ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN SENSITIFITA

SISTEM AKUAKULTUR

(Studi Kasus Penaeus monodon & Cromoleptis altivellis)

Oleh : Bruri Melky Laimeheriwa

Program Doktor (S3) PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2015

KATA PENGANTAR

Dalam kegiatan berproduksi, tujuan pembudidaya ikan kerapu bebek adalah memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses produksi tidak efisien dapat disebabkan dua hal berikut. Pertama, karena secara teknis tidak efisien. Ini terjadi karena ketidak berhasilan mewujudkan produktifitas maksimal; artinya per unit paket masukan (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimal. Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada tingkat harga-harga pemasukan (input) dan pengeluaran (output) tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak optimum ini terjadi karena produk penerimaan marginal tidak sama dengan biaya marginal masukan yang digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis maupun efisiensi alokatif sekaligus.

Makalah dengan

judul

“ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN

SENSITIFITAS SISTEM AKUAKULTUR (Studi Kasus Pada Penaeus monodon

Cromoleptis altivellis), disusun sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Monitoring dan evaluasi lingkungan budidaya.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. M. Latuihamallo, M.Sc, sebagai dosen pengasuh mata kuliah Monitoring dan Evaluasi Lingkungan Budidaya yang telah memberikan pengetahuan tentang mata kuliah ini. Akhirnya saya sebagai penulis ingin membuat semaksimal mungkin yang tersirat dalam mengimplementasikan isi mata kuliah yang dimaksud. Semoga tulisan ini mempunyai manfaat bagi yang membutuhkan.

Ambon, 14 Februari 2015

Penulis

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Peranan budidaya pantai dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan besarnya potensi pengembangannya baik sumberdaya lahan maupun jenis komoditas. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan kawasan pantai telah memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional, tidak saja dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani tetapi juga sebagai sektor penghasil devisa dan mampu menciptakan lapangan kerja baru di wilayah desa pantai. Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat asal laut mengakibatkan jumlah permintaan jenis-jenis ikan laut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya ikan-ikan bersirip diperkirakan 3 juta Ha (Sunaryanto, et al, 2001). Upaya budidaya selain bertujuan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan per kapita, juga untuk memenuhi permintaan pasar dunia serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan cara-cara yang ramah lingkungan dalam upaya pelestariannya di alam baik terhadap ruaya hidupnya maupun terhadap kelestarian jenis-jenisnya.

Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000 ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi makanan ikan laut (FAO, 2003).

Dalam kegiatan berproduksi, tujuan pembudidaya ikan kerapu bebek adalah memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses produksi tidak efisien dapat Dalam kegiatan berproduksi, tujuan pembudidaya ikan kerapu bebek adalah memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses produksi tidak efisien dapat

Secara empiris hampir semua pembudidaya ikan adalah sebagai penerima harga dalam pasar input maupun output karena jarang dijumpai sekumpulan pembudidaya ikan mampu mengorganisasi kelompoknya sehingga mempunyai posisi tawar yang kuat di pasar. Dengan latar belakang seperti itu, dalam praktek sehari-hari orientasi para pembudidaya ikan dalam suatu komunitas dan ekosistem yang relative homogen cenderung mengejar efisiensi teknis yang dalam keidupan sehari-hari diterjemahkan sebagai upaya memaksimalkan produktivitas (Tajerin dan Muhamad Noor, 2005).

Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi usaha budidaya kerapu bebek. Harga beli benih bebek berkisar Rp.1000-1200/cm. Biaya benih adalah biaya terbesar mencapai 36,72% dari total biaya produksi untuk budidaya kerapu bebek secara berurutan (DKP, 2001). Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi. Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.), layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al., 2002). Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja menyumbang 7% - 18% dari total biaya produksi budidaya kerapu bebek. Budidaya kerapu bebek membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk memotong ikan rucah, Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi usaha budidaya kerapu bebek. Harga beli benih bebek berkisar Rp.1000-1200/cm. Biaya benih adalah biaya terbesar mencapai 36,72% dari total biaya produksi untuk budidaya kerapu bebek secara berurutan (DKP, 2001). Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi. Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.), layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al., 2002). Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja menyumbang 7% - 18% dari total biaya produksi budidaya kerapu bebek. Budidaya kerapu bebek membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk memotong ikan rucah,

1.2. Tujuan dan manfaat

Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk menganalisis penggunaan faktor- faktor produksi budidaya kerapu bebek serta Menganalisis tingkat efisiensi pemakaian input pada budidaya ikan kerapu. Diharapkan bahwa hasil analisis ini akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen memahami dan menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta kendala ekonomi yang dihadapi oleh produsen.

II. KERANGKA TEORITIS

Produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan dimana atau kapan komoditi-komoditi tersebut dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditi itu (Miller dan Mainers, 2000). Dengan demikian produksi itu tidak terbatas pada pembuatannya saja tetapi juga penyimpanannya, distribusi, pengangkutan, pengeceran, pemasaran kembali, upaya-upaya mensiasati lembaga regulator atau mencari celah hukum demi memperoleh keringanan pajak atau lainnya.

Iswardono, (2004) menuliskan bahwa teori produksi sebagai mana teori perilaku konsumen merupakan teori pemilihan atas berbagai alternatif yang tersedia. Dalam hal ini adalah keputusan yang diambil seorang produsen dalam menentukan pilihan atas alternatif tersebut. Produsen mencoba memaksimalkan produksi yang bisa dicapai dengan suatu kendala ongkos tertentu agar bisa dihasilkan keuntungan yang maksimum.

