Public Sphere Dalam Secangkir Kopi Mener

Public Sphere Dalam Secangkir Kopi
(Meneropong ruang publik dan produksi wacana di warung kopi Aceh)
“Public Sphere In a Cup of Coffee”
Telescoped public sphere and discourse production in Aceh coffee shop
Oleh : Muhajir Al Fairusy S.Hum, M.A
(Pengajar Antropologi Budaya dan Pengurus MAA Aceh)
Abstrak
Tulisan ini, mencoba mendiskusikan posisi warung kopi di Aceh, yang
kian ekpansif dan eksis seiring pertukaran generasi. Fungsi warung kopi
di pusat ibukota Aceh ini, kian terbuka untuk publik, lintas-status dan
golongan dapat memanfaatkan keberadaannya, untuk kepentingan
komunitas mereka. Sekaligus, memproduksi wacana tanpa tekanan dan
pembatasan. Penelitian ini, menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan antropologi budaya dan paradigma ruang publik.
Pengumpulan data, dilakukan melalui kajian kepustakaan, observasi,
wawancara, dan live in bersama pengunjung warung kopi di Banda
Aceh. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa keberadaan warung kopi di
Aceh, telah menjadi ruang publik paling efektif, terutama untuk
memproduksi wacana lintas-sosial.
Kata Kunci : Warung Kopi, Ruang Publik, Produksi Wacana.
Abstract

This paper, tries to discuss the position of a coffee shop in Aceh, which
increasingly ekpansif and exist as exchange generation. The function of a
coffee shop in the center of the capital of Aceh, increasingly open to the
public, cross-class status and can take advantage of its existence, for the
benefit of their communities. Simultaneously, pressure and producing
discourse without restriction. This study, using a qualitative method
with the approach of cultural anthropology and public sphere
paradigm. Data collection, carried out through the study of literature,
observation, interviews, and live together in a coffee shop visitors in
Banda Aceh. The results showed that the presence of coffee shops in
Aceh, has been the most effective public sphere, mainly for producing
cross-social discourse.
Keywords: Coffee Shops, Public Sphere, Discourse Production.

A. Pendahuluan
Keluar dari ruang Bandara Sultan Iskandar Muda, yang
menjadi icon gerbang global-titik Aceh dengan dunia lain, mulai tampak
kiri dan kanan warung kopi, yang berjejeran sepanjang jalan, hingga ke
pusat Ibukota Banda Aceh. Pun demikian, siang dan malam, tanpa
batasan waktu tutup yang disiplin, ruang ini terus terbuka bagi publik

dengan ragam status sosial. Pengunjung seperti “dihipnotis,” menikmati
secangkir kopi, sambil berdiskusi tanpa mengenal perjalanan waktu.
Kecanduan pada kopi saat diseruput, suasana kebersamaan, akan
membuat pengunjung rindu untuk kembali ke tempat ini.
Warung kopi, telah menjadi simbol budaya, sekaligus identitas
kolektif sebuah masyarakat di Aceh (khusus Banda Aceh). Tak
berlebihan, jika harian Kompas (2011) penah menulis “Aceh Negeri 1001
Warung Kopi,” untuk menegaskan vitalnya keberadaan warung kopi di
sana.
Berdasar ruang dan fasilitas, warung kopi di Aceh memiliki
tipe tersendiri. Tipologis ini, muncul dari cara pandang dan tafsir
terhadap potret warung kopi, yang terus berbenah seiring pergantian
era. Meskipun, tak sedikit di tengah gempuran urban, di Banda Aceh
masih ada warung kopi berdinding kayu, fasilitasnya pun sekedar
menyediakan kopi beserta makanan ringan lain, suasana-nya tetap
menampilkan klasik effect. Ada juga, yang
perkotaan,

biasanya


berjejeran

beriringan

letaknya di tengah
bangunan

toko-toko

bertingkat di pinggir jalan, kesannya mulai tampak ekslusif, selain
menawarkan kopi, juga menyediakan fasilitas wifi-akses internet gratis.
Terakhir, dibangun bergaya permanen pula, tapi tetap mempertahankan
identitas fungsi dasar warung kopi (non wifi), sebagai tempat
berkumpul, berdiskusi dan meng-konstruksi wacana.
Perkembangan warung kopi di Aceh, terus mengarah pada
terminologi ruang publik, pertemuan, negosiasi, hingga tak jarang
digunakan untuk kepentingan politik (seperti kampanye). Deskripsi ini,
sesuai dengan maksud dan wajah public sphere (warung publik) yang

