Peran Psikologi dalam Kriminologi dalam

PERAN PSIKOLOGI DALAM KRIMINOLOGI
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kriminologi

Disusun oleh:
Angela
190110140050

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017

I.

Pendahuluan
Istilah kriminalitas tidak terdengar asing lagi, khususnya bagi masyarakat
Indonesia. Semakin meningkatnya praktik kriminalitas, ditambah dengan
semakin maraknya pemberitaan terhadap kasus-kasus kriminal, baik melalui
media

elektronik


hingga

persepsi-persepsi

dari

kalangan

masyarakat

menjadikannya sebagai suatu topik yang seakan-akan tidak pernah habis dan
bosan untuk dibahas, begitu pula dengan para pelaku kriminalitas justru
semakin bertambah dengan berbagai macam pola dan model kejahatan yang
dilakukan.
Kriminalitas merupakan salah satu bentuk penyakit sosial yang memang
sulit untuk diatasi karena tindak kriminal dapat terjadi kapan pun, pada siapa
pun dengan usia yang tidak tertentu pula. Terkadang dilakukan secara sadar
ataupun tidak sadar hingga karena dipaksa oleh suatu situasi dan kondisi
tertentu.

Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari lebih dalam lagi
tentang hakekat kriminalitas melalui kriminologi demi menciptakan suatu
pemahaman dan analisis terhadap masalah tersebut sekaligus sebagai bentuk
usaha antisipasi dan partisipasi dalam mengendalikan kriminalitas dengan
segala praktik-praktiknya. Dengan esai ini penulis menyajikan contoh kasus
beserta sedikit analisisnya menggunakan salah satu teori dalam kriminologi,
yaitu viktimologi, disertai dengan peran psikologi dalam kriminologi.
II.

Kajian Teoretis
a. Kriminalitas
Istilah kriminalitas berasal dari bahasa Inggris “crime” yakni kejahatan.
Kejahatan secara formal dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku yang
melanggar norma-norma sosial dan undang-undang pidana, bertentangan
dengan moral kemanusiaan, bersifat merugikan, sehingga ditentang oleh
masyarakat. Sedangkan kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari
1

sifat, penyebab, pengendalian, konsekuensi, serta pencegahan kriminalitas
melalui pendekatan ilmiah.

b. Victimology
Istilah victimology pada awalnya dikemukakan oleh Mendelsohn (1974) dan
von Hentig (1948). Viktimologi berfokus pada hubungan antara korban
dengan pelaku, yang sekiranya dapat membantu menjelaskan perbuatan
jahat yang telah dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Walklate dan
Mawby mengemukakan bahwa terdapat tiga kategori victimology, yaitu
positivist victimology, radical victimology, dan critical victimology.
c. Positivist Victimology
Miers (1989) mengartikan arti dari positivist victimology sebagai identifikasi
akan faktor-faktor yang berkontribusi pada pola yang beraturan, berfokus
pada kriminalitas yang bersifat interpersonal, dan pengidentifikasian akan
korban yang bisa saja berkontribusi pada kejadian yang terjadi pada dirinya
sendiri.
Miers menyebutkan tiga fitur dalam positivist victimology:


Bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghasilkan polapola viktimisasi, terutama yang membuat individu maupun kelompok
tertentu menjadi lebih mungkin untuk menjadi korban




Berfokus pada interpersonal crimes of violence



Bertujuan

untuk

mengidentifikasi

korban-korban

yang

telah

berkontribusi terhadap viktimisasi mereka sendiri
d. Radical Victimology
Viktimologi radikal dapat dikatakan bermula dari penelitian yang dilakukan

oleh Mendelsohn (1947), dimana dinyatakan bahwa viktimologi peduli
dengan semua aspek viktimisasi, tidak hanya pada hanya mereka yang
dapat didefinisikan sebagai kriminal. Terdapat beberapa kesamaan yang
dapat diidentifikasikan sebagai suatu bentuk keprihatinan terhadap peran