Pengertian fungsi produksi adalah suatu hubungan diantara faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakannya. Faktor-faktor produksi ini terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian keusahaan. Dalam teori ekonomi untuk menganalisis mengenai produksi, selalu dimasalahkan bahwa tiga faktor produksi (tanah, modal, dan keahlian keusahaan) adalah tetap jumlahnya. Hanya tenaga kerja yang dipandang seabagai faktor produksi yang berubah-ubah jumlahnya. Penjelasan ini diilustrasikan dalam gambar 1. Faktor produksi merupakan semua korbanan yang diberikan pada budidaya ikan agar ikan lele tersebut mampu tumbuh dan mengahsilkan dengan dengan baik (Soekartawi,1997).

Sesuai gambar 1, dapat membagi fungsi produksi menjadi tiga daerah atau tiga tahap. Tahap I, terjadi pada saat kurva MPP diatas kurva APP yang meningkat. MPP yang meningkat menunjukkan MC yang menurun sehingga input terus ditambah, MPP akan menghasilkan MC atau tambahan ongkos per unit yang semakin menurun, tidak rasional jika produsen berproduksi di daerah ini. Tahap I

Gambar 1. Grafik fungsi produksi dengan satu variabel input.

ini berakhir pada titik di mana MPP memotong kurva APP di titik maksimum. Tahap

II, terjadi pada saat kurva MPP menurun dan berada di bawah kurva APP, tapi masih lebih besar dari nol . Pada awal tahap ini, efisiensi input variabel mencapai titik puncak, sedangkan pada akhir tahap ini, efisiensi input tetap mencapai puncaknya, yaitu pada saat kurva TPP mencapai titik maksimum. Tahap III, terjadi pada saat kurva MPP negatif. Hal ini di karenakan rasio input vari abel terhadap input terlalu besar sehingga TPP menurun.

Fungsi produksi linier merupakan suatu fungsi yang menunj ukkan hubungan antara input-input yang digunakan dengan output yang di hasil kan dal am bentuk fungsi linier. Secara matematis fungsi produksi linier dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f (X1,X2,X3, …, Xn ) atau Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 +…+ b n X n . Di mana, Y= variabel yang dependent/variabel yang dijelaskan; a= konstanta; X= variabel independent/variabel yang menjelaskan; dan b= koefisiensi regresi

Fungsi Produksi Cobb-Douglas (CD) merupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel . Di mana vari abel yang satu disebut vari abel di penden (Y) yang lain variabel independen (X). Sehingga kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb Douglas: Y = f (X1, X2, X3, …,Xn atau dapat dituliskan fungsi Cobb Douglas sebagai berikut: Y =

b1 b2 aX1 b3 X2 X3 …Xn. Pendugaan fungsi-fungsi tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda

dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut menjadi sebagai Ln Y = ln a + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 +e. Di mana, Y = variabel dependen (output); X = variabel indipenden (input); B1, b2 ,.... , bn = nilai parameter yang diduga; e = bilangan natural (2,718) dan u = disturbance term.

Efisiensi merupakan rasio antara output dan input, dan perbandingan antara masukkan dan keluaran. Apa saja yang dimaksudkan dengan masukan serta bagaimana angka perbandingan tersebut diperoleh, akan tergantung dari tujuan penggunaan tolak ukur tersebut. Secara sederhana menurut Nopirin (1997), efisiensi dapat berarti tidak adanya pemborosan.

Efisiensi merupakan banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari kesatuan faktor produksi atau input. Situasi seperti ini akan terjadi apabila petani mampu membuat suatu upaya agar nilai produk marginal (NPM) untuk Efisiensi merupakan banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari kesatuan faktor produksi atau input. Situasi seperti ini akan terjadi apabila petani mampu membuat suatu upaya agar nilai produk marginal (NPM) untuk

Pada kenyataannya NPM x tidak selalu sama dengan P x , dan yang sering terjadi dalam dua keadaan yakni (NPM x / P x ) > 1 ; artinya bahwa penggunaan input x belum efisien. Untuk mencapai tingkat efisiensi maka input harus ditambah dan (NPM x /P x ) < 1 ; artinya penggunaan input x tidak efisien . Untuk mencapai atau menjadi efisien maka input harus dikurangi.

Penggunaan sumber daya produksi dikatakan belum efisien apabila sumber daya tersebut masih mungkin digunakan untuk memperbaiki setidak- tidaknya keadaan kegiatan yang satu tanpa menyebabkan kegi atan yang lain menj adi lebih buruk. Sumber daya dikatakan efisien pengunaannya jika sumber daya tersebut tidak mungkin lagi di gunakan untuk memperbaiki keadaan kegiatan yang satu tanpa menyebabkan kegiatan yang lain menjadi lebih buruk (Lipsey, 1992). Menurut Mubyarto (1986), Efisiensi adalah suatu keadaan di mana sumberdaya telah dimanfaatkan secara optimal. Untuk memperoleh sejumlah produk diperlukan bantuan atau kerjasama antara beberapa faktor produksi .

RTS (Return To Scale) atau keadaan skala usaha perlu diketahui untuk mengetahui kombinasi pengguanaan faktor produksi. Terdapat 3 kemungkinan return to scale, yaitu Decreasing Return To Scale (DRS), Constant Return To Scale (CRS) dan Incrosing Return To scale (IRS) (Soekartawi,1990). Decreasing Return To Scale (DRS), bila (b1+b2+.....+bn) 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasi l kan proporsi penambah produksi yang lebih kecil. Constant Return To Scale (CRS), bila (b1+b2+.....+bn) = 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambah faktor produksi akan proporsional dengan produksi yang di peroleh. Incrosing Return To scale (IRS), bila (b 1+b2+.....+bn) 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambah factor produksi akan mengahasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.