ditunjuk oleh Habermas, bahwa ruang publik merupakan tempat

bernegosiasi-diskusi, isu-isu sosial dan politik, termasuk warung kopi.
Pesatnya perkembangan warung kopi, dan gencarnya diskusidiskusi (pertemuan), telah melahirkan stereotip berdasar nama warung
kopi yang ada di Banda Aceh. Kini (2014), tercatat beberapa nama
warung kopi, yang cukup familiar di tengah komunitas-penikmat kopi.
Sebut saja Solong, Cut Nun, Zakir, Dhapu Kupi, Taufik Kopi dan beberapa
nama lain, yang mulai tumbuh dan dihafal oleh masyarakat setempat.
Tak hanya itu, nama-nama warung kopi tertentu, juga menjadi penentu
identitas si pengopi, selain harganya yang sedikit lebih mahal, dibanding
warung kopi lain, sekaligus penegasan posisi status sosial.
Eksistensi warung kopi di Aceh, yang boleh digunakan dan
diakses oleh siapapun, tanpa tekanan dan marginalisasi status-siapapun
dapat berkunjung, bahkan perempuan pun (dari kajian feminis dan
gender), memiliki tempat untuk berkumpul bersama kaum laki-laki.
Meskipun,

pada

awal

pertumbuhan


warung

kopi,

kehadiran

perempuan di warung kopi memiliki stigma dan tabu dalam kacamata
masyarakat Aceh. Tanpa membedakan usia, dan status sosial, ruang
warung kopi kian menarik untuk dinikmati, kendati hanya disekat oleh
meja antar meja.
Melekatkan simbol ruang publik, pada warung kopi di Aceh,
tentu ada asumsi tersendiri. Karena warung kopi di Aceh tak diciptakan
untuk golongan tertentu, tak mengisolasi kelompok gender dan
minoritas. Bahkan, jauh dari kesan primordialis (milik sebagian
“kaum”).

Beragam

manusia


dari

agama

dan

suku

manapun

diperbolehkan mengakses ruang publik ini, asal tetap menjaga etika
sebagai pengunjung (tanpa melakukan onar).
Dari uraian di atas, tulisan ini akan mencoba menganalisis lebih
dalam keberadaan warung kopi sebagai ruang publik. Sekaligus,
melihat fungsi dan dinamika diskusi (wacana), yang dilahirkan dari
“ngomong-ngomong” di lingkaran meja kopi-kebanggaan rakyat Aceh
ini.

B. LANDASAN TEORI

Mendiskusikan ruang publik, tentu tak luput dari menyebut
nama Habermas, ilmuwan sosial (atau tepat disebut filsuf)-Jerman, yang
identik dengan teori kritisnya. Salah satu kajian Habermas adalah ruang
publik, yang ditulis dalam bukunya “The Structural Transformation of The
Public Sphere ; an iquiry into a category of bourgeois society”(1991). Inti
kajian Habermas adalah ruang publik, sebagai ruang dan dunia di mana
pendapat menyangkut kebutuhan masyarakakat, dengan bebas tanpa
tekanan dan batasan eksternal, dipertukarkan (didiskusikan) oleh
orang-orang yang hadir di dalamnya.
Dalam teori Harbermas, setidaknya menyebut istilah ruang
publik terdiri dari organ informasi, dan debat politik seperti surat kabar,
jurnal, dan institusi-institusi diskusi politik seperti parlemen, klub
politik, salon-salon kesusastraan, pertemuan-pertemuan umum, rumah
minum dan kedai kopi, ruang-ruang pertemuan, dan ruang publik
lainnya di mana terjadi diskusi sosial-politik. Di tempat-tempat tersebut,
kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik
dijunjung tinggi. Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan
sendirinya

mengandung


daya

kritis

terhadap

proses-proses

pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik (Sumaryanto, 2008).
Senada dengan Zukin (1996, dalam Barker ; 399-401), menyebut
ruang publik sebagai tempat terbuka bagi publik (tanpa membedakan
status sosial), di mana orang bisa saling bertemu, dan berpartisipasi
dalam sebuah budaya yang sama. Meskipun, seiring evolusi pada ruang
publik, ruang ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta dan privat
sebagai bagian dari komersialisasi, seperti lahirnya mall, tempat
hiburan, dan (termasuk) model warung kopi di Aceh.
Karena itu, dalam setiap komunitas kebudayaan, menurut para
ahli tadi, pasti ada sebuah ”ruang” sebagai mekanisme untuk
melepaskan diri dari ritual yang membelenggu tersebut, sejenak lepas