2

negara dan hukum dalam menghasilkan viktimisasi. Persamaan ini
menghubungkan viktimologi dengan pertanyaan mengenai hak asasi
manusia. Viktimologi yang meliputi hak asasi manusia tidak akan
mengalihkan perhatian dari korban kejahatan dan haknya, namun juga akan
menyelidiki hubungan tak terhindarkan dari hak asasi manusia yang lebih
universal.
e. Critical Victimology
Walklate (1990) dan Mawby dan Walklate (1994) menjelaskan critical
victimology dimulai dari kebutuhan untuk memahami apa yang membentuk
hal yang “sebenarnya”. Dipengaruhi oleh Bhaskar (1978) dan Giddens
(1984), bentuk victimology ini berfokus pada kebutuhan akan sebuah
empirically informed policy agenda, yakni kebijakan yang menaruh
perhatian yang sama pada apa yang “terjadi di belakang” dengan apa yang

dapat kita lihat secara kasat mata. Artinya, kita perlu memerhatikan prosesproses yang berkontribusi terhadap pembentukan everyday life seseorang,
misalnya rutinitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan individu seharihari untuk bertahan hidup.
Mawby dan Walklate juga berpendapat bahwa dalam konteks criminal
victimization diatas, tiga konsep utama yang berhubungan dengan kebijakan
perlu diperhatikan, yakni rights (hak-hak), citizenship (kewarganegaraan)
dan the state. Ketiga konsep ini juga sangat berhubungan dengan versi lain
victimology sehingga kita perlu mempertimbangkan sifat hubungan antara
ketiganya. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Barbelet (1988),
hubungan antara citizen (warga) dengan the state adalah bahwa the state
secara mutlak mengizinkan ataupun menolak hak-hak yang dimiliki warga.
Critical victimology menganggap bahwa the state tidak selalu netral
maupun “jinak” dalam aktivitasnya. Pandangan ini berawal dari penemuan
Offe (1984). Satu hal yang penting untuk memahami mekanisme yang
mendasari jenis-jenis victimization yang kita “lihat” dibandingkan dengan
3

yang tidak kita “lihat” adalah dengan memahami pula cara-cara the state
terkadang

beroperasi


demi

kepentingan

warganya,

namun

selalu

mendahulukan self-maintenance-nya sendiri. Suatu fenomena yang belum
cukup disoroti adalah bahwa gagasan “the victim” mencakupi “all of us”,
hal ini bermanfaat bagi the state secara ideologi terutama ketika mereka
tidak stabil atau aman secara ekonomis.
Young (1996) mengamati bahwa victimization telah disamakan dengan
citizenship. Jika semua orang adalah korban, berarti semua orang
mempunyai peran dalam menaklukkan kriminalitas. Dalam kata lain, semua
orang mempunyai kewajiban: “it is part of the offices of citizen to minimize
the risk of becoming a victim” [ CITATION Wal03 \l 1033 ]. Warga sendiri

mempunyai tugas untuk meminimalisir risiko menjadi seorang korban.
III.

Lampiran Berita/Contoh Kasus
Surni Puri dan Ahsi Avei tertunduk lesu di hadapan kamera wartawan
kemarin (28/11). Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse
Kriminal Kepolisian Resor (Polres) Bogor menetapkan pasangan suami istri itu
sebagai tersangka. Mereka dituduh menganiaya anak sendiri, Yeol Ghi
Nichiardo, 3, hingga meregang nyawa.
"Dari hasil penyidikan, terungkap ada kekerasan yang dilakukan oleh
orang tua korban," ujar Kapolres Bogor AKBP Andi Moch. Dicky.
Dicky menjelaskan, pasutri itu menganiaya anak kandungnya sejak dua bulan
lalu. Terakhir, pada 22 November 2016, korban harus dilarikan ke rumah sakit
akibat luka serius. Dijelaskan, pasangan sadis itu tega menganiaya buah hati
sendiri lantaran kesal dengan tekanan ekonomi. Kehidupan yang serba
kekurangan membuat mereka tega melampiaskan kemarahan kepada putra
semata wayang.
Sejatinya, jelas Kapolres, saksi-saksi yang merupakan tetangga pelaku
sering mendengar tangisan anak laki-laki dari rumah pasutri tersebut. Bisa
4


