Margaisme dalam Pemilihan Legislatif di Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran Organisasi Masyarakat Batak Toba Terhadap Pembentukan Perilaku
Pemilih Pada Pemilihan Umum Legislatif 2009
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Brando Sinurat dengan melakukan studi
kasus di dalam pungan simanjuntak sitolu sada ina dohot boruna ( PSSSI&B) yang ada di
kota pematang siantar. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif. Kesimpulan
yang dapat saya ambil dari hasil penelitian ini adalah pertama, organisasi masyarakat
Punguan Simanjuntak Sitolu Sada Ina dohot Boruna hanya berperan sebagai fasilitator
saja, dan pilihan semua berpaling pada anggota tersebut dalam menjatuhkan pilihannya.
Kedua, anggota PSSSI&B dalam memilih calon legislative pada pemilihan umum
2009 yang lalu masih dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu agama, tradisi kesukuan dan
factor kesamaan etnis. Angggota PSSSI&B lebih cenderung memilih berdasarkan yang
satu etnis dengan merekaa, karena menurut mereka hal seperti ini akan lebih mewakili
mereka dan ada kebanggaan tersendiri jika calon yang terpilih berasal dari kalangan
mereka. Dengan demikian kesimpulan dari penelitian Brando Sinurat ini mengatakan
bahwa istilah atau tradisi orang Batak Toba yang menyatakan “dang tumagonan tu halak
bolo adong do nadihita” (buat apa memilih orang lain kalau masih ada dari kita sendiri)
masih mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan.

Ketiga, anggota PSSSI&B yang berumur 50 tahun keatas atau yang sudah menjadi

anggota PSSSI&B selama 30 tahun masih cenderung dipengaruhi oleh adat-istiadat atau
tradisi-tradisi lama budaya Batak Toba dalam menjatuhkan pilihannya dalam pemilihan
legislative 2009. Keempat, etnisitas mempunyai kaitan yang erat denga preferensi politik
masyarakat, karena masyarakat menjatuhkan pilihannya masih berdasarkan etnis yang
berkaitan dengan dirinya,
Kelima, selain faktor suku dan etnisitas ternyata anggota PSSSI&B memiliki
kecenderungan memilih calon yang berasal dari organisasi itu sendiri. Bisa dikatakan,
faktor organisasi perkumpulan satu marga inilah yang sebenarnya paling dominan
mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan dalam pemilihan umum legislative
2009 yang lalu. Hal ini dibuktikan ketika ada calon dari luar PSSSI&B yang satu etnis
maupun satu suku dengan mereka yang memiliki dukungan pencalonan, mereka tetap
memilih anggota dari organisasinya sendiri dalam pemilihan umum legislatif 2009 yang
lalu.
2.2 Revivalisme dan Kekuatan Familisme dalam Demokrasi
Dalam sebuah jurnal hasil karya Wasisto Raharjo Djati tahun 2013 dengan judul
Revivalisme Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal penelitian
dilakukan di dalam keluarga besar Gubernur Banten yaitu Ratu Atut Chosiyah, dengan
metode penelitian yaitu analisis kepustakaan. Yang bisa saya ambil kesimpulannya adalah
sebagai berikut. Secara garis besar, gejala yang timbul dalam proses demokratisasi lokal
adalah proses reorganisasi kekuatan tradisional untuk berkuasa di daerah dalam arena

demokrasi. Revitalisasi kekuatan politik tradisional tersebut tumbuh seiring dengan proses
otonomi daerah sehingga kelompok elit mendapat kesempatan untuk mengukuhkan
pengaruhnya kembali. Selain adanya revitalisasi kelompok politik tradisional, gejala

lainyang timbul adalah demokratisasi lokal adalah fungsi partai politik yang melemah
dalam melakukan kaderisasi sehingga menimbulkan adanya pragmatism politik dengan
mengangkat para kelompok elit tersebut. Hal itu juga diikuti proses demokrasi yang mahal
dimana masyarakat memilih pasif dalam proses demokrasi dan cenderung menghendaki
status quo pemerintah sekarang. Sementara itu, kepala daerah

memiliki tren untuk

mewariskan kekuasaannya kepada kerabat demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib
politik. Semua itu mengkondisikan terbentuknya dinasti politik diranah lokal.Dinasti
politik yang mengandalkan kekuatan personal, klientelisme, dan relasi patrimordial yang
menempatkan