dari struktur. Itulah ”liminalitas”, atau oleh Victor Turner sering disebut
juga ”kondisi anti-struktur”. Bentuk dan media situasi anti-struktur
tersebut bisa berbeda-beda di setiap masyarakat sesuai perkembangan

ruang dan waktu (Mauriza, 1998). Saya kira kegiatan ”ngopi” di
warung-warung kopi di Aceh merupakan representasi salah satu arena
liminal masyarakat Aceh.
Giddens

(1990,

dalam

Barker,

2000

:

384-385),


justru

menempatkan sisi berbeda antara ruang dan tempat (mungkin warung
kopi dalam perspektif Giddens adalah “tempat”). Menurutnya, ruang
dan tempat diukur berdasarkan kehadiran dan ketidakhadiran, tempat
diidentifikasi sebagai arena adanya perjumpaan langsung. Sedangkan
ruang, dicirikan oleh hubungan antarmereka yang tidak hadir. Lebih
jauh, Giddens menyebut ruang sebagai sebuah ide abstrak, kosong atau
mati yang dipenuhi dengan berbagai tempat yang konkret, spesifik dan
manusiawi (mungki seperti ruang media sosial online, dan televisi).
Namun, menurut Relph (1976 dalam Barker ; 385), perbedaan
ruang dan tempat hanya berdasar fokus pengalaman, ingatan, hasrat,
dan identitas manusia. Tempat digambarkan sebagai konstruksi
diskursif yang menjadi sasaran identifikasi, atau investasi emosional.
Terlepas dari peredabatan di atas, justru dalam ruang warung
kopi, yang terjadi adalah proses kontak sosial, seperti yang dijelaskan
oleh Soekanto (2002, dalam Bungin, 2006 ; 55-57), bahwa kontak sosial,
merupakan proses saling menyentuh, meskipun hubungan yang
dilangsungkan juga luput dari keharusan menyentuh, karena berbicara

dengan orang lain, merupakan bentuk kontak sosial yang berorientasi
pada interaksi sosial.
Penting untuk dicatat, bahwa interaksi yang dibangun (dalam
perspektif budaya berbahasa) di warung kopi, lebih ditekankan pada
budaya lisan, karena pengunjung warung kopi selalu mengutamakan
komunikasi

tatap

muka,

megutamakan

ruang

sosial

dengan

mengadalkan pendengaran (telinga), dan paling penting pula, bahwa
pengetahuan dibawa anggota sejauh mungki, informasi berpindah dari
satu orang ke orang lain (termasuk ke seluruh dunia), siapa yang
memiliki pengetahuan dapat membatasi orang lain untuk tidak
berbicara (Liliweri, Alo, 2003 ; 146-151). Meskipun, kemudian warung

kopi juga mulai berkembang budaya tulisan (exosomatic memory via
media sosial online).
Kondisi ini, semakin menegaskan fungsi warung kopi sebagai
ruang publik, dimulai dari resprositas lisan (informasi), hingga
membangun wacana kolektif-untuk memperhatikan fenomena sosial
tanpa tekanan dan batasan sebagaimana disebutkan oleh Habermas.

C. METODE PENELITIAN
Penelitian

ini

bersifat

kualitatif

dengan

pendekatan

antropologi. Penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data tentang
aktifitas kebudayaan, di warung kopi, yang digandrungi oleh ragam
komunitas di Banda Aceh. Teknik pengumpulan data, diawali dengan
kajian kepustkaan, membaca beberapa artikel terakit kebijakan publik,
teknik observation, dan depth interview. Peneliti juga melakukan
perekaman data visual dengan pemotretan memanfaatkan kamera foto,
tetapi secara terpaksa data visual tidak bisa ditampilkan dalam tulisan
ini. Sebelum penelitian lapangan (field research) dilaksanakan, terlebih
dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan
tradisi dan kebudayaan masyarakat Aceh pada umumnya.
Dalam penelitian antropologi, untuk menghasilkan suat
etnografi, lebih ditekankan pada penelitian kualitatif. Karena itu, sangat
dipentingkan adalah kualitas, dan kedalaman data, bukan kuantitas
data seperti pada metode lain. Karena itu, Peneliti tidak menggunakan
angket, dan memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian,
tidak ada analisis data statistik, dan tidak ada prosentase responden
terhadap populasi. Peneliti memanfaatkan interview guidance, sebagai
instrumen penelitian, yang bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan
kondisi di lapangan saat melakukan wawancara mendalam dengan
informan.
Penggalian, dan pengumpulan data difokuskan pada makna
(meaning) yang ada di dalam pikiran informan, terutama terhadap
aktifitas melaut, pola hubungan kerja, dan akumulasi produksi yang dia
pahami, dia alami, atau dia saksikan dalam kehidupan budaya nya.

