Perkembangan Sistem hukum di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem peradilan merupakan suatu cara yang telah dipakai untuk
mendapatkan suatu keadilan secara substansial maupun secara formil, yang dapat
menjawab suatu tantangan kebutuhan di dalam masyarakat, sistem peradilan telah
dikenal sejak zaman abad pertengahan ataupun sebelumnya dan peradilan tidak
hanya merupakan suatu kebutuhan masyarakat saja, melainkan juga merupakan
kebutuhan suatu Negara, sebab siatem peradilan adalah salah satu prasyarat
tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di
antara para warga negara. Dengan sistem peradilan yang berjalan dengan baik
dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat maupun Negara dalam
meyelesaikan sengketa ataupun permasalahan baik secara individu maupun antara
warga negara dengan negara, Sistem peradilan yang baik akan menghasilkan
produk hukum atau hasil putusan yang baik pula yang dapat memenuhi rasa
keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara pada khususnya dan bagi
kelangsungan pemerintahan pada umumnya.
Dalam sejarah hukum (history of law) kita kenal dengan masa hukum
Romawi dan masa hukum Yunani, kedua hukum tersebut merupakan hukum tertua
yang dapat kita pelajari mengenai sejarah hukum, dalam taxonomy of legal
system yang didalamnya terdapat non western law membedakan menjadi dua

legal sistem yakni sekuler legal system dan religius legal system, kedua system
inilah yang mempengarui peradaban maupun system hukum yang berkembang di
beberapa negara di dunia ini,dan pada dewasa ini kita familier sekali dengan tiga
aliran hukum yang berkembang dan dianut oleh beberapa negara termasuk baik
yang menganut seculer legal system maupun yang menganut paham religius legal
system, ketiga aliran tersebut yakni civil law / eropa kontinental, common law /
anglo sek dan sosialist law, aliran hukum ini berkembang ke masing-masing
negara dengan ciri sistem hukum yang berbeda termasuk di Indonesia yang
menganut aliran Civil law / eropa kontinental yang mereduksi dari sistem hukum
1

barat yang sangat kental mempengarui sistem hukum di indonesia yakni dari
Jerman dan Belanda, dengan kita mereduksi sistem hukum barat maka
mempengarui sistem peradilan yang dipakai oleh bangsa Indonesia yaitu aliran
Civil law / Eropa kontinental, termasuk sistem peradilan pidana di Indonesia. 1
Dalam abad pertengahan yakni sekitar (500 M – 1400 M ) pada
perkembangannya lebih condong dengan paham religius legal system yakni
banyak dipengarui dominasi gereja dan munculnya agama islam, sehingga dalam
perkembangannya di Indonesia berkembang adanya beberapa agama dengan
agama islam sebagai mayoritas, sehingga Indonesia menganut paham pluralitas

yang tidak semua negara paham tersebut bisa diterapkan.2
Sistem peradilan dalam istilah modern saat ini dikenal dengan istilah
Yudikatif yang keberadaannya setara dengan Eksekutif dan legislatif, bahkan
Yudikatif inilah yang benar-benar memiliki kekuasaan yang bebas artinya tanpa
campur tangan dari manapun / tidak dapat diintervensi oleh siapapun dalam
penerapan hukumnya sehingga dapat menghasilkan prodak hukum / putusan yang
baik yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi warga negara, serta sebagai sarana
penyelesaian sengketa, dalam sistem hukum pidana yang merupakan peninggalan
dari

bangsa

Belanda

yang

masih

dapat


mengakomodir

permasalahan-

permasalahan hukum pidana pada saat ini, serta membuka opini untuk
penyempurnaan sistem hukum pidana tersebut dalam suatu rumusan perundangundangan yang lebih lengkap dan sesuai dengan perkembangan zaman serta
sesuai

dengan

kebutuhan

hukum

dalam

masyarakat

Indonesia


untuk

terselenggaranya pemerintahan yang baik dalam rangka tercapainya tujuan hukum
secara Nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4
Dalam makalah ini penulis akan lebih fokus pada sejarah perkembangan
sistem hukum di Indonesia, yang merupakan peninggalan penjajahan Belanda
hingga saat ini dan masih mengakomodir kebutuhan hukum di Indonesia, serta
perkembangan kebutuhan hukum baru yang juga membutuhkan rumusan
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan sistem peradilan saat ini, dan
1 Agus Raharjo, Sejarah Hukum, Power Point, hal. 6
2 Agus Raharjo, Sejarah Hukum, Power Point, hal. 3

2

sebagai mana yang telah kita ketahui bahwa dalam peradilan hukum pidana yang
saat ini sedang dilakukan pembahasan oleh legislatif untuk mengkodifikasi Kitab
Undang-Undang Hikum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
B.


Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan sistem peradilan hukum sebelum dikodifikasi ?
2. Bagaimana sistem peradilan hukum saat ini ?
3. Apakah kemanfaatannya sistem peradilan hukum dalam pemerintahan negara
Indonesia ?
4.

Perkembangan sistem peradilan hukum di masa mendatang

C. Tujuan
1. Agar kita mengerti dan memahami sejarah sistem peradilan hukum
di Indonesia
2. Agar kita memahami perkembangan sistem peradilan hukum saat ini
3. Agar kita memahami dan merasakan kemanfaatan sistem peradilan hukum
bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam cita-cita hukum
Nasional
4. Agar kita dapat berfikir secara kritis kebutuhan hukum yang hidup di dalam
masyarakat (living law)

3


BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pemikiran Hukum Pada Zaman Romawi dan Yunani
Bahwa dalam peradaban sejarah hukum kita mengenal dengan zaman
Romawi dan zaman Yunani, dimana zaman itu merupakan pangkal tolak
pengkajian hukum dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir, yang dapat
menimbulkan suatu teori-teori hukum untuk kelangsungan hukum bagi manusia,
pemikiran hukum mendasar pada kehidupan pada zamannya yang merupakan
suatu pandangan tertentu pada pertumbuhan ilmu pengetahuan yang merupakan
bersumber dari alam, maka pada zaman itu banyak muncul pemikir-pemikir
hukum alam yang dapat dipandang sebagai kebenaran dari akal pikiran yang
bekerja sesuai dengan alam yang tetap / tidak berubah serta abadi, bahwa
kelangsungan hidup manusia bersama dengan alam sehingga hukum yang
mengatur manusia merupakan bagian dari alam, dengan kata lain bahwa perilaku
manusia berkolaborasi dengan alam.
Perkembangan pemikiran yang dapat kita pelajari saat ini tentang hukum
alam yakni pemikiran ANAXIMANDER HERAKLEITOS,PARMENIDES yang

memberikan pemikirannya bahwa hukum yang mengatur manusia merupakan
bagian dari hukum alam, dan dalam pemikirannya pun hukum itu adalah untuk
keadilan, sehingga keadilan menurutnya akan bisa ditegakkan jika perilaku
manusia adalah sesuai dengan hukum alam, kemudian berkembang konsep
pemikiran yang lebih maju lagi pada zamannya yaitu apa yang diberikan
pemikiran oleh SOLON (640-560 SM)3 dimana pemikiran SOLON sudah mulai
berkembang dan pada zamannya yang mulai ditandainya masyarakat perbudakan,
bahwa masyarakat sudah memahami sistem jual beli dan hutang pitang, sehingga
masyarakatpun berkembang dan timbulah perbudakan semakin merajalela, dan
banyaknya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, yang kaya makin kaya
dan yang miskin makin miskin, dan ketidak adilan dimana-mana, dengan adanya
fenomena di dalam masyarakat yang seperti itu maka timbulah pemikiran oleh
3 Agus Raharjo, Sejarah Hukum, Power Point, hal. 5

4

SOLON untuk melakukan pemutihan uang untuk membebaskan rakyat pada saat
itu dari perbudakan dan utang kepada tuan tanah / orang kaya, kemudian SOLON
juga mulai berfikir untuk kelangsungan negara dengan menetapkan konsep
keadilan sosial sebagai dasar negara, ini merupakan negarawan pertama yang