elit

diatas


masyarakat.Pada

level

ini,

familisme

kemudian

mengorganisasikan diri menjadi dinasti politik untuk menjaga kelanggengan kuasa dan
mengontrol sepenuhnya suara masyarakat.
Perspektif budaya politik familisme yang dikembangkan dalam tulisan ini
memberikan konteks kebaruan dalam memahami fenomena dinasti politik, terutama
menyangkut pembentukan preferensi politik yang kemudian mendorong pemerintahan
dinasti.Pertama, analisis dinasti politik tidak boleh terpaku pada hubungan petronasi
keluarga secara umum, tetapi lebih terspesialisasikan menurut preferensi politik keluarga
yang terbagi dalam tiga hal, yakni familisme, quasi familisme, dan ego familisme. Kedua,
pembentukan dinasti politik dipahami dalam dua nalar besar yakni by design yang

mengarah achieved status atau by design yang mengarah pada by accident.Kedua nalar itu
penting untuk membantu kita agar tidak terjebak pada pemikiran elit.Ketiga, sumber
dinasti politik tidak hanya relasi keluarga inti atau demokrasi pasutri yang selama ini
menjadi diskursus dominan, namun terdapat empat aspek, seperti tribalisme, feodalisme,
jaringan maupun populisme. Perspektif budaya politik familisme secara garis besar juga
telah memetakan bahwa preferensi budaya politik familisme yang kemudian mendorong
terjadinya dinasti ternyata tidak hanya terjadi dalam internal keluarga kepala daerah, tetapi

juga masyarakat dan elemen masyarakat yang juga memiliki preferensi kuat dorongan
publik atas dinasti. Studi tentang budaya politik familisme sendiri layak dikembangkan
kedalam penelitian sosial dan politik yang membahas dinasti politik dalam studi kasus di
tingkat kabupaten dan kota.
2.3 Modal Sosial
Konsep modal sosial (social capital) diperkenalkan Putnam (1993) sewaktu
meneliti Italia pada tahun 1985.Masyarakat, terutama di Italia Utara, memiliki kesadaran
politik yang sangat tinggi, karena tiap individu punya minat besar untuk terlibat dalam
masalah politik.Hubungan antara masyarakat lebih bersifat horizontal, karena semua
masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara itu, Putnam prihatin atas
kecenderungan runtuhnya jalinan sosial masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan
kontribusi bagi terciptanya “cuch potato syndrome” atau disebut juga cerminan hidup yang

individual. Jadi kebiasaan orang Amerika “nongkrong” didepan layar televisi berjam-jam
sebagai cerminan hidup yang sangat individualistic.
Konsep modal sosial juga muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak
mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan
adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang
berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti ini lah yang pada
awal abd ke 20 mengilhami seorang pendidik Amerika Serikat bernama Lyda Judson
Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) pertama kalinya.
Robert Putnam mendefenisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust
(kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal
sosial merupakan institusi sosial yang melibatkan jaringan (network), norma-norma
(norms) dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong kolaborasi sosial untuk

kepentingan bersama.Lebih jauh Putnam memaknai asosiasi horizontal tidak hanya yang
member

hasil

pendapatan


yang

diharapkan

melaikan

juga

hasil

tambahan. http://eprints.uny.ac.id/8790/3/BAB%202%20-%2008413244020.pdf tanggal 5
des 14 18:09
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis dalam sebuah tulisannya berjudul “The
Forms of Capital” tahun 1986 mengemukakan bahwa untuk dapat memahami dan cara
berfungsinya dunia sosial, perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya
membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Perlu juga diketahui bentuk
transaksi yang dalam teori ekonomi diangggap sebagai non-ekonimi, karena tidak dapat
secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padahal sebenarnya dalam setiap
transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal inmaterial berbentuk modal budaya
dan modal sosial. Bordieu menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal sosial dan

modal budaya, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu
sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonveksikan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa modal sosial (social capital) merupakan fasilitator penting dalam
pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan
sosial dimasa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan
secara

tepat

pembangunan.

