T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Maskulinitas Pemimpin Perempuan di Televisi Indonesia: Analisis Wacana Kritis Sara Mills pada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam Program Talkshow Kick Andy Metro T

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Maskulinitas, Pemimpin Perempuan dan Media
Konsep Gender sangat dekat dengan pemahaman nuansa barat
(western invention). Konsep gender kemudian di adopsi ke Indonesia, karena
masyarakat Indonesia modern kurang memperhatikan esensi budaya local
mengenai dinamika relasi-relasi seksual. Gender sebagai suatu konsep
bertumpuh pada aspek biologis (biological reductionism), gender memiliki dua
ketgori biologis yang berbeda namun saling mengisi, yaitu laki-laki dan
perempuan (Cucchiari,1994)
Dalam masyarakat berkembang berbagai konstruksi-konstruksi
sosial yang melahirkan ketimpangan atau bias dalam pembagian lahan kerja
maupun persepektif sosial mengenai dua kategori gender diatas, ketimpangan
yang disadari oleh kategori perempuan akan begitu diagungkannya hak lakilaki melahirkan gerakan pembela perempuan untuk memperjuangkan hanya
demi terwujudnya kesetaraan gender, gerakan ini yang disebut Feminisme.
Berbagai

konsep

muncul


untuk

menjelaskan

bagaimana

kesetaraan dapat terwujud dalam berbagai aspek salah satunya aspek
kepemimpinan oleh perempuan. Dalam feminisme perjuangan ini dapat
dilambangkan dengan feminism liberalism, Marxis dan Radikal. Berdasarkan
data yang dipaparkan di atas, konsep feminism liberal menjadi konsep besar
yang dapat menjelaskan bagaimana perjuangan perempuan dalam memperoleh
kuasa dalam menyampaikan suara dalam tatanan suatu Negara.
Namun budaya maskulinitas menjadi suatu tantangan tersendiri
bagi para kaum perempuan untuk memperjuangkan hak kesetraan yang
dijelaskan diatas, salah satunya dalam berkarir sebagai seorang pemimpin
dunia maupun dalam suatu Negara.
11

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Michigan University

oleh Wessel,dkk mengemukakan hasil penelitian yang menunjukan bahwa
seorang perempuan yang berada dalam posisi pemimpin harus dapat bermain
maksimal hingga mencapai kualitas maskulin jika ingin berhasil dalam
pekerjaan atau lingkungan pekerjaan yang didominasi laki-laki. (Journal of
Psychology of Women,2014)

Melihat penjelasan diatas menunjukan realita yang ada dalam
perkembangan Gender saat ini. Media sebagai saluran Informasi menjalankan
perannya dengan membangun informasi kepada masyarakat mengenai realita
diatas,yang kemudian disiarkan dalam berbagai bentuk program, hal ini
kemudian membangun pemikiran masyarakat mengenai pemimpn perempuan
itu sendiri.

2.1.1. Konstruksi Gender dan Pemimpin Perempuan

2.1.1.1. Maskulinitas
Kata masculine sendiri dekat dengan kata Mascle (otot) yang dapat
segera diasosiasikan dengan kekuatan, keperkasaan, kepahlawanan, kekerasan
dan pekerjaaan militer. Maskuslinsitas adalah stereotype mengenai karakter
seorang laki-laki. Maskulin dan feminis memiliki tataran yang sama yaitu

menggamabrkan kesetaraan derajat gender dalam berbagai aspek. Jika karakter
berlebihan disebut laki-laki super maskulin, jika kurang maka disebut laki-laki
kurang maskulin atau laki-laki feminin (Darwin,2015:1).
Maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain
kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri,
kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah adalah
hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan,

12

komunikasi, perempuan, dan anak-anak, dalam budaya China juga terdapat
beberapa tolak ukur seseorang dipandang Maskulin, yaitu ketika memiliki
kewibawaan, kuat, angkuh, arogan, perkasa dan keras, sehingga ketika seorang
individu sudah memiliki karakter maskulin ini maka individu tersebut harus
menyimpan sisi feminim dalam dirinya agar mampu mengimbangi karakter
keras yang dimilikinya. (Wang,2009:104).