dipastikan, itu suara yang keluar dari mulut Yeol Ghi Nichiardo. Sebab, hanya
Yeol anak pasangan yang mengontrak sebuah rumah petak di Kampung
Momonot RT 02, RW 11, Desa Tlajung Udik, Kecamatan Gunungputri, itu.
"Para saksi tidak mengetahui bahwa tangisan itu adalah hasil penyiksaan.
Karena korban memang jarang terlihat keluar dari rumah," papar Dicky.
Namun, lama-lama tetangga curiga dengan pasangan tersebut. Apalagi, mereka
melihat si balita pada Rabu lalu (23/11) dilarikan ke RS Sentra Medika,
Cibinong, dalam keadaan pingsan. Mereka kemudian melaporkan hal itu ke
Polsek Cibinong.
Laporan tentang bocah laki-laki yang mengalami luka tidak wajar tersebut
ditindaklanjuti. Unit PPA Polres Bogor mengecek ke rumah sakit. Akhirnya,
diketahui si kecil itu menjadi korban penganiayaan. Ada luka berat gara-gara
benturan dan luka akibat benda tumpul. Selain itu, ada bekas luka karena
cubitan di punggung, kepala, dan paha si balita. "Akibat luka yang cukup parah,
korban tidak bisa diselamatkan meski sudah mendapatkan penanganan medis.
Korban cuma bertahan satu hari di rumah sakit, kemudian meninggal dunia,"
tutur Dicky.
Tanpa buang waktu, Unit PPA Polres Bogor menangkap kedua orang tua
Yeol, lalu menjebloskan mereka ke dalam tahanan. Atas perbuatan itu, pasangan

suami istri tersebut dijerat pasal 80 ayat 2 dan 3 UU No 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau
pasal 44 ayat 3 dan 4 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga serta pasal 64 KUHP. "Ancaman hukumannya 15 tahun
penjara," tegas Kapolres. (Sumber: JawaPos.com)
IV.

Pembahasan
Perilaku kekerasan dalam rumah tangga, dalam kasus ini terhadap anak,
merupakan tindakan kriminal karena merupakan perilaku yang melanggar
hukum dan undang-undang yang berlaku. Kekerasan dalam Rumah Tangga
5

seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, adalah setiap perbuatan
terhadap

seseorang

terutama


perempuan,

yang

berakibat

timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Seperti yang dapat dilihat dari kasus di atas, perilaku kekerasan yang
dilakukan sepasang suami istri dengan inisial SP dan AA terhadap korban
berinisial YGN yang adalah anaknya sendiri, merupakan bentuk kekerasan
dalam rumah tangga, jenis kekerasan fisik karena korban YGN mengalami luka
berat di sekujur tubuhnya akibat luka-luka benturan, dipukul dengan benda
tumpul, dicubit, hingga pada akhirnya korban meregang nyawa karena lukaluka yang dideritanya fatal. Dalam esai ini, penulis akan menganalisis kasus
secara singkat menurut pandangan positivist victimology.
Jika dianalisis berdasarkan pandangan positivist, kejahatan tersebut
merupakan kejahatan yang bersifat interpersonal, dimana antara pelaku dan
korban terdapat hubungan interpersonal yang cukup dekat, dalam kasus ini,
orangtua dan anak. Dapat kita lihat bahwa pola kejahatannya adalah ketika
orangtua mengalami tekanan, kemarahan, dan frustrasi atas tekanan ekonomi
sehingga melampiaskan emosi negatif tersebut kepada anak dengan cara
menganiayanya. Korban yang hanya berusia dini terlihat lemah dan merupakan
target potensial yang mungkin dianggap cocok bagi pelaku untuk dijadikan
korban. Selain itu, pelaku harus menghidupi korban, dan biaya yang diperlukan
untuk membesarkan seorang anak tidaklah murah, sehingga anak dapat menjadi
beban dan sumber frustrasi yang membuat tekanan pelaku semakin memuncak
dan pada akhirnya ia akan selalu menjadikan anaknya sebagai sasaran
penganiayaan. Hal ini sesuai dengan pandangan positivist bahwa korban dapat
berkontribusi terhadap viktimisasinya sendiri (walaupun secara pasif).
6

V.