Data

dianalisis

dengan

pendekatan

kualitatif,

dan

etnografis

(antropologis) untuk menggambarkan peristiwa apa adanya di
lapangan, dan ditarik sebuah kesimpulan akhir sebagai temuan dan
jawaban atas pertanyaan penelitian.
Lokasi penelitian dipilih adalah Kota Banda Aceh, sebagai
ibukota dan titik nol Aceh dalam dialektika sejarah. Keberadaan warung
kopi pun paling mudah dan banyak ditemukan di seluruh pelosok
bekas kerajaan Aceh Darussalam ini. Banda Aceh sendiri, berada paling
ujung barat kepulauan Sumatra, dan langsung berbatasan dengan Laut
Hindia. Adapun, transportasi menuju pusat Ibukota Aceh ini, dapat
ditempuh melalui jalur darat, udara dan laut.
D. Ruang Publik itu bernama “warung kopi”
Sekedar retrospeksi, dari warung kopi, rakyat Aceh menyusun
strategi perang untuk menghadapi dan mengalahkan Belanda. Karena
itu, pada saat kolonialisme berlangsung, Belanda ikut memantau segala
aktivitas yang berkembang di warung kopi. Demikian, kira-kira yang
dipaparkan Mauriza, dalam skripsinya “Fungsi Warung Kopi bagi
Masyarakat Aceh” (1998). Tak hanya itu, lebih spesifik, Mauriza
menyebut

bahwa

ragam

fungsi

warung

kopi

di

Aceh,

dan

mendeskripsikan studi komprasi antar-warung kopi di setiap negara.
Keberadaan warung kopi di Manila misalnya, yang menjadi
tempat untuk berbagi cerita, bertukar pikiran, gosip, sampai kepada
berbicara masalah politik oleh konsumennya. Kondisi di Manila, tentu
serupa di Aceh, kedai kopi juga digunakan oleh masyarakat Aceh
sebagai tempat berinteraksi satu sama lain, saling bercerita, bertukar
pikiran, hingga merambah ranah politik. Bedanya, kedai kopi di Manila
ada yang berbentuk eksklusif, yang dikhususkan untuk kalangan
tertentu. Golongan ekslusif di Manila memiliki kartu anggota, bagi
setiap orang yang ingin masuk ke warung kopi. Namun, di Aceh tidak
berlaku card member, karena kedai kopi di Aceh terbuka untuk
masyarakat secara egaliter, tidak dikhususkan pada golongan tertentu
(Mauriza, 1998).