telah menetapkan konsep keadilan supaya tidak terjadi diskriminasi. Kemudian
untuk mencapai hal tersebut SOLON berfikir untuk menyusun suatu UndangUndang Dasar sebagai landasan yang merupakan cikal bakal demokrasi.
ARISTOTELES (384 – 322 SM )4 bahwa manusia adalah Zoon Politicon
yang artinya bahwa manusia adalah mahluk sosial pada pemikirannya Aristoteles
memiliki terobosan bagi hukum yakni pembedaan prinsip materi dan prinsip
bentuk, kemudian pembedaan hukum alam dan hukum positif serta keadilan, di
dalam prinsip materi dan prinsip bentuk dapat dibedakan menjadi hukum formal
dan hukum material , sedangkan disisi keadilan Aristoteles membedakannya
menjadi menghukum dan membagi, perkembangannya saat ini dalam sistem
peradilan hukum pidana yang dimaksud hukum formal yaitu Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedangkan yang dimaksud hukum
material yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ilmu pengetahuan hukum Romawi sudah lahir pada bagian akhir dari masa
Republik (200 – 100 SM ) susunan ketatanegaraan Republik juga menentukan
bentuknya. Susunan ketatanegaraan pada masa itu ditentukan oleh tiga badan
yaitu magistrat, senat dan badan musyawarah rakyat. Tidak satupun dari tiga
badan itu bertugas menghasilkan perundang-undangan secara tepat dan
berkesinambungan dalam arti modern. Artinya, tidak satupun badan tersebut
menjadi pemberi arah dalam pembentukan dan pengembangan hukum.5
Para pakar Comparativ law (perbandingan hukum) termutakhir, tidak lagi
membedakan adanya dua sistem hukum di dunia, yang hanya dipandang dalam

kaca mata barat yaitu common law system (Anglo-American legal system) yang
didominasi hukum tak tertulis dan precedent (putusan pengadilan terdahulu) dan
kedua Civil law (Continental Europe legal system) yang dodominasi oleh hukum
4 Agus Raharjo, Sejarah Hukum, Power point, hal. 11
5 Ruslan Saleh,Diktat magister ilmu hukum Unsoed

hal.

5

perundang-undangan, melainkan dewasa ini sudah dikenal pembedaan sistem
hukum yang lebih variatif, salah satunya pembedaan berikut :
a. Civil law, berlaku di benua Eropa dan di negara-negara mantan jajahannya
b. Common law, berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara
berbahasa Inggris (Commonwealth)
c. Customary law, di beberapa negara Afrika, Cina dan India
d. Muslim law, di negara-negara muslim terutama di Timur Tengah
e. Mixed system, di Indonesia salah satunya, dimana berlaku sistem hukum
perundang-undangan, hukum adat dan hukum islam.6
B.


Perkembangan Peradilan islam abad pertengahan
Pada zaman Khalifah Umar Bin Khattab, kehakiman dibebaskan sama
sekali dari kekuasaan politik, hal ini berlaku terus sampai Daulah Ummaiyah,
sekalipun selama masa Bani Ummaiyah kekuasaan politik kadang-kadang juga
mencampuri urusan kehakiman. Dalam masa Dinasti Abbasiyah, kekuasaan
politik telah mencampuri urusan-urusan kehakiman,sehingga para hakim
memutuskan perkara dibawah pengaruh kekuasaan khalifah. Hal tersebut
membuat para ulama’ menjauhi bahkan menolak jabatan sebagai hakim yang
menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalam bidang hukum karena tidak
ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah
perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang
pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan
kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang
berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan
memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam
penetapan hukum bagi ummat Islam. Perubahan lain yang terjadi yaitu para hakim
tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka cukup berpedoman
saja pada kitab-kitab mahzab empat atau mahzab-mahzab lain, dengan demikian
syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan.

6 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori
Peradilan(Judicialprudence), Jakarta, Kencana, hal.203

6

Sehingga para hakim pada waktu itu memutuskan perkara sesuai dengan
mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau disesuakan oleh madzhab yang
dianut masyarakat setempat. Di Iraq umpamanya para hakim memutuskan perkara
dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara
dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan
Mazhab Syafi’i. Kemudian apabila yang berperkara tidak sesuai dengan madzab
hakim, maka perkara itu akan diserahkan kepada hakim lain yang sesuai dengan
madzab yang berperkara tersebut. Madzab yang empat inilah yang mewarnai
putusan pada masa itu.
Perubahan-perubahan lain yang lahir dalam dunia peradilan pada masa Bani
Abbasiyah ini antara lain :
1. Dibentuknya lembaga Qadly al-Qudat (Mahkamah Agung) yang
merupakan instansi tertinggi dalam peradilan.
Qadly al-Qudat adalah suatu lembaga pengadilan tertinggi (Mahkamah
Agung pada masa sekarang) pada masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di
ibu kota negara.Pejabat Qadly al-Qudat yang pertama ialah al-Qadhi Abu Yusuf
Ya’qub ibn Ibrahim, penyusun kitab Al-Kharraj, dan pejabat Qadly al-Qudat yang
lainnya adalah Muhammad Ibn Hasan al Syaibaniy.Qadly al-Qudat memiliki
tugas-tugas sebagai berikut :
a.

Mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim di daerah-daerah.

b. Membimbing dan mengawasi gerak-gerik dan tingkah laku para hakim.
c.

Memeriksa kembali putusan yang telah diberikan oleh hakim-hakim daerah.

Perlu diingat bahwa pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadly alQudat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu, hal ini disebabkan munculnya
beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India
(Dinasti Mughal) di Iran (Dinasti Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan)
sehingga di masing-masing tempat itu terdapat seorang Qadli al-Qudhat yang
memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan
kepadanya dalam batas wilayah negri tersebut. Bahkan pada masa dinasti Mamluk

7

di Mesir setiap mazhab memiliki seorang Qadly al-Qudat yang wewenangnya
hanya terbatas di kalangan pengikut mazhabnya saja.7
2. Pengaturan tempat persidangan untuk Mahkamah
Persidangan-persidangan pengadilan pada waktu itu dilaksanakan di suatu
majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengahtengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk
persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan
perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan
beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan
sempurna.
3. Luasnya wewenang hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa
Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif
dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan
peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkaraperkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk
ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan
mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu
khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam
negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk
membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak
lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana
keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang disamping sebagai seorang
khalifah juga seorang ahli hukum.
Pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan
yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena
berbagai faktor, campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya
hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti

7 Nasrun Haroen,Ensoklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, hal. 13

8

pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki
otorita dan independenitas yang tinggi.
4. Penyebaran hakim di beberapa wilayah
Pada awalnya, di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim. Sesudah
pemerintahan Abbasiyah bertambah luas, maka di tiap-tiap wilayah diangkat
beberapa orang hakim yang mewakili mazhab-mazhab yang berkembang di
daerah tersebut. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim dari Mazhab Hanafi,
Maliki, Shafi’i, dan Hanbali. Pada masa itu, di samping Lembaga Pengadilan,
dibenarkan pula adanya hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan
perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya
atas dasar kerelaan kedua belah pihak.
Di samping itu ada lagi wilayah al-hisbah (kewenangan) dengan hakimnya
yang bergelar Al-Muhtashib. Tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang
berhubungan dengan masalah umum dan wilayah al-Madhalim (penyelewengan
dan penganiayaan) yang dipisahkan dari wilayah peradilan.Mahkamah Madhalim
di ketuai oleh khalifah jika di ibukota negara, dan oleh gubenur jika di ibukota
wilayah, atau oleh Qadhil Qudhah atau hakim-hakim lain yang mewakili khalifah
atau gubenur. Para hakim waktu mengadili memakai jubah dan surban hitam
sebagai lambang dari daulah Abbasiyah. Jubah dan surban hitam waktu itu khusus
untuk para hakim.
C.

Sistem peradilan di Indonesia saat ini
Berkat perjuangan yang kokoh oleh para pendiri bangsa ini, sehingga
bangsa Indonesia dapat merdeka atau terlepas dari penjajahan yaitu pada tahun
1945, dengan kemerdekaan itu maka para pendiri sudah barang tentu memikirkan
masa depan bangsa ini dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan mengisi
kemerdekaan demi tercapainya tujuan bangsa, maka dari itu salah satu pencapaian
tersebut yaitu dengan pembentukan negara Indonesia dan dasar-dasar negara,
gagasan-gagasan para pendiri yang kemudian terbentuk menjadi pemikiranpemikiran yang bulat dan telah disepakati bersama selanjutnya tertuang dalam
UUD 1945, dalam pembukaan UUD 1945 inilah kita dapat melihat secara