Faktor produksi adalah semua biaya yang diberikan pada ikan kerapu agar ikan lele tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor produksi dikenal dengan istilah input, production factor dan biaya produksi. Dalam berbagai pengal aman menunj ukkan bahwa fackor produksi lahan, Faktor produksi adalah semua biaya yang diberikan pada ikan kerapu agar ikan lele tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor produksi dikenal dengan istilah input, production factor dan biaya produksi. Dalam berbagai pengal aman menunj ukkan bahwa fackor produksi lahan,

Proses produksi budidaya ikan kerapu didasarkan pada pemberian input- input produksi untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan. Langkahlangkah sistematis dalam manajemen budidaya perikanan, antara lain: pemilihan lokasi dan mempersiapkan lahan usaha untuk usaha budidaya, pemilihan benih ikan yang baik, penebaran benih ikan, monitoing kualitas air, penentuan jumlah pemberian pakan ikan yang dibutuhkan, pencegah hama dan penyakit, serta panen dan pemasaran hasil.

III. METODOLOGI PENDEKATAN

Parameter yang analisa meliputi: parameter produksi dan parameter lingkungan. Parameter produksi, meliputi bobot ikan yang digunakan untuk mendapatkan bobot rata-rata ikan kerapu, jumlah ikan untuk mendapatkan derajat kelangsungan hidup ikan, serta jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan untuk mendapatkan rasio konversi pakan. Sedangkan parameter lingkungan:

oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO), pH, alkalinitas total, nitrit (NO -

2 ), amoniak (NH 3-

3 ), fosfat (PO 4 ), serta hidrogen sulfida (H 2 S).

Data yang dikumpulkan kemudian diolah melalui rumusan yang sesuai untuk masing-masing parameter, yaitu jumlah ikan yang hidup, bobot rata-rata ikan, derajat kelangsungan hidup, rasio konversi pakan dan produksi total.

Jumlah ikan yang hidup dalam satu petak KJA diduga dengan rumus : N u = n u x (L t /L j ) x k. Di mana, N = jumlah ikan dalam satu petak karamba (ekor); n = jumlah rata-rata ikan yang tertangkap dalam jala pada tiap pengambilan contoh (ekor); L

t = luas karamba (m 2 ); L j = luas bukaan jala efektif (m ); dan k = nilai koreksi.

Bobot rata-rata ikan dihitung berdasarkan rumus: W r = w/n . Di mana, W r = bobot rata-rata ikan (gram/ekor); w = bobot total ikan yang tertangkap dalam jala pada tiap pengambilan contoh (gram); dan n = jumlah total ikan yang tertangkap dalam jala pada tiap pengambilan contoh (ekor).

Derajat kelangsungan hidup (SR) merupakan perbandingan jumlah ikan pada waktu tertentu (N t , ekor) terhadap jumlah ikan pada saat tebar (N o , ekor) dengan rumus : SR = (N t /N o ) x 100%. Sedangkan nilai N t akhir merupakan bobot ikan pada saat panen (W t , gram) dibagi bobot rata-rata ikan (W r , gram/ekor) dengan rumusan : N t =W t /W r .

Rasio konversi pakan (food conversion ratio, FCR) merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang diberikan terhadap produksi ikan dengan rumusan dari National Research Council (1977) : FCR = F t /{(W t + W m ) - W o } atau FCR = F t /W t (jika W o dianggap terlalu kecil dan W m tidak terdeteksi). Di mana, F t = jumlah pakan selama masa pemeliharaan (kg); W t = bobot ikan pada saat panen (kg);

W m = bobot ikan yang mati selama pemeliharaan (kg); dan W o = bobot ikan pada saat tebar benih (kg).

Produksi total adalah bobot (biomassa) ikan saat panen (W t ). Parameter ini digunakan sebagai kalibrasi bagi jumlah (N t ) dan derajat kelangsungan hidup (SR) ikan pada akhir penelitian.

Pustaka yang relevan dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan kajian sesuai dengan tujuan pembuatan makalah. Pustaka bersumber dari buku teks, jurnal maupun sumber-sumber dari internetnya.

Data dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif untuk mendapatkan gambaran tentang produksi pada budidaya intensif, serta keterkaitannya dengan pengelolaan pakan yang dilakukan selama pemeliharaan.

Dalam dalam analisa ini diperoleh dari data data sekunder dari berbagai literatur yang dipublikasikan. Data sekunder dalam analisis ini dikumpulkan dari daerah sumber kerapu di Indonesia. Untuk menilai dan membandingkan dampak dari skala produksi pada profitabilitas, usaha budidaya dikategorikan berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 100 juta, antara 100 dan 200 juta dan lebih dari 200 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masingmasing skala kecil, menengah dan besar.

Data sekunder yang ada digunakan untuk mengumpulkan informasi dari produsen kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik selanjutnya dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif.

Teknik analisis yang digunakan dalam analisis ini adalah dengan Fungsi Produksi Frontier dan fungsi Cobb-Douglass untuk menentukan faktor-faktor produksi yang dominan dan efisien.