Kini, warung kopi kian menampilkan konfigurasinya yang
utuh, dan totalitas terhadap publik (Aceh). Berdasar tipologi, yang saya
sebut dipengantar, tentu keterbukaan warung kopi terhadap publik
(dengan mulai ikut peng-kateogorian sosial) adalah alasan penting,
keberadaan warung kopi di tengah masyarakat Aceh. Diskusi-diskusi
yang dibangun, cenderung melahirkan multiwacana seiring dimensi
waktu tak menentu. Dalam rubrik budaya, yang ditulis surat kabar
Kompas, menurut LK Ara, bahwa aktivitas warung kopi yang telah
dimulai sehabis shalat subuh tersebut terus berlangsung hingga malam
hari. Adapun obrolan dan diskusi yang dieksplorasi oleh pengunjung
sangat beragam, mulai dari sosial politik, ekonomi, hingga urusan
kesenian (Kompas, 2011)
Kondisi dan potret warung kopi sebagai bagian demokrasi
(tanpa mengikat pada simbol ruang publik), sebenarnya pernah saya
tulis pada satu artikel lepas, dan dimuat dalam blog Aceh Institute. Saat
itu, saya menceritakan mengenai fungsi warung kopi di Aceh. Tulisan
tersebut sebenarnya menyinggung warung kopi di Aceh sebagai arena
politik informal.
“...Fungsi warung kopi memang tidak diragukan lagi, dia
telah menjadi institusi sosial paling efektif masyarakat
Aceh, untuk merangkai jaringan sosialnya, mencari
sumber informasi, tempat untuk melakukan pertemuan,
tempat negosiasi bisnis hingga penguat tim sukses dalam
konteks pilkada. Ruang publik untuk semua golongan
menjadikan warung kopi sebagai media efektif dan
makin sakral di medan pilkada saat aroma-aroma politik
ditabuh dan menebar di masyarakat Aceh. Sekilas di
warung kopi kita tidak akan menemukan struktur di
sana, karena di sana pembauran individu, kelompok
dalam sebuah ruang seakan melepaskan baju status dan
identitas simbol kelas sosial, masing-masing sibuk
tertawa, canda dan sekali-kali berwajah serius sambil
meneguk kopi perlahan-lahan hingga tuntas. Namun,
apabila kita menelusuri lebih dalam, maka akan tampak
bahwa kelas-kelas itu ada, meja-meja yang dihuni oleh
para politikus, mahasiswa, LSM, buruh hingga orangorang sekedar ngopi bisa ditemukan. Pembahasan pun
kian berbeda antar satu meja dengan meja lain. Ruang
publik itu penuh dengan makna, tidak hanya sekedar

melepas canda tawa, tapi sarat akan fokus sebuah misi
para pengopi. Tidak sedikit tim sukses para calon “raja”
hadir, dan memenuhi ruangan itu, nuansa politik pun
kini mewarnai. Kadang para tokoh pendukung
berkumpul bersama yang menarik perhatian para
pengunjung. Secangkir kopi adalah pemantik diskusi dan
misi dalam sebuah meja saat isu-isu politik digulirkan,
segelas sanger selain menjadi minuman khas juga menjadi
penegas bahwa kompetisi politik akan segera dimulai.
Meja-meja warung kopi kadang tidak jarang menjadi
garis batas penegas, “inilah kaum kami,” namun
sebenarnya inilah ruang dan media utama resolusi
konflik kalau kita mau mencermati lebih dalam, karena
dalam ruang ini kadang lawan politik harus berdekatan,
dan terjadinya negosiasi wajah.”(Al Fairusy, 2012)
Diskusi yang saya bangun saat itu, sebenarnya hanya
membongkar sinyal-sinyal negosiasi (komunikasi), dan wacana politik
di warung kopi di Aceh. Pun demikian, warung kopi bisa disebut
sebagai “public sphere” (ruang publik), dan arena politik bagi masyarakat
dan elite. Negosiasi politik yang memiliki legitimiasi informal di Aceh,
memang cenderung memilih warung kopi sebagai arena utamanya.
Mengingat golongan dari berbagai kelas sosial berkumpul di sini.
Beberapa kali kampanye pemilihan gubernur di Aceh, justru
juga memanfaatkan warung kopi sebagai arena kampanye nya. Kondisi
ini menunjukkan, keberadaan warung kopi begitu efektif sebagai ruang
publik, dan arena politik. Kehadiran warung kopi, telah merangsang
individu,

dan

kelompok

untuk

membentuk

opini

publik,

mengekspresikan secara langsung kebutuhan dan kepentingan mereka
yang mungkin bisa jadi juga akan mempengaruhi praktik politik.
Karena itu, ruang publik (warung kopi) menunjukkan
kebebasan hak manusia yang dibantu oleh ekonomi kapitalis,
mendorong lahirnya ruang publik bernama warung kopi. Kondisi ini
sepertinya sesuai dengan yang diharapkan oleh Habermas, mengenai
pentingnya ruang publik sebagai arena politik informal. Selain itu,
secara kultur, warung kopi juga (khususnya di kota besar Banda Aceh)
telah menjadi arena ”non-formal”, sekat-sekat struktur sosial yang
membelenggu hilang sementara meski masih dalam batas koridor

kesopanan. Individu, khususnya kaum muda, ingin mencari arena yang
lebih ”longgar” dimana untuk sementara terhindar dari beban-beban
ekonomi,