9

sistematis dan terstruktur tentang tujuan negara Indonesia yang selanjutnya
sebagai tujuan pencapaian hukum di Indonesia. Dan di dalam UUD1945 terdapat
adanya pembukaan dan pasal demi pasal, dan sudah sangat jelas sekali bahwa
sebagai mana dalam pasal 1 ayat 3 telah disebutkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan hukum, artinya bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Negara harus berdasar pada hukum yang berlaku di Indonesia,
yang terdiri dari Pancasila dan UUD 1945.
Dengan ditetapkannya bahwa Negara Indonesia berdasarkan hukum, maka
berkembanglah sistem hukum di Indonesia yang tentunya banyak kita adopsi dari
pemerintahan hindia-Belanda, dan dengan kita sadari bahwa untuk melaksanakan
hukum dan untuk mendapatkan tujuan dari hukum, yang salah satunya untuk
mendapatkan kepastian hukum dan rasa keadilan maka kita haruslah
menggunakan sistem hukum yang baik, dan dalam hukum untuk mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan maka kita dikenal dengan sistem peradilan, Di
Indonesia ada beberapa sistem peradilan yang berlaku yaitu Sistem peradilan
hukum pidana, sistem peradilan hukum perdata, Sistem peradilan TUN, Sistem
peradilan Agama dan Sistem peradilan Militer, masing-masing sistem peradilan
tersebut memiliki fungsi dan wewenang sendiri-sendiri tergantung permasalahan
hukum yang timbul, sehingga dapat memperjelas dan mempermudah dalam
pelaksanaannya, didalam masing-masing sistem peradilan ini memiliki status dan
derajat yang sama.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia ada beberapa hukum yang
sudah terkodifikasi dan ada yang belum terkodifikasi, suatu contoh adalah hukum
pidana di Indonenesia yang merupakan peninggalan penjajahan hidia belanda itu
merupakan hukum pidana yang terkodifikasi, yang sampai dengan saat ini masih
dapat kita pergunakan dan masih dapat mengakomodir beberapa kebutuhan
hukum di Indonesia, dengan hukum yang terkodifikasi tersebut maka sistem
peradilannya pun menjadi jelas dan dimana hakim selaku yang mengadili dapat
memberikan kepastian hukum, menentukan kebenaran dan keadilan yang sebaikbaiknya.

10

Sistem peradilan saat ini masih banyak di pengarui oleh peninggalan
Hindia-Belanda,pada pemerintahan hindia-Belanda berlaku dua sistem hukum
acara pidana bagi orang-orang golongan Eropa dan golongan priyayi pribumi
Indonesia ditetapkan sistem akusatur, sedangkan bagi pribumi Indonesia
ditetapkan sistem inkuisitur, dengan hukum acara pidana yang berbeda yaitu HIR
untuk bumi putera Indonesia, pada saat jaman Jepang di Indonesia, sistem hukum
kolonial tersebut khusus HIR yang diberlakukan HIR untuk pribumi Indonesia ,
pada masa penjajahan Jepang bahwa polisi-polisi yang telah di tinggalkan oleh
bangsa Belanda maka diisi oleh Bumiputra Indonesia sehingga lebih mudah
mengadakan perubahan hukum yaitu mengadakan penyatuan sistem peradilan
dengan Kitab Undang-Undang Acara Pidana yang berlaku bagi golongan Eropa
dengan HIR yang diberlakukan bagi semua golongan umum pada pemerintahan
Indonesia yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 1 Drt tahun 1951 di
berlakukan di seluruh Indonesia.
Menurut Romli Atmasasmita bahwa sejak pertengahan abad ke 19 di
Eropah Kontinental menganut the mixed type, tidak lagi dianut sistem inkuisitur,
karena HIR (Stbl 1941 no 44) sebagai produk peraturan perundang-undangan
masa Hindia-Belanda yang berorientasi pada peraturan perundang-undangan di
negeri Belanda yang disusun oleh komisi Wichers. Sebenarnya menganut sistem
campuran (The mixed type), tidak lagi menganut sistem inkuisitur sesuai dengan
perkembangan setelah pertengahan abad ke 19 tentang sistem peradilan pidana.
Salah satu ciri sistem campuran dalam HIR menurut Romli Atmasasmita, dengan
diberikannya peranan yang besar kepada jaksa penuntut umum baik sebagai
penyidik maupun sebagai penuntut umum dalam pasal 46, yang tidak terdapat
dalam sistem inkuisitur, ciri lainnya sedang dilakukan secara terbuka: tertuduh
hadir di depan persidangan bersama-sama jaksa penuntut umum, baik tertuduh
maupun penasihat hukumnya masih diperkenankan mempelajari berkas perkara
sebelum sidang pengadilan dimulai, tertuduh diperkenankan didampingi oleh
penasihat hukumnya, bahkan diharuskan dalam hal kejahatan yang diancam