IV. HASIL DAN DISKUSI

4.1. Identifikasi Tujuan dan Komponen Sistem Budidaya

Pengembangan sistem budidaya ikan kerapu bebek memerlukan tujuan dan komponen serta tahapan akuakultur yang jelas. Komponen-kompenen utama dalam pengembangan sistem akuakultur mecakup identifikasi tujuan, lingkungan media, sarana produksi, manajemen input serta monitoring dan evaluasi sistem akuakultur.

Tujuan utama budidaya ikan kerapu bebek adalah untuk mmenghasilkan biomass atau produksi yang maksimal dan intsif dengan input yang intensif pula. Sasaran produksi meliputi gelondongan, Juwana, konsumsi maupun induk. Tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan benih dari biota tertentu, mulai dari perkembangan gonad sampai dengan penetasan dan pemeliharaan larva yang dikelola secara terkontrol penuh. Lingkungan media adalah air laut. Komponen lingkungan akuakultur yang perlu diidentifikasi adalah sumber, jumlah dan kualitas air (fisik, kimia dan biologi) utamanya kandumhan DO, produk metabolisme,

H 2 S,NH 3 dan CH 4 ), sumber-sumber pencemaran dan keamanan habitat akuakultur. Identifikasi sarana dan prasarana produksi mencakup pupuk, kapur. makanan alami (algae, Artemia sp, Daphnia, Tubelex dll), pakan buatan, saran transportasi dan listrik. Identifikasi komponen berikutnya adalah proses produksi biologi di mulai dari anabolisme, katabolisme, dan mineralisasi yang diharapkan terjadi selama masa akuakultur. Manajemen input yang perlu diidentifikasi antara lain biota (ikan), pakan dan air yang digunakan. Komponen dan tahapan terakhir adalah sistem monitoring dan evaluasi akuakultur secara teratur dan tepat dengan demikian tujuan dapat tercapai sesuai dengan harapan.

Laju pertumbuhan yang tinggi akan menghasilkan bobot ikan rata-rata yang besar dan derajat kelangsungan hidup yang tinggi akan menghasilkan jumlah individu yang banyak. Secara bersama-sama laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang dihitung dari perkalian antara Laju pertumbuhan yang tinggi akan menghasilkan bobot ikan rata-rata yang besar dan derajat kelangsungan hidup yang tinggi akan menghasilkan jumlah individu yang banyak. Secara bersama-sama laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang dihitung dari perkalian antara

Produksi ikan merupakan perwujudan dari biomassa ikan yang dihasilkan pada waktu tertentu yang ditentukan oleh pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Pertumbuhan memerlukan materi, yang dalam hal ini dipasok dari pakan. Pengetahuan tentang efisiensi pakan sangat terkait dengan proses pengambilan pakan sampai dengan proses pembentukan jaringan yang melibatkan pengetahuan tentang bioenergetika.

4.2. Lintasan Pakan, Nutrisi dan Bioenergetika

Rangkaian lintasan pakan dimulai dari proses pemasukan pakan oleh ikan melalui mulut (ingestion), kemudian mengalami proses pencernaan (digestion) dan dilanjutkan dengan penyerapan (absorption). Hasil proses penyerapan akan memasuki proses metabolisme. Penyederhanaan keseluruhan proses tersebut tertera pada gambar 3.

Menurut Mayes (1995), lintasan metabolisme dibagi menjadi tiga kelompok proses atau lintasan, yaitu: katabolik, anabolik dan ambolik. Lintasan katabolik, yaitu berbagai proses oksidasi yang melepaskan energi dan umumnya berbentuk senyawa fosfat berenergi tinggi atau ekuivalen pereduksi. Lintasan anabolik, yaitu lintasan yang terlibat dalam sintesis senyawa pembentuk struktur dan organ tubuh. Sedangkan, lintasan amfibolik, yaitu lintasan yang memiliki lebih dari satu fungsi dan terdapat pada persimpangan metabolisme yang bekerja sebagai penghubung lintasan katabolik dan lintasan anabolik.

Nutrisi merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh suatu biota untuk menyelenggarakan kehidupannya. Nutrien merupakan zat kimia yang diserap oleh saluran dan kelenjar pencernaan serta dinding tubuh untuk digunakan sel-sel tubuh bagi pembentukan jaringan tubuh (anabolisme) dan pemenuhan energi dalam metabolisme (katabolisme). Secara umum, keperluan nutrisi bagi ikan meliputi kelompok berenergi (karbohidrat, protein, dan lemak) serta kelompok tidak berenergi (vitamin dan mineral).

Karbohidrat merupakan sumber energi termurah dibanding protein dan lemak, serta yang dapat disimpan untuk cadangan energi dalam bentuk glikogen

Gambar 2. Diagram sistem akuskultur intensif

Keterangan :

EF = efisiensi; DO = oksigen terlarut; GR = laju pertumbuhan; SR = derajat kelangsungan hidup; NSR = Net Survival Rate; BG = Biomassa Growth; N = No (negatif) dan Y = Yes (positif)

Gambar 3. Lintasan pakan dalam sistem akuakultur intensif Gambar 3. Lintasan pakan dalam sistem akuakultur intensif

4.3. Fungsi Produksi Dan Komponennya

Pertumbuhan dapat terjadi karena adanya perkembangan jaringan baru dari proses anabolisme, setelah terpenuhinya semua kebutuhan energi lepas yang diperoleh dari proses katabolisme. Pencapaian produksi (Y) pada sistem budidaya ikan didasarkan pada fungsi produksi Y = f (udang/ikan, lingkungan, pakan, tenaga kerja, keahlian)