struktur-sosial,

himpitan

kekuasaan,

atau

mungkin

(bercampur) bayangan tekanan psikologis masa lalu oleh karena konflik
panjang.
Saya mencoba masuk dalam tiga tipe/model warung kopi di
Banda Aceh. Tipe pertama, warung kopi berbasis internet (wifi), di sini
ruang publik, hanya terbatas bagi mereka pengguna jasa internet, dan
terkesan tertutup, karena komunikasi tulisan (online) lebih aktifdibanding lisan. Berbekal fasilitas laptop, pengunjung hanya duduk
menatap laptop selama beberapa jam, lalu pulang. Tipe pertama ini,
ruang publik “nyata” nyaris terkonversi oleh ruang publik “maya.”
Tipe kedua, warung kopi yang ikut difasilitasi oleh internet,
namun fungsi warung kopi sebagai ruang publik “nyata” masih tetap
hidup. Artinya, sebagian pengunjung duduk mengakses internet, dan
sebagian lagi-masih aktif berdiskusi, dalam lingkaran sebuah meja
antar-person. Model ini, seakan menegaskan fungsi dualisme ruang
publik sekaligus, fungsi ruang publik secara “nyata” tanpa sekat virtual,
dan fungsi ruang publik “maya” yang ikut beraktifitas.
Tipe ketiga, warung kopi tanpa “menyadur” pada fasilitas
internet. Konfigurasinya, masih bersifat manual dan orisinal “khas”
sebuah warung kopi ala Aceh dan Melayu pada umumnya. Di mana,
semua individu bertemu dan berkumpul, bertukar informasi (tidak ada
batasan kategori sosial) dan bebas tekanan. Potret ini, dapat disaksikan
seiring kegaduhan suara yang mengepung ruangan warung kopi tanpa
jelas, karena saling mendominasi antarmeja pengunjung. Warung kopi,
model ketiga ini, tetap menjadi icon menarik pengunjung. Bahkan,
sebagian pengunjung di sini, adakalanya ikut “menyindir” warung kopi
tipe pertama dan kedua, karena telah menghilangkan ciri dan watak
warung kopi “sesungguhnya” (menurut mereka).

Menariknya, diskusi dan bahasa lisan (adakalanya protes dan
kritik

terhadap

kondisi

sosial

dan

politik),

yang

muncul

antarpengunjung warung kopi, terus menggiring pengunjung lain
menikmati, dan ikut membangun sebuah ruang kesadaran, yang seakan
ikut tertindas. Beberapa kasus di Aceh, terkait janji pemilukada
gubernur dan wakil gubernur, juga tak luput dari wacana yang
berkembang di warung kopi.
Sebagaimana dikatakan oleh Melucci (1989), penciptaan
identitas kolektif adalah salah satu dari tantangan fundamental yang
akan dihadapi oleh para partisipan gerakan. Karena itu, tak
mengherankan jika perasaan kolektif-sama-sama sedang merasakan,
lalu menumpahkannya di dalam “secangkir kopi,” setiap hari lewat
wacana politik, justru telah melahirkan ruang kesadaran yang semakin
mendalam.
Pun demikian, warung kopi, yang merupakan kumpulan
individu-individu (pengunjung), mewakili masyarakat urban-modern
Aceh, menunjukkan gejala budaya yang memunculkan sikap hidup
baru. Menurut Edward Shill (1981), bahwa masyarakat adalah fenomena
antarwaktu. Masyarakat terjelma bukan karena keberadaannya di satu
saat dalam perjalanan waktu. Tetapi, ia hanya ada melalui waktu, ia
adalah jelmaan waktu. Lebih jauh, masyarakat selalu berhubungan erat
antara fase sebelumnya, dengan masa kini, yang menjadi sebab akibat
penentuan fase berikutnya.
Maka, mekanisme ideal (psikologi) masyarakat, selalu bekerja
melalui kemampuan mengingat dan berkomunikasi, dan dituangkan
lewat “ngomong-ngomong” di warung kopi. Fenomena ini, kian
mengkonstruksi sisi ideal warung kopi sebagai warung publik yang
turut mendorong sisi demokrasi di Aceh. Komunikasi yang dituggangi
oleh perasaan kolektif, dan bermuara pada kepuasan bersama. Lebih
jauh, warung kopi menjadi ruang terbuka, liberal, tanpa disekat dan
dihadang oleh tekanan apapun.