mampu

memperkuat

efektivitas

http://eprints.uny.ac.id/8790/3/BAB%202%20-%2008413244020.pdf

tanggal 5 Desember 2014 pukul 18:09

Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai
atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok
masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama diantara mereka.
Analisis modal sosial salah satunya dapat digunakan untuk mencermati:

a. Hubungan sosial, merupakan bentuk komunikasi bersama melalui hidup
berdampingan sebagai interaksi antar individu.
b. Adat dan nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerja sama, dan
hubungan sosial dalam masyarakat
c. Toleransi merupakan salah satu kewajiban moral yang harus dilakukan setiap orang
ketika berada/ hidup bersama orang lain.
d. Kesediaan untuk mendengar berupa sikap menghormati pendapat orang lain.
e. Kejujuran menjadi salah satu hal pokok dari keterbukaan/transparansi untuk
kehidupan yang lebih demokraris.
f. Kearifan lokal dan pengetahuan lokal sebagai pendukung nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat.
g. Jaringan

sosial


dan

kepemimpinan

sosial

yang

terbentuk

berdasar

kepentingan/ketertarikan individu secara prinsip/pemikiran dimana kepemimpinan
sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau keagamaan.
h. Kepercayaan merupakan hubungan sosial yang dibangun atas dasar rasa percaya
dan rasa memiliki bersama.
i. Kebersamaan dan kesetiaan berupa perasaan ikut memiliki dan perasaan menjadi
bagian dari sebuah komunitas.
j. Tanggung jawab sosial merupakan rasa empati masyarakat terhadap upaya
perkembangan lingkungan masyarakat.

k. Partisipasi masyarakat berupa kesadaran diri seseorang untuk ikut terlibat dalam
berbagai hal berkaitan dengan diri dan lingkungan.

l. Kemandiriaan berupa keikut sertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
2.3.1

Kepercayaan (trust) sebagai Modal Sosial
Dalam terminologi sosiologi, konsep kepercayaan dikenal dengan trust. Fukuyama

berpendapat bahwa trust (kepercayaan) merupakan dasar dalam sebuah tatanan sosial
“komunitas-komunitas” tergantung kepada kepercayaan timbal balik akan muncul secara
spontan. Trust (kepercayaan) merupakan salah satu unsur dari modal sosial. Trust
(kepercayaan) menjadi unsure yang penting dalam modal sosial yang merupakan perekat
bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Dengan menjadi suatu
kepercayaan orang-orang bisa bekerjasama secara efektif.
Kepercayaan merupakan hubungan antara dua belah pihak atau lebih yang
mengandung harapan yang menguntungkan salah satu belah pihak melalui interaksi sosial.
Lawang menyimpulkan inti konsep kepercayaan sebagai berikut:
a. Hubungan sosial antara dua orang atau lebih, termasuk dalam hubungan ini ada
institusi, yang dalam pengertian ini diwakili orang.

b. Harapan yang ada akan tergantung dalam hubungan ini, yang kalau direalisasikan
tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
c. Interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan itu berwujud (Damsar,
2009:186)
2.3.2

Jaringan Sosial (social network) sebagai Modal Sosial (social capital)
Jaringan adalah ikatan antara simpul ((orang atau kelompok) yang dihubungkan

dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan.
Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. Ada kerja

antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sisal menjadi satu
kerjasama, bukan kerja bersama-sama. Seperti halnya sebuah jaringan (yang tidak putus)
kerja yang terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama. Dalam kerja
jaringan itu tada ikatan yang tidak dapat berdiri sendiri. Sosial adalah sebagai sesuatu yang
dikaitkan atau dihubungkan dengan orang lain atau menunjuk pada makna subyektif yang
mempertimbangkan perilaku atau tindakan orang lain yang berkaitan dengan pemaknaan
tersebut. ( Damsar 2013: 157-158)
Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak dalam
suatu kelompok ataupun antara suatu kelompok dengan kelompok lain. Suatu cirri khas
dari teori jaringan adalah pemusatan perhatian pada struktur mikro hingga makro. Artinya,
bagi teori jaringan, actor (pelaku) mungkin saja individu tetapi mungkin juga kelompok,
perusahaan dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi dalam struktur sosial skala luas
maupun tingkat yang lebih mikrospik (Ritzer, Douglas. 2010: 383)
Kedhusin (Rudito, Famiola 2008: 147) menjadikan bahwa ada tiga jaringan sosial
yaitu:
a. Jaringan individu (ego centris) adalah sebuah jaringan yang berhubungan dengan
modal tunggal atau individu, contohnya teman baik saya. Dalam hal ini ada satu
titik yang menjadi sentral pengamatan.
b. Sedangkan jaringan sosial (social-centric) digambarkan dalam model dan batasan
analisisnya, seperti jaringan antara mahasiswa dalam sebuah kelas, jaringan pekerja
dan manajemen dalam sebuah pabrik atau tempat kerja.
c. Jaringan terbuka (open system) batasan tidak dianggap penting. Sebagai contoh
jaringan politik, jaringan antar perusahaan dan jaringan antara mahasiswa.