Steoreotype maskulinitas mencakupi beberapa aspek karakateristik
individu,


yaitu

karakter

atau

kepribadian,

perilaku

peranan,okupasi,

penampakan fisik maupun orientasi seksual. Seperti halnya stereorype
mengenai karakter laki-laki yang terbuka, kasar, agresif dan rasional telah
tertanam dalam masyarakat, hal tersebut terbentuk juga merupakan dampak
dari budaya patriaki yang ada hingga saat ini (Darwin,2015:3)

Conell berpendapat bahwa maskulinitas tidak akan ada jika tidak
dibedakan dengan feminitas. Terminologi maskulinitas sebenarnya tidak
memiliki makna apapun. Hanya saja, dalam struktur sosial, perilaku

masyarakat mencerminkan demikian. Conell kemudian melakukan empat
klasifikasi atas pemahaman maskulinitas dalam perspektif ilmiah. Pertama,
dari pandangan positivis, maskulinitas berupaya menggambarkan “what man
actually

are”

dengan

menghubungkan

antara

hal

biologis

atau

pengelompokkan sosial.Kedua pendekatan normatif, masyarakat memiliki

konsep sendiri terhadap “what men ought to be” .Ketiga, perspektif esensialis
memiliki pemahaman bahwa maskulinitas diperoleh dari kepribadian masingmasing atau hormon yang dibawa. Keempat dalam pendekatan semiotika
perbedaan maskulinitas dan feminitas menjadikannya sebagai ruang simbolik
(Conell, 1995: 68-70 dalam Kusumaningrum).

13

Barker dalam Nasir (2007:1) laki-laki tidak dilahirkan begitu saja
dengan

sifat

maskulinya

secara

alami,

maskulinitas


dibentuk

oleh

kebudayaan.Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah
kebudayaan.Sehingga sifat maskulinitas berbeda-beda pada setiap kebudayaan.
Konsep maskulinitas dalam budaya timur seperti Indonesia juga dipengaruhi
oleh faktor kebudayaan. Ketika seseorang anak laki-laki lahir maka dibebankan
beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga kepadanya.
Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media yaitu
ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku
bacaan, petuah dan filosofi hidup. (Kusumaningrum,2016:5).

2.1.1.2. Karakter Kepemimpinan
Secara harafiah kata pemimpin berasal dari kata pimpin yang berarti
mengarahkan, membina, mengatur, menuntun dan juga menunjukan ataupun
mempengaruhi. Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam
memenuhi visi suatu bidang maupun organisasi yang dipimpinnya baik secara
fisik maupun spiritual. Dalam hal ini menunjukan bahwa menjadi seorang
pemimpin


tidaklah

mudah

dan

setiap

individu

memiliki

karakter

kepemimpinan yang berbeda-beda. (Ageng Puspanegara,2012)
George R. Terry mengartikan bahwa Kepemimpinan adalah aktivitas
untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan suatu
bidang yang dipimpin ataupun organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut
seorang pemimpin harus melewati proses mempengaruhi dalam menentukan

tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Miftah
Thoha,2010:5)
Menurut Hudges (2012:4) kepemimpinan adalah suatu peristiwa yang
kompleks yang melibatkan 3 unsur yaitu pemimpin (leader ) pengikut
14

(follower ) dan situasi (situation). Kompleksitas kepemimpinan dapat dilihat
dari keberagaman sifat kepribadian atau perilaku seorang pemimpin dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Kepemimpinan juga menyangkut
proses hubungan antara pemimpin dan pengikut, serta bagaimana tindakan
seorang pemimpin di penagruhi oleh situasi dimana ia menjalankan tugasnya.
2.1.1.3. Pemimpin Perempuan di Kepemerintahan
Indonesia yang mengusung budaya patriarki, membuat kedudukan
perempuan masih saja menjadi sub ordinat laki-laki. Karena budaya ini pula
perempuan