E. Menakar reproduksi wacana di warung Kopi
Kehadiran warung kopi, seiring munculnya ragam wacana
yang membahana bersama kepulan asap rokok, atau tawa pengunjung
kopi. Sangat absurd untuk menangkap poin penting wacana yang
dibicarakan, jika peneliti tak ikut berbaur bersama kelompok manusia
dalam satu lingkaran meja. Di setiap meja, yang diatur dalam ruang
warung kopi, memiliki topik berbeda, dari isu kebudayaan, sejarah,
sosial, politik, hingga ekonomi. Ini terjadi, karena ragam pengunjung
yang hadir dari latar berbeda.
Wacana selalu muncul dari kerangka aksi kolektif. Gamson
(1992), mendefenisikan pemaknaan pada kerangka kolektif, yang
merupakan seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi
pada tindakan, hingga memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai
kegiatan dan kampanye gerakan sosial.

Lebih lanjut, Gamson

menekankan, bahwa wacana dalam media, adalah sumber informasi
penting, yang dapat diambil oleh manusia lain, ketika mereka mencoba
mencari penjelasan atas isu-isu yang mereka bicarakan.
Diskusi yang berbau politik, dan sejarah Aceh, merupakan
kondisi paling lazim menyandingkan dan mempertemukan antara isu
dan realitas di Aceh, yang ikut melahirkan kerangka kolektif (didengar
oleh pengunjung lain). Adakalanya, wacana lahir dari informasi yang
didengar dan dilihat di media TV, seperti ketimpangan demokrasi di
Aceh. Atau, headline berita di surat kabar lokal Aceh-Serambi
Indonesia, selalu menjadi trading topik dalam mengonstruksi sebuah
wacana. Diskusi pun, sering berisi sindiran pada elite politik yang
dianggap telah mengorbankan rakyat.
Wacana publik, selalu akan melibatkan keberadaan suatu
proses saling mempengaruhi (interplay) antara wacana publik, dan
interaksi pribadi. Pertemuan dan percakapan sehari-hari di ruang
publik (warung kopi), akan terus mengindetifikasi individu pengunjung
ruang publik tersebut. Produksi wacana, lewat “ngomong-ngomong,”

suka atau tidak, akan terus orang yang mengikuti alur diskusi, untuk
mempercayai wacana yang diperbincangkan. Karena itu, meskipun di
luar ambiguitasnya, wacana berita (diskusi) selalu penting bagi pelaku
konflik mana pun, sehingga penting bagi siapapun untuk dapat
mempengaruhi wacana semacam ini. Pengunjung yang memiliki nilai
orasi tinggi, tentu akan terus memunculkan ide-ide, yang dapat
melahirkan aksi di luar warung kopi.
Hampir seluruh pengunjung warung kopi, didominasi oleh
orang Aceh. Diskusi-diskusi, Apalagi, watak dan karakter orang Aceh
yang keras dan fanatik, sebagaimana dideskripsikan oleh Zentgraaff
(1983), seakan ter-ejawantahkan dalam percakapan di warung kopi.
Bahasa yang berkonotasi mengecam, sekali-kali tampak tertawa,
dicampur dengan polesan “makian” dalam bahasa Aceh, menjadi ciri
khas ruang publik di warung kopi. Apalagi, antarpersonal yang duduk
bersama, saat isu wacana dikembangkan, langsung bereaksi, seperti ikut
membenarkan poin yang disampaikan oleh aktor dalam kelompok kecil
tersebut, dan langsung disambut oleh orang-orang disekitar aktor.
Wacana yang membentuk kerangka aksi kolektif, tentunya
bukan sembarang keyakinan kolektif. Karena ia lahir dari kesadaran
kolektif. Kerangka ini, dibentuk berkaitan dengan isu sosial yang
berkembang di tengah masyarakat. Karenanya, perdebatan isu-isu
kontroversial terkait atmosfer politik di Aceh, juga menjadi bahan yang
terus diperdebatkan ketika pengunjung bertemu di warung kopi.
Kondisi ini, saya temukan dari penelusuran observasi selama satu bulan
di beberapa warung kopi-Banda Aceh.
Maka, tak mengherankan jika berkunjung ke warung kopi di
malam hari, maka diskusi juga semakin hangat. Konstruksi wacana,
yang dibangun oleh setiap pengunjung, selalu menarik untuk disimak,
meskipun informasi itu mengalir (tanpa penelitian). Tak jarang, ada
pengunjung yang memakai teori lepas itu, sebagai alat meneropong
arah perkembangan situasi Aceh ke depan. Dapat dibayangkan, dalam