Pengelolaan pakan pada budidaya udang/ikan diharapkan dapat menghasilkan efisiensi pakan yang tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka faktor biota dan pakan harus dikondisikan sehingga dalam batas toleransi yang mendukung bagi pengelolaan pakan. Dengan demikian, fungsi di atas dapat dituliskan sebagai Y udang/ikan = f (pakan)/(udang/ikan, lingkungan, tenaga dan keahlian)

Benih udang

Pertumbuhan ikan pada tahap larva dan postlarva dapat dijadikan indikator bagi pertumbuhan ikan setelah dipelihara di karamba. Jika pada tahap awal ikan dapat menunjukkan respons positif terhadap pakan, maka diharapkan perkembangan ikan/udang akan mengikuti respons tersebut. Perkembangan larva yang lambat akan menghasilkan laju pertumbuhan yang rendah selama pemeliharaan. Aklimatisasi, terutama terhadap suhu dan salinitas air, dilakukan agar benur/benih dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang baru, yaitu lingkungan. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkat-kan kenyamanan hidup ikan/udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan, serta secara langsung akan meningkatkan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan.

Lingkungan

Respons positif udang/ikan yang maksimal terhadap pakan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan terjadi pada waktu lingkungan dalam kondisi yang optimal, terutama kecocokan suhu, salinitas, oksigen, serta pH dan alkalinitas. Untuk itu, beberapa pengelolaan dilakukan agar kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan udang.

Suhu

Peranan : Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan

menentukan laju pertumbuhan.

Proses : Penyediaan kenyamanan hidup, enzim-enzim pencernaan dapat bekerja baik, reaksi-reaksi biokimia berlangsung lancar, energi yang dipakai untuk regulasi menjadi kecil.

Kisaran 0 : 20-30

C (Liao dan Murai, 1986)

Pengelolaan : - Kedalaman air dapat mereduksi panas sehingga

diperlu-kan kedalaman efektif karamba 1-1,5 m. - arus air laut di sekitar karamba memungkinkan pergantian air baru secara cepat dan sesuai dengan jumlah kebutuhan air.

Salinitas

Peranan : Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan

menentukan laju pertumbuhan

Proses : Penyediaan kenyamanan hidup, mengurangi energi

osmoregulasi

Kisaran

: 29-33 ppt (Boyd, 1991)

Pengelolaan : - Kedalaman dapat mereduksi penguapan air per satuan

volume sehingga perlu dibuat kedalaman 1-1,5 m. - penempatan KJA pada lokasi yang sesuai

Oksigen terlarut (DO)

Peranan : Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan

menentukan laju pertumbuhan.

Proses : Penyediaan kenyamanan hidup dan DO bagi respirasi Kisaran

: > 8 mg/l (Lioa dan Huang, 1975 dalam Chien, 1992) Pengelolaan : - Kedalaman menentukan penyimpanan cadangan DO per satuan volume air karamba sehingga perlu dibuat kedalaman efektif karamba 1-1,5 m.

pH dan Alkalinitas

Peranan : Meningkatkan laju metabolisme yang selanjutnya dapat

memacu pertumbuhan

Proses : Penyediaan kenyamanan hidup dan CO 2 bagi fotosintesis, enzim pencernaan bekerja baik, reaksi biokimia (terutama kalsifikasi saat molting) berlangsung lancar.

Kisaran

: pH 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992)

Alkalinitas 20-200 mg/l ekv. CaCO 3 (Liu, 1989) Pengelolaan : Pengapuran (kalsit atau dolomit) meningkatkan bufer perairan dan mencegah fluktuasi pH (menahan pH rendah pada malam/dini hari dan pH tinggi pada siang hari.

Hama dan Penyakit

Peranan : Menurunkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup Proses

: Penurunan kenyamanan hidup, merusak organ dan

parasitik, energi regulasi menjadi besar

Komponen : Virus, bakteri, jamur, parasit Pengelolaan : - Penyehatan ikan dengan pemberian vaksin/imunostimu- lan, pakan yang tepat dan lingkungan yang sehat, serta pengapuran untuk mengurangi bakteri dan jamur.

Pakan

Respons positif pakan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang maksimal terjadi pada waktu ikan mendapatkan pakan yang sesuai, yaitu tepat jumlah, ukuran, waktu dan tepat komposisi nutrisinya.

Nutrisi

Peranan

: Meningkatkan pertumbuhan

Proses : Meningkatkan efisiensi pakan dan penyediaan energi Komponen

: Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral

Pengelolaan : - Karbohidrat sederhana cepat dikatabolisme untuk

meng-hasilkan energi dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan energi metabolisme agar tidak mengambil energi protein.

- Protein diberikan dalam persentase yang tinggi (35- 40%) pada pakan komersial dan semakin berkurang dengan bertambahkan umur/ukuran ikan.

- Lemak diberikan terutama berupa asam lemak esensial dengan jumlah maksimal umumnya 3%. Asam lemak penting bagi integritas struktur membran sel pada eritrosit. Fosfolipid merupakan bagian membran sel dan berfungsi dalam transpor lemak. Fosfolipid diberikan karena ikan kurang mampu mensintesis fosfolipid.

- Vitamin diperlukan pada deferensiasi jaringan (vitamin

A, C, D, E) serta kofaktor enzim (vitamin B, K). Vitamin

C berkaitan dengan pembentukan kolagen dan diperlukan untuk peningkatan daya tahan ikan terhadap gangguan luar, terutama dari penyakit.