Peran Psikologi dalam Kriminologi
Bidang ilmu psikologi dapat berkontribusi banyak terhadap kriminologi
dalam membantu kriminolog, polisi, maupun investigator lain untuk
mempelajari dan memahami kriminalitas. Trauma dari viktimisasi merupakan
suatu reaksi yang langsung setelah terjadinya kejahatan. Korban kejahatan
menderita trauma fisik dan psikologis yang tidak ringan. Yang dapat dilakukan
oleh orang-orang yang berkecimpung dalam psikologi adalah membantu
korban-korban kejahatan menghadapi trauma yang mereka alami setelah
kejadian. Bantuan tersebut dapat berupa social support, konseling, misalnya
dengan hanya menjadi teman bicara korban, bertanya apakah mereka merasa
aman, meyakinkan korban bahwa mereka aman, maupun meyakinkannya bahwa
mereka tidak bersalah, mereka tidak membawa kejahatan datang pada diri
sendiri.
Selain itu, dalam disiplin ilmu psikologi forensik, seorang psikolog
forensik dapat berperan bagi kriminologi dengan membantu dalam criminal
profiling dan victim profiling, untuk membangun suatu profil pelaku yang
mungkin dan korban-korban seperti apa yang diincar. Peran psikolog forensik
sebenarnya lebih besar dalam proses hukum, misalnya dalam menilai apakah
seorang terdakwa ataupun korban fit secara mental untuk menjalani proses
hukum (untuk bersaksi di depan hakim, dan sebagainya), atau dalam
memberikan expert testimony sebagai wakil terdakwa ataupun korban. Selain
itu, psikolog forensik juga dapat berperan dalam memberikan offender
treatment programs bagi para pelaku sebagai bentuk rehabillitasi.
Peran yang dapat diberikan psikologi bukan hanya setelah kejahatan
terjadi, tetapi juga sebelumnya, yaitu dalam proactive crime prevention.
Misalnya, membantu kriminolog melakukan penelitian-penelitian terkait
kriminalitas sehingga dapat memperoleh informasi yang dapat disampaikan
sebagai himbauan bagi publik atau masyarakat luas, contohnya apa yang
7

biasanya diincar oleh perampok atau pencopet, gaya jalan atau pakaian seperti
apa yang dapat memicu pemerkosa untuk bertindak, bagaimana para pelaku
menandakan rumah yang mana yang akan dimaling, sehingga masyarakat dapat
lebih aware dan mereka dapat mengantisipasi bahkan mencegah kejahatan
untuk terjadi.

Daftar Pustaka
Deflem, Mathieu, ed. (2006). Sociological Theory and Criminological Research:
Views from Europe and the United States. Elsevier. p. 279.
Jawapos.com. (2016). Bocah 3 Tahun Itu Akhirnya Tewas di Tangan Ayah-Ibu
Kandungnya.

Retrieved

June

12,

2017,

from

Jawapos.com:

http://www.jawapos.com/read/2016/11/29/67453/bocah-3-tahun-itu-akhirnyatewas-di-tangan-ayah-ibu-kandungnya/1
Kartono, K. (2003). Patalogi Sosial Jilid I, Cet. VIII. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Universitas Sam Ratulangi. (n.d.). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Retrieved June 12, 2017, from http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_04.htm
Walklate, S. (2003). Understanding criminology: Current theoretical debates (2nd
ed.). Buckingham, England: Open University Press.

8