11

dengan hukuman mati.Di lain pihak terdapat ketentuan dalam pasal 295 HIR butir
3e, pengakuan sebagai salah satu alat bukti yang sah.8
Dalam tujuan hukum melalui sistem peradilan yang ada di Indonesia sulit
kita jumpai adanya perfect justice dalam suatu putusan pengadilan, pada hukum
formil yang ada hanya bisa untuk mendapatkan kepastian hukum, sementara
dalam penegakan hukum yang baik, selain unsur kepastian hukum juga
dibutuhkan kemanfaatan dan keadilan, kemanfaatan dan keadilan inilah yang
masih sulit kita dapatkan dalam sistem peradilan di Indonesia, untuk mendapatkan
keadilan kita harus berfikir secara fiosofis, untuk mendapatkan kemanfaatan kita
harus berfikir secara sosiologis, dan untuk kepastian hukum iti sendiri maka kita
harus menerapkan pemikiran yang bersifat Normatif, ketiga cara berfikir inilah
yang harus kita integrasikan dalam sistem peradilan kita untuk mendapatkan
perfect justice. Pemikiran-pemikiran inilah yang belum dapat kita terapkan secara
menyeluruh terutama bagi aparat penegak hukum ataupun praktisi hukum (Polisi,
Jaksa, Hakim, Advokat) dalam menyelesaikan perkara dalam masyarakat untuk
mendapatkan perfect justice, dan masih menggunakan hukum formil peninggalan
kolonial Hindia Belanda, padahal kita tahu bahwa hukum itu bukan hanya sebatas
undang-undang, melainkan kita juga harus memperhatikan adanya aturan yang
tidak tertulis yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat (living law) yang
dapat kita gali untuk tujuan hukum itu sendiri.
D

Pandangan perkembangan sistem peradilan di masa yang akan datang
Sistem peradilan yang dilakukan secara formil yang kita pakai saat ini,
benar-benar dapat memberikan kepastian hukum yang dapat diterima oleh semua
pihak,namun dalam sistem penegakan hukum kita bahwa kepastian hukum saja
tidak cukup untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat,
melainkan harus ada rasa keadilan, secara formil bahwa keadilan itu pun sudah
tercantum secara eksplisit di dalam suatu putusan hakim, yakni dalam putusan
tersebut berbunyi “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA “ artinya bahwa proses peradilan di Indonesia dilakukan
8 Abdussalam R, Sistem Peradilan Pidana,Jakarta, PTIK ,2012, hal.28

12

demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka konsekwensi dari
tidak mencantumkannya rumusan dalam putusan pengadilan tersebut, maka dapat
menjadikan putusan pengadilan yang bersangkutan batal demi hukum, ini artinya
eksistensi dari putusan pengadilan itu tidak diakui keabsahannya.
Dalam tatanan hukum di Indonesia di perlukan elemen hukum yang baik,
yaitu yang dapat menghasilkan produk hukum yang baik dan dilaksanakan dengan
baik penegakan hukumnya pun baik, untuk mendapatkan hal tersebut maka ada
tiga elemen yang harus ada yakni Substansi, kulture dan aparatur negara, ketiga
elemen ini saling berkaitan sehingga masing-masing elemen harus berjalan
dengan baik untuk mendapatkan sistem hukum yang baik, jika sistem hukum saat
ini managemennya hukumnya tidak baik maka akan menghasilkan sistem
peradilan yang kotor dan jauh dari yang kita harapkan. Dalam baru-baru ini
sedang dibahas kembali mengenai rencana KUHP dan KUHAP, dengan
disahkannya nanti maka sistem hukum kita terutama dalam sistem peradilan
pidana bisa lebih maju, karena sudah tidak menggunakan perundang-undangan
peninggalan kolonial Hindia Belanda, namun harus kita cermati bahwa KUHP dan
KUHAP yang baru tersebut secara subtansinya jauh lebih baik dalam arti memang
undang-undang tersebut lahir tanpa ada intervensi ataupun ada muatan politis atau
adanya unsur kepentingan dari pihak-pihak tertentu, atau memang benar-benar
lahir dari budaya dan hukum yang berkembang serta hidup di dalam masyarakat
sehingga dapat mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.
Untuk perkembangan saat ini diperlukan suatu tatanan hukum yang lebih
baik, ketimbang kita mempertahankan sistem hukum peninggalan kolonial Hindia
Belanda, namun tidak kita pungkiri bahwa sejarah hukum di Indonesia masih
perlu dilestarikan dan ada beberapa yang masih berkembang dan perlu
dilestarikan di dalam masyarakat, suatu contoh dalam penyelesaian permasalahan
yang timbul di dalam masyarakat, masyarakat setempat lebih mengedepankan
musyawarah sebagai peninggalan adat yang ada di dalam masyarakat, tanpa
memilah-milah apakah perkara tersebut merupakan pidana maupun perkara
tersebut perdata ataupun yang lain. Dan saat ini pun hal tersebut masih dipandang
sebagai hal yang relevan bagi kelangsungan kehidupan yang demokratis, namun