- Mineral diperlukan dalam konsentrasi yang kecil namun sangat penting bagi pertumbuhan. Kalsium (Ca) yang diperlukan untuk kalsifikasi selama postmolt. Selain diserap dari lingkungan, kalsium dapat diambil lewat - Mineral diperlukan dalam konsentrasi yang kecil namun sangat penting bagi pertumbuhan. Kalsium (Ca) yang diperlukan untuk kalsifikasi selama postmolt. Selain diserap dari lingkungan, kalsium dapat diambil lewat

Pengelolaan Pakan

Peranan : Meningkatkan pertumbuhan, menurunkan rasio konversi pakan (FCR, feed convertion ratio), serta memperbaiki lingkungan

Proses : Meningkatkan peluang pakan untuk dimakan oleh ikan Komponen

: Stabilitas; palatabilitas; bentuk, ukuran, dan jumlah pakan; serta frekuensi, waktu dan cara pemberian pakan.

Pengelolaan : - Karena ikan makannya cepat, maka stabilitas pakan harus tinggi dan frekuensi pemberian ditingkatkan untuk memberi kesempatan pakan dimakan oleh ikan.

- Palatabilitas menyangkut masalah sifat 'enak' dari pakan sehingga perlu ditambahkan atraktan dalam pakan.

- Bentuk dan ukuran pakan disesuaikan dengan umur ikan karena selain memotong pakannya, ikan juga menelannya secara langsung

- Jumlah pakan disesuaikan dengan biomassa ikan. Kekurangan pakan akan mengurangi laju pertumbuhan dan memunculkan kanibalisme, sedangkan kelebihan pakan akan mencemari perairan.

- Ikan bersifat nocturnal sehingga proporsi pemberian pakan banyak dilakukan pada malam hari. - Ikan menjadikan seluruh dasar karamba sebagai 'meja makan'-nya, terutama di daerah pinggir karamba sehingga cara pemberian pakan dilakukan dengan menyebar rata dengan proporsi terbanyak di daerah pinggir.

4.4. Contoh Kasus : Analisis Fungsi Produksi Budidaya Udang Windu

Produksi udang pada akhir pemeliharaan ditentukan oleh bobot rata-rata udang dan banyaknya udang yang dapat dipanen. Berikut ini akan dibahas tentang beberapa parameter yang berhubungan dengan produksi, yang meliputi bobot rata- rata, derajat kelangsungan hidup, serta rasio konversi pakan.

Bobot Rata-rata

Bobot rata-rata udang yang terus bertambah dari waktu ke waktu selama pemeliharaan merupakan perwujudan dari pertumbuhan udang. Dalam akuakultur, pertumbuhan merupakan salah satu komponen utama untuk menyatakan produktivitas. Pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan volume, panjang, serta bobot basah atau bobot kering terhadap satu-satuan waktu tertentu (Effendie, 1979 dan Hartnoll, 1982).

Pada organisme tanpa eksoskeleton, perubahan panjang tubuh merupakan fungsi yang kontinyu terhadap waktu. Sebaliknya, pada organisme yang mempunyai eksoskeleton, seperti pada udang (krustase), pertumbuhan menjadi masalah yang rumit karena merupakan proses yang diskontinyu. Hal ini disebabkan adanya proses molting yang memungkinkan terjadinya laju pertumbuhan yang tinggi pada suatu selang waktu yang kemudian diikuti oleh laju pertumbuhan yang rendah pada waktu yang lain.

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran yang terjadi antara satu instar sampai instar berikutnya. Pertambahan ukuran yang besar terjadi setelah molting karena adanya pengembangan bagian integumen yang tidak mengeras, serta pertambahan yang kecil pada waktu intermolt akibat proses pengencangan membran arthrodial. Dalam beberapa keperluan praktis, pertumbuhan intermolt dapat diabaudang (Hartnoll, 1982).

Bobot rata-rata udang pada akhir pemeliharaan mencapai 30,93 1,52 gram dengan kisaran 29,26-33,01 gram (Tabel 1). Dari tabel tersebut juga terlihat adanya peningkatan pertumbuhan pada setiap pengamatan. Pertumbuhan mutlak mulai nyata pada periode pemeliharaan hari ke 60-120. Penurunan pertumbuhan terjadi pada periode hari ke 120-130 yang menyatakan telah tercapainya daya

Tabel 1. Bobot rata-rata udang selama pemeliharaan

No. Jumlah

Bobot udang pada hari ke- (gram)

Petak Benur

Rataan 104960 2,05 3,60 6,51 8,67 11,79 15,08 18,76 22,34 25,66 30,22 30,93 SD

Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001) Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001)

Derajat Kelangsungan Hidup

Selain mempertimbangkan faktor penurunan laju pertumbuhan di atas, panen dilakukan karena mempertimbangkan juga faktor kematian udang. Pada Tabel 2 terlihat adanya derajat kelangsungan hidup (SR) udang yang semakin menurun. Pada akhir pemeliharaan, SR mencapai rata-rata 77,07 5,82% dengan kisaran 67,36-81,70%.

Kematian udang selama pemeliharaan dapat disebabkan oleh ketidak- sesuaian lingkungan atau adanya penyakit. Namun demikian, karena gradiensi mortalitas pada pemeliharaan udang tersebut kecil, maka faktor kematian ini dimasukkan dalam kategori kematian alami. Pada umumnya, ketidaksesuaian

lingkungan, misalnya terjadinya deplisit oksigen dan tingginya gas toksik (NH 3 ,

H 2 S) yang jauh melampaui konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh udang, akan menyebabkan mortalitas udang yang tinggi pada selang waktu yang pendek (serentak). Pada kematian udang yang disebabkan oleh serangan penyakit, mortalitas udang yang tinggi terjadi pada selang waktu yang relatif panjang (perlahan-lahan).