Indonesia

masih


termarjinalkan

dan

selalu

diasosiasikan

mengambil peran domestic saja. Kesempatan para perempuan untuk
melenggang di dunia politik awalnya dirasa sangat terbatas. Namun, kenyataan
yang berkembang dalam masyarakat fenomena ini lambat laun semakin
bergeser, seiring dengan perubahan kondisi dan struktur masyarakat, termasuk
pendekatan gender yang berkembang akhir-akhir ini. Hal ini dapat dilihat dari
semakin besarnya peran perempuan baik secara kuantitas maupun kualitas.
Tidak sedikit perempuan yang telah bermigrasi dari keterbelakangan
pendidikan menuju perempuan berpendidikan, termasuk berpendidikan tinggi.
Perempuan juga telah keluar dari sekedar mengurusi urusan domestik,
melainkan berperan pada wilayah publik, termasuk beberapa diantaranya telah
menjadi pejabat publik.

Mereka, perempuan yang telah memiliki peran penting dalam lembaga
kepemerintahan ataupun susunan kabinet dibagi dalam beberapa kategori yaitu
Purnawirawan, Birokrat Karir (Individu yang berkarir dalam lembaga maupun
organisasi kepemerintahan), Teknokrat (Cendekiawan yang bekerja dalam
Kepemerintahan), Praktisi, Akademisi dan Politisi (individu yang terlibat
langsung dengan praktik politik dalam kepengurusan partai maupun lembaga
kepemerintahan (Romelta, 2014)). Dalam penelitian ini akan masuk dalam

15

kategori Kabinet Praktisi karena Menteri Susi Pudjiastuti merupakan Praktisi
bidang Perikanan dan Kelautan.
Sejak diterapkannya kuota 30% dalam pemilu, jumlah keterwakilan
perempuan dalam parlemen akhirnya cukup meningkat. Serta, akhirnya
bermunculan perempuan-perempuan yang masuk dan bahkan memimpin
dalam parlemen. Munculnya pemimpin perempuan yang berkualitas menjadi
isu yang menarik bagi Indonesia yang mengambil budaya patriarki. Munculnya
Sri Mulyani, Khofifah Indar Parawansa, bahkan sampai Tri Rismaharini
membuktikan bahwa perempuan tidak hanya baik dalam bidang domestic,
perempuan juga mampu masuk dalam dunia kepemimpinan negara dan
berkualitas. (Hendrawati,2014)
2.2. Analisis Wacana Kritis (Sara Mills)
Analisis Wacana Kritis merupakan metode analisa data berupa teks dan
seberapa dalam teks diinterpretasikan dalam pikiran pembacanya, menurut
Guy Cook (Eriyanto,2001:8) ada tiga hal penting dalam analisis wacana yaitu
teks,konteks dan wacana . Teks menyangkut segala bentuk bahasa dan semua

jenis ekspresi komunikasi,ucapan,musik, gambar, efek, suara, cita dan lain
sebagainya. Konteks menyangkut berbagai situasi yang berada diluar teks dan
mempengaruhi pemilihan bahasa dalam suatu teks, seperti partisipan dalam
bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan
lain sebagainya. Sedangkan wacana dimaknai sebagai teks dan konteks secara
bersamaan.
Analisis Wacana mencoba menganalisis teks dan konteks bersamasama dalam suatu proses komunikasi. Penggunaan monteks dalam pemaknaan
bahasa bertujuan untuk menunjukan bahwa tidak ada tindakan komunikasi
tanpa partisipan, intereks, situasi dan sebagainya (Eriyanto,2001:9).