sehari, bisa muncul puluhan wacana yang terus berganti, seiring
bergantinya pengunjung ke warung kopi. Namun, wacana-wacana yang
seharusnya krusial-lahir di tengah penikmat kopi tersebut, sering tak
teraplikasi. Apalagi, wacana di warung kopi, adakalanya sebatas
komunikasi verbal, tanpa aksi penyelesaian di lapangan.
Pelan tapi pasti, warung kopi juga menjadi ruang untuk
menyatukan kepingan diaspora, yang menyebar di mana-mana.
Keberadaan orang Aceh di dalam negeri antardaaerah, maupun orang
Aceh yang lama menetap di luar negeri-sering memulai pertemuan
ketika pulang ke Aceh di warung kopi. Kondisi ini, hampir serupa
dengan apa yang pernah ditulis oleh Anderson (2008), dalam bukunya
Imagined Communities; Komunitas-komunitas Terbayang, saat itu
bahasa cetak memang menjadi “Asal muasal kesadaran Nasional.” Kini,
imajinasi komunitas itu, justru dibangun lewat pertemua-pertemua dan
negosiasi wajah di warung kopi.
Kesimpulan
Ruang

publik,

selalu

menjadi

tema

menarik

untuk

didiskusikan, karena kehadirannya yang selalu diharapkan oleh publik
tanpa campur tangan pemerintah dan tekanan lain. Adakalanya, ruang
publik diciptakan seiring komersialisasi, namun tetap pada tujuan yang
sama, untuk memudahkan pengunjung ruang publik merasa nyaman.
Ruang publik, tak hanya bersifat ruang “nyata” seperti taman, mall, dan
warung kopi, tapi juga media seperti televisi, majalah, dan koran-yang
menjadi ajang tempat orang berdialektika untuk menghasilkan
pendapat dan sikap.
Khusus di Aceh (Banda Aceh), ruang publik justru hadir lebih
ekspansif lewat warung kopi, yang menyebar di mana-mana, kondisi
ini, juga dipengaruhi tradisi orang Aceh yang suka berkumpul. Fungsi
warung kopi, juga tak sebatas ruang publik untuk melakukan diskusi
dan perdebatan. Akan tetapi, juga telah menggiring atmosfer di sana
memproduksi wacana, yang mengalir tanpa limit.

Namun, fungsi warung kopi sebagai ruang publik terbukamelahirkan diskusi kritis, juga dapat terkonversi menjadi ruang
“sengap” dan mengancam masa depan generasi muda, ketika saduran
internet melekat di setiap warung kopi, dan digunakan secara disfungsi
(bermain game online saban waktu). Tentunya, fungsi warung kopi di
Aceh, harus tetap dijaga ritme identitasnya, seiring gempuran global,
karena dari warung kopilah, konfigurasi Aceh ditetaskan secara utuh
lewat “ngomong-ngomong” kritis.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities;
komunitas Terbayang. Insist, Yogyakarta.

Komunitas-

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies ; Teori dan Praktik (terj).
Bentang,Yogyakarta.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi ; Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana, Jakarta.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan; Sebuah Esei Tentang
Manusia. Gramedia, Jakarta.
Habermas, Jurgen. 1991. The Structural Transformation of The Public Sphere
; an iquiry into a category of bourgeois society. MA. MIT Press.
Klandermans, Bert. 2005. Protes dalam Kajian Psikologi Sosial. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. LKiS,
Yogyakarta.
Mauriza, Sadzli. 1998. Fungsi Warung Kopi di Aceh. Skripsi-UGM.
Yogyakarta.
Sumaryanto, Y. 2008. Ruang Publik Jurgen Habermas dan Tinjauan Atas
Perpustakaan Umum Indonesia. Tesis-UI. Jakarta-Depok.
Sujarwa. 2005. Manusia dan Fenomena Budaya Menuju Perspektif
Moralitas Agama. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Zentgraaff. 1983. Aceh. Depdikbud, Jakarta.
e-Refference
Al Fairusy, Muhajir. 2008. Warung Kopi di Medan Pilkada. Jurnal online
Aceh Institute.
Kompas. 2011. Aceh: Negeri 1000 Warung Kopi.