Rasio Konversi Pakan

Efisiensi pakan dalam aplikasi produksi udang secara massal mengacu pada nilai yang berbanding terbalik terhadap rasio konversi pakan (FCR). Nilai FCR yang tinggi mencerminkan ketidakefisienan dalam pengelolaan pakan. Nilai FCR pada budidaya udang umumnya berkisar pada 1-2. Pada beberapa kasus, FCR dapat bernilai 1 yang mencerminkan adanya sediaan pakan alami yang baik dalam lingkungan karamba. FCR yang bernilai 2 atau lebih menyatakan, bahwa pakan banyak terbuang atau tidak dimanfaatkan oleh udang dengan baik.

Pada Tabel 3 terlihat, bahwa nilai FCR berkisar antara 1,64-1,71 dengan rata-rata 1,67 0,03. Nilai FCR semakin meningkat dengan mening-katnya masa pemeliharaan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semakin meningkatnya

Tabel 2. Derajat kelangsungan hidup udang selama pemeliharaan

No. Jumlah

Derajat kelangsungan hidup pada hari ke-

Petak Benur

5,45 5,82 Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001)

Keterangan : (-) = belum dapat dihitung

Tabel 3. Rasio konversi pakan udang selama pemeliharaan

No Jumlah

Rasio konversi pakan pada hari ke-

Petak Benur

Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001).

Keterangan : (-) = belum dapat dihitung Keterangan : (-) = belum dapat dihitung

Namun demikian, secara keseluruhan nilai FCR pada kasus ini masih relatif rendah. Hal ini akan lebih nyata jika dilihat dari nilai penyimpangan akibat pendugaan biomassa udang pada tiap pengambilan contoh. Nilai deviasi menunjukkan bahwa penyimpangan antara jumlah pakan aktual yang diberudang dengan jumlah pakan yang seharusnya diberudang (teori) sangat kecil. Dengan demikian, nilai pendugaan biomassa yang menentukan jumlah pakan yang harus diberudang sudah cukup akurat. Nilai dugaan tersebut akan mereduksi peluang pakan untuk tidak termakan oleh udang yang selanjutnya akan mereduksi tambahan beban bahan organik di lingkungan karamba.

Nilai FCR kecil mengindikasudang adanya pemanfaatan pakan oleh udang dengan baik yang selanjutnya akan berimplikasi pada dua hal. Pertama, sisa pakan menjadi sedikit sehingga memperkecil beban limbah internal, yang dalam hal ini adalah bahan organik. Dengan rendahnya bahan organik di lingkungan perairan, maka oksigen terlarut yang dikonsumsi untuk dekomposisi bahan organik oleh bakteri menjadi kecil. Hal ini akan menambah sediaan oksigen terlarut bagi respirasi udang yang selanjutnya memacu proses metabolisme bagi pertumbuhan udang. Kedua, efisiensi pakan yang tinggi akan meningkatkan keuntungan ekonomis dari penghematan pakan.

Kualitas air

Kualitas air yang diukur meliputi sifat fisik (suhu, salinitas) serta sifat kimia, yaitu oksigen terlarut (DO), pH, alkalinitas total, nitrit (NO -

2 ), amoniak (NH 3 ), fosfat (PO 3-

4 ), serta hidrogen sulfida (H 2 S) seperti tertera pada Tabel 4. Dari tabel tersebut terlihat, bahwa kondisi kualitas air sangat mendukung bagi kehidupan dan pertumbuhan udang di karamba. Hal ini dinyatakan dari kisaran dan fluktuasi kualitas air masih dalam toleransi udang, baik untuk melangsungkan kehidupan maupun untuk pertumbuhannya.

Pada umumnya, konsentrasi H 2 S yang melampaui toleransi udang terjadi pada periode pemeliharaan hari ke 70-80, yaitu mencapai konsentrasi 0,0400 mg/l. Namun konsentrasi tersebut kemudian menurun dengan adanya pengelolaan pakan

Tabel 4 . Kualitas air karamba selama pemeliharaan

Nomor Rincian Suhu Sal

NO - 2 NH 3 PO 3- 4 H 2 S Petak O (

C) (ppt) (mg/l) (unit) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)

Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001) Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001)

4.6. Contoh kasus: Analisis Fungsi Produksi dan Sensitifitas Budidaya Kerapu Bebek

Variabel produksi budidaya ikan kerapu bebek dengan skala produksi berbeda (kecil, sedang dan besar) disajikan dalam tabel 5. Pada tabel 5 menjelaskan pada budidaya kerapu bebek kepadatan tebar untuk skala kecil (8

3 3 ekor/m 3 ) skala menengah (9,5 ekor/m ) dan skala besar (10 ekor/m ). Tingkat kelangsungan hidup adalah antara 52,50% sampai 62% dan ukuran tebar berkisar

10,27-11,00 cm. Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 5,44, 6,02 dan 13,52. Bobot panen di atas 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 15,54-16,75 bulan.

Dalam budidaya kerapu bebek, biaya tetap berkisar antara 10% sampai 13%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh biaya pakan kecuali pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya kedua terbesar (Tabel 6).

Analisis indikator keuangan budidaya dan bebek pada skala produksi berbeda dirangkum dalam tabel 7. Analisis keuangan budidaya kerapu bebek menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan proyeksi arus kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826) menengah (Rp. 446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp. 286.822.375) dan skala besar (Rp. 1.088.181.355) selama periode 5 tahun. Analisis keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari 2, IRR lebih besar dari 300% untuk semua skala produksi dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun.