16

Analisis Wacana Kritis (AWK) dengan model Sara Mills merupakan
pendekatan linguistic yang memiliki perhatian utama pada wacana feminism
dengan melihat bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks dan gambar.
AWK Sara Mills ini juga sering disebut wacana berprespektif feminis karena
melalui analisa ini akan mengemukakan bagaimana teks bias dalam
menampilkan sosok perempuan, bagaimana juga sosok perempuan ditampilkan
sebagai pihak yangsalah dan marginal dibandingkan dengan laki-laki.
Beberapa hal menganai bias diatas yang menjadi fokus utama Sara Mills.
(Darma,2009:85)
Gagasan Sara Mills lebih melihat bagaiamana posisi subjek yang
menjadi penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan, posisi tersebut
dirasa penting untuk dikemukakan karena akan menentukan bagaiamana
struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara
keseluruhan. Selain posisi Subjek-Objek diatas, Sara Mills juga menjelaskan
posisi lain yaitu Pembaca dan Penulis, bagaimana seorang pembaca akan
memposisikan dirinya ketika membaca penceritaan teks, hal ini akan
mempengaruhi bagaimana Subjek-Objek diinterpretasikan oleh Pembaca .
Secara keseluruhan proses analisis posisi ini akan membuat satu pihak menjadi
legitimit dan pihak lain menjadi ilegitimit. (Darma,2009:86)

Tabel 2.1. Kerangka Analisis Wacana Kritis Sara Mills

TINGKAT
Posisi Subjek-Objek

YANG INGIN DILIHAT
Bagaimana peristiwa dilihat, kacamata isapa
peristiwa ini dilihat. Siapa yang diposisikan
sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang
menjadi objek yang diceritakan. Apakah
masing-masing actor dan kelompok sosial

17

mempunyai kesempatan untuk menampilkan
dirinya

sendiri,

gagasannya

ataukah

kehadirannya, gagasan ditampilkan oleh
kelompok/orang lain.
Posisi Peneliti-Pembaca

Bagaimana posisi pembaca ditampilkan
dalam

teks.

Bagaimana

pembaca

memposisikan dirinya dalam teks yang
ditampilkan. Kepada kelompok manakah
pembca mengidentifikasi dirinya.
Sumber : Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media (Eriyanto,2001:211)

18

2.3. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis mengacu dan menjadikan 3 jurnal
penelitian sejenis sebelumnya sebagai referensi. 3 jurnal tersebut antara lain
Journal of Interantional Women’s Studies “Women’s Access to Political
Leadership in Madagascar : The Value of History and Social Political
Activism (Ave Altius & Joel Raveloharimisy, July 2016, Bridgewater State
University), journal Pertama menjelaskan mengenai gaps yang masih dialami

perempuan dan laki-laki dalam partisipasi politiknya. Penelitian ini
menjelaskan akses perempuan di Madagascar ke kursi kepemimpinan poitik di
daerah nya, penelitian ini juga menemukan bahwa melalui studi literatur terkait
menemukan 3 faktor besar alasan partisipasi perempuan di politik yaitu Kuota
perempuan (Gender Quotas) dalam parlemen yang diatur dalam UndangUndang, Kekerabatan (Kinship), serta Pergolakan Sosial (Societal Upheaval).
Kemudian dalam realita lapangan yang ditemui oleh penulis ini, faktor-faktor
yang menjadi alasan perempuan di Madagascar berpartisipasi dalam
kepemimpinan politiknya berbeda yaitu karena adanya faktor Warisan Sejarah
(History Legacy of Madagascar Women) dan Partsisipasi menjadi Aktivis
Gerakan Sosial.
Thesis for Master Degree-Studi Tentang Representasi, Penilaian

Perempuan dan Gagasan Keterwakilan Perempuan di Parlemen pada
Pemilu Legislatif 2009 di Televisi (Dr.Widodo Muktiyo,Univesitas Negeri
Solo), dalam tesis ini menjelaskan bahwa Televisi dalam menyuguhkan
representasi politisi perempuan ditandai oleh beberapa hal yakni anihilasi
(kecenderungan kurang/langka) politisi perempuan dalam pemberitaan (kecuali
Megawati Soekarno Putri dan Puan Maharani). Selanjutnya dapat dikatakan
bahwa representasi politisi perempuan di televisi lebih banyak dijumpai di
berbagai acara talkshow. Namun demikian representasi politisi perempuan