13

tetap harus ada pembenahan sistem hukum yang dapat mengatur untuk lebih
sistematis dan jelas untuk kepastian hukum, dalam perkembangannya sekarang ini
juga kita kenal dengan Restoratif justice / keadilan Restoratif, Restoratif justice itu
sudah bukan hanya di kenal sebagai teori saja melainkan sudah menjadi hukum,
bahkan hal ini sudah masuk dalam deklarasi PBB ke 11 di Bangkok, itu artinya
Restoratif justice itu sudah bersifat universal, maka dari itu pandangan saya di
Indonesia pun dapat melaksanakan Restoratif justice tersebut sebagai upaya
penyelesaian perkara di luar persidangan, hal tersebut lebih mencirikan negara
demokratis seperti Indonesia ini, namun Restoratif justice ini perlu regulasi yang
jelas untuk menjadi suatu sistem hukum yang dapat diakomodir ke dalam sistem
peradilan di Indonesia untuk dapat tercapainya kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan.

.

14

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam hukum di Indonesia banyak mengadopsi hukum tertua yaitu dari
Romawi dan dari Yunani sebagi history of law untuk perkembangan di Indonesia,
pada perkembangannya Indonesia dalam abad pertengahan juga dipengaruhi oleh
sistem hukum yang religius banyak munculnya agama yang berkembang, dan
berbagai kerajaan hindu budha, dan munculnya agama islam yang sampai dengan
saat ini menjadi agama masyoritas, dalam agama islam sendiri dikenal dengan
masa

dinasti

abbasiyah

didalam

bidang

peradilan

juga

mengalami

perkembanga,hal tersebut dapat dilihat dengan berkembangnya kreasi-kreasi baru
dalam bidang peradilan, diantaranya adalah pengangkatan Qadhil qudhah,
terdapatnya wilayatul madhalim, wilayatul hisbat, dan penggunaan pakaian dalam
persidangan. Kemudian pengangkatan hakim yang pada mulanya hanya satu
orang pada tiap satu daerah dari pengikut mazhab mayoritas di negeri itu, namun
seiring dengan berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat bertambah, maka
hakim pun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang terdiri dari
berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
Sistem hukum yang berkembang di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
hukum kolonial Hindia Belanda yang pernah menjajah di Indonesia, sehingga
dalam mengkodifikasi pun, mengkodifikasi hukum Hindia Belanda sehingga
sistem peradilan mengikuti sistem peradilan dari wilayah Eropa, misalnya dalam
sistem peradilan hukum pidana maupun perdata, namun pada perkembangannya
saat ini di Indonesia yang awalnya menganut Eropa kontinental / Civil law
sekarang lebih pada Mixed system dimana memperlakukan sistem perundangundangan, hukum adat dan juga hukum islam.
Untuk memenuhi tujuan hukum di Indonesia dimana sistem peradilan
secara formil yang saat ini kita pakai benar-benar dapat bermanfaat untuk
tercapainya kepastian hukum, namun dalam penegakan hukum itu sendiri bahwa
kepastian hukum bukan satu-satunya tujuan dari penegakan hukum, dan masih
15

ada elemen lain yakni kemanfaatan dan keadilan, kemanfaatan dan keadilan inilah
yang yang terkadang secara substansial tidak dapat kita dapatkan dari sistem
peradilan saat ini, maka dari itu perlu adanya terobosan sebagai alternatif untuk
mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat, maka di Indonesia juga sudah
mengenal hukum Restoratif justice / Keadilan Restorasi, Restoratif justice ini
yang dapat memberikan solusi penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk
mendapatkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, namun pada saat ini
Restoratif justice belum dikenal secara menyeluruh di masyarakat kita dan perlu
adanya regulasi yang jelas untuk pencapaian tujuan hukum dengan melalui
pendekatan Restoratif justice tersebut.

16