Hasil analisa sensitivitas beberapa variabel utama yang mempengaruhi profitabilitas budidaya kerapu bebek dirangkum dalam tabel 8. Hasil analisa sensitivitas pada budidaya kerapu bebek menunjukkan kelayakan ekonomi dengan

Tabel 5. Variabel produksi budidaya kerapu bebek di KJA

Skala produksi

Kecil Sedang Besar

1 Padat tebar

m^3

2 Survival rate

3 Ukuran benih

cm

4 Rasio konversi pakan (FCR)

5 Ukuran panen

g 472.00

6 Lama pemeliharaan

Tabel 6. Variabel pengeluaran budidaya kerapu bebek di KJA

Skala Produksi

1 Biaya modal

Total modal

2 Biaya Produksi

Biaya tetap

Total biaya tetap

44,050,000.00 Biaya variable

Tenaga kerja

Vitamin

Total biaya variabel

Total biaya produksi

Harga (kg)

Total keuntungan

Tabel 7. Indikator Keuangan Budidaya kerapu bebek di KJA

Perhitungan

Skala Produksi

Arus kas komulatif

1,088,181,353.00 B/C

2.36 2.69 2.52 IRR (%)

506% Payback period (tahun)

NPV positif pada semua skala produksi. Peningkatan produksi dan harga terbukti memiliki pengaruh terbesar terhadap profitabilitas pada semua skala produksi.

Sintasan kehidupan kerapu bebek pada skala 65%. Ikan kerapu adalah ikan kanibalisme dan hampir dari kematian terjadi pada bulan pertama penebaran ke dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy & Lau (2002) melaporkan bahwa tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80% selama siklus pemeliharaan. Ukuran benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA di atas 7 cm mengingat benih kerapu bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro (1999) melaporkan bahwa ukuran minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar 7-10 cm. Angka kematian selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan kurang dari 5 cm (Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki tingkat kelangsungan hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan (Leong, 1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti pada skala besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu, kepadatan tebar yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan kontribusi positif pada sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas benih dan mengurangi kanibalisme dengan cara pemilahan dapat meningkatkan tingkat sintasan kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan volume produksi.

Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kerapu bebek sangat tinggi pada skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan pabrik (pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et al., (1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan rasio konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan ikan rucah, Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon et al., (1991) melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa biaya produksi satu kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan ikan berkorelasi langsung dengan FCR. Peningkatan FCR secara positif akan meningkatkan biaya produksi satu kilogram ikan kerapu. Analisis

Tabel 8. Analisa sensitifitas usaha budidaya kerapu bebek di KJA

Payback period Uraian

sedang besar

kecil

sedang

besar kecil sedang besar

Biaya benih

Biaya pakan

Biaya Tenaga kerja

Biaya produksi

0.18 0.16 0.13 -20%

0.31 0.27 0.23 Harga

Rp. 350.000

Rp. 250.000

Analisis menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala produksi. Hasil ini sama dengan pendapat Shang (1990) yang menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya dan bebek adalah benih, pakan dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya produksi. Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi kecuali untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua kerapu dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah. Budidaya kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk pemberian makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.

Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan budidaya kerapu bebek. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam skala kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian tersebut diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64 dan IRR sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan harga Rp. 77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2004) memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa tingkat kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual Rp. 66.000. Oleh karena itu, meningkatkan ukuran panen dan sintasan kehidupan Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan budidaya kerapu bebek. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam skala kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian tersebut diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64 dan IRR sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan harga Rp. 77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2004) memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa tingkat kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual Rp. 66.000. Oleh karena itu, meningkatkan ukuran panen dan sintasan kehidupan

Skala ekonomi jelas terlihat sebagai akibat dari meningkatnya skala produksi kerapu bebek. Berbeda dengan budidaya skala kecil, skala menengah menghasilkan aliran kas positif sebesar Rp. 198.320.673 dan NPV positif sebesar Rp. 105.578.440. Selain itu, usaha kerapu bebek skala menengah menghasilkan arus kas dan NPV, B/C serta IRR yang lebih tinggi. Estimasi ini menyoroti pentingnya skala ekonomi dan potensi kelayakan ekonomi pada tingkat output yang lebih tinggi.

Hasil analisis pada skala besar lebih menekankan skala ekonomi yang penting bagi kelangsungan hidup ekonomi dan potensi keberhasilan pada skala besar. Selain itu, IRR yang lebih tinggi menunjukkan potensi yang besar pada skala besar dibandingkan kecil dan menengah. Proyeksi usaha kerapu bebek skala besar juga menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV tertinggi serta IRR lebih dari 300%. Dibandingkan dengan kinerja keuangan budidaya udang windu yang di estimasi oleh Dwijanti (2004) memperoleh kas bersih sebesar Rp. 107.992.997/ha/tahun; B/C 1,23; IRR 24%. DKP (2007) dalam studi budidaya dan analisa ekonomi budidaya udang melaporkan aliran kas bersih sebesar Rp. 226.960.000/ha/ tahun, B/C 1,87 dan periode pengembalian modal 1,2 tahun. Perbedaan besar profitabilitas antara usaha kerapu dan udang menunjukkan kinerja keuangan yang lebih kuat pada budidaya kerapu. Budidaya kerapu menawarkan pendapatan tinggi dan skala besar adalah skala produksi yang paling menguntungkan.