19

lebih didominasi oleh politisi perempuan mantan artis dan selebritis seperti
Oky Asokawati (mantan model dan pemain sinetron, PPP), Ratih Sanggarwati
(mantan model, PPP), Nurul Arifin (mantan pemain film, Golkar) dan Rieke
Dyah

Pitaloka

(pemain

sinetron,

PDIP).

Temuan

tersebut

semakin

diamplifikasi lewat hasil survei riset yang dilakukan dimana responden
(pemilih perempuan) pada umumnya tidak meyakini peran media massa
khususnya televisi dalam membantu mendukung gagasan keterwakilan
perempuan (kuota 30 %) di parlemen. Sebanyak 28 orang (35%) responden
mengatakan ragu dan 22 orang (27,5%) lainnya mengatakan televisi tidak
membantu mendukung gagasan keterwakilan perempuan di parlemen dan
hanya 30 orang (37,5%) responden yang memiliki penilaian bahwa televisi
telah membantu mendukung gagasan tersebut. Sementara dari sisi korelasi
variabel sosio-demografis, dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel umur
relatif tidak berkorelasi dengan penilaian. Dimana baik responden laki-laki
maupun perempuan sama-sama cenderung memiliki penilaian bahwa
kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu
keharusan dan penting bagi jaminan keterwakilan aspirasi hal-hak perempuan
di parlemen. Akan tetapi hasilnya berbanding terbalik apabila ditilik dari
variabel pendidikan dimana diketahui bahwa pendidikan semakin tinggi akan
mempengaruhi tingkat penilaian
Perjuangan Kaum Perempuan dalam Memperoleh Kesetaraan
Hak- Studi Kasus Perempuan Di Negara Iran Dan Indonesia Hak Politik
(Febrianto Syam,Journal Academia).
Perempuan adalah salah satu bagian dari masyarakat yang dalam hal
ini adalah sama posisi dan kedudukannya bila dilihat dari sudut pandang
agama. Namun yang terjadi kemudian pada beberapa waktu lampau yakni
adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan yang menyebabkan aktivitas
mereka menjadi terganggu bahkan dihilangkan. Adanya konsep yang
20

kemudian menyudutkan perempuan kemudian menjadi faktor kurangnya
partisipasi perempuan dalam masalah public. Dalam tulisan ini kemudian
membahas mengenai upaya para perempuan di Iran dan Indonesia dalam
memperoleh hak politik mereka. Dimana sebelumnya hak tersebut tidak
diadakan oleh Negara sebagai suatu kepentingan umum
Kelebihan penelitian ini dibanding penelitian yang telah dilaksanakan
diatas adalah lebih memfokuskan pada faktor media dalam hal ini Televisi
(TV) yang sangat kuat saat ini dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat,
khususnya masyarakat Indonesia, sehingga dapat melengkapi penelitianpenelitian sebelumnya untuk melihat faktor lain yang penting dalam
berkembangnya pengetahuan mengenai Gender Studies di Indonesia.

21

2.4. Kerangka Pikir
Pemimpin Perempuan di Kabinet
Kerja Presiden Joko Widodo

Menteri Perikanan dan
Kelautan Susi Pudjiastuti

Konstruksi Maskulinitas

Maskulinitas pemimpin
perempuan

Media (Televisi)
Maskulinitas pemimpin tersebut
ditayangkan dalam program-program yang
ada di Televisi
Menteri Susi Pudjiastuti dalam
Talkshow Kick Andy Metro TV edisi
8 April 2016

Analisa wacana kritis (Sara Mills)
pada Menteri Susi Pudjiastuti
dalam Talkshow Kick Andy Metro
TV edisi 8 April 2016

22