kelenjar air mata
pun tidak dapat mengeluarkan air mata sehingga kornea mata kering
yang diikuti pelepasan epitel-epitel kornea. Hal ini ditandai oleh mata
terasa panas dan gatal, tidak tahan cahaya dan kehilangan ketajaman
penglihatan (Almatsier, 2004).

2.4. Alat Pelindung Diri
Alat Pelindung Diri merupakan metode dalam mengendalikan potensi
cedera terhadap pemaparan bahan-bahan berbahaya atau bentuk-bentuk energi
yang ditemukan dilingkungan tempat kerja (Rijanto, 2011).
Menurut IHDO (2000), Alat Pelindung Diri (APD) adalah sejumlah
peralatan yang digunakan oleh para pekerja untuk melindungi bagian tubuhnya
baik secara menyeluruh ataupun sebagian untuk mengurangi resiko terjadinya
suatu kecelakaan kerja.
Berdasarkan pengertian Alat Pelindung Diri (APD) dalam Rijanto (2011),
Alat Pelindung Diri (APD) dapat didefinisikan sebagai alat yang memiliki
kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya, yang fungsinya
mengisolasi pekerja dari bahaya ditempat kerja. Alat Pelindung Diri (APD)
meliputi penggunaan pakaian khusus, kacamata pelindung, topi pengaman,

19

respirator dan seperangkat alat lainnya yang jika digunakan dengan benar dapat
mengurangi resiko cedera yang disebabkan oleh potensi bahaya ditempat kerja.
Berdasarkan Rijanto (2011), Alat Pelindung Diri (APD) berdasarkan
penggunaannya dikategorikan dalam beberapa jenis:
1. Pelindung Kepala (Helm Pengaman)
American National Standard Institute (ANSI) mendefinisikan helm
pengaman

sebagai

suatu

alat

yang

dipakai

untuk

memberikan

perlindungan kepada kepala dan bagian-bagiannya dari benturan, partikelpartikel asing, sengatan listrik, atau kombinasinya. Pada beberapa kasus,
helm pengaman juga dapat melindungi pekerja dari bahaya sengatan listrik
dan bahaya kebakaran di lingkungan kerja.
2. Pelindung Telinga


Sumbat Telinga
Sumbat telinga bisa terbuat dari kapas, karet, lilin, dan
plastik. Kemampuan daya lindung sumbat telinga berkisar antara
25-30 desibel (dB), bila ada kebocoran sedikit saja daya
lindungnya dapat berkurang sampai 15 dB.



Tutup Telinga
Tutup telinga memiliki jenis yang mempunyai daya lindung
pada frekuensi biasa (25-30 dB) dan yang mempunyai daya
lindung pada frekuensi 2800-4000 (35-45 dB).

3. Pelindung Muka dan Mata
Pelindung muka dan mata memiliki fungsi melindungi muka dan mata
dari lemparan benda- benda kecil, lemparan benda-benda panas, pengaruh
cahaya dan pengaruh radiasi tertentu. Bahan pembuat pelindung mata
antara lain adalah gelas/kaca dan plastik. Bahan-bahan tersebut harus
memiliki karakteristik sebagai berikut:


Gelas yang ditempa secara panas, bila pecah tidak menimbulkan
bagian-bagian yang tajam.



Gelas dengan laminasi almunium dan lain lain. Bahan dari plastik
meliputi selulosa asetat, akrilik, polikarbonat, dan CR-39.

20

Pelindung muka dan mata juga memiliki beberapa syarat sebagai berikut:


Ketahanan terhadap api, sama dengan helm pengaman.



Ketahanan terhadap lemparan benda, yang dapat diuji dengan
menjatuhkan bola besi dengan diameter 1 inci dengan bebas jatuh
dari ketinggian 125 sentimeter, dan mengenai lensa pada titik pusat
geometris lensa. Memiliki ketahanan terhadap panjang gelombang
tertentu yang menghasilkan radiasi.

Beberapa contoh alat pelindung muka dan mata antara lain:


Safety Glasses
Adalah kacamata keselamatan yang mirip dengan kacamata
biasa, namun terbuat dari bahan yang tahan terhadap benturan
sehingga dapat melindungi mata dari bahaya benda asing.
Pemakaian safety glasses juga biasanya diikuti dengan pemakaian
pelindung muka.



Googles
Merupakan jenis kaca mata yang melindungi mata dari
bahaya percikan bahan-bahan kimia cair atau dari benturan benda
asing yang berterbangan dan membahayakan mata. Pemakaian
googles juga harus disesuaikan dengan jenis pekerjaannya
sehingga mendapatkan fungsi perlindungan yang maksimal.



Shaded Eyewear
Jenis pelindung muka dan mata ini melindungi pekerja dari
bahaya efek radiasi pembakaran. Fungsi perlindungan bahaya efek
radiasi pembakaran ditunjang dengan karakteristik pelindung yang
memiliki kaca pelindung yang gelap.



Face Shield dan Head Covering
Penggunaan bersama face shield dan head covering membuat

proteksi pada bagian muka dan mata menjadi maksimal. Selain
melindungi dari benturan dan benda asing yang berterbangan,
pelindung ini juga memberikan proteksi kepada bahaya efek radiasi
pembakaran.

21

Gambar 2.2 Alat Pelindung Mata (Rijanto,2011)

Tabel 2.1 Rekomendasi Alat Pelindung Mata (Rijanto,2011)
Jenis Pekerjaan

Bahaya

Proteksi yang
disarankan (lihat
Gambar2.2)

Pembakaran dengan

Percikan api, sinar

asetilen, pemotongan

ultraviolet, lemparan

dengan asetilen,

benda asing

7,8,9

pengelasan dengan
asetilen
Penggunaan bahan

Tumpahan bahan

kimia

kimia, kebakaran, gas

Pemotongan

Lemparan benda

2,10

1,3,5,6,7,8

asing
Pengelasan Listrik

Percikan api, sinar
ultraviolet, lelehan
logam

Pelelehan logam

Panas, tumpahan
logam cair

7,8

22

4. Pelindung Pernafasan
Alat

pelindung

pernafasan

berfungsi

untuk

memberikan

perlindungan terhadap sumber-sumber bahaya di udara tempat kerja
seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap,
dan uap logam) dan pencemaran oleh gas atau uap.
5. Pakaian Kerja
Pakaian kerja khusus dibuat untuk melindungi pekerja dari:


Radiasi panas
Dilindungi bahan yang dapat merefleksikan panas.
Terbuat dari katun yang mudah menyerap keringat.



Radiasi Mengion
Dilapisi dengan timbal (timah hitam), biasanya berupa celemek.



Cairan dan Bahan Kimia
Terbuat dari plastik atau karet

6. Pelindung Tangan
Pelindung tangan harus memiliki fungsi untuk melindungi tangan dari api,
radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan
lain lain. Beberapa bahan yang sering dipakai adalah asbes, katun, wool, kulit,
karet maupun PVC (Poly Vinyl Chloride).
7. Pelindung Kaki
Pelindung kaki memiliki beberapa fungsi dalam melindungi pekerja,
antara lain:


Melindungi dari benturan benda-benda berat atau keras.



Melindungi dari tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia
korosif atau iritatif.